Perluasan Kapital dan Pengorganisasian Gerakan Agraria

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


PADA tahun 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan keputusan nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang salah satunya adalah menetapkan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai “pulau panas bumi”. Tujuannya, seperti dikutip dari situs resmi, adalah untuk “mengoptimalkan penggunaan energi panas bumi di Pulau Flores baik sebagai sumber daya listrik maupun sumber energi non listrik.” 

Keputusan ini sontak menuai banyak penolakan dari masyarakat dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka menilai keputusan ini merupakan bentuk “pengabaian” negara pada kondisi topografi dan geografi Flores yang memang tidak cocok dengan model industri pertambangan geotermal. Ditambah lagi, model industri ini, yang menitikberatkan pada ekstraktivisme, berpotensi merusak lingkungan, mencemari udara, dan mengganggu iklim bagi kelangsungan hidup ekosistem di dalamnya. Dengan kata lain, dapat menciptakan krisis ekologi.  

Tulisan ini akan mendiskusikan lebih dalam soal geotermal di Flores lewat dua poin. Pertama, perluasan kapital hadir lewat skema kebijakan; negara memberi ruang dan mempercepat proses masuknya kapital melalui keputusan legal formal dan pengerahan aparat (TNI dan Polri). Kedua, masuknya aliran kapital juga disebabkan lemahnya pengorganisasian gerakan berbasis agraria. Termasuk dalam hal ini adalah refleksi dan apa yang dapat dilakukan bersama.


Penundukan Flores di Bawah Kendali Kapital

Bagaimana persisnya negara membuka ruang bagi masuknya kapital mengekstrak sumber daya alam di Flores? Seperti disinggung di awal, pertama lewat keputusan legal formal. Di tingkat lokal, pemerintah kabupaten lekas memberikan izin usaha lewat surat keputusan (SK) setelah pada 2017 pemerintah pusat menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi. Contoh kasusnya adalah proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai. 

Dalam Surat Nomor 188/500.10.16/IX/2024, disebutkan bahwa maksud dan tujuan rencana pembangunan ialah: pertama, “memenuhi kebutuhan energi listrik bagi masyarakat (rumah tangga dan industri) yang saat ini semakin meningkat serta memperkuat sistem kelistrikan pulau Flores”; kedua, “sebagai beban dasar (base load) untuk menggantikan pembangkit listrik diesel yang relatif lebih mahal”; dan ketiga, “meningkatkan keandalan (reliability) sistem kelistrikan pulau Flores.” 

Namun SK ini diterbitkan tanpa persetujuan bahkan sepengetahuan masyarakat setempat. Warga pun kemudian melakukan demonstrasi menuntut Bupati Manggarai segera mencabut SK itu pada 9 Agustus 2023. Alasan mengapa masyarakat menolak ialah, pertama-tama, merasa bahwa proyek geotermal bukan kebutuhan prioritas mereka. Mereka menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya mendorong ketahanan pangan ketimbang mendatangkan proyek yang menciptakan kerusakan. 

Pengalaman di tempat lain pun memperkuat alasan penolakan warga. Di Mataloko, Kabupaten Ngada, juga di NTT, proyek geotermal merusak bentang-bentang air, semburan gas, suara bising, kesehatan, keselamatan kerja, dan merusak pertanian warga. Hal serupa terjadi di Mandailing Natal, Sumatra Utara dan Dieng, Jawa Tengah. Kemudian, menurut Hendro Sangkoyo, pelajar di School of Democratic Economics (SDE), proyek geotermal ini berpotensi menghasilkan gempa akibat pengeboran. Hal ini menurutnya bahkan tak terhindarkan di proyek ekstraksi panas bumi yang menggunakan teknologi paling canggih di Korea Selatan. Menurutnya pembuat kebijakan tak memperhitungkan kerusakan dan bahaya yang akan dialami oleh masyarakat di lingkar proyek. 

Namun, di tengah resistansi warga, Bupati Manggarai Herybertus G. L. Nabit menegaskan tidak akan mencabut SK tersebut. Ini jelas menandakan abainya negara dan betapa masyarakat setempat tak diperhitungkan dalam rencana pembangunan.

Ketika yang pertama tidak cukup, maka pemerintah melakukan cara kedua, yaitu mengerahkan aparat (TNI dan Polri). Jelas cara ini memicu konflik. Pada 2 Oktober 2024, pemkab dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), dijaga oleh aparat dari mulai TNI, polisi, sampai Satpol PP, memaksa masuk ke Poco Leok demi membuka akses jalan proyek geotermal. Warga yang mengadang direspons dengan pemukulan dan penangkapan paksa. Sekitar empat orang ditangkap. Puluhan orang luka-luka dan beberapa tak sadarkan diri. 

Kasus yang melibatkan aparat ini mencerminkan aparat tidak lagi sebagai pelindung dan penengah dalam konflik, tetapi “alat pukul”. Keterlibatan aparat merupakan upaya negara untuk mengintimidasi warga demi melemahkan gerakan. Kekerasan ini merupakan contoh bagaimana aparat keluar dari koridor hukum dalam menengahi konflik. Bahkan, ketika aparat terang-terangan terlibat, hampir tak ada penegakan hukum yang transparan.

Selain memang hukum impoten menyasar pelaku di balik kekerasan itu, watak impunitas masih menjadi problem serius. Kekerasan aparat juga kerap dimaknai sebagai tindakan “oknum”, bukan kelakukan institusi yang menaunginya. Inilah alasan mengapa aparat di Indonesia seenaknya melakukan pelanggaran. Contoh lain soal ini juga ada di Flores, ketika terjadi penangkapan paksa dan persidangan sepihak kepada warga yang kritis dalam konflik tanah antara masyarakat dengan Keuskupan Maumere

Kasus di sektor pariwisata tak jauh berbeda. Negara terlibat dalam mengobral izin mendirikan hotel dan restoran sehingga menjadikannya sebagai ruang privat. Kasus pendirian vila di atas laut di Labuan Bajo adalah salah satu contoh bagaimana pariwisata dikelola dan dijadikan sebagai bisnis. Ini menjadikan sektor pariwisata di Flores dikelola dalam logika neoliberalisme, yang berarti mencaplok akses publik atas ruang wisata.

Keputusan legal formal lewat pemberian izin usaha demi perluasan modal kerap dibumbui narasi-narasi positif seperti “penciptaan lapangan kerja”, “pertumbuhan ekonomi”, “mengatasi kemiskinan”, sampai “menambah pemasukan negara”. Namun, betapapun baiknya dinarasikan dan didesain, banyak pihak melihat dan merasakan sebaliknya. Pembentukan jaringan kapital menghasilkan perampasan tanah, penghancuran ruang ekologi, sosial, dan kultural, juga pemiskinan struktural masyarakat. Perluasan kapital dengan demikian menuntut penghancuran. 

Proyek geotermal di Mataloko contohnya. Sebelum dieksplorasi dan dieksploitasi, muncul janji surga bahwa proyek akan mensejahterakan masyarakat sekitar. Namun ternyata yang muncul adalah sederet masalah. Pengeboran pertama pada 2002 di tiga titik dengan luas tanah sekitar 5 hektare. Titik satu dan dua sedalam 200 meter, sementara titik tiga 700 meter, padahal seharusnya 1.200 meter. Pengeboran mengalami kebocoran. Lumpur dan gas panas menyembur. Lahan pertanian menjadi hancur, hasil bumi menurun drastis, atap rumah warga berkarat, dan tak ada janji yang terpenuhi. 

Di tempat lain, di proyek geotermal PLTP Ulumbu, pun sama. Warga lingkar PLTP Ulumbu mempertanyakan janji PLN yang pada peresmian tahun 2011 mengklaim bahwa pembangunan akan membawa dampak positif bagi warga. Saat itu PLN menjanjikan akan ada penyerapan tenaga kerja bagi warga lokal dan pemberian beasiswa. Namun janji tinggal janji. Tenaga kerja di PLTP Ulumbu kebanyakan adalah pekerja dari daerah luar. 

Ini menunjukan bagaimana warga secara sistematis dan terencana tak diperhitungkan dalam skema kebijakan pembangunan proyek geotermal. Kenyataan ini semakin memperkuat dugaan adanya bentuk “pengusiran secara halus” lewat mekanisme pembangunan. Sebagaimana dicatat McMichael (2019), “pengusiran adalah implikasi dari pencaplokan lahan yang dikelola negara, yang memperluas pemberian subsidi tanah murah/gratis bagi investor dengan mengorbankan hak-hak reproduksi sosial para petani kecil.” Lebih lanjut, McMichael mengatakan bahwa subsidi-subsidi tanah murah/gratis itu menandakan adanya pergeseran risiko lingkungan, sosial, kultural, dan hak-hak asasi manusia menjadi bersifat “sampingan”. Perspektif ini menganggap bahwa pertanian (skala kecil) tidak mampu memberi kemajuan. Bupati Hery Nabit persis memakai cara pikir ini ketika ia tetap ngotot membangun geotermal di Poco Leok.  

Selain memperlihatkan kecenderungan pemikiran kapitalistik dalam pemerintah, cara pandang itu juga menandakan bentuk “cuci tangan” negara dalam urusan tata kelola pembangunan pertanian dan cara mereka menekan angka kemiskinan. Risiko pada krisis lingkungan, krisis sosial, krisis budaya, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia mudah saja dikesampingkan demi percepatan pertumbuhan ekonomi. Kasus perampasan tanah warga di Poco Leok, pengusiran warga di Nangahale dari tanah mereka oleh institusi keagamaan (Keuskupan Maumere), privatisasi sektor wisata seperti di Labuan Bajo, dan pengerahan aktif aparat (TNI dan Polri) dalam urusan pembangunan lebih tepat disebut sebagai penundukan pulau Flores di bawah rengkuhan kapital ketimbang upaya menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan yang kerap digembar-gemborkan.


Gerakan Agraria dan Solidaritas Perlawanan Warga

Melihat kasus-kasus perampasan tanah, pencaplokan/privatisasi sektor wisata, dan pengerahan aparat dalam mengadang gerakan perlawanan warga mengharuskan kita memikirkan kembali gerakan berbasis agraria. Apa makna gerakan berbasis agraria ini?

Pertama, gerakan berbasis agraria merupakan agenda mempertahankan hak atas kepemilikan dan akses pada sumber daya alam. Gerakan agraria berarti berusaha meletakkan dimensi sosial, kultural, ekologi, dan ekonomi menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, bukan seperti negara dan investor yang hanya membuat dimensi ekonomi sebagai unsur fundamental dan mengabaikan yang lain.  

Kedua, gerakan berbasis agraria merupakan corong mendesak untuk warga yang menuntut negara bahwa mereka juga punya hak yang sama dalam mengelola, mengakses, dan menikmati sumber daya yang ada. Cara-cara kekerasan berupa pengusiran paksa, penyerobotan tanah, dan melalui kerangka legal-formal untuk mengeksekusi warga mesti direspons dengan menegaskan kembali hak warga atas ruang hidup mereka.

Ketiga, gerakan agraria di Flores juga merupakan respons atas menguatnya agenda kapitalisme-neoliberal yang dalam banyak kasus melanggar hak-hak asasi: hak atas tanah, air bersih, udara bersih, bertani dan beternak–singkatnya hak untuk hidup berdasarkan nilai-nilai kultural yang mereka hidupi, yang sering diabaikan oleh negara dan investor dalam kerangka pembangunan. 

Keempat, gerakan agraria di Flores juga menegaskan simpul-simpul solidaritas perlawanan atas negara yang abai memperhitungkan keberlangsungan hidup warga, generasi masa depan, dan kelangsungan ekologi. Berbagai gerakan masyarakat Flores dari ujung barat sampai ujung timur menegaskan bahwa logika develompentalisme harus sejalan dengan keyakinan kultural yang hidup dan dihidupi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari mengapa berbagai gerakan dan protes warga kepada negara adalah bentuk tuntutan etis untuk mempertimbangkan kembali keberadaan warga, ekologi, dan kultural. 

Meski gerakan agraria seperti ini penting, tetap saja ada yang bersikap sebaliknya. Di tengah resistansi dan gugatan warga pada proyek geotermal, muncul gerakan  yang mendukung proyek ini. Alasannya sederhana, menurut mereka, kehadiran proyek geotermal bisa memberi dampak ekonomi dan kesejahteraan. Pada 22 April 2025 lalu mereka menggelar demonstrasi menuntut Bupati Hery Nabit meneruskan proyek geotermal di Poco Leok. Kelompok ini memaknai geotermal merupakan “pemberi harapan hidup dan kesejahteraan.” Mereka juga menyesalkan sikap gereja Katolik yang menolak proyek ini. 

Cara pandang yang sekadar ekonomistik adalah awal dari sikap mendukung keberadaan geotermal. Sementara yang menolak proyek ini dapat dikatakan melihat secara lebih holistik. Mereka melihatnya dari sudut ekologi, sosial, dan kultural sehingga dapat menyimpulkan kehadiran proyek geotermal justru menghancurkan masa depan. 

Fragmentasi seperti ini jelas berpengaruh terhadap lemahnya gerakan agraria di Flores. Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya?

Gerakan agraria di Flores pertama-tama perlu diorganisasikan. Pengorganisasian merupakan upaya untuk membangun kolektivitas dan dalam rangka menciptakan kesamaan cara pandang tentang geotermal. Persamaan persepsi tentang geotermal akan menciptakan gerakan yang kokoh. Kedua, masih terkait erat dengan poin satu, kampus-kampus di Flores perlu terlibat aktif merespons dan membantu warga melalui kajian tentang geotermal. Hasil kajian akan digunakan sebagai senjata untuk melawan geotermal yang banyak diklaim sebagai energi bersih, setidaknya oleh pemerintah. 

Ketiga, gerakan agraria di Flores perlu belajar dari gerakan agraria di tempat lain. Di Marinaleda, Spanyol, misalnya, sebagaimana ditulis Dan Hancox, gerakan agrarianya bersumber dari solidaritas warga, utopia atau cita-cita, dan kepemimpinan yang kuat dari Juan Manuel Sanchez Gordillo. Kombinasi ketiganya membentuk gerakan yang kuat. Mereka menuntut reformasi tanah melalui aksi mogok makan, mendorong solidaritas perlawanan semakin kuat. Saya menyebut Marinaleda sebab memiliki karakteristik budaya, sosial, dan ekonomi yang mirip. Gerakan di Flores dapat belajar dari sana dalam memperjuangkan kehidupan yang adil, yang tak mudah dikapitalisasi.


Sumber Bacaan

Hancox, Dan. (2023). “Marinaleda; Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis” [terj]. Marjin Kiri. 

McMichael, Philip. (Mei 2021, cet. kedua). “Rezim Pangan dan Masalah Agraria (Seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria) [terj]. InsistPress.


Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila, alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.