Soeharto Si Tiran Medioker

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)


Pengantar penerjemah: Dalam rangka memperingati lengsernya Soeharto sebagai presiden, hari ini persis 27 tahun yang lalu, IndoProgress menerbitkan naskah panjang dari Benedict Anderson yang ditulis pada 2008 lalu. Artikel ini dibuat untuk memperingati kematian sang jenderal. Namun, tidak seperti obituari pada umumnya, Ben, yang telah meneliti Indonesia sejak 1961 sampai meninggal dunia di Batu, Jawa Timur, pada 2015, tidak menyanjung puji Soeharto, melainkan sebaliknya. Tentu saja pembantaian 1965 yang menjadi fondasi kekuasaan Soeharto mendapat porsi cukup besar untuk dijelaskan. Dia juga menjelaskan apa yang terjadi kemudian, tentang bagaimana kekuasaan bisa bertahan selama puluhan tahun. Di sini kita akan membaca soal manipulasi dan kontrol, juga bagaimana pemerintahan dijalankan lewat politik ketakutan.

Warisan-warisan dari Soeharto masih jelas tampak sekarang, sesuatu yang bahkan Ben sendiri tidak bayangkan terjadi ketika dia menulis artikel ini. Dia misalnya mengatakan bahwa “wibawa Angkatan Darat yang merosot drastis, ditambah dengan kualitas kepemimpinan yang semakin medioker, tampaknya menutup kemungkinan kembalinya kekuasaan militer di masa depan.” Kita semua tahu bahwa prediksi itu meleset. Militer tidak lagi dwifungsi tapi multifungsi. Mereka ada di mana-mana dan menjadi apa saja. Malah presiden sekarang adalah menantu Soeharto, yang oleh Ben sebut sebagai orang “yang tidak stabil dan berotak fasis.”

Artikel seperti ini kian penting diketahui banyak orang, ketika (lagi-lagi) muncul usul menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Betapapun problematisnya konsep “pahlawan”, tetap saja dia tidak layak diberikan titel tersebut. Percobaan sebelumnya selalu gagal, dan semoga juga sekarang.


PADA 1971, mesin kekuasaan kepresidenan Indonesia mengumumkan ke khalayak bahwa Soeharto dan istrinya berencana membangun kompleks pemakaman bagi diri mereka sendiri, terletak di lereng Gunung Lawu, gunung berapi keramat setinggi 3.000 meter yang tidak lagi aktif, di sebelah timur bekas kota kerajaan Jawa, Surakarta. Lokasinya dipilih dengan saksama, dengan takzim ditempatkan beberapa meter di bawah makam-makam awal dari anggota Mangkunegaran—dinasti paling tidak penting kedua dari empat kerajaan kecil di Jawa Tengah yang dirancang oleh kekuasaan kolonial pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Tien Soeharto—waktu itu sudah mendapat julukan ejekan “Tientje” (yang berarti ‘10 persen’, besaran persentase yang kabarnya dia minta dari proyek-proyek negara —penerjemah)—mengaku punya hubungan dengan dinasti kecil tersebut, yang hampir saja tidak selamat setelah revolusi 1945–1949. Buat Soeharto, yang selalu menegaskan kalau dirinya berasal dari keluarga petani sederhana tapi ada gosip bawah tanah yang menyebut bahwa dia adalah anak haram seorang taipan Tionghoa, lokasi itu merupakan simbol panjat sosial; sesuatu yang lumrah mengingat ada kecenderungan umum di kalangan perwira militer sejak dekade 1940-an untuk menikahi anggota kelas sosial yang lebih tinggi, dan adat dan tradisi bermukim di lingkungan keluarga istri. Namun demikian, tetap saja pembangunan kompleks pemakaman mahal yang belum pernah terjadi sebelumnya ini agak menyeramkan mengingat Soeharto saat itu baru 50 tahun dan sehat walafiat.

Saya berkunjung ke Surakarta pada April 1972 setelah masuk ke Indonesia dengan cara yang berputar-putar. Pemerintah Soeharto mengancam mendeportasi saya, tapi setelah sekian negosiasi saya diberi waktu dua pekan untuk merampungkan urusan dan berpamitan kepada teman-teman. Saya pun mengaspal dengan Vespa dan singgah sebentar di Surakarta untuk makan di sebuah taman hiburan yang menyenangkan. Di masa itu, laki-laki muda, berkulit putih, mengendarai Vespa, plus fasih berbahasa Indonesia merupakan sesuatu yang begitu menarik perhatian. Demikianlah meja saya dengan cepat dikelilingi oleh warga lokal. Saya lalu bertanya kepada para kawan baru tentang pendapat mereka tentang kompleks pemakaman, semuanya hening dan canggung. Kemudian seorang lelaki tua, kurus tapi cerdas, menjawab dalam bahasa Jawa: “kayak makam Cina.” Semua orang terkikik. Dia punya dua maksud. Pertama, bahwa berkebalikan dengan makam orang Islam—bahkan punya orang-orang terpandang— yang sederhana belaka, makam Tionghoa dibuat semewah dan semahal mungkin, bahkan ada unsur kompetisi sosial di dalamnya. Kedua, di masa pascakolonial, banyak kuburan Tionghoa diratakan dengan tanah oleh buldoser demi memuluskan jalan untuk proyek-proyek konstruksi “kelas atas” baik dari negara atau pengembang swasta.

Ada tiga hal terjadi pada kompleks pemakaman itu selama masa-masa panjang kediktatoran Soeharto, dari tahun 1970-an sampai awal 1990-an. Pertama, tempat itu pelan-pelan diisi, bahkan hampir penuh, oleh jenazah para bangsawan yang punya hubungan dengan Tientje. Sebaliknya, tidak ada satu pun keluarga Soeharto dikubur di sana. Kedua, kompleks pemakaman itu dijaga ketat oleh pasukan Baret Merah yang mengorganisir pembantaian massal terhadap kaum kiri pada 1965–66. Ketiga, tempat itu menjadi objek wisata, terutama anak-anak sekolahan yang ke sana naik bus, dan karena itu selalu ramai pula dengan ibu-ibu desa yang menjajakan kaus oblong, topi baseball, camilan, minuman, dan kipas bambu anyaman. Satu hal yang tidak terjadi: bahkan setelah Tientje “bergabung” dengan para kerabatnya tak lama sebelum krisis 1997, kompleks pemakaman itu tidak pernah menjadi tempat suci atau memiliki daya magis. Setelah akhirnya diizinkan kembali masuk ke Indonesia pada 1999, saya sering datang lagi ke tempat ini. Tidak ada lagi tentara, tidak ada lagi rombongan anak sekolah. Tidak ada. Yang ada cuma segelintir pedagang putus asa, seorang penjaga murung, dan bangunan berbau busuk yang telah berusia seperempat abad. Masih belum jelas apa yang akan terjadi pada tempat itu sekarang, setelah Soeharto akhirnya menyusul istrinya. Memparafrase Walter Abish: seberapa Tionghoa-kah ini?

Jika kompleks makam itu menandai versi awal dari “ramalan kematian” Soeharto, saya melihat variasi yang lebih baru di Jakarta beberapa tahun lalu. Saya mewawancarai seorang komunis Jawa yang sudah tua renta, yang di masa mudanya pernah memegang posisi tinggi di surat kabar partai, Harian Rakjat, dan menghabiskan hidup bertahun-tahun di gulag kelam milik Soeharto. Di akhir wawancara, dengan maksud untuk menghibur, saya bertanya dengan santai apakah dia pikir Soeharto akan segera mati. Dia memang terhibur. Usaha berhasil, tapi bukan dengan cara yang saya bayangkan. Dengan semringah dia berkata: “Tidak sama sekali! Kematiannya masih lama, dan disertai banyak penderitaan.” Bagaimana dia bisa amat yakin? Ia menjawab bahwa rahasia dari kekuatan besar, kekayaan melimpah, dan panjangnya usia politik Soeharto adalah sejumlah susuk di bawah kulit di berbagai titik penting tubuh, yang dimasukkan oleh seorang dukun terkenal saat dia beranjak dewasa. “Tapi dukun itu sudah mati cukup lama,” ujarnya dengan riang gembira. Ada kepercayaan bahwa susuk—potongan kecil emas murni yang dimantrai—akan membawa kekayaan, kekuasaan, dan umur panjang bagi pemiliknya. Tapi ada syaratnya: agar dapat meninggal dengan tenang dan cepat, susuk itu harus dicabut, dan itu hanya bisa dilakukan oleh dukun yang memasangnya. Jika tidak, kematiannya akan berlangsung dalam penderitaan yang panjang.


Rekam Jejak

Orang seperti apakah Soeharto? Bagaimana dia mampu memerintah negaranya tanpa banyak oposisi serius selama lebih dari tiga dekade? Pada mulanya cukup sederhana. Soeharto lahir di desa dekat Yogyakarta, Jawa Tengah, pada bulan Juni 1921. Pada usia 19, ia bergabung dengan militer kolonial Belanda (KNIL). Ini terjadi kira-kira pada saat tentara Nazi Wehrmacht menguasai Belanda, dan Ratu Wilhelmina beserta kabinetnya kabur ke London. KNIL, seperti angkatan bersenjata di koloni Eropa lainnya, dilatih untuk menekan pemberontakan di dalam negeri ketimbang angkat senjata melawan musuh eksternal. KNIL juga diorganisir secara rasial: sebagian besar perwira Belanda dan londo, sementara prajurit rendahan pribumi dengan pendidikan seadanya. Soeharto sendiri gagal lulus dari sekolah menengah Islam swasta yang dia ikuti. Namun demikian, dalam waktu kurang dari dua tahun, dia sudah mencapai pangkat sersan, tingkatan tertinggi yang biasanya bisa dicapai pribumi. Persis di saat itulah tentara Jepang menginvasi Hindia Belanda dan KNIL menyerah hampir tanpa perlawanan (kecuali unit udaranya yang kecil). Pada Oktober 1943, saat Soeharto berusia 22, militer Jepang di Jawa yang takut diserang Sekutu membentuk pasukan tambahan yang disebut Peta (Pembela Tanah Air) untuk mendukung rencana gerilya. Soeharto segera bergabung dan mampu mencapai pangkat tertinggi kedua yang tersedia, komandan kompi, pada 1945.

Setelah Jepang menyatakan menyerah kepada Jenderal Amerika Serikat Douglas MacArthur dan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang tergesa-gesa oleh dua politisi nasionalis kawakan Sukarno dan Hatta, tentara nasional pun dibentuk. Organisasi angkatan bersenjata baru ini terdiri dari bekas anggota KNIL, bekas anggota Peta, dan bekas anggota berbagai kelompok pemuda bersenjata yang difasilitasi Jepang. Di antara semua itu, orang-orang Peta-lah yang menempati posisi dominan. Secara alami terjadi penggelembungan pangkat besar-besaran: banyak letnan atau sersan tiba-tiba menjadi kolonel bahkan jenderal baru. Soeharto ikut dalam gelombang ini, dan pada 1946 sudah menyandang pangkat letnan kolonel. Apa yang lebih penting adalah dia ditempatkan di dekat Yogyakarta, ibu kota republik setelah Inggris dan Belanda merebut Jakarta pada awal 1946. Tidak banyak orang di tubuh tentara baru itu yang pernah mengabdi kepada dua rezim penjajah, Belanda dan Jepang, hanya dalam kurun waktu enam tahun. Soeharto adalah salah satunya, dan ia mendapat keuntungan dari pengalaman itu. Pada 1946, di usia baru 25, Soeharto sudah menjadi tentara yang relatif senior.

Pada titik inilah bisa dibilang karier politik Soeharto dimulai. Malam hari 27 Juni 1946, sekelompok milisi bersenjata, yang secara tidak langsung terkait dengan kelompok “oposisi” politik (gabungan dari kaum nasionalis sebelum perang, sebagian besar di antaranya pernah bekerja sama dengan Jepang), menculik Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang seorang sipil dengan tuduhan bahwa ia terlalu lembek dalam menghadapi Belanda yang berniat kembali menjajah. Soekarno segera mengambil alih kendali pemerintahan dan menuntut pembebasan Sjahrir secepatnya, yang akhirnya memang terjadi. Para konspirator itu—yang secara terbuka didukung oleh komandan militer Yogyakarta dan secara lebih terselubung oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman yang masih berusia 31—mundur ke pos komando Soeharto. Di sana mereka coba-coba melakukan kudeta pada 3 Juli, yang ternyata dengan mudah digagalkan. Para sipil yang terlibat dijebloskan ke penjara meskipun hanya sebentar, begitu pula komandan militer Yogyakarta. Sudirman memastikan tidak ada perwira lain yang terkena dampaknya. Meski begitu, kudeta ini bisa saja mengakhiri karier militer Soeharto. Sejak saat itulah dia menjadi sangat berhati-hati.

Bangkit menuju kekuasaan

Sejak merdeka pada Agustus 1945 sampai Januari 1948, para pejabat inti dari koalisi multipartai yang berkuasa di Indonesia adalah kaum sosialis dan komunis dari beragam spektrum, termasuk mereka yang kembali dari Belanda dan pernah terlibat dalam perlawanan bawah tanah melawan Nazi. Nama mereka tidak “terkontaminasi” sebagai kolaborator Jepang, sebuah keunggulan baik dilihat dari kacamata dalam negeri maupun kancah internasional. Ada pula keyakinan bahwa karena pemerintahan pertama di Belanda pasca-pembebasan dipimpin oleh kaum sosialis, peluang untuk menempuh jalur diplomatik menuju kemerdekaan sesungguhnya terbuka lebar. Tapi, pada 1947, kabinet di Belanda bergeser ke kanan dan pada Juli di tahun yang sama sebuah serangan militer besar-besaran berhasil menyebabkan republik baru kehilangan wilayah yang cukup luas serta akses ke dunia luar. Kaum sosialis dan komunis dipaksa menerima perjanjian sementara yang amat merugikan pada Januari 1948. Oleh karena itu, mereka kehilangan kekuasaan dan digantikan oleh koalisi yang terdiri dari koalisi muslim dan nasionalis-sekuler (kaum borjuis dan aristokrat rendahan). Sementara itu, Perang Dingin mulai berkembang dan kelompok kiri di seluruh Asia Tenggara mengalami radikalisasi. Mereka memalingkan muka dari jalur parlemen dan memilih angkat senjata untuk (kembali) berkuasa.

Pada pertengahan 1948, bayang-bayang perang saudara tampak di depan mata antara kaum kiri dan berbagai pihak yang memusuhinya. Kedua belah pihak didukung oleh unit militer dan milisi bersenjata. Sudirman berupaya meredakan krisis ini dengan menunjuk dua orang sebagai mediator: Wikana, sipil beraliran komunis, dan Soeharto. Saya mewawancarai Wikana di Yogyakarta, tempat ia menjalani masa pensiun setelah tersingkir oleh para pemimpin partai yang lebih muda, pada tahun 1963. Bapak tua yang lembut itu bilang kepada saya kalau Soeharto sangat baik, tidak memihak siapa pun, dan berbuat apa saja demi mencegah perang antara para pendukung kabinet dan oposisi. Tapi semua upaya gagal. Perang saudara (yang cuma terjadi di wilayah yang dikuasai republik) berlangsung singkat namun berdarah-darah. Kaum kiri hancur lebur. Sejumlah pemimpin mereka tewas dalam konflik atau dieksekusi setelah menyerah.

Usai penyerahan kedaulatan secara resmi pada akhir 1949, Indonesia, anggota baru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menghadapi situasi pelik. Ekonomi kolonial porak-poranda akibat pendudukan Jepang dan perjuangan bersenjata melawan agresi Belanda. Mobilisasi massa besar-besaran yang dimulai saat melawan Nippon dan berlanjut selama masa “revolusi” menciptakan banyak kelompok yang mengharapkan imbalan atas pengorbanan mereka. Tapi bagian timur kepulauan ini, yang penduduknya jarang, terus diokupasi setelah perang. Pertama-tama oleh Australia lalu kemudian Belanda. Hal ini membuat aktivisme republik sulit dilakukan di sana. Selain itu, perjanjian antara Belanda dan Indonesia yang diawasi oleh Amerika Serikat mengharuskan republik mengembalikan seluruh properti milik kapitalis Belanda sebelum perang. Pada akhirnya, tidak ada satu pun partai politik yang mampu memonopoli gelombang revolusioner yang terjadi. Maka dari itu lahirlah demokrasi konstitusional multipartai, yang bahkan memberi izin kepada kaum komunis untuk membangkitkan kembali kekuatan mereka. Bisa dibilang memang tidak ada alternatif mengingat geografi negara ini; militer memang perkasa, tapi angkatan udaranya nihil dan kemampuan angkatan laut pun hanya seujung kuku.

Dalam situasi seperti inilah Soeharto mulai mengukir namanya, pertama-tama dengan berhasil melawan kelompok pro-Belanda lewat serangan amfibi, juga para pembangkang di Sulawesi. Kesuksesan ini membuatnya ditunjuk sebagai Panglima Militer Jawa Tengah (Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro —penerjemah), posisi strategis dalam hierarki Angkatan Darat, pada 1957 alias saat usianya baru 36. Di sini dia membuat kesalahan serius, bukan perkara politik (soal ini Soeharto sangat hati-hati) tapi urusan duit. Dia dan anak buah kepercayaannya terlibat dengan sejumlah taipan Tionghoa dalam operasi penyelundupan besar-besaran dan bisnis-bisnis lain (salah dua dari taipan Tionghoa ini kemudian menjadi kroni utama Soeharto saat dia jadi presiden). Markas Besar Angkatan Darat tahu soal ini dan Soeharto diberhentikan. Tapi militer biasanya melindungi orang-orang mereka sendiri. Hal ini juga terjadi kepada Soeharto. Dia sekadar dikirim ke sekolah staf dan komando di Bandung. Di sana dia ternyata berprestasi, dan setelah itu dikukuhkan sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Kostrad adalah unit yang dirancang sebagai pasukan gebuk untuk menghadapi para pemberontak di daerah dan “musuh-musuh nasional” lainnya. Pada awal 1960-an, Soeharto memimpin operasi gabungan untuk “membebaskan Irian Barat” dari sisa-sisa kolonialisme Belanda. Meski militer tidak bisa dikatakan menang dalam operasi itu karena faktanya Amerika Serikat turun tangan secara diplomatik untuk menekan Belanda, tetapi Soeharto diperlakukan oleh media sebagai semacam pahlawan nasional. Saat pada 1963-1964 Sukarno meluncurkan konfrontasi militer dengan Federasi Malaysia yang diatur oleh London, Soeharto diangkat sebagai wakil pimpinan, dan karena khawatir terhadap meningkatnya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa, dia secara diam-diam mulai menjalin kontak dengan “musuh”. Di sini Soeharto sudah cukup senior sehingga secara otomatis menjadi pengganti Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani jika dia sedang berada di luar negeri.

Sementara itu, polarisasi politik antara kanan dan kiri meningkat dengan cepat, seiring hiperinflasi menanamkan mentalitas siapa cepat dia selamat—yang masih bertahan sampai sekarang. Fakta bahwa pada saat itu Soeharto sudah menjadi pemimpin militer yang dipercaya (kontaknya yang bersifat rahasia dengan intelijen Malaysia dan secara tidak langsung CIA disembunyikan bahkan dari Yani) sekaligus tampak sebagai loyalis Sukarno menunjukkan kecenderungannya terhadap kerahasiaan dan manuver politik.

Tipu daya, pembantaian, kudeta

Krisis akhirnya meledak pada pagi hari 1 Oktober 1965, ketika sekelompok kecil perwira menengah menculik dan menghilangkan nyawa enam jenderal senior dengan tuduhan bahwa mereka berencana menggulingkan Presiden Sukarno. Sebagian besar perwira yang tidak puas ini punya hubungan pribadi lama dengan Soeharto, dan hampir bisa dipastikan mereka sudah memberi tahu dia tentang rencana tersebut. Tapi mereka tidak mau coba-coba menangkap Soeharto padahal ia mengontrol semua unit militer berpengalaman di Jakarta. Soeharto juga tidak menunjukkan upaya sedikit pun untuk memperingatkan Yani dan rekan-rekannya tentang apa yang sedang terjadi. Sebaliknya, Soeharto secepat kilat menumpas para pelaku dan dengan entengnya bilang bahwa mereka adalah kaki tangan PKI.

Hampir semua perwira yang terlibat dalam apa yang saat itu disebut sebagai “kudeta”—meskipun para pelakunya mengklaim bahwa mereka justru mau melindungi Sukarno dari kudeta militer yang didalangi CIA—dieksekusi, baik lewat vonis mati di pengadilan pura-pura maupun di luar hukum apa pun. Cuma satu yang nyaris selamat dari kediktatoran itu: Kolonel Abdul Latief. Dia diadili dan divonis penjara seumur hidup, mungkin lolos dari eksekusi karena sudah lama berhubungan dekat dengan keluarga Soeharto; mungkin juga karena campur tangan Tientje. Setelah dibui selama 32 tahun dan mengalami penderitaan yang tak dinyana (luka-lukanya waktu ditangkap dibiarkan membusuk sampai-sampai separuh tubuhnya dipenuhi belatung), Latief akhirnya dibebaskan oleh suksesor Soeharto, Habibie. Waktu itu Latief sudah menderita stroke akut. Sebagian besar omongannya sulit dipahami ketika saya mewawancarainya tak lama sebelum dia meninggal. Tapi, saat saya menanyakan perasaannya di malam 1 Oktober, ketika Suharto berhasil menumpas “kudeta”, dia bilang, dengan terbata-bata tapi jelas: “Saya merasa dikhianati.”

Setelah memberedel media massa kecuali yang sekadar menjadi penadah ludah militer, kelompok Soeharto menyebarkan foto-foto jasad membusuk para jenderal yang tewas, dengan memberikan bumbu narasi bombastis kalau mata dicungkil dan testis disayat menggunakan silet oleh anggota organisasi perempuan komunis, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebab mereka tergila-gila dengan seks (sekian tahun kemudian, secara tidak sengaja saya menemukan laporan otopsi resmi para dokter yang menyatakan bahwa para jenderal hanya mengalami luka tembak dan pukulan popor senapan; mata dan alat kelamin mereka tetap utuh). Dalam hitungan hari saja seluruh kantor organisasi komunis di Jakarta sudah diduduki atau dihancurkan. Pada 17 Oktober, pasukan elite Baret Merah (sekarang Komando Pasukan Khusus/Kopassus —penerjemah) menginjakkan kaki di Jawa Tengah dan memulai pembantaian massal terhadap pria dan wanita yang berhaluan kiri. Gelombang pembunuhan yang sama terjadi di Jawa Timur saat pasukan datang pertengahan November, dan di Bali pada tengah Desember.[1]

Dalam tiap-tiap kejadian itu militer selalu meminta bantuan dari “organisasi massa” yang memang musuh PKI. Strategi pembantaian yang melibatkan banyak warga sipil ini memiliki dua tujuan. Pertama, memungkinkan militer untuk mengumumkan, dan banyak jurnalis asing percaya, bahwa telah terjadi “amuk massa” dalam skala besar. Kedua, memastikan bahwa tidak akan pernah ada penyelidikan atas pembunuhan-pembunuhan tersebut sebab terlalu banyak sipil yang ikut berlumuran darah. Tidak ada yang benar-benar tahu berapa banyak orang yang dibunuh—angka yang beredar berkisar antara setengah sampai dua juta jiwa. Di ranjang kematiannya, Jenderal Sarwo Edhie (mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono —penerjemah) yang saat itu sudah tersingkir, yang memimpin Baret Merah pada 1965–1966, bahkan mengaku bertanggung jawab atas kematian tiga juta orang. Tak ada pula yang benar-benar tahu berapa banyak yang dipenjara bertahun-tahun tanpa proses pengadilan dan dalam kondisi paling menyedihkan, namun jumlahnya dipastikan melebihi setengah juta. Intelijen juga cukup lihai. Aparat membuat sejumlah komunis yang tertangkap, beberapa bahkan relatif senior, mengkhianati kamerad-kamerad mereka dan bahkan ikut serta dalam penyiksaan. Pada akhir tahun itu, PKI sudah sepenuhnya dihancurkan—selamanya, seperti yang mereka katakan.

Presiden Sukarno berupaya mati-matian menghentikan pembunuhan massal dan menghimpun kembali para pendukungnya. Tapi semua sia-sia. Dia sudah tidak lagi punya akses ke media massa. Malah, pada awal Maret 1966, pasukan parasut yang mengenakan baju sipil mengepung istana tempat sidang darurat kabinet berlangsung, menerobos paksa dan membubarkan rapat, lalu menangkap 15 menteri. Sukarno sendiri melarikan diri ke “istana musim panas”-nya di Bogor. Pada malam tanggal 11 Maret, tiga jenderal datang menemuinya di sana dan memaksa agar ia menandatangani sebuah dokumen tentang penyerahan seluruh kekuasaan eksekutif kepada Soeharto. Merasa berada dalam ancaman, Sukarno menandatangani dokumen tersebut. Surat inilah yang membuka kesempatan kepada Soeharto, yang sebelum itu kerap menampilkan diri sebagai orang yang setia kepada presiden, untuk mengambil alih kekuasaan pada tahun berikutnya. Dia bahkan membuat Sukarno menjadi tahanan rumah sampai meninggal pada 1970. Naskah asli surat yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu tidak pernah dilihat masyarakat, dan konon katanya raib. Bertahun-tahun kemudian, setelah Soeharto tumbang, seorang ajudan muda Sukarno yang bersamanya di malam itu mengatakan kepada pers bahwa dokumen tersebut diketik sembarangan di kertas milik Markas Besar Angkatan Darat.

Di momen ini Soeharto telah memperoleh kekuasaan penuh secara “legal”, tetapi dia terus memperdalamnya bertahun kemudian. Dia melakukan pembersihan besar-besaran seluruh institusi negara, termasuk Angkatan Bersenjata (ABRI), dari “komunis”, “simpatisan komunis”, sukarnois, dan elemen subversif lain. Di sini Soeharto punya kesempatan besar sekali, bahkan tidak ada satu pun penguasa di kepulauan ini yang pernah merasakan sebelumnya, untuk mengisi birokrasi, lembaga legislatif, sistem peradilan, serta berbagai perusahaan milik negara dengan pendukungnya sendiri, baik yang tulus maupun oportunis. Proses penempatan awal ini terus berlanjut secara sistematis: pada awal 1990-an, jumlah birokrat tercatat tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan 1970.

Dengan mempertimbangkan basa-basi protokol “komunitas internasional”, Soeharto tidak sepenuhnya menghapus sistem kepartaian. Tapi, seluruh partai Islam yang sebelumnya saling berebut massa dan pengaruh dipaksa melebur menjadi partai baru, Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai hasil kawin paksa ini dipimpin oleh oportunis licik yang direkrut oleh badan intelijen politik pribadi Soeharto, dibiayai (seikhlasnya) oleh rezim, serta dilarang mengusung simbol-simbol keagamaan ketika berkampanye. Hal serupa terjadi pada partai-partai lain yang masih diizinkan eksis. Partai-partai yang berafiliasi dengan komunitas Protestan, Katolik, serta nasionalis konservatif dan sekuler digabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Seperti PPP, partai ini juga didanai oleh rezim dan dipimpin oleh orang yang dipilih intelijen. Di kondisi ini rezim sama sekali tidak kesulitan untuk menjadi mayoritas, mendapat dua pertiga suara dalam setiap “pemilu” yang diadakan hingga kejatuhan sang diktator. Selain dua partai lain hanya formalitas, hal ini dimungkinkan berkat adanya partai negara (meskipun secara resmi tidak disebut “partai”), Golkar, yang anggotanya mencakup semua birokrat sipil, tentara, polisi, rupa-rupa “teknokrat”, serta jurnalis dan akademisi mata duitan.

Pembangunan?

Kesulitan yang dihadapi Soeharto ada di tempat lain. Di akhir Demokrasi Terpimpin (1959–1965), yang Sukarno sebut sebagai rezim revolusioner, kondisi ekonomi berada dalam kehancuran dengan tingkat inflasi yang menjulang. Namun, keberuntungan dan Washington bersama sang jenderal. Pada saat Perang Vietnam “berjalan sangat buruk” dan ribuan tentara Amerika bersiap melintasi Samudra Pasifik, Soeharto telah sepenuhnya menghancurkan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Cina. Atas hal ini elite politik Amerika menunjukkan rasa terima kasih mereka. Selain itu, Indonesia memiliki posisi strategis dan sumber daya baik mineral dan hutan yang melimpah; ketika itu ladang minyak baru mulai berbuah hasil. Soeharto paham betul apa yang mesti diperbuat: sistem hukum lekas dirombak demi membuka kembali akses investasi bagi modal Barat yang sebelumnya coba ditutup oleh Soekarno. Amerika Serikat merespons dengan mengumpulkan negara-negara Eropa Barat dan Jepang untuk membentuk Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), yang selama bertahun-tahun kemudian pada dasarnya membiayai sebagian besar anggaran pembangunan Indonesia.[2] Pembentukan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan naiknya harga minyak pada 1973 memberikan Soeharto kekayaan yang selama ini hanya jadi mimpi di siang bolong. Pada akhir 1960-an, pemerintah baik lewat militer maupun kroni pilihan mereka, juga perusahaan-perusahaan asing, memulai penghancuran sistematis hutan-hutan primer. Pihak yang paling diuntungkan dari semua ini tidak lain adalah sang diktator, yang secara umum diyakini punya kekayaan pribadi sekitar 73 miliar dolar AS di berbagai rekening pada pertengahan 1990-an.[3] Ini belum termasuk harta anak-anaknya yang serakah, kerabat dekat, serta kroni-kroninya.

Sepanjang 1970-an dan 1980-an, Soeharto mendapat banyak pengakuan dari Barat karena dianggap sungguh-sungguh menjalankan proyek modernisasi ekonomi. Dia mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat, menerapkan Revolusi Hijau di perdesaan, menekan laju pertumbuhan penduduk, juga memperluas “kelas menengah” yang sering diyakini sebagai penanda awal lahirnya demokrasi sejati. Klaim-klaim ini memang tidak sepenuhnya keliru, namun perlu dilihat secara komparatif, terutama jika kita mengingat besarnya subsidi yang diberikan oleh IGGI selama dua dekade. Perbandingan yang paling jelas adalah dengan dua negara tetangga, Malaysia dan Filipina. Dari sisi kesehatan, ketiganya memiliki harapan hidup yang relatif setara (laki-laki akhir 60-an tahun, perempuan awal 70-an) pada awal abad ke-21. Tapi terlihat perbedaan yang cukup mencolok dalam soal angka kematian bayi: Indonesia mencatat 33 kematian per 1.000 kelahiran hidup, sementara Filipina sekitar 23 dan Malaysia hanya 17. Di sisi lain, berkat kebijakan pengendalian penduduk yang sangat invasif dan koersif, tingkat pertumbuhan penduduk alami di Indonesia hanya 1,38 persen, sementara Malaysia 1,78 persen dan Filipina 1,95 persen. Tingkat melek huruf di ketiga negara ini sekitar 90 persen.

Perbedaan paling mencolok ada di sektor ekonomi. Jika tenaga kerja dibagi ke dalam tiga sektor, pertanian, industri, dan jasa, maka perbandingannya kira-kira seperti ini: Malaysia, 14,5 persen bekerja di sektor pertanian, 36 persen di industri, dan 49,5 persen di sektor jasa; Filipina, 36 persen, 16 persen, dan 48 persen; sementara 46,5 persen tenaga kerja Indonesia di sektor pertanian, hanya 11,8 persen di industri, dan 41,7 persen di jasa. Sementara PDB per kapitalnya: sekitar 12.100 dolar AS di Malaysia, 5.100 dolar AS di Filipina, dan hanya 3.600 dolar AS di Indonesia. Tapi angka-angka itu pun tidak mewakili kenyataan. Faktanya, mempertimbangkan kesenjangan sangat lebar khususnya di Filipina dan Indonesia, “produk” tahunan riil yang dinikmati sebagian besar penduduk jauh lebih rendah daripada yang ditunjukkan oleh statistik resmi. Yang paling mencolok dalam konteks yang lebih luas adalah ini: hampir semua negara yang mata uangnya sempat terjungkal dalam Krisis Asia 1997–1998 kini telah berhasil kembali ke posisi lama mereka terhadap dolar. Pengecualian terbesarnya adalah Indonesia. Nilai tukarnya saat “jatuh” tak pernah pulih seperti sedia kala.

Neraka di Timor Timur

Cengkeraman kekuasaan Soeharto juga mulai melemah di bidang lain, dan yang paling penting di antara semua itu adalah perkara “keamanan dalam negeri”. Kasus Timor Timur adalah contoh paling utama. Ketika diktator Portugis akhirnya tumbang pada April 1974, Soeharto dibuat yakin kalau para agen intelijennya mampu memanipulasi politik internal wilayah yang tengah mengalami dekolonisasi itu sehingga dapat mencegah partai “komunis” Fretilin naik ke tampuk kekuasaan. Tapi perjudian itu gagal. Setelah perang saudara yang meski singkat namun berdarah-darah, Fretilin berhasil mengambil alih kekuasaan lalu bergegas mendahului Jakarta dengan mendeklarasikan bekas jajahan itu sebagai negara merdeka. Perang itu sendiri dipicu Indonesia. Setelah sempat ragu-ragu, Soeharto, yang sedang jaya-jayanya karena uang hasil minyak bumi, memutuskan melakukan invasi militer lalu menganeksasi wilayah itu. Semua sinyal dari Amerika bersifat positif. Presiden Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger bahkan bertandang ke Jakarta malam sebelum serangan dimulai. “Lakukan saja, asal cepat,” demikian kabarnya titah Kissinger kepada Soeharto. Sebagian besar, bahkan hampir semua, senjata yang dipakai dalam invasi itu buatan Amerika. Tapi Washington memalingkan muka, pura-pura buta terhadap pelanggaran perjanjian persenjataan antara kedua negara yang secara eksplisit melarang penggunaannya untuk operasi di luar negeri. Paman Sam punya alasan lain bersikap lunak, selain karena yang dilawan adalah komunis: lewat perjanjian rahasia, Soeharto memberi izin kapal selam nuklir Amerika melintasi Selat Timor tanpa harus muncul ke permukaan. Pertama itu melanggar hukum internasional, kedua mereka dapat lolos dari pengawasan satelit Soviet. Beberapa pekan sebelum invasi, tim intelijen militer dan sipil Indonesia mendatangi Amerika untuk keperluan tur propaganda. Mereka mampir ke Universitas Cornell. Di sana saya bertanya kepada salah satu dari mereka perkara aneksasi. Dia menjawab dengan santai: “Jangan khawatir, ini akan berakhir dalam beberapa minggu saja.”

Invasi pertama berujung bencana. Di beberapa titik, pesawat-pesawat tempur Indonesia malah menjatuhkan bom ke pasukan mereka sendiri. Dua tahun kemudian, Fretilin masih menguasai lebih dari setengah wilayah. Jimmy Carter, Presiden Amerika yang dikenal menjunjung tinggi “hak asasi manusia”, diam-diam menghadiahi Soeharto OV-10 Bronco, pesawat tempur yang sering dipakai dalam Perang Vietnam. Sejak itu keadaan mulai berbalik. Ribuan orang Timor melarikan diri ke dataran rendah yang dikuasai Indonesia. Di sana mereka ditempatkan di “kamp-kamp pemukiman”. Banyak di antaranya malah meninggal karena kelaparan dan penyakit di tempat baru. Tapi para pejuang tidak menyerah. Pelan-pelan kekuatan mereka kembali dan mulai membangun jaringan bawah tanah di dataran rendah.

Soeharto menjajal semua cara yang bisa dia pikirkan, tapi tidak ada yang benar-benar berhasil. Tanah di Timor Timur tandus dan gersang, tidak punya sumber daya mineral, dan hampir tidak ada hutan. Penduduknya miskin dan sebagian besar buta huruf. Para guru benci jika ditempatkan di sana, begitu pula para birokrat. Upaya untuk menempatkan para transmigran dari pulau lain gagal karena ditolak oleh penduduk lokal dan sabotase yang terjadi secara berkala. Satu-satunya komoditas berkualitas ekspor dari wilayah itu, kopi, dimonopoli oleh militer. Masalah yang lebih mendasar adalah bahwa di Timor Timur, orang-orang Indonesia, sering kali cuma setengah sadar, berada dalam posisi sebagai penjajah. Maka tidak heran yang muncul adalah keluhan-keluhan khas kolonialis: bahwa orang Timor Timur “tidak tahu berterima kasih”. Bahasa seperti ini jelas tabu diucapkan di wilayah lain. Selain itu, Timor Timur juga sulit dimasukkan ke dalam narasi standar ideologi nasionalisme yang dicekokkan di sekolah-sekolah, yakni bahwa “Indonesia berjuang berabad-abad lamanya melawan penjajah Belanda”. Lebih rumit lagi, 90 persen penduduk Timor Timur beragama Katolik sementara mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam. Hal yang semakin menjengkelkan dari kacamata Indonesia, Vatikan menolak untuk melebur para imam Timor Timur ke dalam hierarki gereja Katolik Indonesia yang penurut dan sering kali pengecut.

Ada satu lagi faktor yang secara umum belum banyak mendapat perhatian luas. Hampir semua serdadu pada masa revolusi 1945-1947 baru berusia dua puluhan. Karena jumlah mereka amat banyak dan usia pun masih muda, akademi militer baru dibuka pada 1957. Angkatan pertama lulus pada 1960. Mereka itu masih bocah saat masa perjuangan melawan Belanda. Sementara ketika pembantaian terhadap kelompok kiri terjadi di pertengahan 1960-an, mereka masih terlalu “hijau” dan belum punya peran berarti. Timor Timur, pengalaman perang pertama mereka, terjadi 10 tahun kemudian saat sudah berusia 30-an. Karena invasi ini dijustifikasi sebagai perlawanan terhadap komunisme, cara-cara yang diajarkan kepada mereka pun sama seperti pembantaian 1965-1966: tanpa ampun, menyiksa, membumihanguskan desa, memerkosa, menjalankan operasi intelijen sekadarnya, dan yang paling terkenal: mengorganisir dan mendanai milisi pro-militer dari kalangan miskin setempat. Kelompok ini kemudian terbiasa menggunakan cara-cara yang bahkan kadang membuat para perwira bergidik. Markas Besar Angkatan Darat mempersiapkan buku petunjuk teknik penyiksaan yang efektif, juga bagaimana cara menghindari agar tidak ketahuan saat melakukannya. Salah satu komandan muda yang paling terkenal, yang berhasil menangkap dan membunuh Nicolau Lobato, panglima militer pertama Fretilin, merekam dirinya berdiri menggunakan sepatu bot di atas mayat musuh. Kepada wartawan yang sesekali datang, dia mengatakan membunuh rasa bosan di malam hari dengan memutar ulang rekaman video itu.

Dalam rangka merespons demonstrasi yang kian berani dari para pemuda di Dili, ibu kota Timor Timur, pada November 1991 Jakarta melakukan pembantaian yang sangat brutal sekaligus goblok. Sialnya bagi Soeharto, ada seorang jurnalis muda pemberani asal Inggris bernama Max Stahl berhasil merekam penyembelihan itu dan menyelundupkan videonya ke luar negeri. Peredaran film itu secara global seketika membantah klaim rezim Soeharto kepada “masyarakat internasional” bahwa persoalan Timor Timur sudah “selesai”, sekaligus juga menyulut api kepada gerakan perlawanan. Penangkapan Xanana Gusmão, penerus Lobato yang heroik, tidak bisa lagi diakhiri seperti cara sebelumnya. Xanana dipenjara di Jakarta. Dia tidak kehilangan wibawanya dan justru jadi pahlawan bahkan bagi sebagian anak muda Indonesia yang memilih melawan pemerintah dan kerap berkelakar: “Coba saja presiden kita Xanana.”

Metode dan kegagalan yang sama juga dialami rezim saat menindas orang-orang Aceh dan Papua Barat. Aceh pernah jadi provinsi yang tenang dan makmur pada 1970-an dan awal 1980-an, tapi penemuan ladang gas alam yang sangat besar mengubah semua. Kawasan-kawasan eksploitasi dibentuk, dijaga ketat aparat dan disesaki para pekerja dan manajer yang didatangkan dari daerah lain. Aturan militer ditegakkan. Perlawanan bersenjata pun muncul. Jakarta tentu saja menghadapinya dengan metode ala Timor Timur. Hasil akhirnya adalah jalan buntu yang mahal harganya. Baik militer maupun gerakan perlawanan tidak punya kekuatan untuk benar-benar mengklaim kemenangan mutlak. Ternyata beberapa komandan gerakan perlawanan Aceh pernah mendapatkan pelatihan Baret Merah Kopassus. Kurang lebih hal serupa terjadi di Papua Barat. Pengusaha kayu kroni rezim dan konglomerat tambang asal Barat mengeruk kekayaan alam di daerah terlarang yang luas, sementara sekelompok kecil warga lokal bersenjata terus melawan sepanjang era kediktatoran.

Dalam jangka panjang, serangkaian upaya penaklukan ini merusak martabat dan kepercayaan diri para pemimpin militer generasi baru. Tidak ada satu pun dari mereka yang mampu tampil sebagai jagoan sebagaimana para tokoh dari generasi sebelumnya. Krisis Asia 1997 juga menunjukkan betapa institusi ini secara keseluruhan tak lagi kokoh. Surat kabar militer, yang tidak ada satu pun mau baca kecuali tentara sendiri (itu pun sukarela) dan sangat bergantung dari subsidi, terpaksa ditutup dan tidak pernah terbit lagi. Setelah Soeharto lengser keprabon, koran-koran menurunkan laporan tentang kepala intelijen militer tengah diinvestigasi karena memalsukan uang dalam jumlah besar. Ketika wartawan meminta konfirmasi, sang jenderal memberikan jawaban menarik: “Begini, saya bisa apa? Anggaran kami dikebiri habis-habisan dan pimpinan tidak mampu lagi memberi uang. Ada banyak milisi di Timor Timur yang sudah lama tidak dibayar dan mereka marah betul.” Orang ini kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Darat meski dalam waktu cukup singkat.

Bapak Pembangkrutan

Rahasia dapur seorang presiden—kegagalan di bidang keamanan, industrialisasi, keuangan, moral, politik bahkan sebagai bapak (semua anaknya seperti monster atau medioker)—terkuak selapis demi selapis. Tapi ironi dari kisah Soeharto adalah dia bukan tumbang karena itu semua, melainkan justru dari kekuatan yang memungkinkan dia berkuasa sebagai diktator sekian lama. Pada awal 1990-an, Soeharto dibujuk Washington untuk “membuka” Indonesia terhadap arus modal global. Dia setuju dan uang asing lekas mengalir deras ke banyak bank baru yang mencurigakan, yang didirikan untuk sekadar mencicipi keuntungan besar yang tiba-tiba ini. Saat itu masa kejayaan Soeharto tinggal sisa-sisa. Indonesia sudah menjadi pengimpor minyak dan hutan-hutan telah lama gundul. Perkembangan industri lokal lemah dan sistem pendidikan sudah lama membusuk. Ketika Krisis Asia meledak, Indonesia-lah yang bonyoknya paling parah. Dalam hitungan minggu saja, rupiah terjun bebas hingga kehilangan empat perlima dari nilainya. Puluhan bank bangkrut. Jutaan orang kehilangan pekerjaan. Utang negara meroket. Julukan Bapak Pembangunan yang datang dari para penjilatnya berubah. Mulai 1998 Soeharto dijuluki sebagai Bapak Pembangkrutan. Tidak ada yang lebih kejam menggambarkan kekalahan Soeharto selain fotonya yang tampak lelah menandatangani sebuah dokumen dengan bos IMF berdiri di belakangnya mengamati dengan posisi bersedekap.

Apa yang harus Soeharto lakukan? Pemikiran yang pada akhirnya mendorong Soeharto untuk mundur pada tahun 1998 dapat dirumuskan dalam dua cara yang sangat berbeda. Pertama adalah pendekatan kultural. Soeharto itu, tidak seperti Sukarno, tidak punya bakat sama sekali menjadi orator. Pidato-pidatonya hampir selalu membosankan, penuh dengan data dan statistik, klise, dan dengan bahasa yang birokratis. Jika itu masih kurang, pidato-pidatonya bahkan bukan dia sendiri yang buat, melainkan Sekretaris Negara. Seperti dicatat oleh John Roosa, selama tiga puluh tahun lebih berkuasa, tidak ada satu pun ungkapan khas Soeharto yang diingat publik. Malah mungkin juga dia tidak berpikir dalam bahasa Indonesia—bahasa yang baru dia pelajari di akhir masa remajanya. Beberapa orang cukup berani mencemooh bahasa Indonesianya yang kental dengan aksen Jawa, memakai struktur gramatikal Jawa, dan mengucapkan petuah-petuah klise khas budaya Jawa. Tapi sesekali Soeharto lengah, terutama waktu marah. Suatu ketika, Soeharto mengatakan dia tidak segan-segan “menggebuk” siapa saja yang berani mengkritik istrinya. Dia melontarkan ancaman ini setelah para mahasiswa memprotes salah satu “proyek” Tien Soeharto yang paling melewati batas wajar. Gebuk berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘menghajar orang habis-habisan’. Dalam kesempatan lain, ketika berbicara secara tertutup kepada anak-anak muda penjilat yang menjalankan organisasi kepemudaan nasional, sebagian besar dari mereka bukan berasal dari Jawa, Soeharto menjelaskan panjang lebar tentang makna mistis huruf-huruf di aksara Jawa (Sekretaris Negara memastikan kalau omon-omon ngawur ini tidak pernah dipublikasikan). Menjelang akhir masa kekuasaannya, Soeharto tergoda untuk membuat autobiografi. Seorang jurnalis kawakan menjadi penulis bayangannya. Apa yang muncul di tiap-tiap halaman buku itu adalah ujaran kebencian—kebencian terhadap mereka yang menganggap dirinya bodoh, tak berpendidikan, percaya mistis, dimanipulasi oleh orang-orang di sekelilingnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Tema sentral dari buku itu adalah “saya, dan hanya saya, yang memutuskan segala-galanya”. Namun, justru karena itulah dia mengaku bahwa pada tahun 1983 secara pribadi memang memerintahkan eksekusi terhadap ribuan preman kelas teri.[4] Tidak lama setelah terbit, Soeharto berubah pikiran dan memerintahkan agar semua buku ditarik dari peredaran. Diktator yang melarang peredaran bukunya sendiri jelas merupakan peristiwa langka.

Soeharto itu sosok yang sangat Jawa, tercermin dari caranya berpikir dan bertindak. Dia diam-diam kerap berkonsultasi dengan para dukun dan tukang ramal, juga mendatangi gua, kuburan, dan tempat-tempat sejenis yang diyakini punya kekuatan gaib. Pada akhir 1997, ketika krisis moneter kian parah, Soeharto memberikan sinyal kepada media bahwa dia siap untuk lengser keprabon dan menjadi pandito. Dua istilah itu semacam klise yang diambil dari riwayat kuno para raja Jawa dan kisah wayang dari epos Mahabharata dan Ramayana. Lengser keprabon bisa diterjemahkan sebagai ‘turun takhta’, sementara pandito dapat disetarakan dengan ‘petapa’, ‘resi’, ‘orang suci’, dan sejenisnya. Kelompok oposisi yang berisi anak-anak muda menilai pernyataan tersebut sekadar bualan; mereka sama sekali tidak percaya. Tapi mungkin sebenarnya Soeharto benar-benar berniat mundur saat itu. Selain itu, pernyataan itu juga secara tidak langsung mengonfirmasi sesuatu yang sudah lama jadi dugaan banyak orang: bahwa Soeharto memang melihat dirinya sendiri sebagai raja, dan mungkin benar-benar berharap dapat berperan sebagai orang bijak pemberi petuah di era baru.

Menghitung Suksesi

Alasan kedua mengapa Soeharto memutuskan pensiun sebenarnya tidak lain bersifat politis dan dengan sedikit rasa marah. Soeharto hendak menunjukkan kepada “mereka” apa yang akan terjadi jika dia tidak ada di pucuk piramida kekuasaan. Terpilih kembali sebagai presiden untuk kali terakhir—dengan suara bulat seperti biasa—pada Maret 1998, Soeharto memilih Habibie, seorang insinyur dirgantara, sebagai wakilnya.[5] Ini adalah langkah baru dan mengejutkan sebab selama dua dekade terakhir dia selalu memilih pensiunan jenderal yang dianggap jinak untuk mengisi jabatan itu. Habibie, pria asal Sulawesi, sering dipandang sebagai sosok ramah yang banyak omong. Dia juga dikenal sebagai orang yang mampu membujuk sang diktator untuk menggelontorkan uang tak berseri demi membangun industri penerbangan sebagaimana Messerschmitt, perusahaan asal Jerman tempatnya pernah bekerja selama bertahun-tahun. Tapi Amerika Serikat yang diwakili Boeing selalu menjegal proyek itu dengan membuat pesawat yang dibikin tidak pernah memenuhi “standar internasional”. Proyek tersebut akhirnya hancur berantakan akibat krisis ekonomi.

Pengangkatan Habibie punya maksud lain. Pada akhir 1980-an sampai 1990-an, Soeharto semakin merasa bahwa angkatan bersenjata tidak dapat lagi sepenuhnya dia kontrol. Soeharto kemudian mulai memanipulasi pengangkatan pejabat tinggi militer. Pertama-tama saudara laki-laki Tientje yang tidak punya reputasi, kemudian menantunya (Prabowo Subianto —penerjemah) yang tidak stabil dan berotak fasis, lalu para mantan ajudan pribadi yang oleh kalangan tentara sering diolok-olok dengan sebutan prawira piningit. Prawira dapat diartikan sebagai ‘perwira’, sementara piningit merujuk pada tradisi feodal-aristokrat yang mengasingkan anak gadis setelah mendapat haid pertama sampai menikah. ‘Pingit’ dalam bahasa Indonesia. Jadi kira-kira maksudnya mereka adalah perwira minim bahkan tidak punya pengalaman.

Soeharto juga memikirkan bagaimana cara menciptakan penyeimbang politik terhadap generasi di bawahnya, yaitu para perwira senior yang masih aktif. Solusinya sama sekali tidak biasa. Perlu ditekankan terlebih dulu bahwa Soeharto memusuhi Islam politik di sepanjang masa kekuasaannya sebagai diktator. Setidaknya itu yang terlihat. Namun, pada 1970-an, kepala intelijen politiknya Ali Murtopo malah membentuk Komando Jihad yang sebagian rekrutannya adalah bekas narapidana putus asa yang dihukum karena terlibat dalam gerakan pemberontakan negara Islam yang gagal tahun 1950-an dan awal 1960-an. Beberapa prajurit bayaran ini pernah melancarkan aksi pengeboman amatir di Candi Borobudur, stupa Buddha terkenal dari abad ke-9 yang terletak di Jawa Tengah. Rezim ini ternyata merasa diuntungkan dengan keberadaan “teroris Islam” yang secara rahasia ada dalam daftar pihak-pihak yang harus mereka gaji. Lalu, tiba-tiba saja, di masa tua, Soeharto memboyong keluarganya menunaikan ibadah haji. Seluruh prosesnya dipublikasikan secara luas. Saat kembali dari Mekah, Soeharto bukan cuma mendapat gelar “haji” tapi juga nama depan hasil mengarang bebas: Muhammad!

Setelah itu, Soeharto memerintahkan Habibie membentuk organisasi baru yang kemudian dikenal dengan nama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Si tukang insinyur belajar cepat. Sebelumnya dia sempat membikin terkejut muslim Indonesia di Amerika dengan mengatakan bahwa nabi itu seperti televisi, sebab mereka menyiarkan program-program Allah untuk para pemirsa. Para intelektual muslim, yang sejak bertahun-tahun dikucilkan dari kekuasaan, berbondong-bondong merapat dengan kepentingan masing-masing yang entah apa. Soeharto mungkin berharap bisa memanfaatkan mereka, tapi mereka pun mungkin berpikir yang sama—ditambah, mereka lebih muda. Ketika kediktatoran Soeharto runtuh, ICMI, yang basis sosial dan agamanya tidak jelas, pun mengalami hal serupa. Mereka hilang begitu saja seperti kepulan asap di udara.

Hitung-hitungan Soeharto, meskipun Habibie akan mendapat dukungan luas dari kaum muslim sehingga dapat sedikit menyaingi militer, dia tetap terlalu lemah sehingga tetap akan meminta petunjuk dan bantuan. Tapi Soeharto keliru sampai-sampai sangat kecewa. Habibie, sosok yang ramah dan cerewet, serta sadar betul betapa besarnya kebencian orang-orang terhadap Soeharto setelah dia tumbang, ternyata memilih jalannya sendiri. Kabarnya karena soal ini Soeharto tidak lagi sudi bicara dengannya. Habibie membebaskan hampir semua tahanan politik yang masih hidup (termasuk Kolonel Abdul Latief) dan mengakhiri hampir seluruh penyensoran terhadap media massa. Dari sinilah muncul gelombang kecaman terhadap sang pandita, termasuk suara-suara agar dia diadili atas semua kejahatannya. Muncul pula dorongan kuat untuk menyelenggarakan “reformasi total” atas sistem politik. Habibie juga mulai menyusun pemilu bebas yang terakhir kali diselenggarakan pada 1955. Apa yang lebih mengejutkan lagi adalah dia setuju menyelenggarakan referendum di Timor Timur dengan pengawasan dari PBB. Tentara awalnya marah besar, namun kemudian menjelaskan kepada Habibie bahwa dengan bantuan milisi brutal yang telah dipelihara sejak lama, mereka bisa menjamin bahwa penduduk di sana akan tetap memilih menjadi bagian dari Indonesia. Apa yang tidak mereka pertimbangkan adalah tipu daya Xanana. Dari dalam penjara, dia mengirim pesan agar seluruh rakyat Timor Timur mendukung mesin elektoral sang mantan diktator pada pemilu yang diselenggarakan pada Juni 1999. Sukses mesin pemilu itu di wilayah tersebut begitu besar sampai-sampai intelijen militer lengah; mereka marah sekaligus bingung ketika mayoritas penduduk memilih merdeka dalam referendum yang diselenggarakan dua bulan kemudian.

Masa kepresidenan Habibie memang singkat, tapi ada banyak sekali momen-momen bagus. Sayangnya, dia percaya bahwa semua itu akan memberinya “tiket” menjadi presiden berikutnya. Tapi justru yang dia dapatkan adalah popularitas yang kian merosot. Sejak saat itu pula Soeharto menghilang dari pandangan publik. Dia sukses menghindari tuntutan untuk diadili. Soeharto sepatutnya berterima kasih kepada para dokter yang melaporkan bahwa dia terlalu sakit, uzur, dan pikun untuk mampu menghadapi pengadilan. Para elite politik pun tidak begitu berhasrat mengejar Soeharto. Mereka pada dasarnya diciptakan Soeharto dan Soeharto tahu semua rahasia memalukan mereka.


Warisan, Peninggalan

Sejak akhir tahun 1980-an, saya sering bertanya kepada anak-anak muda Indonesia dan mahasiswa baru yang datang ke kampus Universitas Cornell tentang siapa tokoh yang masih hidup yang mereka kagumi. Mereka hampir selalu terlihat bingung, bahkan kadang sembari menggaruk-garuk kepala, seakan-akan itu pertanyaan konyol dan menggelikan. Ada yang menjawab bahwa tokoh yang mereka kagumi adalah seorang penyanyi folk yang lirik-liriknya banyak mengkritik keadaan. Satu dua orang lain menyebut Pramoedya Ananta Toer, penulis terbesar yang dimiliki Indonesia meskipun karya-karyanya dilarang selama Orde Baru.

Kalau saja pertanyaan yang sama diajukan pada tahun 1950-an, saya yakin jawabannya akan sangat berbeda. Pada masa itu “pahlawan” dari periode pergerakan nasional sampai revolusi banyak yang masih hidup dan aktif di ruang publik. Mereka tampak oleh masyarakat. Kontras ini menunjukkan salah satu warisan utama dari kediktatoran Soeharto yang berusia panjang: lahirnya generasi politikus penakut, korup, dan medioker. Sang tiran yang pendendam, gampang curiga, dan licik itu memastikan bahwa dia selalu ada di puncak rantai makanan; tidak membiarkan siapa pun menjadi pesaing yang mampu membangun basis sosial dan politik secara mandiri, tidak peduli apakah mereka sipil atau militer. Bahkan para menteri yang paling tunduk sekalipun merasa bahwa mereka terus diawasi. Ada satu anak menteri, yang sebenarnya ramah dan cerdas, sengaja menghindari saya selama tiga tahun pertama kuliah di Cornell atas perintah orang tuanya. Barulah pada tahun terakhir, setelah terbiasa dengan budaya kampus Amerika, pemuda ini tiba-tiba menjadi sangat bersahabat. Dia bercerita bahwa si ayah melarangnya membicarakan apa pun soal politik saat menelepon ke rumah, sebab yakin pembicaraannya disadap. Meski termasuk golongan terdidik, bocah ini ternyata hampir tidak tahu apa pun soal sejarah negaranya sendiri dan belum pernah membaca buku-buku penting tentang politik Indonesia.

Soeharto itu mampu membuat orang-orang takut kepadanya. Selain karena rekam jejaknya yang berdarah-darah, orang juga tidak berani karena sikapnya yang dingin, pendiam, dan tertutup, kecuali saat sedang marah, entah dibuat-buat atau sungguhan. Selain itu, dia juga mampu “membeli” kesetiaan banyak orang berkat beking internasional. Pada tahun-tahun awal Orde Baru, kelompok yang paling banyak diberikan keuntungan oleh Soeharto adalah para sejawat di militer. Kemudian, setelah 1973 atau saat terjadi bonanza minyak, para teknokrat yang terdiri dari ekonom dan insinyur dari berbagai bidang, mulai menjadi kelompok terkaya (selain etnis Tionghoa). Mereka diberi kekuasaan untuk mengendalikan kementerian-kementerian penting seperti minyak dan gas, industri dasar dan ringan, keuangan, perdagangan luar negeri, ketenagakerjaan, dan sebagainya. Mereka tidak memiliki basis politik sehingga selalu setia serta patuh. Di tahun-tahun akhir pemerintahannya, pihak yang paling banyak mendapat berkah melimpah adalah kalangan muslim terutama para teknokrat dan intelektualnya (sering kali keturunan Arab).

Soeharto, selama masa kekuasaannya, telah menciptakan satu generasi dan politikus yang tumbuh dengan menyerap budaya otoriter, korup, dan penuh patronase. Soeharto senang membuat mereka berkelahi satu sama lain, tapi tidak akan membiarkan muncul retorika yang terlalu keras atau provokatif. Sengaja atau tidak, seiring berjalan waktu, dia akhirnya menciptakan oligarki nasional yang wajahnya seperti sekarang: kerap berselisih tapi saling terikat; kompetitif tapi menghindari konflik terlalu serius; juga miskin ide tapi bertekad mempertahankan apa yang sudah mereka punya dengan segala cara. Inilah alasan utama mengapa Soeharto tetap tidak tersentuh hukum setelah lengser, dan mengapa pula anak-anaknya, kecuali Tommy si pembunuh hakim agung, masih menguasai banyak stasiun televisi, jalan tol, dan aset strategis lain. Para oligarki dan orang-orang yang menggantungkan hidup dari mereka tidak mampu berpikir di luar yang diwariskan Orde Baru. Maka muncul lelucon sinis terhadap keadaan: Dulu hanya ada satu Soeharto besar; sekarang ada ratusan Soeharto kecil.

Bagaimana mungkin oligarki selamat menghadapi gelombang tuntutan reformasi yang muncul dalam protes besar akibat krisis keuangan pada tahun 1997? Salah satu penjelasannya adalah karena para pemilih Indonesia itu sangat terfragmentasi, sebagaimana juga tampak pada pemilu pertama tahun 1955. Partai yang keluar sebagai pemenang di Pemilu 1999 adalah partai “nasionalis sekuler” yang dipimpin oleh Megawati, anak perempuan Sukarno yang pemalas. Meski jadi nomor satu, mereka bahkan tidak berhasil mendapat sepertiga dari total suara, lalu kehilangan dukungan para pemilu berikutnya. Sejak saat itu semua pemerintahan tidak bisa tidak merupakan koalisi partai-partai.

Kedua, berdasarkan aturan konstitusional yang diwarisi dari era Soeharto, presiden belum dipilih langsung oleh rakyat (hingga 2004) melainkan ditetapkan oleh MPR yang didominasi oleh partai-partai politik. Setelah Pemilu 1999, ketika gelombang pasang reformasi masih kuat, MPR memilih Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden meskipun partainya hanya meraih sekitar 10 persen suara. Megawati sendiri dipilih sebagai wakil. Salah satu alasan mengapa Gus Dur dipilih adalah karena dia populer di kalangan reformis. Selain itu, dan alasan ini lebih penting, adalah fakta bahwa dia dianggap terlalu lemah sampai-sampai tidak mampu menolak desakan dari berbagai partai dan militer yang mau menempatkan orang-orang mereka di dalam kabinet. Gus Dur merasa dipermalukan. Maka ia pun mencoba lepas diri dari tekanan tersebut lewat sejumlah manuver mencolok, dari mulai ikut campur dalam urusan internal tentara, merombak kabinet secara drastis, dan hal-hal lain. Gus Dur hanya menjabat selama satu setengah tahun, setelah semua partai kecuali partainya sendiri sepakat untuk memakzulkannya. Megawati yang menggantikan Gus Dur berjanji membentuk kabinet “pelangi”. Janji itu terpenuhi. Semua partai (jika turut menghitung seorang pembelot dari partai Gus Dur yang menjadi menteri pertahanan) kebagian jatah. Dengan ini, target oligarki sudah tercapai: terbentuknya parlemen tanpa oposisi, dan semua partai berbagai keuntungan dari kekuasaan. Anak perempuan Sukarno ini memang bukan sosok energik dilihat dari sisi mana pun, tapi tidak adanya inisiatif kreatif sepanjang tiga tahun masa pemerintahannya juga disebabkan oleh apa yang secara tepat digambarkan oleh Dan Slater sebagai kartelisasi sistem politik.[6]

Faktor ketiga adalah pandangan umum dari oligarki yang khawatir terhadap mobilisasi rakyat yang berada di luar kendali mereka. Mereka sepenuhnya menerima tatanan internasional neoliberal dan sama sekali tidak tertarik pada semua yang berbau kiri. Para pemimpin militer tidak sekadar menerima eksistensi para kartel, tapi juga merupakan pemain penting di dalamnya. Namun, seiring dengan menurunnya popularitas partai-partai politik, oligarki terpaksa mengubah metode pemilihan presiden untuk mengakomodasi sentimen pemilih. Demikianlah pada 2004 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang pensiunan Jenderal beretnis Jawa yang sederhana namun cerdas, anggota kunci oligarki yang bergerak di balik layar, juga menteri senior kabinet Megawati yang mengurusi keamanan dan pertahanan, menjadi presiden Indonesia pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun demikian, partai yang dia bentuk tidak mendapat hasil yang sama. Pada akhirnya SBY lebih banyak tunduk di hadapan logika kartel: bersikap pasif, secara sistematis mengakomodasi setiap kepentingan pihak-pihak yang mungkin jadi oposisi di parlemen, dan bagi-bagi kue kekuasaan. Kemungkinan besar dia tidak bakal terpilih lagi di 2009 (SBY terpilih lagi untuk periode kedua sampai 2014 —penerjemah), tapi siapa pun yang menggantikannya tidak akan banyak berbeda, kecuali ada pergolakan rakyat yang saat ini kelihatannya sudah dekat.

Ketika Soeharto akhirnya mati pada 27 Januari 2008, SBY-lah yang memimpin upacara pemakamannya. SBY, bersama anak-anak Soeharto yang menguasai banyak stasiun televisi, memastikan tidak ada siaran atau laporan “negatif” tentang sang jenderal, bahkan memerintahkan menaikkan bendera setengah tiang selama sepekan sebagai tanda duka. Untungnya, di banyak tempat, perintah tersebut ditanggapi dengan penolakan, sindiran, dan cemooh.

Jubah keimanan

Selain menciptakan generasi politikus yang payah, warisan penting lain dari pemerintahan Soeharto adalah perkara partai politik dan para pesaing mereka. Dia adalah orang yang membenci partai sebagaimana tentara pada umumnya. Dan seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, partai-partai yang masih diizinkan ada pun dia rusak dan dibuat impoten. Lebih dari itu, Soeharto menoleh pun tidak kepada partai-partai tersebut. Semenjak dari sananya sudah terpinggirkan, juga tidak mampu memengaruhi kebijakan, partai-partai yang sah secara hukum itu menjalankan roda organisasi yang penuh ketidakberdayaan tanpa mencoba menarik banyak dukungan politik atau menyalurkan protes sosial. Dalam kondisi ini, masyarakat lekas sadar bahwa satu-satunya institusi yang cenderung dihindari Soeharto untuk dikontrol maupun ditekan secara terbuka adalah organisasi keagamaan. Lagi pula, salah satu ideologi yang dipakai untuk melegitimasi pembantaian terhadap para komunis adalah perjuangan melawan ateisme. Adapun kepercayaan Soeharto sendiri adalah sinkretisme khas Jawa yang menggabungkan unsur-unsur Islam, Hindu-Buddha, serta animisme—soal ini biasanya dia tutup rapat-rapat dari hadapan publik.

Umat Katolik, meskipun merupakan kelompok minoritas, umumnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Hal ini merupakan warisan dari masa kolonial, ketika mereka mendapat perlakuan istimewa dari negara dan turut diuntungkan oleh aktivitas misionaris. Umat Katolik sering kali mendukung pemerintah, dengan harapan mendapat timbal balik berupa perlindungan dari apa yang mereka anggap sebagai fanatisme Islam. Sikap ini membuat mereka menjadi bagian penting dalam kampanye ideologis Soeharto yang menekankan “persatuan nasional”. Mereka juga mendapat dukungan kuat dari pusat-pusat kekuatan internasional seperti Roma, Eropa, dan terutama Amerika. Karena itu semua, komunitas Katolik tidak dianggap sebagai ancaman serius oleh penguasa. Mereka pun tidak dianggap masalah karena terkonsentrasi hanya di Jawa dan struktur kepemimpinan yang hierarkis membuat relatif mudah “dibeli” atau diintimidasi. Kelompok Protestan lain lagi ceritanya. Pada masa kolonial, misi penginjilan Protestan lebih banyak menjangkau komunitas minoritas di daerah terpencil atau dataran tinggi. Wilayah-wilayah ini kemudian terbagi lagi ke dalam berbagai denominasi, masing-masing didukung oleh lembaga atau gereja sponsor dari luar negeri yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu Protestanisme berkembang dengan ciri etnik yang kuat dan bahkan membentuk gereja-gereja yang secara kultural terikat pada kelompok tertentu seperti gereja Batak Toba, Batak Karo, Ambon, Toraja, dan seterusnya. Di masa Orde Baru, umat Katolik dan Protestan-lah yang paling ditoleransi oleh negara. Alasannya tidak lain bahwa mereka dianggap paling mudah diintimidasi; diarahkan sesuai kepentingan penguasa. Buktinya, koran dengan oplah terbesar di Jakarta selama era itu dimiliki oleh umat dua agama itu. Tapi, karena terlalu lembek, mereka tidak luput dari kritik publik. Kompas, surat kabar Katolik, misalnya, dijuluki secara satir sebagai Kempes. Sementara nama koran Protestan Sinar Harapan dipelesetkan menjadi Sirna Harapan.

Sementara terhadap mayoritas, muslim, Soeharto rasa-rasanya mengikuti resep dari Snouck Hurgronje, ahli studi Islam di masa kolonial Belanda yang pernah menyamar sebagai jemaah haji demi bisa masuk ke kota suci Mekah. Nasihat utamanya sederhana belaka: berikan semua yang mereka inginkan asal bukan urusan politik. Demikianlah mengapa sampai dekade 1990-an Soeharto dermawan betul secara rutin mengucurkan uang melimpah untuk membangun masjid-masjid modern bergaya Arab modern, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga amal, sampai subsidi untuk jemaah haji, dan pada saat yang sama secara brutal merepresi semua ekspresi Islam politik.

Siapa pun yang ingin mengunjungi Indonesia tapi enggan ke tempat-tempat tipikal para turis sebaiknya datang ke masjid tua nan indah di Surabaya yang didedikasikan untuk Sunan Ampel, salah satu dari sembilan wali penyebar Islam di Jawa. Masjid ini terletak di tengah-tengah kota tua, berdampingan dengan lingkungan komunitas Arab dan Tionghoa. Di sana para pengunjung akan menemukan sebuah imbauan untuk menjaga ketenangan para warga sekitar. Masjid ini, sependek yang saya tahu, adalah satu-satunya masjid besar di Indonesia yang masih mengumandangkan azan tanpa pengeras suara. Di tempat lain, dan ini juga merupakan warisan Soeharto, panggilan untuk salat dikumandangkan kuat-kuat menggunakan pengeras suara, bahkan tidak jarang itu bukan dari muazin melainkan rekaman kaset butut.

Lembaga-lembaga keagamaan relatif kebal dari upaya Soeharto untuk melakukan penyeragaman, dan hal ini ternyata menghasilkan efek samping yang tidak pernah dia sangka sebelumnya. Segala macam kepentingan politik, ekonomi, etnik, bahkan kriminal, yang dalam kondisi lain mungkin akan berafiliasi dengan partai politik, justru menempel di sekitar kelompok-kelompok keagamaan. Di akhir masa pemerintahannya, Soeharto menyaksikan fenomena yang tidak pernah dia bayangkan sebelum berkuasa: bramacorah dari kalangan Protestan, tukang palak dari komunitas Katolik, juga preman bayaran dari kelompok Islam. Setelah kejatuhan Soeharto, situasi ini pecah menjadi kenyataan yang berdarah-darah. Bandit-bandit berlatar Ambon-Protestan yang sudah sejak lama menguasai sebagian kawasan lokalisasi, bar, dan sarang perjudian di Jakarta diusir oleh gangster Islam yang dengan lantang mengaku membela agama dan menegakkan moral.[7] Ketika terpaksa kembali ke Ambon, orang-orang kalah ini meyakinkan hampir semua warga lokal yang seagama bahwa mereka merupakan korban dari agresi kelompok muslim.

Sementara itu, pengaruh gereja Protestan warisan zaman kolonial yang korup dan apolitis mulai terkikis oleh para misionaris evangelis fanatik asal Amerika dan Jerman. Mereka memang datang membawa bantuan dan layanan sosial yang sangat dibutuhkan masyarakat, tapi tanpa ragu menyebarkan doktrin provokatif bahwa Islam adalah agama setan. Pecahnya konflik agama di Maluku, wilayah yang sebelumnya tidak pernah mengenal kekerasan sektarian semacam itu, diawali oleh pembantaian satu kampung muslim oleh sekelompok Protestan. Tidak heran jika perkara ini sengaja diabaikan oleh media-media barat. Tidak mengherankan pula bahwa persekutuan jahat antara para preman dan Protestan fanatik ini mengundang gerombolan gangster dan muslim fanatik dari luar wilayah untuk “datang dan menyelamatkan” saudara seiman mereka. Polisi dan tentara, yang semestinya mencegah pertumpahan darah ini, justru juga terpecah belah karena alasan agama mereka masing-masing. Demikianlah perang saudara yang brutal meletus di Maluku, sebuah tragedi yang tidak ada satu pun mendapatkan untung kecuali para preman.

Senjata dan aset

Sampai detik-detik terakhir masa kekuasaannya, Soeharto tetap percaya bahwa satu-satunya lembaga yang mampu menjatuhkannya adalah Angkatan Darat. Pasca-pembantaian massal 1966-1967, dia sebenarnya sudah yakin terhadap dukungan dan loyalitas dari militer yang ketika itu sepenuhnya anti-komunis dan didominasi oleh para perwira yang seangkatan dengannya—para “veteran revolusi”. Namun, tetap saja Soeharto bermain aman dengan mengambil langkah tambahan. Paling mencolok adalah kebijakan anggaran yang nyaris tidak pernah cukup untuk membangun militer modern, terlebih lagi militer yang sekaligus menjalankan pemerintahan. (Dalam berbagai kesempatan sepanjang 1980-an dan 1990-an, beberapa jenderal bahkan terang-terangan mengaku kalau anggaran yang mereka dapat hanya cukup untuk sepertiga kebutuhan). Kebijakan ini, selain memastikan militer tidak terlalu besar sehingga tetap mampu dia kendalikan, juga memberi ilusi meyakinkan bagi para wartawan asing dan akademisi bahwa demokrasi yang mengutamakan supremasi sipil sudah di depan mata. Solusi keuangan ini cukup cerdik, dan jejaknya bisa ditelusuri kembali ke masa singkat setelah 1949 ketika Indonesia masih berbentuk demokrasi parlementer. Indonesia waktu itu masih sangat miskin setelah porak-poranda karena krisis ekonomi 1930, pendudukan Jepang, dan revolusi. Belum lagi kabinet yang silih berganti dan lemah terus-menerus didesak untuk melakukan kebijakan yang substansial. Dalam situasi itu, beberapa komandan militer di daerah-daerah yang dalam praktiknya merupakan panglima perang lokal mulai mencari uang sendiri dengan cara-cara ilegal, dari mulai melindungi penyelundup, mengontrol ekspor, dan melakukan pemerasan terutama para pengusaha Tionghoa—yang menerimanya dengan ikhlas sebab menganggap harga yang dibayar pantas dengan yang didapat. Sebelumnya saya sudah menyinggung bagaimana Soeharto juga mempraktikkan ini sejak pertengahan 1950-an.

Perubahan besar datang pada tahun 1957. Pemilu yang sangat bebas, jujur, dan adil tahun 1955 memperlihatkan bahwa tidak ada partai politik mana pun yang mampu meraih lebih dari seperempat suara rakyat. Sekitar 77 persen suara terkonsentrasi di empat partai besar, tiga di antaranya berbasis di Pulau Jawa yang padat penduduk. Tiga partai yang dimaksud adalah partai yang berideologi nasionalis sekuler, lalu partai muslim “tradisional”, dan partai komunis. Satu partai lain, yang berhaluan “Islam modern”, lebih banyak disukai pemilih di luar Jawa. Fakta bahwa dua partai Islam yang biasanya saling berseteru itu tidak sanggup menang bahkan jika misalnya suara mereka digabung di negara yang 90 persen penduduknya muslim menunjukkan kekhasan Indonesia dalam skena Islam kontemporer.

Jawa kuno adalah tempat bagi budaya campuran Hindu, Buddha Mahayana, dan kepercayaan lokal selama berabad-abad, jauh sebelum Islam datang secara damai pada pertengahan abad ke-15—delapan abad setelah sang Nabi dan para penerus awalnya mencatatkan kemenangan-kemenangan militer yang luar biasa di Timur Dekat dan sepanjang pesisir Mediterania. Hampir semua monumen megah yang sekarang mendatangkan banyak devisa wisata bagi Indonesia berasal dari zaman pra-Islam ini. Kedatangan Belanda di awal abad ke-17 juga menggagalkan kemungkinan transformasi Islam bergaya Arab secara menyeluruh. Maka, bahkan sampai sekarang, orang Jawa terbagi tiga: pertama muslim “modernis”, sebagian besar kaum urban, menolak mentah-mentah segala bentuk takhayul; lalu muslim “tradisionalis”, kebanyakan tinggal di desa, berpandangan nasionalis sekaligus masih percaya dengan warisan kepercayaan lama yang campur aduk; dan terakhir muslim “KTP”, mereka disunat, menikah, dan dikuburkan menurut syariat Islam tetapi sebenarnya masih sangat mempercayai ajaran-ajaran Jawa kuno. Pada Pemilu 1955, para nasionalis sekuler dan kaum komunis bersaing mendapatkan suara dari muslim “KTP”, sementara pemilih muslim aktif terbagi antara kaum tradisionalis dan modernis.

Kabinet yang terbentuk dari pemilu ini rapuh, lemah, dan gagal meredam kebangkitan para panglima perang di luar Jawa, yang makin hari makin menonjolkan identitas kedaerahan masing-masing. Di balik layar, CIA, yang khawatir karena ternyata kaum komunis mendapat banyak sekali suara dalam pemilu sekaligus gusar dengan retorika anti-imperialis dari Sukarno, sedang menantikan pemberontakan berskala besar yang mungkin mampu menyingkirkan sang presiden dan membuka jalan bagi rezim sayap kanan yang didukung Angkatan Darat. Pada Maret 1957, Indonesia resmi memberlakukan darurat militer. Beberapa bulan kemudian, upaya negosiasi antara pemerintah pusat dan oposisi dari luar Jawa yang menemui jalan buntu.

Pada saat yang sama, Sukarno, yang kian murka menghadapi kekeraskepalaan Belanda mempertahankan Irian Barat dengan dukungan Amerika, mengeluarkan dekrit nasionalisasi atau pengambilalihan seluruh perusahaan Belanda disertai pengusiran hampir semua warga negara mereka dari Indonesia. Angkatan Darat, berbekal kewenangan yang mereka miliki atas nama darurat perang, bergerak cepat merebut dan menguasai semua milik Belanda, dari mulai pabrik, bank, perusahaan ekspor-impor, tambang, pelayaran, dan perkebunan. Mereka juga melumpuhkan serikat-serikat buruh yang dekat dengan kaum komunis. Hanya dengan satu pukulan, Angkatan Darat berhasil merebut hampir seluruh sektor ekonomi “maju” di republik muda ini. Mereka kemudian memanfaatkan sumber daya tersebut, ditambah uluran bantuan yang tidak sedikit dari CIA, untuk mengobarkan perang saudara yang meletus pada awal 1958. Perusahaan-perusahaan yang diambil tentara tidak lantas berkembang, malah sebaliknya. Aset-aset rampasan itu antara dikelola dengan buruk atau dijarah habis-habisan. Hal ini pada akhirnya berkontribusi signifikan terhadap krisis ekonomi yang kelak menggoyahkan dan menghancurkan Demokrasi Terpimpin.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Soeharto punya sumber daya yang jauh lebih banyak untuk dibagi-bagi ketimbang pendahulunya. Kekuatan politik Angkatan Darat yang tiada tanding membantu dia membangun imperium ekonomi yang berada di luar anggaran negara resmi dan kerap dijalankan melalui hubungan patronase dengan para taipan Tionghoa favorit rezim. Namun, kerajaan ini tidak pernah benar-benar terpusat secara efektif. Struktur teritorial Angkatan Darat yang menjangkau hingga tingkat desa menciptakan mekanisme perampasan yang terdesentralisasi. Tiap jenjang membangun dan mengelola sumber dana sendiri. Lebih-lebih lagi, hampir semua perusahaan swasta besar dipaksa menerima kehadiran “satuan pengamanan” yang konon untuk memberikan perlindungan dari kerusuhan buruh yang hampir tidak ada, tetapi sebenarnya berperan sebagai tukang palak yang sistematis dan berlapis.

Namun semua itu bukanlah keseluruhan dari wajah Orde Baru. Selama dua dekade pertama pemerintahan Soeharto, perwira-perwira militer “diterjunkan” ke semua kementerian dan badan usaha milik negara. Jabatan-jabatan terpenting dalam birokrasi sipil di daerah juga diisi oleh jenderal dan kolonel. Angkatan bersenjata adalah faksi kuat di parlemen. Mereka terpilih bukan lewat pemilu melainkan ditunjuk langsung oleh Soeharto. Mereka juga mendominasi Golkar, partai negara yang selalu menang pemilu tanpa kesulitan berarti. Mungkin yang paling penting dari semuanya adalah bahwa para tentara ini berada di atas hukum. Tidak ada satu pun perwira senior yang pernah diadili karena korupsi atau penyalahgunaan wewenang, apalagi kasus pembunuhan.

Namun, seperti yang sudah kita bahas, pada pertengahan 1980-an sudah tidak ada lagi generasi veteran revolusi yang aktif. Mereka telah pensiun dan digantikan oleh para taruna jebolan Akademi Militer. Mereka memang mampu beradaptasi sepenuhnya dengan rezim, tapi gagal melahirkan satu pun momen “kejayaan”. Tidak ada satu pun jenderal generasi baru ini yang mampu menandingi wibawa dan kharisma para pendahulunya. Kemudian, setelah Soeharto jatuh dan Habibie mengakhiri sistem sensor ketat ala Orde Baru, halaman-halaman media massa dengan cepat dipenuhi oleh kisah-kisah mengerikan tentang kejahatan dan kebrutalan militer.

Gerakan anti-militer sempat cukup kuat sampai-sampai mampu menyingkirkan faksi militer di parlemen sekaligus mengembalikan sebagian besar birokrasi ke tangan sipil.[8] Namun warisan lain dari Soeharto tetap bertahan. Para tentara pada umumnya masih tidak tersentuh hukum, komando teritorial tidak dibubarkan, dan, setelah mengalami kerugian besar karena krisis finansial 1997, para serdadu justru kian mencengkeram erat sumber-sumber pendanaan yang mereka miliki di luar yang diberikan negara. Kendati demikian, wibawa Angkatan Darat yang merosot drastis, ditambah dengan kualitas kepemimpinan yang semakin medioker, tampaknya menutup kemungkinan kembalinya kekuasaan militer di masa depan.

Amnesia nasional

Mengingat warisan budaya rezim Soeharto merupakan perkara yang luas dan rumit, ada baiknya pembahasan berikutnya hanya fokus pada dua kebijakan yang paling krusial. Kebijakan pertama sekaligus paling penting adalah pengenalan sistem ejaan baru untuk bahasa nasional yang diresmikan pada tahun 1972-1973. Pernyataan resmi kebijakan ini dibuat sekadar untuk menciptakan pasar baru di bidang percetakan bersama Malaysia. Namun, motif sebenarnya adalah untuk menciptakan pemisahan yang tegas antara segala yang ditulis di masa kediktatoran dan seluruh khazanah cetak yang lahir sebelumnya. Cukup dengan melihat judul, seseorang sudah tahu apakah sebuah terbitan termasuk modern atau sisa-sisa masa lalu, baik era Soekarno, pemerintahan parlementer, zaman revolusi, sampai masa kolonial. Siapa pun yang terlihat tertarik dengan bahan-bahan ejaan lama akan langsung dicurigai. Perubahan ini sangat besar sampai-sampai anak-anak muda dapat dengan mudah diyakinkan bahwa semua bahan cetak “lama” terlalu sulit dipahami, dan oleh karena itu tidak perlu dipedulikan lagi.[9]

Hasil efektif dari kebijakan ini adalah sejenis penghapusan sejarah. Pengetahuan generasi muda terhadap sejarah bangsanya sebagian besar berasal dari publikasi resmi rezim, terutama buku-buku pelajaran. Sudah barang tentu dekade-dekade penuh pergolakan anti-kolonial melawan Belanda hampir sepenuhnya lenyap dari ingatan kolektif. Periode revolusi diganti namanya menjadi “Perang Kemerdekaan”, dan hanya tentara yang dinarasikan memiliki peran signifikan. Sementara periode pasca-revolusi, masa demokrasi parlementer, sekonyong-konyong dianggap sebagai ciptaan politikus sipil yang mencontek Barat sehingga tidak mencerminkan jati diri bangsa. Semua ini menghasilkan beberapa aspek yang menggelikan. Misalnya saja tentang pemberontakan komunis yang sangat berani tapi tanpa sedikit pun peluang menang melawan pemerintahan kolonial pada tahun 1926-1927. Peristiwa itu digambarkan sebagai awal dari rangkaian konspirasi pengkhianatan komunis yang berpuncak pada 1 Oktober 1965.

Selama satu dekade setelah Soeharto tumbang, beberapa buku pelajaran yang ditulis ulang memang sempat muncul, namun secara umum belum banyak yang berubah. Selain itu banyak pula buku yang dulu dilarang kini diterbitkan kembali, tapi pasarnya terbatas pada pelajar dan kaum intelektual. Ketidaktahuan publik terhadap sejarah nasional saat ini barangkali yang paling parah selama satu abad terakhir.

Kebijakan signifikan kedua adalah mengenai minoritas Tionghoa. Tidak lama setelah 1 Oktober, media pemerintah segera menyebarkan narasi bahwa aktor intelektual di balik “kudeta komunis” yang gagal ini telah menerima banyak senjata yang dikirim secara diam-diam dari Cina, dan bahwa Ketua PKI Aidit bertindak atas perintah langsung dari Beijing. Tuduhan ini disusul dengan pengusiran Kedutaan Besar Cina dan pembekuan hubungan diplomatik dengan mereka sampai 1990. Di era Sukarno, situasinya bertolak belakang. Dia menjalin hubungan hangat dengan Beijing. Selain itu, satu-satunya organisasi politik penting bagi minoritas Tionghoa, Baperki, adalah pendukung setia sang presiden. Baperki juga bersekutu dengan PKI dan kalangan nasionalis sekuler sayap kiri. Setelah 1 Oktober, Baperki dilarang, banyak pemimpinnya dipenjara, dan sejumlah besar warga Tionghoa juga jadi korban pembantaian.

Soeharto kemudian melarang sekolah-sekolah Tionghoa, aksara Cina dalam bentuk apa pun, dan menganjurkan bahkan cenderung mewajibkan penggantian nama-nama Tionghoa dengan nama yang terdengar lebih Indonesia. Seperti biasa, alasan resminya terdengar netral: agar warga Tionghoa bisa berasimilasi lebih baik. Kenyataannya, orang-orang Tionghoa hampir sepenuhnya tereksklusi dari politik. Diskriminasi merajalela dan sistematis di perguruan tinggi, birokrasi sipil, dan angkatan bersenjata. Selama 32 tahun masa kediktatoran, hanya satu orang Tionghoa yang pernah menjadi menteri, itu pun diangkat dua bulan sebelum Soeharto tumbang dan sudah lama dikenal sebagai kroni rezim.

Di sisi lain, untuk urusan ekonomi dan keuangan, Soeharto justru membuat dirinya dikelilingi oleh segelintir taipan Tionghoa yang, selain berperan sebagai bohir, juga membangun kerajaan bisnis yang sangat menguntungkan. (Beberapa dari mereka, yang peka membaca arah angin, mulai memindahkan aset ke Singapura, Hongkong, Australia, dan tempat lain beberapa tahun sebelum krisis 1997). Kebijakan semacam ini sepenuhnya sesuai dengan apa yang diyakini Soeharto, bahwa orang Tionghoa memang cerdik pandai tetapi kekayaan mereka tidak akan pernah bisa diubah menjadi kekuatan politik yang berbahaya. Ceritanya akan berbeda jika subjeknya adalah pribumi.

Di luar lingkar kroni, orang Tionghoa, yang karena tersingkir dari hampir semua pilihan selain menjadi tenaga medis dan praktisi hukum, banyak yang berkecimpung dan mencurahkan semua tenaga dan pikiran mereka di dunia perdagangan. Hal ini memperbesar kelompok kelas menengah yang sifat dasarnya jinak terhadap kekuasaan. Saking banyaknya yang berdagang sampai-sampai mereka sendiri pelan-pelan menginternalisasi stigma lama sebagai “makhluk ekonomi”. Meski begitu, tetap ada sejumlah pengecualian yang mencolok. Salah satunya adalah Soe Hok Gie, mahasiswa menonjol yang menentang PKI sekaligus pemerintahan populis-otoriter Sukarno. Dia adalah satu-satunya orang yang pada akhir 1960-an secara terbuka mengecam pembantaian massal 1965-1966. Kemudian ada Yap Thiam Hien, seorang pengacara Protestan yang terkenal sebab begitu berani membela hak-hak asasi manusia sehingga akhirnya menjadi ikon nasional. Lalu Dede Oetomo yang sepulang dari studi di Amerika secara terbuka dan berani menyatakan dirinya sebagai seorang gay. Selama lebih dari dua dekade, dia tanpa lelah bekerja membantu penderita HIV/AIDS dan memperjuangkan hak-hak sipil komunitas gay, lesbian, dan transeksual. Nama lain yang patut disebut adalah Riantiarno. Dia berani menulis dan mementaskan drama dan musikal yang bernuansa politik, dan biasanya cepat sekali dilarang. Meski banyak yang punya peran penting di masyarakat, kebijakan-kebijakan Soeharto justru membuat orang Tionghoa lebih rentan terhadap kecemburuan dan kebencian masyarakat. Bahkan jatuhnya Soeharto pun ditandai oleh gelombang kerusuhan anti-Tionghoa di Jakarta dan Surakarta.

Bagaimana setelah Soeharto? Secara politik, orang Tionghoa tidak memiliki kendaraan sendiri meskipun secara finansial mereka memainkan peran penting bagi semua partai besar saat ini. Sepengetahuan saya, hanya dua orang Tionghoa yang pernah menjabat di kabinet. Kwik Kian Gie, yang lebih menonjol, bahkan dengan cepat disingkirkan karena terlalu jujur dan kerap melayangkan kritik tajam terhadap korupsi secara umum, dan secara khusus terhadap sepak terjang kroni Tionghoa. Diskriminasi masih merajalela. Generasi muda Tionghoa bahkan lebih asing terhadap sejarah Indonesia dibanding rekan-rekan “pribumi” mereka. Banyak orang tua, yang masih menyimpan trauma mendalam karena pengalaman direpresi sepanjang Orde Baru, memilih mengirim anak-anak mereka ke luar negeri untuk belajar, sering kali dengan harapan mereka tidak usah kembali dan menetap di rantau. Namun, ada satu perkembangan yang menarik: dalam 10 tahun terakhir, ketika meletus berbagai kekerasan berbasis etnis dan agama di berbagai daerah, tidak ada satu pun kerusuhan besar anti-Tionghoa terjadi. Saya pikir penjelasan paling masuk akal walau ironis adalah bahwa komunitas Tionghoa, yang jumlahnya mungkin hanya satu persen dari populasi dan tersebar di seluruh kepulauan, terlalu kecil untuk dianggap penting dalam politik pemilu yang terbuka yang melibatkan konflik-konflik besar ini. Di masa Soeharto, yang begitu mengekang ruang publik, warga Tionghoa dilihat sebagai sasaran amarah yang paling mudah karena dianggap tidak membahayakan.

Anak-anak 1965

PKI sudah dihancurkan sampai ke akar-akarnya—baik secara fisik, politik, dan moral. Segelintir penyintas lanjut usia yang menghabiskan bertahun-tahun dalam penjara tidak pernah mencapai kesepakatan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada 1965 dan siapa yang patut diminta pertanggungjawaban. Tidak seorang pun, termasuk dari luar negeri, yang sungguh-sungguh mencoba menulis sejarah partai itu pasca-revolusi. Sampai saat ini, mantan anggota organisasi mana pun yang dahulu berada di bawah kendali partai, juga keluarga mereka, masih harus menanggung stigma. Sebagian besar dari mereka hidup berkalang kemiskinan sebab semua harta lenyap setelah 1965 dan setelah itu sulit mendapatkan kerja, juga didiskriminasi di lingkungan akademik, dijegal dari birokrasi, apalagi parlemen.

Sampai detik terakhir rezim Soeharto, militer dan intelijen terus saja membual, memberikan peringatan kepada masyarakat dengan istilah-istilah menakutkan, baik tentang “bahaya laten komunis” dan lebih khusus soal “organisasi tanpa bentuk” (OTB). Jenderal-jenderal sayap kanan itu, juga organisasi muslim “modernis”, terus saja mengoceh soal konspirasi kaum komunis. Mereka seperti sengaja hidup di masa lalu, tidak mau tahu kalau sekarang Uni Soviet serta rezim-rezim komunis lain di Eropa Timur sudah runtuh, dan Tiongkok justru sedang menikmati keberhasilan besar berkat “antek-antek kapitalis”. Tidak ada yang tahu kapan propaganda ini bakal diakhiri.

Meski demikian, ada beberapa hal menarik terjadi. Selama masa jabatannya yang singkat sebagai presiden, Gus Dur, pemimpin nyentrik nan karismatik dari kalangan muslim “tradisionalis”, secara terbuka dan lantang menyuarakan pentingnya rekonsiliasi ala Nelson Mandela dan mengakhiri stigmatisasi. Bahkan dia sempat meminta DPR untuk mencabut larangan konstitusional atas marxisme dan tulisan-tulisan marxis. Permintaan ini, tentu saja, digagalkan oleh barisan musuhnya yang banyak itu. Tapi peraturan tidak lagi ditegakkan secara sungguh-sungguh sebagaimana era Orde Baru. Di toko-toko buku, sekarang kita dapat dengan gampang menemukan aneka terbitan tentang marxisme, juga karya-karya para komunis yang sudah lama meninggal, termasuk Aidit yang dieksekusi 40 tahun lalu. Jatuhnya Soeharto telah membuka jalan bagi menjamurnya publikasi yang mengklaim—kadang dengan bukti, kadang sekadar berdasarkan desas-desus bahkan pertanda gaib—bahwa dalang sebenarnya peristiwa 1 Oktober adalah Soeharto sendiri. Buku-buku semacam ini beredar cukup bebas tanpa sensor.

Perkembangan yang paling mengejutkan justru muncul dari tempat yang tak disangka—di antara kaum intelektual muda dan aktivis sosial dari Islam “tradisional”, yang dalam banyak hal tampak jauh lebih modern ketimbang kaum “modernis”. Meneladani langkah Gus Dur, mereka mengunjungi dan membantu para komunis uzur yang papa dan keluarga mereka. Hal ini terjadi bahkan di pelosok-pelosok. Mereka mengatakan berbuat semacam ini sebagai penebusan dosa atas peran mencolok dan ganas para sesepuh dalam pembantaian tahun 1965. Belum lama ini, terselenggara sebuah pertemuan hangat antara perempuan Islam tradisionalis dan perempuan penyintas dari pihak komunis di bekas ibu kota republik, Yogyakarta. Para muslimat itu mendengarkan dengan penuh simpati ketika para lansia komunis berkisah tentang penderitaan mereka sejak 1965 dan setelahnya. Semua berjalan lancar sampai salah satu korban mulai menguraikan dengan rinci bagaimana dan di mana dia diperkosa dan disiksa. Setelah itu seorang perempuan muslim muda tiba-tiba berdiri, wajahnya pucat kesi, terbata-bata mengucapkan beberapa kata yang tidak bisa dipahami, lalu roboh pingsan. Belakangan baru diketahui bahwa berdasarkan cerita detail itu, si perempuan muda mengidentifikasi kalau pemerkosa dan algojo sadis tidak lain adalah bapaknya sendiri.

Boleh jadi, dan bahkan memang mungkin, Gus Dur, seorang politikus cerdik,  melakukan semua ini dengan niat terselubung untuk menggaet suara dari keluarga bekas organisasi komunis.[10] Dia tahu betul bahwa kaum muslim modernis dan sisa-sisa mesin pemilu Soeharto tidak punya minat untuk menggaet kelompok ini. Dia juga percaya kalau partai nasionalis sekuler yang baru bangkit kembali merasa tidak perlu mendekati para korban. Pemimpin partai, Megawati (kadang dijuluki “Miniwati”), anak perempuan Sukarno, secara sadar menanggalkan warisan ideologis bapaknya dan memperlihatkan watak konservatif borjuis kecil. Semua ini menunjukkan satu hal, bahwa tidak ada satu pun partai politik yang mewakili spektrum politik kiri. Kecil kemungkinan keadaan ini akan berubah dalam waktu dekat, terutama mengingat keadaan internasional saat ini.

Basis sosial lama partai komunis telah banyak berubah selama empat dekade terakhir. Para buruh pabrik kini hanya bekerja dengan kontrak jangka pendek. Dalam kondisi seperti ini, upaya pengorganisiran menjadi sulit dilakukan. Garis pemisah sosial lama yang hampir seperti agama tetap ada. Mentalitas korporatis masih dominan di jajaran birokrasi. Mungkin bukan kebetulan bahwa satu-satunya figur yang benar-benar dipandang sebagai pahlawan modern oleh para pekerja sekarang adalah seorang perempuan, aktivis serikat buruh pemberani dari Jawa Timur yang diperkosa dan dibunuh oleh aparat militer setempat karena melawan secara gigih dan vokal para majikan dan “satuan pengamanan” yang bekerja sama dengan mereka. Kaum tani masih ada, tetapi tekanan sosial, perampasan lahan, dan bujuk rayu media massa telah mendorong banyak dari mereka, terutama yang muda dan energik, mencari penghidupan baru di kota. Organisasi tani yang ada kecil dan lemah. Pada akhir masa Soeharto dan tahun-tahun pertama setelahnya, sempat muncul banyak LSM yang bersemangat dan idealis—dan sampai batas tertentu ditoleransi oleh penguasa karena ukuran dan pengaruh yang insignifikan. Kembalinya partai politik ke panggung kekuasaan dan keberhasilan penyelenggaraan serangkaian pemilu bebas sejak 1999 telah memikat banyak aktivis LSM untuk beralih profesi menjadi politikus. Sementara sebagian yang lain menggantungkan hidup pada “donatur”. Mereka mengikuti  dan melakukan saja apa yang diminta sponsor, umumnya dari Utara sehingga tidak paham konteks lokal, sehingga pada akhirnya tidak mampu melakukan kerja-kerja kreatif yang bermakna.

Ketenangan?

Pada tahun 2007, Indonesia sering disebut-sebut sebagai negara paling terbuka dan demokratis di Asia Tenggara. Masalahnya adalah keadaan negara-negara tetangga jauh lebih buruk; persaingannya sama sekali tidak ketat. Thailand berada di bawah kendali junta militer; Burma, Laos, Malaysia, Vietnam, dan Singapura pada dasarnya adalah negara otoriter sejak lama; sementara Filipina dikuasai oleh rezim Gloria Arroyo-Macapagal yang sangat korup dan kejam. Di tahun itu, Aceh sudah damai setelah tragedi tsunami dan banyaknya bantuan kemanusiaan yang masuk. Bahkan gubernurnya sekarang adalah mantan pemberontak. Di Maluku, suasana sudah relatif tenang, mungkin karena kelelahan kolektif setelah pertumpahan darah bertahun-tahun. Di Papua, para penduduk lokal diberi konsesi oleh pusat. Undang-undang penting tentang desentralisasi, yang disahkan oleh DPR ketika gelombang reformasi sedang besar-besarnya, telah mengalihkan kekuasaan dan uang kepada para elite daerah yang kemudian dijuluki “Soeharto-Soeharto kecil”. Para ekstremis Islam yang dulu menakutkan sudah tidak lagi berdaya. Pers cukup bebas, meskipun sebagian besarnya berhaluan konservatif.

Ada satu fenomena lagi yang patut dicatat. Sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat suram. Sampai kira-kira awal 1960-an, guru sekolah dasar dan menengah, meskipun hidup dalam kekurangan, merupakan sosok yang dihormati di lingkungan masing-masing. Sebagian karena peran aktif mereka dalam memberantas buta huruf yang waktu itu masih sangat luas, sebagian lagi berkat kontribusi mereka dalam gerakan nasionalis sejak era kolonial. Kata “guru” itu sendiri memancarkan aura tradisional yang kuat. Semua berubah setelah 1965-1966. Selama pembantaian, kelompok profesi yang secara proporsional paling terdampak adalah guru sekolah dasar dan menengah. Mereka kemudian digantikan oleh sekelompok pekerja lepas yang tidak bergairah, apalagi punya kualifikasi, baik laki-laki atau perempuan. Mereka sekadar mau pekerjaan sebagai pegawai negeri, dan rela melakukan apa saja. Selain itu, tentu saja mereka juga sepenuhnya setia kepada rezim yang telah memberikan pekerjaan. Mereka-mereka inilah yang benar-benar membawa racun korupsi ala pegawai negeri ke sekolah-sekolah—dari mulai suap, penggelapan anggaran, dan sebagainya.

Generasi pendidik era gelap ini akhirnya memang pensiun, tapi merekalah yang bertanggung jawab untuk merekrut para penerus. (Saya sering bertanya kepada pada anak muda soal guru mereka: apakah ada yang mereka kenang dengan rasa hormat atau kasih. Jawaban yang saya terima umumnya bukan nama, tapi rasa terkejut dan heran, seolah pertanyaan itu sangat naif.) Soeharto tidak memberikan perhatian serius kepada para pelajar, namun dia justru mendorong menjamurnya ratusan institusi pendidikan tinggi berkualitas rendah (sering disebut “pabrik ijazah”) sekadar untuk menyerap para penganggur alih-alih benar-benar mendidik. Bahkan di universitas yang lebih baik, ketidakhadiran dosen sudah lama menjadi hal lazim. Banyak dari mereka terlibat dalam banyak pekerjaan sampingan, dari mulai mengerjakan “proyek penelitian” dari negara sampai menjadi spekulan properti. Tidak ada bukti yang lebih sahih dari bobroknya warisan pendidikan Soeharto selain kelakuan para elite politik hari ini: mereka lebih memilih mengirim anak-anak mereka, tak jarang bodoh dan antisosial, ke luar negeri untuk “dididik dan dijinakkan” dalam sistem pendidikan asing. Tentu hal ini tidak berarti Indonesia kekurangan generasi muda yang cerdas. Tapi banyak dari mereka belajar secara autodidak, mengandalkan teman dan internet, ketimbang guru sendiri.

Salah satu pernyataan paling terkenal dan tajam dari Winston Churchill adalah, “Selama ada kematian, maka masih ada harapan.” Tiap tahun, jumlah generasi muda yang hanya memiliki ingatan samar—atau bahkan tidak punya sama sekali—tentang wujud Neues Ordnung ala Soeharto terus bertambah. Dalam konteks ini, menyenangkan sekali rasanya mengetahui bahwa Pramoedya Ananta Toer akhirnya memiliki penerus setelah setengah abad.[11] Seorang penulis muda dari Sunda telah menerbitkan dua novel yang menakjubkan dalam lima tahun terakhir. Apabila ditinjau dari alur cerita dan karakter yang kerap seperti mimpi buruk saking mengerikannya, kita dapat mengatakan karya tersebut seperti representasi kenyataan yang tanpa harapan. Tapi keindahan dan keanggunan bahasa serta imajinasi yang tumpah ruah dalam karya-karya tersebut memberikan kegembiraan seperti ketika menyaksikan kembang putih akhirnya mekar dari tanah beku di akhir musim dingin yang suram dan kelabu.


[1] Pembantaian terutama ditujukan kepada basis massa PKI, yang mudah diidentifikasi karena partai tersebut telah legal sejak kemerdekaan dan aktif berpartisipasi dalam politik elektoral. Basis mereka terkonsentrasi di wilayah perdesaan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, serta di daerah perkebunan di Sumatra Utara. Kota-kota cenderung kurang terdampak, kemungkinan karena lebih mudah dikendalikan dan lebih terbuka terhadap pengawasan mata asing. Wilayah perdesaan yang disebutkan di atas sudah menjadi zona panas sejak awal 1960-an, ketika aksi-aksi sepihak dilakukan oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat untuk menegakkan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 yang progresif, namun sebagian besar digagalkan oleh tuan tanah berpengaruh, baik yang berasal dari kalangan muslim maupun nasionalis sekuler. Perlu juga dicatat bahwa pada awal 1960-an, PKI sering melakukan kesalahan dengan “berteriak keras sambil hanya membawa sumpit”—artinya, mulut mereka lebih besar dibanding kekuatan riil di lapangan.

[2] Soeharto lekas diperlakukan bak bangsawan oleh Inggris, yang para pedagang senjatanya meraup untung besar dari perdagangan dengan Indonesia. Australia mengikuti jejak tersebut, dengan mengincar ladang minyak bawah laut yang sangat luas di sekitar Pulau Timor.

[3] Psikologi di balik akumulasi kekayaan yang mencengangkan ini merupakan teka-teki yang menarik. Selera pribadi Soeharto sebenarnya cukup sederhana, dan ia tidak memiliki banyak gundik. Dia juga tampak tidak nyaman saat berada di luar negeri, sehingga sulit membayangkan dirinya menikmati hasil jarahan di Los Angeles atau Riviera. Ia tampaknya lebih melihat dirinya sebagai sosok paterfamilias, seorang kepala keluarga yang memanjakan anak-anaknya, terutama putri sulung dan putra bungsunya, Tommy, yang sempat merasakan penjara mewah (setelah bapaknya lengser) karena menjadi dalang pembunuhan seorang hakim agung. Pada era liberal 1950-an, politisi asal Sumatra, Muhammad Yamin, pernah dengan santai menjelaskan alasan mengapa, sebagai menteri kabinet, ia memerintahkan pembelian piano untuk setiap sekolah di Indonesia: ia ingin keturunannya hidup nyaman “sampai tujuh turunan”. Di Indonesia, ada kepercayaan umum bahwa bahkan keluarga Cina yang paling lihai pun jarang bisa mempertahankan kekayaan lebih dari tiga generasi. Anak dan cucu yang terbiasa hidup mewah, dan kebiasaan buruk mereka, dengan cepat menghabiskan kekayaan keluarga. Ada kemungkinan Soeharto berpikir tentang berapa banyak uang yang harus dikumpulkan untuk membiayai gaya hidup boros keluarganya hingga tujuh generasi.

[4] Rezim bersikeras bahwa pembunuhan-pembunuhan yang jelas-jelas dijalankan dengan metode militer ini merupakan akibat dari perang antar-geng. Desas-desus yang beredar luas di masyarakat menyebutkan bahwa sebagian besar preman kelas teri tersebut sebenarnya adalah kaki tangan dalam pemilu yang dibayar oleh Jenderal Ali Murtopo, kepala intelijen politik pribadi Soeharto dalam waktu lama. Ali dianggap mulai bertindak melampaui batas kewenangannya, dan tak lama kemudian “dibuang” ke Kuala Lumpur sebagai duta besar. Di sana dia meninggal dunia akibat stroke.

[5] Menurut konstitusi saat itu, presiden tidak dipilih lewat pemilu langsung, melainkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR terdiri dari semua anggota parlemen ditambah sejumlah wakil dari berbagai daerah dan kelompok fungsional. Mereka dipilih oleh… presiden. Jelas sistem ini sangat menguntungkan Soeharto yang tidak punya bakat dalam berkampanye. Sistem ini baru diganti lima tahun lalu. Presiden saat ini, Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono, adalah presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

[6] Slater menulis kajian yang secara teoretis matang tapi sekaligus menghibur tentang dinamika politik tingkat tinggi di Indonesia pasca-Soeharto. Karya itu berjudul “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition”, dimuat di jurnal Indonesia, edisi ke-78, Oktober 2004.

[7] Ciri lain yang tak kalah mencolok dari para preman berjubah Islam ini adalah tidak tertarik, bahkan secuil pun, terhadap keadaan sulit orang-orang Aceh yang terkenal taat beragama.

[8] Keberhasilan ini juga mungkin terjadi sebagian karena didukung partai-partai politik yang bersemangat untuk mengisi tempat di parlemen yang bakal ditinggalkan para prajurit.

[9] Sejak akhir abad ke-19, pemerintah kolonial telah berusaha, dan dengan hasil berbeda-beda, membangun sistem ejaan baku untuk bahasa Melayu/Indonesia dengan berpatokan pada kaidah ejaan Belanda. Pemerintahan revolusioner kemudian mengadopsinya namun dengan penyederhanaan dengan mengganti, secara masuk akal, huruf “oe” Belanda yang aneh itu menjadi “u”. Satu contoh sederhana cukup untuk memperlihatkan apa yang dicapai oleh Ejaan yang Disempurnakan ala Soeharto: pernyataan saja tjari djas chusus berubah menjadi saya cari jas khusus.

[10] Barangkali, perhitungan politik serupa juga melatari dekrit spektakulernya (ketika masih menjabat) yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Selama hampir sepanjang era Soeharto, Imlek dilarang dirayakan secara terbuka. Gus Dur sendiri mungkin tidak menyangka kalau keputusan ini sukses besar, tidak hanya di kalangan orang Tionghoa tapi juga anak muda non-Tionghoa. Sulit untuk menyangkal peran penting dari film-film Hongkong, Taiwan, dan baru-baru ini juga Cina. Apa yang pada tahun 1950-an masih dipandang sebagai ekspresi budaya etnis yang sering tidak disukai kini dibingkai ulang sehingga menjadi bagian dari tontonan dan pariwisata. Dulu, orang Tionghoa kaya raya membayar anak-anak muda miskin non-Tionghoa untuk menari barongsai. Praktik ini telah hidup kembali, namun dalam semangat karnaval yang menyenangkan.

[11] Eka, pengagum berat Pramoedya, menulis tesis yang sangat baik, dan kemudian diterbitkan, tentang hubungan kompleks penulis senior tersebut dengan konsep “realisme sosialis”. Dua novel Eka adalah Cantik Itu Luka (2002) dan Lelaki Harimau (2004). Novel pertama semacam ikhtisar sejarah Indonesia satu abad terakhir yang surealis, berlatar di daerah terpencil di suatu tempat di pantai selatan Jawa—semacam Macondo di novel García Márquez. Sementara Lelaki Harimau berkisah tentang tragedi yang cemerlang, padat, dan penuh ketegangan, di suatu desa di kawasan pesisir yang tandus. Saya dengar kedua novel ini mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa lain.


Versi asli artikel karya Ben Anderson ini berjudul “EXIT SUHARTO: Obituary for a Mediocre Tyrant”.  Terbit pertama kali di New Left Review edisi 50, Maret-April 2008. Kami telah mendapat izin untuk menerjemahkan dan memublikasikannya. Ditranslasi oleh Rio Apinino.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.