
Rezim Legalisme Otokrasi dan Hukum Represif di Indonesia
Oligark dengan kepentingan ekonominya menjadi latar utama menguatnya rezim legalisme otokrasi dan sistem hukum represif di Indonesia
Oligark dengan kepentingan ekonominya menjadi latar utama menguatnya rezim legalisme otokrasi dan sistem hukum represif di Indonesia
Kuliah Mao tentang kontradiksi ditujukan untuk menghalau cara berpikir idealis yang empiris dan dogmatis di dalam partai kala itu.
Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp) “RADIKALISME”, “fundamentalisme”, “fanatisme”, “konservatisme”…; istilah-istilah ini belakangan begitu lekat dengan “agama” dan “keberagamaan”. Penyematan “fanatisme” pada “fanatisme beragama” berada
Fathimah Fildzah Izzati, anggota redaksi Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS Judul: Kekerasan Budaya pasca 1965 : Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film
Jika hanya menunggu reforma agraria dari atas, menanti kebaikan hati penguasa, sampai kapan pun hak atas tanah dan kehidupan yang layak tidak akan pernah terpenuhi
Perempuan Korowai (sumber: Survival International) SIAPA yang tidak kenal dengan nama suku Korowai? Pasti sebagian besar tahu karena rumah tradisional orang Korowai yang dibangun
Rizal Assalam, mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI Angkatan 2010 dan Anggota SEMAR UI. Judul Buku : Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni Penulis :
PEMAPARAN tentang kondisi mahasiswa hari ini oleh kawan Oki Alex Sartono dan Yoga Prayoga menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Dalam tulisannya, Oki menjabarkan realitas yang
Resensi Buku Judul Buku : Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer Penulis : Martin Suryajaya Penerbit : Resist Book, Yogyakarta Tahun :
Ilustrasi: Jonpey Tulisan ini adalah bagian ketiga dari serial esai bertema pendidikan demokrasi radikal. Bagian pertama dapat dibaca di sini, dan bagian kedua di sini.
Uang juga merupakan teknologi. Ia mulanya hanya eksis sebagai komoditas penyetara universal pertukaran komoditas.
TIGA pendekatan ‘kritis’ terhadap kajian budaya lahir beberapa dekade yang lalu sebagai kritik terhadap Marxisme yang dominan di Uni Soviet saat itu. Tiga pendekatan tersebut adalah cultural studies, political economy of culture dan critical theory. Ketiganya muncul sebagai reaksi terhadap dikotomi superstruktur dan basis yang dianut aliran ini dan juga terutama terhadap pandangannya yang ekonomistik dan positivistik. Klaim ‘kritis’ ketiga pendekatan ini berdasar pada dua hal: pertama, mereka lahir sebagai bentuk kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, dalam hal ini tradisi yang dominan saat itu; kedua, agenda kritik ini dilakukan dalam semangat untuk kembali pada proyek intelektual Karl Marx, yaitu materialisme sejarah dan dialektika sebagai landasan metode berpikir dan praksis. Oleh karena itu, pemilihan ketiga pendekatan ‘kritis’ ini tidaklah sembarang karena ketiganya memiliki sejarah asal yang sama yaitu pemikiran Marxis dan lahir pada saat yang hampir bersamaan. Dalam kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, ketiganya pada saat yang sama melanjutkan proyek kritik Marxisme.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.