Foto: illustruth
SEJAK 2020, Sumatra Utara ditunjuk sebagai lokasi prioritas pengembangan megaproyek pangan nasional. Tak kurang dari 215 hektare lahan di Desa Ria-Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, dibuka untuk food estate. Konon masuknya proyek ini sembari membonceng isu krisis pangan akibat Covid-19. Komoditas yang dipilih adalah tanaman hortikultura seperti kentang industri, bawang putih, dan bawang merah. Pemilihannya di luar kontrol petani dan pola pertanian keluarga diambil alih oleh perusahaan-perusahaan agrobisnis. Sekitar 120 keluarga petani dipilih sebagai rekan dengan syarat mereka tidak boleh menanam komoditas lain.
Proyek ini terbukti gagal bahkan sejak masa tanam (MT) pertama karena proses pengelolaan lahan yang terburu-buru. MT kedua pun bernasib sama meski saat itu proyek mulai dikendalikan oleh Kemenko Marves dan Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan. Bibit yang disediakan perusahaan ternyata tidak cocok dengan kondisi lahan.
Petani mulai merugi, terlilit utang, menggadaikan sertifikat tanah, membayar angsuran agar tanah tidak disita. Beberapa dari mereka terpaksa melihat tanahnya dilelang karena gagal membayar cicilan. Terdesak memperoleh uang tunai untuk membayar cicilan dan melanjutkan hidup membuat petani harus menjadi buruh harian di lahan food estate. Produksi komoditas ekspor semakin menjauhkan petani dari akar. Mereka tidak lagi produsen pangan melainkan penjual tenaga kerja untuk proyek korporat. Proses penciptaan kelas buruh ini terjadi terus-menerus, diawali oleh komodifikasi atas tanah dan tenaga kerja.
Marginalisasi dan transformasi kelas dalam proyek rezim pangan di Ria-Ria justru dianggap sebagai keberhasilan oleh negara sehingga perlu ekspansi. Tepat dua hari sebelum turun dari kursi presiden, Joko Widodo menyempatkan diri menandatangani Perpres Nomor 131 Tahun 2024 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate (BOPKFE) Sumatera Utara. Melalui perpres ini, BOPKFE diminta menyusun rencana detail pembangunan dan pengembangan food estate Sumatra Utara periode 2025-2029 dan rencana induk periode 2025-2045. Kelak, lembaga ini akan mengelola 15.057 hektare tanah yang tersebar di empat kabupaten, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Pakpak Bharat.
Wilayah kerja BOPKFE dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu Wilayah Koordinatif, lahan yang sudah berstatus Area Penggunaan Lain (APL) seperti Ria-Ria, dan Wilayah Otoritatif, tanah hasil pelepasan kawasan hutan melalui SK.448/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2020. Lahan yang berstatus kawasan hutan tersebut adalah hutan kemenyan, sawah, dan ladang milik masyarakat yang akan disulap menjadi kawasan sentra komoditi kentang, bawang putih, bawang merah, cabai, durian, dan kakao dengan total transaksi Rp5,1 triliun. BOPKFE pun akan mengurusi peternakan yang padat modal dan tanpa petani.
Negara memperluas, mengembangkan, dan mengintensifkan kekuasaan dan hegemoninya melalui BOPKFE untuk menjaring investor dan pasar dengan tujuan akumulasi berlipat serta akan menjadi komando teritorial untuk memobilisasi sumber daya alam melalui kebijakan dan proses hukum. Transisi menuju pembangunan kapitalis menjadi sesuatu yang sangat bergantung pada sikap negara (Harvey, 2005).
Rezim Pangan Korporat
Pengembangan proyek pangan bukanlah agenda baru bagi Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Sukarno menyadari bahwa pangan telah menjadi urusan yang sangat serius dan berdimensi politik. Komodifikasi telah mengubah perspektif mengenai pangan, beras dijadikan ukuran kemakmuran di Jawa, dan jawanisasi kemudian menjadi kebijakan pangan nasional. Demikianlah pada periode 1952-1956, pemerintah Sukarno mulai mencanangkan swasembada beras (Arif, 2021).
Memasuki Orde Baru, Soeharto mengadopsi Revolusi Hijau ala Amerika Serikat (rezim pangan periode dua). Petani dikontrol untuk menggunakan benih unggul hibrida, pupuk kimia, pestisida, jaringan irigasi, hingga paket kredit bagi petani untuk memacu produksi beras (Sajogyo, 1972). Saat itu, pangan direduksi hanya menjadi beras dan pertanian disederhanakan menjadi sistem sawah yang monokultur. Pun, kegiatan bercocok tanam berada di bawah kendali pemerintah yang otoriter. Petani mulai kehilangan benih-benih lokal dan praktik pertaniannya yang khas (Chayanov dalam Ploeg, 2013). Proyek swasembada pangan mulai menyasar ke pelosok negeri sehingga perampasan tanah, pembukaan hutan, dan alih fungsi lahan gambut masif terjadi.
Petani di era Orde Baru harus melupakan cara bercocok tanam tanpa pupuk dan pestisida yang telah turun-temurun dilakoni, meninggalkan keberagaman pangan-pangan warisan, dan terpaksa menikmati penyeragaman komposisi menu di meja makan. Lahan pertanian yang sejak awal digunakan untuk menanam berbagai jenis tanaman dialihkan untuk pertanian padi, sehingga proses penyeragaman terjadi di tingkat produksi dan konsumsi pangan. Peran petani yang seharusnya menjadi produsen pangan dipinggirkan dan diambil alih oleh negara. Di saat ini pula, persentase konsumsi beras mencapai 81% sehingga pangan-pangan lokal seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan mulai dilupakan (BPS, 1954).
Di penghujung kekuasaannya, Orde Baru menggagas perluasan sawah secara besar-besaran melalui proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah—yang terbukti gagal dan menyebabkan kerugian keuangan serta masalah lingkungan, dan impor beras meningkat tajam mencapai 2,8 juta ton. Orde Baru mewariskan sistem pertanian korporat kepada pemerintahan era Reformasi.
Kegagalan proyek-proyek pangan sebelumnya ternyata tidak menghentikan mimpi mencetak sawah baru. Pada 2010, lahan seluas 1,2 juta hektare di Merauke ditunjuk sebagai lokasi implementasi program Merauke Integrated Rice Estate (MIRE), yang kemudian berubah menjadi Merauke Integrated Food and Energy (MIFEE) yang berujung pada ekspansi sawit di Papua (Arif, 2021). Sekarang, di era pemerintahan Prabowo Subianto, proyek pangan masih terus diagendakan. Jutaan hektare lahan dicetak untuk sawah, kebun, dan peternakan dengan komoditas yang semakin beragam, tidak hanya padi, jagung, dan kedelai—seperti cita-cita Jokowi di awal kekuasaannya.
Sektor pangan dan pertanian juga telah menjadi tempat baru untuk akumulasi keuangan dengan cara lain selain spekulasi komoditas. Telah terjadi peningkatan jenis dana investasi baru berbasis pangan dan pertanian yang memungkinkan investor mendapatkan keuntungan dari eksposur keuangan ke lahan pertanian dan perusahaan agrobisnis (Clap & Isakson, 2018).
McMichael menyebut kerja sama investor dan negara di sektor pangan dan pertanian seperti ini sebagai “rezim pangan korporat”. Istilah rezim pangan sendiri diperkenalkan oleh Friedmann pada 1987 ketika meneliti mengenai tatanan pangan internasional pasca-Perang Dunia II—dengan ide dasar tentang struktur produksi dan konsumsi yang diatur oleh aturan berskala global. Rezim ini memproblematisir representasi linear dari modernisasi pertanian, menggarisbawahi peran penting pangan dalam ekonomi-politik global, dan mengonseptualisasi kontradiksi historis kunci dalam rezim pangan partikular yang memproduksi krisis, transformasi, dan transisi (McMichael, 2009).
Rezim pangan memiliki tiga periode dengan bentuk akumulasinya masing-masing; (1) rezim pangan Inggris (1870-1930) dengan akumulasi ekstensifnya, (2) rezim pangan Amerika Serikat (1950-1970-an) dengan akumulasi intensifnya, dan (3) rezim pangan korporat (1980-2000-an) dengan akumulasi finansial yang didasarkan pada hegemoni pasar yang semakin maju membangun model pertanian yang menilai produk melulu sebagai komoditas, menggusur petani kecil ke dalam tenaga kerja global biasa untuk modal, hingga berperan dalam proyek neoliberal untuk mengamankan sirkuit uang transnasional (Mcmichael, 2020).
Salah satu upaya melayani kepentingan akumulasi keuangan adalah mengintegrasikan pertanian skala besar yang terimplementasi dalam konsep food estate. Dalam konsep ini, komoditas pertanian sejak awal tidak dilihat dari nilai gunanya untuk memenuhi pangan masyarakat melainkan dari nilai tukar. Komoditas pertanian disiapkan untuk bertarung di pasar. Konsep ini mengasumsikan bahwa secara global ada tanah marginal, kurang dimanfaatkan, kosong, dan tersedia sehingga dapat digunakan lebih efisien untuk memproduksi lebih banyak pangan. Selain itu juga asumsi bahwa lahan bisa membuka batas investasi, menciptakan lapangan kerja, dan menghasilkan pembangunan ekonomi (Borras dan Franco, 2024).
Namun asumsi itu keliru. Wajah sebenarnya dari food estate itu, pertama-tama, mengharuskan dan mendorong perburuan lahan (Borras dan Franco, 2023). Dalam hal in tanah-tanah harus diklaim dan dikonsolidasikan ulang dengan berbagai cara termasuk melalui regulasi resmi. Dalam konteks Sumatra Utara, pasal 31 perpres menegaskan bahwa negara bakal menyesuaikan tata ruang dan/atau peraturan zonasi untuk pembangunan dan pengembangan kawasan. Arena diperluas ke kawasan hutan untuk melayani kebutuhan tanah untuk proyek.
Kedua, pengembangan kawasan food estate mengharuskan pembangunan infrastruktur pendukung pertanian skala industri seperti saluran irigasi, mekanisasi, perluasan lahan, infrastruktur pengelolaan pascapanen dan penyimpanan, infrastruktur transportasi di dalam dan keluar kawasan (konektivitas antar-kawasan dan antar-klaster), serta infrastruktur penunjang lain (Kementan, 2021) untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan di sepanjang rantai pasokan (Moreddu, 2016).
Ketiga, mengharuskan “jejaring rezim pangan” yang berkelindan dari skala global, nasional, hingga tingkat tapak dan mensyaratkan kerangka kerja yang dinegosiasikan untuk melembagakan aturan baru (McMichael, 2020). BOPKFE menjadi satu proses pelembagaan jaringan pengelolaan pangan di tingkat nasional untuk melayani rezim pangan global. Sektor privat seperti Indofood, Calbee Wings, Ewindo, dan Parna Raya sudah difasilitasi di Ria-Ria. Rancangan pembangunan dan pengembangan food estate yang akan dikerjakan oleh BOPKFE akan melakukan hal yang sama—serta tidak tertutup diperluas pada perusahaan pupuk, bibit dan penyedia lainnya seperti Bayer CropScience, Cargill, Monsanto, Nestle, Unilever, Walmart, dan Sinar Mas Agribusiness & Food yang terkenal dengan monopoli di sektor industri pangan.
Ketiga hal ini memperlihatkan skema pengaturan skala global dan membutuhkan layanan finansial yang besar serta mengikat. Dengan kata lain, perluasan kapital dalam proyek pangan bukan hanya tentang produksi pangan itu sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan proyek infrastruktur yang membutuhkan skema pendanaan besar di belakangnya, ditambah dengan argumen McMichael, akan selalu melibatkan politik pangan dan perusahaan-perusahaan transnasional yang berciri pada pengaturan. Pelibatan ini mengharuskan “kerja sama antara publik dan swasta” dalam skema kemitraan publik-privat (KPS) yang dianggap sebagai pilihan menarik untuk memfasilitasi kerja sama antar pelaku inovasi di tingkat nasional dan internasional (Moreddu, 2016).
Skema KPS bertujuan mempermudah sektor privat dalam pembiayaan dengan mengekstraksi dana publik untuk kepentingan swasta dan diwujudkan dalam bentuk platform multipihak (multi stakeholder) yang menjadi sarana pelaksanaan pendekatan berbasis-pasar (Abdulgani dkk, 2022). Pemerintah memberikan kepercayaan pada swasta dan peran petani direduksi menjadi sekadar mitra yang bekerja sama dan menyediakan tenaga dengan kondisi perencanaan produksi sudah diputuskan oleh pengelola untuk melayani pasar. Di sinilah peran dari BOPKFE dimulai: untuk memastikan perencanaan praproduksi (pembangunan infrastruktur, jejaring, kerangka kerja), produksi, dan pascaproduksi berjalan dalam sirkulasi kapital yang tidak terputus.
Hutan Negara dan Agenda Kapital
Kawasan hutan dianggap sebagai komoditi dan aset negara sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan Domein Verklaring, yang menyatakan bahwa “semua tanah, yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya, adalah domein (milik) negara.” Saat ini, luas hutan di Indonesia—yang diklaim sebagian besar adalah ruang hidup petani dan komunitas tempatan (tinggal secara turun-temurun)—melebihi 60% dari total luas daratan.
Di Sumatra Utara, luas daratannya mencapai 7,2 juta hektare, dan menurut SK 579/Menhut-II/2014, 3,1 juta hektare (41%) di antaranya adalah kawasan hutan negara. Dari total luas kawasan hutan ini, terdapat 921.172 hektare yang belum ditetapkan bahkan belum didesain untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan negara (PPKH, 2024). Menurut UU Kehutanan, ada empat proses untuk menetapkan kawasan hutan, yaitu: (1) penunjukan, (2) penataan batas, (3) pemetaan, dan (4) penetapan. Meski proses penetapan belum final, namun di sini negara tetap melakukan ekspansi kapital menggunakan skema kawasan hutan.
Orde Baru telah membuka keran investasi di sektor kehutanan yang mengakar dan mengalir deras hingga hari ini. Kawasan hutan telah dibagi-bagi untuk dieksploitasi. Berbagai jenis fungsi dan peruntukan kawasan hutan hanya sebagai fitur dan modus belaka. Hal ini akibat dari proses komodifikasi menyeluruh terhadap alam dalam semua bentuknya (Harvey, 2005).
Politik kehutanan komersial telah banyak mengorbankan tanah-tanah milik rakyat. Transisi agraria dan menguatnya kapitalisme kehutanan telah menyebabkan perubahan relasi produksi dan ketimpangan ekonomi. Transisi kapitalisme kehutanan semakin jelas dan pendorong utamanya adalah “ekstraktivisme” yang berlangsung ekstensif di “kawasan hutan” (Bachriadi, 2020). Rezim ekstraktivisme ini telah memorak-porandakan hutan alam yang menjadi ruang hidup masyarakat lokal. Peluso dalam buku Rich Forest, Poor People menyebut ini sebagai “forest-based collective violence” atau kekerasan kolektif berbasis hutan.
Melalui SK 448 tahun 2020, negara mengonversi 12.790 hektare hutan produksi untuk proyek food estate, serta mencadangkan 21.152 hektare tanah untuk pengembangannya. Dengan demikian, total kawasan hutan yang dibebaskan untuk proyek pangan seluas 33.942 hektare. Hal ini menggambarkan secara utuh bahwa kawasan hutan negara adalah modal bagi ekspansi geografis rezim pangan.
Harvey dalam teori accumulation by dispossession mencatat bahwa peran pembangunan dari negara hanya untuk menjaga agar logika teritorial dan logika kapitalistik dari kekuasaan selalu terhubung dan jalin-menjalin. Senada dengan ini, Perpres BOPKFE Pasal 22 bagian (6) mencatat kawasan hutan yang digunakan untuk proyek food estate meliputi kawasan hutan yang dikelola dengan skema perhutanan sosial dan kawasan hutan yang sengaja dilepaskan untuk food estate. Hutan yang belum disentuh investor harus dibuka secara paksa untuk memungkinkan kapital dapat berinvestasi dan mengakumulasi sehingga kawasan tersebut menguntungkan secara ekonomi. Dengan demikian, logika teritorial dan logika kapital dapat berjalan beriringan.
Lebih lanjut di bagian (7) dicantumkan bahwa Badan Pelaksana BOPKFE dapat mengusulkan pelepasan kawasan hutan kepada Kementerian Kehutanan, serta dapat mengajukan penetapan hak pengelolaan kepada Kementerian ATR/BPN. Hal ini memperkuat argumen Hannah Arendt bahwa suatu akumulasi yang tiada henti membutuhkan akumulasi kekuasaan yang tiada henti pula. Pembukaan paksa teritori baru untuk pembangunan yang berwatak kapitalistik tidak hanya membutuhkan uang sebagai modal, melainkan struktur politik yang kuat dan kekuasaan negara yang masif karena negara adalah aktor utama dari akumulasi itu.
Petikan Pembelajaran
“Hantu BOPKFE” adalah upaya negara mengonsentrasikan dan menginstitusikan kekuasaan dengan jaminan payung hukum untuk akumulasi kapital melalui pelibatan sektor korporasi dan finansial. Perluasan kaki tangan kekuasaan untuk akumulasi kapital mensyaratkan teritori, modal, dan infrastruktur yang besar, sehingga belasan ribu hektare tanah dialokasikan untuk proyek pangan dan agrobisnis agar surplus lebih berlipat ganda. Keterbatasan APL mengharuskan negara mengubah fungsi kawasan hutan untuk dilepaskan dan/atau dikelola dengan skema perhutanan sosial. Penunjukan ini pun dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi eksisting lahan di lokasi proyek pangan. Negara dengan ambisinya membentuk lembaga baru yang kelak akan berbenturan dengan petani.
Ekspansi geografis yang menyasar kawasan hutan ini tidak hanya kontra dengan komitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Perjanjian Paris—salah satu yang dijadikan fokus penurunan emisi adalah Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU)—namun juga bakal menggusur puluhan ribu petani dan masyarakat lokal yang bergantung pada tanah/hutan yang diklaim negara sebagai kawasan hutannya. Ekspansi ini juga akan mempercepat krisis biodiversitas karena pembukaan lahan yang luas dan input besar seperti pupuk kimia dan pestisida serta membutuhkan debit air yang besar. Lebih jauh lagi, food estate akan menghilangkan benih-benih lokal (Soerak, 2023) diganti benih hibrida yang asing, dan merusak tata cara kalender musim yang menjadi ciri khas pertanian tempatan.
Hal ini juga akan memperluas proses transformasi kelas sehingga semakin mempertajam ketimpangan kelas sosial di perdesaan. Penciptaan kelas buruh di perdesaan seperti yang terjadi di Ria-Ria akan meluas ke titik-titik di mana BOPKFE bekerja, bahkan proses proletarianisasi akan merambat hingga ke ruang-ruang yang lebih luas. Melalui masa kerja hingga 2045, maka kita akan melihat bagaimana desa-desa di kawasan Danau Toba akan dikuasai oleh perusahaan agrobisnis dan tanah-tanah akan menjadi sitaan perbankan setelah “disekolahkan” oleh petani untuk membayar utang modal kepada perusahaan.
Apa yang dikatakan Wendell Berry menjadi relevan, bahwa pada dasarnya manusia bekerja dengan baik ketika mereka bekerja untuk kebaikan manusia, bukan demi produksi yang lebih tinggi atau efisiensi, yang merupakan tujuan eksklusif pertanian industri (Fukuoka, 1978).
Referensi
Abdulgani, F., Shabia, G.N.A., Azam, Q., Siahaan, A., Lumban Gaol, L. Suhariawan, Capah, L., Sihombing. D. (2022). Food Estate: Perampasan Kontrol dan Indikasi Pelanggaran Hak Atas Pangan dan Gizi, Jakarta: Fian Indonesia
Arif, A. (2021). Masyarakat adat & kedaulatan pangan. Kepustakaan Populer Gramedia.
Bachriadi, D. (2020). 24.2 Manifesto Penataan Ulang Penguasaan Tanah ‘Kawasan Hutan’, Bandung: ARCBooks
Bernstein, H. & Bachriadi, D. (2014). Tantangan Kedaulatan Pangan, Bandung: ARCBooks
Borras, S.M. Jr. and Franco, J.C. (2023) Scholar-Activism and Land Struggles, Rugby, UK: Practical Action Publishing
Borras, S.M. Jr. & Franco, J.C. (01 Mar 2024): Land rush, The Journal of Peasant Studies
Clapp, J. and Isakson, S.R.(2018) Speculative Harvests: Financialization, Food and Agriculture, Rugby, UK: Practical Action Publishing
Douwe van der Ploeg, J. (2013) Peasants and the Art of Farming, Rugby, UK: Practical Action Publishing
Fukuoka, M. (1978). The One-Straw Revolution, USA (edisi B. Inggris)
Harvey, David. (2005). A Brief History of Neoliberalism, Oxford University Press
Manihuruk, A.C (2023) Rezim Pangan Pada Program Food estate: Hilangnya Kedaulatan Petani Sebagai Bentuk Eksklusi Sosial, Depok: Universitas Indonesia (tesis)
McMichael, P. (2009) A food regime genealogy, The Journal of Peasant Studies, 36:1, 139-169
McMichael, P. (2020) Rezim Pangan dan Masalah Agraria, Yogyakarta: Insist Press
Moreddu, C. (2016-01-28), “Public-Private Partnerships for Agricultural Innovation: Lessons From Recent Experiences”, OECD Food, Agriculture and Fisheries Papers, No. 92, OECD Publishing, Paris.
Peluso, N.L. (1994). Rich Forest, Poor People; Resource Control and Resistance in Java, California: University of California Press.
Sajogyo. (1972). Modernization Without Development In Rural Java, Bogor, Indonesia
Internet dan majalah
Majalah Soerak (2023). Janji Politik Minus Kepentingan Rakyat, Medan.
https://kukuh.menlhk.go.id/#/publik/?url=/frame/5/
https://www.noerfauzirachman.id/2023/05/kawasan-hutan-sebagai-masalah-agraria.html
https://www.tempo.co/lingkungan/suara-petani-proyek-food-estate-humbang-hasundutan-1198759
Berton Pakpahan dan Romian Siagian adalah pegiat di Sajogyo Institute (SAINS)