Derita Suku Korowai di Rimba Papua

Print Friendly, PDF & Email

Perempuan Korowai (sumber: Survival International)

 

SIAPA yang tidak kenal dengan nama suku Korowai? Pasti sebagian besar tahu karena rumah tradisional orang Korowai yang dibangun di atas pohon dengan rata-rata 5 hingga 35 meter di atas permukaan tanah. Tapi di lain sisi Korowai terkenal juga karena stigma Kanibalisme yang sampai saat ini masih menghantui semua pihak. Tidak hanya itu, ketertinggalan pembangunan di segala bidang dapat memperkokoh nama Korowai  dari 1.340 suku di Indonesia pada umumnya dan 250 suku bangsa yang ada di bumi Papua.

Johannes Veldhuizen adalah tokoh misionaris yang mengelilingi wilayah Korowai menggunakan perahu dan helipkoter pada tahun 1978. Ia melakukan sekaligus membawa misi gereja reformasi Belanda. Kampung Yaniruma yang terletak di perbatasan suku Kombai dan Korowai menjadi titik awal untuk beliau membuka penginjilan di daerah ini. Pada tanggal 30 Maret 1979, pendeta Veldhuizen membuka misi gereja atas berkat kerja sama kepala suku setempat.

Sekitar tahun 1985, Veldhuizen bekerja sama dengan gereja-gereja reformasi di Indonesia bersama Henk Venema, Gert Van Enk dan Lourens de Vries bahkan menjelajah tanah Korowai. Para missionaris tersebut meninggalkan Korowai (Yaniruma) pada 1990. Sebelum meninggalkan Korowai, para misionaris asal Belanda kalah itu cukup mempromosikan suku Korowai di Indonesia dan luar negeri. Buktinya, pada 1980-an pemerintah Indonesia membentuk kecamatan di daerah ini, basisnya di Kouh dan dikepalai oleh Daminikus Amutapai.

Tidak lama kemudian, nama Korowai semakin mencuri perhatian melalui kru film kontroversial Amerika yang dipimpin oleh Judy Halett bersama antropolog Paul Taylor dari Smithsonian Institution. Film tersebut meledak di Amerika karena dalam narasinya Dr. Taylor dengan jelas menyebutkan kanibalisme suku Korowai berlaku sebagai hukuman tertinggi dalam sistem peradilan pidana bagi orang Korowai.

Film yang dibuat dibawah komando Halett ini tidak sekedar mempromosikan Korowai. Lebih dari itu,  mereka mencap bahwa suku Korowai sebagai manusia kanibal. Dampaknya, sampai saat ini orang masih takut untuk memasuki di daerah dataran rendah ini.  Padahal sekarang suku Korowai sendiri sudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama. Mereka sudah terima injil sebagai pedoman hidup bahkan sampai membangun pos gereja di dusun-dusun mereka.

Rupanya, para misionaris Belanda, J. Veldhuizen dan Gert Van Enk selaku orang pertama yang menginjaki kaki di Korowai tak mampu bertahan dengan dinamika ini. Mereka kembali membawa wartawan Alexander Smoltczk dan fotografer George Steinmetz memasuki wilayah Korowai yang belum tersentuh budaya luar. Selanjutnya mereka mempromosikan Korowai dengan gambaran etnografi yang cukup akurat di Belanda.

Mereka hanya dapat membuka mata dan mengetuk hati kepada dunia. Selain itu, mereka cukup membuka jalan dan kebenaran bagi orang Korowai sendiri melalui berkat penginjilan. Tetapi untuk pembangunan fisik dalam upaya mengukur indeks pembangunan manusia (IPM) seperti jalan, jembatan, lapangan terbang, rumah sakit, puskemas, pustu, polindes, posyandu, POD, SD, SMP dan lainnya masih jauh dari kata berkembang dan maju.

Kontak antara dunia luar dan suku Korowai terjadi 37 tahun yang lalu. Sementara pemerintahan kecamatan dibentuk pada 1980-an. Kemudian usia Papua sejak Indonesia mencaplok wilayah Irian Jaya (kini disebut Papua) sampai 1 Mei 2017 mendatang akan berumur 57 tahun. Cukup tua, kalau mau dibilang usia peradaban dan waktu lamanya orang Korowai tinggal dalam pangkuan ibu pertiwi. Namun sedihnya, masyarakat dan daerah dataran rendah ini berkembang lamban ketimbang daerah pedesaan lain di provinsi termiskin urutan dua di Indonesia.

Semenjak berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001  tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua dan Papua Barat, pembiayaan untuk mendorong pembangunan di segala sektor begitu berlimpah. Apalagi pemekaran daerah otonom seperti kampung, distrik dan kabupaten dibentuk oleh masing-masing kabupaten/kota. Tentu dananya tidak sedikit. Bahkan satu kampung saja dana Otsus dalam setahun bisa mendapatkan sebesar 200-an juta. Dalam setahun tiga kali dana ini dikucurkan. Ini belum termasuk dana DAK, APBD dan lain-lain yang dibagikan setiap kampung. Tentu harapan kesejahteraan semua pihak untuk memperbaiki kualitas masyarakat itu ada. Karena pemerintah cukup membantu masyarakat untuk mendorong pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi masyarakat dan infrastruktur jalan dan jembatan. Namun dana ratusan juta tersebut hilang tanpa jejak.

Barangkali pemerintah melalui kaki tangan kepala kampung, kepala distrik, bupati dan gubernur serta jajarannya, sangat bangga membuat perencanaan pembangunan di daerah yang sulit terjangkau dengan mengalokasikan dana yang cukup besar. Tetapi seringkali pemerintahlupa atau memang sengaja untuk mencari untuk dengan mengeksploitasi persoalan sosial di daerah terpencil termasuk Korowai.

Hal ini nyata. Mau tipu siapa? Kalau mau klaim mari kita saling melempar argumen. Di sana, masyarakat Korowai masih diselimuti oleh beragam penyakit, angka buta aksara, belum ada sumber pendapatan ekonomi masyarakat, dan akses transportasi daratan, udara dan sungai amat terbatas. Sejujurnya dapat kami sampaikan, bahwa pemerintah “gagal” mendorong pembangunan di semua bidang bagi suku Korowai Papua. Pertanyaannya, kapan hak-hak masyarakat Korowai akan diperhatikan oleh pemerintah?

Kalau tidak salah bilang, tujuan membentuk negara dan pemerintahan adalah untuk meningkatkan kulitas dan taraf hidup disamping mengusahakan cita-cita bangsa yang tertuang dalam pancasila dan UUD 1945. Sebagai anggota masyarakat di negara ini mendengar tujuan negara seperti ini pasti akan bangga. Apalagi negaranya dijamin oleh hukum, Pancasila, dan roh UUD 1945. Namun perasaan jengkel sering tak tertahankan karena banyak masyarakat terutama orang Papua (Korowai) menderita di dalam dapurnya Indonesia dan dunia.

Usia 56 tahun itu bukan usia muda, setidaknya dapat membawa perubahan sebagai kosekuensi memaksakan orang Papua terkurung dalam bingkai NKRI. Indonesia mesti membangun Papua khususnya daerah Korowai secara sunguh-sungguh. Bukan diperlakukan seperti “setengah binatang”. Kalau memberikan sesuatu itu harus seutuhnya. Jangan bicara memberikan Otsus kepada orang Papua sementara pemerintah tidak memberikan kewenangan secara utuh. ‘Kan selama ini begitu, pemerintah pusat memberikan otsus tapi kenyataanya sejumlah pasal di dalamnya masih dikendalikan oleh pusat.

Kalau begini kapan membangun Korowai secara khusus dan Papua pada umumnya? Kalau memang mau bangun Papua setengah hati, seharusnya tidak perlu memberikan Otsus yang terlebih memaksakan Papua menjadi 100 persen Indonesia. Tidak ada artinya tinggal dalam pangkuan ibu Pertiwi kalau segala produk kebijakan bagi masyarakat selalu diintervesi oleh pusat. Nihil, sampai kapan pun pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Papua tidak akan berhasil membangun daerahnya.

Jika pembangunan gagal, nanti yang disalahkan pucuk pimpinan daerah. Ah, kalian yang melakukan kesalahan karena dana tidak terserap pada sasaran alias korupsi. Bukan membanggakan pejabat Papua, tapi yang orang Papua inginkan itu pemerintah pusat memberikan kebijakkan seperti Otsus, UP4B secara utuh. Tidak boleh ada intervensi oleh pusat. Pemerintah pusat cukup memberikan kewenangan dan mengawasi jalannya pembangunan.

Tapi memang ada sejumlah pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang bekerja tidak sungguh-sungguh. Ada memang, hal-hal tertentu pemerintah pusat mendorong pembangunan di Papua secara serius. Namun ada oknum tertentu (pejabat daerah) yang menyalahgunakan posisinya dan dana milik negara. Akibatnya, yang menjadi korban tidak lain pastilah rakyat kecil, terlebih khusus di daerah terpencil seperti Korowai ini.

Jarak di antara kehidupan suku Korowai dengan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan pembangunan di sektor manapun masih jauh. Beragam produk kebijakan pemerintah pusat sampai daerah tak mampu mengakomodir persoalan yang dialami masyarakat di daerah yang sama sekali belum disentuh pembangunan ini. Tidak ada perubahan apapun sejak berlakunya UU 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, UU 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvensi Intrenasional tentang Hak Sosial, Budaya dan Ekonomi serta UU dan peraturan lain sebagainya.

Konstitusi negara dengan tegas menyebutkan bahwa negara wajib “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasrkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kondisi ini sangat miris dengan realitas kehidupan suku Korowai ras melanesia yang lama mendiami di atas landasan pancasila dan UUD 1945.

Banyak masalah di Korowai. Suku yang sering disebut terasing ini mendiami di persimpangan kabupaten Yahukimo, Pegunungan Bintang, Boven Digoel dan Asmat. Dewasa ini mereka tinggal dalam ancaman bahaya penyakit. Kematian ibu dan anak makin bertambah banyak.

Gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Tim Peduli Kesehatan dan Pendidikan Rimba Papua menyebutkan 64 orang di Seradala, Korowai, Kabuapten Yahukimo meninggal dunia. Kematian ini terjadi karena tidak adanya pelayanan kesehatan yang memadai.

Jumlah 64 orang di atas terdiri dari 18 orang perempuan dan 46 laki-laki. Rinciannya adalah 2 orang bayi, 5 orang balita, 1 orang anak, 5 orang remaja dan 51 dewasa. Selain itu 37 orang Korowai menderita kaki gajah. Jumlah penderita kaki gajah itu antara lain: 12 orang remaja,  12 orang dewasa, dan 13 orang anak (Tabloid JUBI, 29/03/2017).

Banyaknya kematian ibu dan anak serta penderita kaki gajah tersebut hanyalah di sekitar distrik Seradala. Belum termasuk wilayah lain di Korowai secara umum.

Masih banyak masyarakat mulai dari bayi sampai dewasa terserang penyakit. Akses pengobatan sangat terbatas. Memang ada Pustu mewah milik pemerintah, tetapi tidak ada petugas medis. Tidak hanya itu, banyak anak-anak kecil usia layak sekolah terlantar akibat belum adanya akses pendidikan. Selain itu, akses transportasi bagi masyarakat sangat terbatas untuk berobat dan sekolah diluar kampung agak sulit.

Masih banyak lagi masalah lain seperti gizi buruk, penyakit kulit dan lain sebagainya. Mereka hanya mengandalkan pisang dan sagu sebagai makanan utama mereka. Minum dari air kali atau sungai yang kabur karena daeranya dikenal dataran. Meski di media masa lokal sempat dibaca oleh semua pihak termasuk pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama. Sayangnya perhatian maupun penanganan masalah di suku Korowai sangat lamban.

Kendati demikian, pemerintah rupanya tak mampu memutus mata rantai kesakitan dan kematian. Tingginya angka kematian bukan hanya berlaku di daerah kota, di daerah pedalaman pun sama bahkan lebih. Segala kebijakan pemerintah diputuskan untuk merombak kondisi kesehatan masyarakat selama bertahun-tahun. Akan tetapi kondisi kesehatan dari waktu ke waktu tak kunjung baik. Memutus mata rantai kematian di tanah Papua terkesan hanya wacana semu.

 

Kegagalan Otsus

Sebelum menjadi kepala dinas, Aloysius Giyai (sekarang Dinas Kesehatan Pemprov Papua) menulis buku “Memutus Mata Rantai Kematian Di Tanah Papua”, semasa beliau menjabat sebagai direktur rumah sakit Abepura, Jayapura. Dalam buku tersebut beliau mengatakan, dalam konteks Otsus patut kita pertanyakan. Apakah empat kebijakan pemerintah yang meliputi pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur jalan dan jembatan berjalan dengan dinamis, cepat dan responsif untuk menjawab kebutuhan masyarakat? Tidak. Menurut Giyai, Otsus yang diberikan oleh pemerintah pusat gagal menjadi kerangka acuan pembangunan untuk menyehatkan dan mensejahterakan rakyat asli Papua.

Kegagalan pembangunan kesehatan di era Otsus dapat dilihat pada indikator tingginya angka mortalitas (kematian), tingginya angka morbiditas (penyebaran penyakit) dan rendahnya status gizi. Berdasarkan data profil dinas kesehatan provinsi Papua tahun 2010 cukup menakjubkan. Angka Kematian Bayi (AKB) 41 per 1.000 kelahiran. Masih jauh dari target MDGs 2015 yakni 23 per 1.000. Angka Kematian Balita (AKABA), sebelum mencapai usia 5 tahun 64 per 1.000 KH. Sementara Angka Kematian Ibu (AKI) jauh mengejutkan yakni 362 per 100.000. Jauh sekali dengan target MDGs 2015 sebesar 102 per 100.000 KH.

Selain angka Usia Harapan Hidup (UHH) masih jauh dari harapan. Tahun 2009 lalu tercatat 68,2 persen dari sebelumnya hanya terdapar 68,1 persen. Sementara itu, status gizi hasil riset untuk Papua menunjukkan dimana gizi buruk 7,1 persen dan gizi kurang 14,5 persen. Tidak hanya itu, dalam buku Papua di Ambang Kehancuran karya SKPKC Frasiskan Papua menyebutkan kasus HIV/AIDS hingga 30 Juni 2016 melonjak jauh, kurang lebih 25.349 kasus di seleuruh Papua. Sekitar 9.296 kasus HIV dan 15.949 orang terkena AIDS. Lalu 64 orang Indonesia terindikasi kenah HIV dan 20 orang asing terkena AIDS.

Kita tidak bisa berpikir bahwa Korowai itu jauh dari kota jadi angka kematian tidak pesat. Bayangkan, kontak dengan orang luar saja sudah terjadi 37 tahun yang lalu. Sekalipun tidak banyak masyarakat yang ke daerah kota, namun satu sampai lima orang yang keluar masuk tentu punya pengaruh besar. Apalagi sekarang ini, penyakit yang namanya HIV/AIDS ini menyerang tanpa memandang status seseorang. Kita belum bisa simpulkan bahwa jumlah penyakit di atas termasuk orang Korowai atau tidak. Setahu saya pihak manapun jarang berkunjung ke Korowai.

Bagi Korowai sulit diprediksi berapa banyak angka kematian dan kelahiran. Bagaimana mungkin pemerintah tahun populasi di daerah ini, sistem pemerintahan distrik, Pustu dan sekolah tidak ada sama sekali. Faktor lain Korowai ada ditengah-tengah antara kabuapten Yahukimo, Asmat, Boven Digoel dan Pegunungan Bintang. Makanya sering wilayah dan penduduknya menjadi perebutan bagi kepala daerah. Namun kebutuhan dasar ketika masyarakat mengalami masalah serius tidak mau angkat bicara. Menyuarakan saja tidak, apalagi menjamin biaya pengobatan.

Menurut Hendrik L. Blum (1974) mengatakan, derajat kesehatan individu dan masyarakat ditentukan oleh faktor-faktor seperti lingkungan, perilaku, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor lingkungan tadi meliputi sumber pendapatan ekonomi masyarakat, pendidikan, penyediaan rumah sehat, air bersih, iklim daerah, udarah, akses tranportasi dan lain sebagainya. Perilaku atau pola hidup sehat merupakan kedua untuk bagaimana masyarakat tetap sehat. Selain itu faktor lain karena pengaruh kebiasaan, serta adat istiadat bagi masyarakat.

Hari ini Korowai sangat memprihatinkan. Hampir semua faktor penentu kualitas kesehatan di atas rata-rata belum memadai. Masyarakat di dataran rendah Papua ini tinggal dengan jarak 200-300 km dari empat ibu kota yang berbatasan langsung dengan pemukiman warga. Pemekaran kampung, distrik dan kabupaten tidak lagi menjadi solusi. Karena masyarakat di wilayah ini tidak diurus baik oleh kabupaten dan provinsi Indonesia paling timur ini.

Pemekaran termasuk Otsus yang diharapkan membawah angin segar bagi masyarakat Korowai. Tidak memberikan kontribusi besar dalam upaya pemenuhan hak sebagai warga negara. Kalau menilik kembali buku karya Paskalis Kossay, “Pemekaran Wilayah Di Tanah Papua Solusi Atau Masalah” dapat disimpulka bahwa pemekaran dan Otsus bukan solusi. Kalau bilang solusi, kenapa pembangunan di Korowai tak kunjung berkembang dan maju? Tepat juga jika Jhon Gluba Gebze dalam buku tersebut mengatakan Indonesia mau merebut wilayah Papua datang merayu hati orang Papua dengan kalimat pendek “Irian”.

Kita akan lihat, apakah pemerintah serius menangani masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur di Korowai atau tidak. Karena kepala dinas kesehatan provinsi Papua, Aloysius Giyai berjanji akan menurunkan Satuan Tugas (Satgas) Kaki Telanjang atau Terapung pada Mei 2017 untuk bertugas di wilayah Korowai.

Kita juga akan lihat  keprihatinan presiden Jokowi selama ini yang bilang di hadapan orang Papua akan membangun Papua dengan hati. Tembusan surat pernyataan mahasiswa Papua dalam aksi pada 28 Maret 2017 lalu sudah sampai ke Presiden Jokowi, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, Menteri Sosial, Menteri PUPR dan sejumlah instansi negara lainnya. Kita bersabar sembari menunggu komitemen presiden dan jajarannya merespon penderitaan orang Korowai di rimba hutan. Semoga orang Korowai mendapat perhatian oleh semua pihak yang berkepentingan untuk menyelamatkan warga negara.

Presiden Joko Widodo pasti tahu ketidakmauan orang Papua terhadap janji-janjinya. Belau tentu tidak akan berikan janji lagi pada orang Papua. Karena janji sebelumnya seperti membuka akses bagi jurnalis asing, selesaikan kasus Wamena Berdarah dan kasus pelanggaran HAM lainnya tidak pernah terbukti. Untuk Korowai optimis sajalah, bahwasanya beliau akan memberikan respon baik. Karena masalah juga cukup serius ‘kan? Semoga!

Suku Korowai harus diperhatikan serius tanpa memandang sebela mata. Mereka itu warga negara. Bukan manusia kanibal. Suku Korowai memiliki hak sejak lahir dan sejak adanya UU 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Hak orang Korowai untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan pembangunan infartruktur di bidang lainnya harus ditangani serius. Penanganan yang dimaksud adalah dengan mengalokasikan dana dan memberikan kebijakan khusus. Hal tersebut jelas akan memperbaiki kualitas masyarakat setempat.

Lebih jelasnya, untuk membangun Korowai yang baik, pemerintah tentu mempunyai strategi. Bahkan gubernur Papua, Lukas Enembe tahu persis bagaimana membangun  orang dan mendorong pembangunan di tanah Papua. Diharapkan program Nawa Cita dan rangkuman strategi membangun Papua yang tertera dalam buku Enembe, Papua Antara Uang dan Kewenangan, mampu mensejahterakan orang Korowai.

Cukup orang Korowai menderita di balik kepentingan dan objek wisata oleh negara dan elit politik. Tidak ada alasan untuk menunda membantu dan menyelamatkan orang Korowai. Sudah bosan, mereka mendengarkan dari orang tentang pembangunan di perkotaan. Sekarang, mereka ingin merasakan pembangunan itu sendiri.  

Sudah cukup presiden, gubernur dan para bupati  mengunjungi masyarakat di daerah yang mudah diakses. Berani tidak, para pemimpin negara dan daerah berkunjung di daerah terpencil ini? Kalau pun tidak berkunjung minimal ada perhatian berupa kebijakan khusus untuk membuktikan membangun Papua (orang) dengan hati. Baik buruknya dan mati hidupnya nasib suku Korowai ada di tangan pemerintah sebagai instansi negara yang bertanggung jawab atas semua persoalan yang ada di Papua, terutama masyarakat Korowai.

Selamatkan suku Korowai!***

 

Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua.

 

Kepustakaan

Muller, K. (2011). Pesisir Selatan Papua. DW Books, LPMAK dan PT. Freeport Indonesia

Giyai, A. (2012). Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua. Jayapura: Pakar Papua Pustaka Raya.

Giyai, A. (2015). Melawan Badai Kepunahan, Gebrakan Papua Sehat Menuju Papua Bangkit Mandiri dan Sejahtera. Jayapura: Pakar Papua Pustaka.

Uropdana, Y. (2015, 2016). Kondisi, Kendala dan Solusi Menanggulangi Kemiskinan Menjelang Millennium Development Goals (MDGs) 2015 Di Provinsi Papua. Yogyakarta: Kepel Press

Enembe, L. (2016). Papua Antara Uang dan Kewenangan . Jakarta: PT. Wahana Sementara Intermedia.

Jenaru, A; Triharyanto, B. dan Koten, B. (2017). Papua di Ambang Kehancuran. Jayapura: SKPKC Fransiskan Papua.

Kossay, P. (2012). Pemekaran Wilayah Di Tanah Papua, Solusi Atau Masalah. Jakarta Selatan: Tollelegi.

WWF.  (2015, Maret  29). Mengenal Suku Korowai di Selatan Papua. Retrieved April 10, 2017, from WWF Indonesai:http://www.jeratpapua.orang/Mengenal Suku Korowai di Selatan Papua.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.