Depolitisasi Apartheid: Refleksi Gramscian atas Imperialisme Modern di Palestina

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Aljazeera/Reuters


SELAMA di penjara dalam keadaan sakit hingga ajalnya tiba, Antonio Gramsci sibuk mengoreksi kecenderungan marxisme-leninisme yang ia anggap terlalu mekanistik, semacam terjebak dalam gagasan-gagasan organisatoris dan reduksi material semata. Bagi Gramsci, sosialisme tak cukup hanya diarahkan oleh logika revolusi politik; ia harus ditanami bibit moral yang mengakar pada kesadaran kultural. Hanya dengan demikian, sosialisme dapat tumbuh menjadi gerakan yang benar-benar humanis, mampu membongkar dominasi tak hanya melalui perlawanan fisik, tetapi juga lewat transformasi kesadaran.

Tidak dapat disangkal, Gramsci menempati posisi unik sebagai pemikir neo-marxis yang humanistik, sebuah respons terhadap kegagalan marxisme ortodoks dalam memahami relasi antara kekuasaan dan kesadaran. Melalui konsep hegemoni, ia mengungkap bahwa kekuasaan dalam masyarakat kapitalis modern tidak hanya bergantung pada represi fisik (seperti aparatus militer atau hukum), melainkan pada dominasi ideologis yang jauh lebih halus dan kompleks. Hegemoni, baginya, adalah proses kelas penguasa menaturalisasikan nilai-nilainya sebagai “pendapat umum” (common sense), sehingga struktur sosial yang timpang justru dipandang sebagai sesuatu yang wajar, bahkan oleh kaum tertindas. Inilah mengapa Gramsci menekankan perang posisi perlawanan di medan budaya, pendidikan, dan seni sebagai jalan untuk mengikis legitimasi sistem kapitalis sekaligus memupuk kesadaran alternatif yang emansipatoris.

Dalam konteks geopolitik kontemporer, pisau analisis Gramsci bisa membongkar cara negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang berupaya melanggengkan dominasi global bukan semata melalui intervensi militer, melainkan lewat hegemoni kultural dan struktural. Konflik Palestina-Israel, misalnya, bukan hanya persoalan pendudukan fisik, tetapi juga contoh bagaimana narasi “hak bertahan diri” Israel atau “proses perdamaian” yang bias dihegemoni oleh media arus utama dan diplomasi Barat, hingga penderitaan Palestina dianggap sebagai konsekuensi “wajar” dari resistansi. Hegemoni semacam inilah yang menjelaskan kebungkaman sistemik dunia internasional terhadap kejahatan kemanusiaan di Gaza, Tepi Barat, dan nyaris seluruh wilayah Palestina.

Dalam perjalanan membaca tulisan ringkas ini, penulis tidak dalam rangka menyajikan angka-angka atau fakta hilangnya puluhan ribu nyawa akibat kejahatan kemanusiaan di Palestina. Tulisan ini adalah sebuah undangan untuk menggeser pertanyaan dari “Apa yang terjadi?” menjadi “Mengapa kita menerima ini sebagai hal yang normal?” Pertarungan melawan hegemoni dimulai ketika kita mempertanyakan narasi yang selama ini dianggap given.


Kerangka Kerja Hegemoni: Sokongan terhadap Imperialisme Modern Israel

Bagi Gramsci, hegemoni bukan sekadar dominasi ideologis pasif, melainkan proyek aktif ketika kelas penguasa mengonversi kepentingannya menjadi “akal sehat” yang dianggap alamiah oleh masyarakat. Media, sistem pendidikan, hukum, dan diplomasi internasional berperan sebagai mesin penghasil konsensus, bukan melalui pemaksaan terbuka, tetapi internalisasi nilai-nilai yang membuat ketidakadilan terasa tak terelakkan. Akhirnya, kekuasaan bukan semata soal mengontrol alat produksi, tetapi juga mengendalikan makna dan interpretasi sosial.

Imperialisme yang dijalankan secara terstruktur dan terencana oleh Israel melalui pendudukan Gaza (Palestina) tampak secara fisik dalam bentuk kebrutalan militer yang membabi buta. Namun di baliknya, kejahatan tersebut disokong oleh dominasi halus dan efektif untuk menciptakan kondisi ketika pendudukan paksa yang nir-kemanusiaan itu adalah wajar dan terhindarkan, sehingga pantas diterima. Menurut Gramsci, dalam tatanan global, negara-negara imperialis membangun hegemoni dengan membentuk cara berpikir dan cara melihat dunia yang membuat sistem kolonialisme, kapitalisme, dan kekerasan struktural seakan sah dan normal.

Dalam konflik Israel-Palestina, bentuk paling mencolok dari hegemoni ini dapat ditemukan dalam narasi yang dibangun oleh media arus utama internasional, sebut saja CNN dan BBC, dan lainnya, yang secara terselubung membingkai kekerasan (yang dilakukan oleh Israel) sebagai bentuk “pertahanan diri”. Sokongan senjata dari Amerika, Jerman, Inggris, Italia, dan Prancis untuk Israel dianggap sebagai transaksi perdagangan global biasa.

Selain itu, arus perlawanan besar menentang imperialisme Israel serta sokongan moral-material dari kalangan aktivis-mahasiswa yang terjadi di belahan kampus Amerika dan negara-negara Uni Eropa, justru mendapatkan persekusi. Ratusan aktivis ditangkap, tidak sedikit mahasiswa internasional yang di-drop out dan dideportasi karena dianggap mendukung “terorisme”. Dengan demikian, media dan lembaga pendidikan tidak hanya membentuk persepsi global yang bias dan tidak adil, tapi juga membatalkan kritik dengan persekusi di ruang akademik.

Melalui kerangka kerja Gramsci, dapat digarisbawahi bahwa media, bahkan lembaga pendidikan kelas global, berfungsi sebagai aparatus ideologis negara (ideological state apparatus) yang membantu membangun dan mempertahankan hegemoni negara-negara imperialis. Narasi ini kemudian diterima luas oleh masyarakat global yang cenderung percaya pada otoritas media dan pengkultusan terhadap lembaga pendidikan barat, sehingga kebenaran yang kompleks dan tidak seimbang menjadi tersamar oleh bahasa yang netral atau bahkan menyesatkan.


Kebungkaman Dunia: Bentuk Persetujuan Pasif

Salah satu dampak dari hegemoni ini adalah proses normalisasi dan depolitisasi atas praktik apartheid yang dilakukan Israel terhadap rakyat sipil Palestina. Kejahatan apartheid yang secara terang-terangan dilakukan, pemisahan wilayah, pembatasan mobilitas, penghancuran rumah, pengusiran paksa, dan pembunuhan sistematis terhadap sipil tak bersenjata, relawan medis, awak media, wanita, balita, dan orang tua, kini tidak lagi dibaca sebagai tindakan kolonialisme yang keji, tetapi seolah hanya sebuah realitas politik yang kompleks. Dalam kerangka Gramsci, ini adalah bentuk depolitisasi—sebuah upaya penghilangan dimensi kekuasaan dan ideologi dalam membaca kenyataan.

Ketika suatu peristiwa seperti apartheid dipisahkan dari konteks historis dan struktur kekuasaan, ia menjadi persoalan teknis atau administratif belaka. Dunia tidak lagi melihatnya sebagai kejahatan politik, tetapi sebagai konflik bilateral yang bisa diselesaikan melalui negosiasi “setara”, meskipun realitasnya sangat timpang.

Lalu, mengapa dunia “diam”?

Dalam pandangan Gramsci, diamnya elite internasional bukanlah sekadar akibat ketidaktahuan, melainkan bentuk dari “persetujuan pasif” yang dibentuk melalui hegemoni. Negara-negara, lembaga diplomasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak dapat berbuat banyak, bahkan individu menerima secara tidak sadar wacana dominan yang mengaburkan ketimpangan dan ketidakadilan. Mereka tidak menolak, atau hanya sekedar mengecam, karena telah dibentuk untuk percaya bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan, atau bahwa perlawanan terhadap dominasi akan berisiko tinggi secara politik dan ekonomi nasional negara mereka.

Ini menjelaskan mengapa banyak negara yang secara historis mendukung kemerdekaan Palestina, akhirnya bersikap netral atau ambigu karena mereka telah terkooptasi oleh sistem kekuasaan global yang menjadikan stabilitas kapitalisme lebih penting daripada keadilan. Dalam dunia yang telah dikuasai oleh hegemoni ideologis, kebungkaman bukanlah ketiadaan suara, melainkan hasil dari konstruksi makna yang disengaja.


Peran Kapitalisme Global dan Militer-Industri Kompleks dalam Memperkuat Hegemoni Israel

Salah satu dimensi kritis yang sering diabaikan dalam analisis konflik Israel-Palestina adalah keterkaitan erat antara kapitalisme global, industri senjata, dan hegemoni politik yang mendukung pendudukan Israel. Gramsci mengingatkan bahwa hegemoni tidak hanya dibangun melalui dominasi ideologis, tetapi juga jaringan kepentingan ekonomi yang mengikat negara-negara imperialis dalam sistem saling menguntungkan. Dalam konteks ini, industri pertahanan dan aliran modal global memainkan peran sentral dalam mempertahankan status quo yang represif terhadap Palestina.

Industri militer merupakan tulang punggung hubungan strategis antara Israel dan negara-negara pendukungnya, terutama Amerika. Setiap tahun, Amerika menyokong persenjataan ke Israel senilai US$20 miliar atau setara sekitar Rp320 triliun yang tentu saja dibelanjakan pada perusahaan-perusahaan pertahanan Amerika. Perusahaan raksasa seperti Lockheed Martin (produsen pesawat tempur F-35), Boeing, dan Raytheon secara langsung mengeruk keuntungan dari aliran dana ini. Dengan demikian, konflik yang berkepanjangan di Palestina tidak hanya menguntungkan Israel secara politik, tetapi juga menjadi sumber profit bagi kompleks industri-militer Amerika.

Israel sendiri telah menjadi salah satu eksportir senjata terbesar di dunia, menempati peringkat ke-10 menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada 2023. Mereka menjual berbagai teknologi militer canggih, mulai dari drone pengintai hingga sistem pertahanan Iron Dome, ke berbagai negara, termasuk rezim-rezim otoriter. Salah satu contoh paling kontroversial adalah perangkat lunak pengintai Pegasus yang dikembangkan oleh NSO Group, yang telah digunakan untuk memata-matai aktivis, jurnalis, dan bahkan pemimpin dunia. Ekspor senjata ini tidak hanya memperkuat posisi ekonomi Israel, tetapi juga memperluas jaringan pengaruhnya di panggung global.

Selain industri senjata, kepentingan ekonomi lain juga turut memperkuat hegemoni Israel. Investasi asing langsung ke Israel, terutama di sektor teknologi tinggi, terus mengalir deras meskipun terjadi pelanggaran HAM yang sistematis di Palestina. Perusahaan-perusahaan teknologi seperti Google dan Microsoft terintegrasi dalam upaya lembaga pertahanan Israel di Gaza menggunakan produk dan layanan perusahaan, termasuk teknologi cloud dan AI-nya. 

Di tingkat global, rezim finansial internasional juga turut mendukung hegemoni Israel. Lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) jarang memberikan sanksi ekonomi yang berarti terhadap Israel, sementara pasar modal global terus membiayai proyek-proyek infrastruktur yang memperkuat pendudukan, seperti pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat. Bahkan, beberapa dana pensiun dan perusahaan investasi besar terus menanamkan modal di perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pendudukan, mengubah konflik ini menjadi komoditas finansial yang menguntungkan.

Dengan demikian, hegemoni Israel tidak hanya bersifat ideologis, tetapi juga sangat ekonomis. Kapitalisme global dan industri militer telah menciptakan sebuah ekosistem di mana penindasan terhadap Palestina tidak hanya dibiarkan, tetapi secara tidak langsung didanai oleh arus modal dan teknologi dari negara-negara yang mengklaim diri sebagai pembela demokrasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Jalan Keluar: Refleksi Gramsci dan Strategi Kontra-Hegemoni untuk Palestina

Antonio Gramsci menawarkan sebuah kerangka perlawanan yang radikal sekaligus realistis melalui konsep “perang posisi”, sebuah perjuangan kultural dan intelektual jangka panjang untuk merebut kesadaran kolektif dari cengkeraman hegemoni. Dalam konteks Palestina, strategi ini menjadi semakin relevan ketika kita menyadari bahwa kekerasan bersenjata dan diplomasi konvensional telah berulang kali gagal menghentikan mesin penindasan Israel. Gramsci mengingatkan kita bahwa perubahan hakiki hanya mungkin terjadi ketika struktur kesadaran masyarakat global berhasil dibongkar, ketika penderitaan Palestina tidak lagi dilihat sebagai statistik dingin atau berita sesaat, melainkan konsekuensi nyata dari sistem imperialisme modern yang harus dilawan secara kolektif.

Pertarungan melawan hegemoni pro-Israel harus dimulai dari upaya sistematis untuk membangun narasi tandingan yang mampu menembus tembok-tembok produksi pengetahuan yang selama ini didominasi oleh kekuatan imperial. Media arus utama, kelompok akademik pragmatis, dan wacana publik telah lama membingkai pendudukan Israel sebagai “konflik dua pihak yang kompleks”, sebuah framing yang dengan licik mengaburkan relasi kuasa kolonial antara penjajah dan terjajah.

Di sinilah peran krusial intelektual organik, seniman, dan jurnalis independen untuk melakukan dekonstruksi terhadap wacana dominan tersebut. Mereka harus secara konsisten menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang Nakba 1948, mengungkap mekanisme apartheid kontemporer, dan menolak segala bentuk eufemisme yang menormalisasi kekerasan. Media alternatif dan platform digital menjadi senjata ampuh dalam pertarungan ini, seperti yang ditunjukkan oleh keberhasilan berbagai kanal independen dalam menyebarkan kesaksian langsung dari tanah pendudukan, melampaui sensor dan bias media mainstream.

Namun, membangun narasi tandingan saja tidak cukup. Gramsci menekankan pentingnya mengorganisir kekuatan sosial yang mampu menerjemahkan kesadaran kritis menjadi aksi politik nyata. Gerakan solidaritas global untuk Palestina, seperti kampanye BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi), telah membuktikan efektivitas strategi ini dengan menciptakan tekanan ekonomi dan politik terhadap Israel. Kesuksesan gerakan ini terletak pada kemampuannya menghubungkan perjuangan Palestina dengan gerakan keadilan sosial lainnya, mulai dari perlawanan terhadap rasisme hingga pertarungan melawan kapitalisme global. Di kampus-kampus Amerika dan Eropa, kelompok mahasiswa semakin gencar menuntut divestasi dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pendudukan, sementara serikat buruh di berbagai negara menolak menangani kapal-kapal pengangkut senjata ke Israel.

Bentuk-bentuk resistansi ini menunjukkan bagaimana “perang posisi” ala Gramsci bekerja, tidak melalui konfrontasi langsung tetapi lewat infiltrasi perlahan ke dalam institusi-institusi masyarakat sipil untuk mengikis legitimasi sistem penindasan. Dengan demikian, kritik Gramsci atas imperialisme modern bukan hanya relevan, tetapi mendesak untuk dibaca ulang di tengah kebungkaman global yang semakin sistemik. Saat penindasan menjadi biasa, dan kejahatan dianggap bagian dari diplomasi, maka melawan diam itu sendiri menjadi bentuk perlawanan paling awal dan paling penting.


Referensi

Copp, T. (2024, August 14). A look at Israel’s multilayered air defense as the military says it shot down a missile from Yemen. AP News. https://apnews.com/article/israel-gaza-20-billion-weapons-us-aid-b6a99129c88a5dcc4a4753e20b5e19ec

Copp, T. (2024, August 14). US approves $20 billion in weapons sales to Israel amid threat of wider Middle East war. AP News. https://apnews.com/article/israel-gaza-20-billion-weapons-us-aid-b6a99129c88a5dcc4a4753e20b5e19ec 

Fairclough, Norman. 2003. Political correctness: the politics of culture and language. Vol. 14, No. 1, Special Issue: Political Correctness (January 2003), pp. 17-28 (12 pages). https://www.jstor.org/stable/42888547 

Ginsburg, D. (2025, January 24). Not just Google: Microsoft was also involved in Israel’s Gaza military campaign. Ynet News. https://www.ynetnews.com/business/article/skovfxgojx 

Kumar, A. (2024, February 21). Indian port workers refuse to load weapons for Israel’s war. Jacobin. https://jacobin.com/2024/02/india-transport-worker-union-palestine-israel-weapons 

Pass, Jonathan. 2019. American Hegemony in the 21st Century. A Neo-Gramscian Perspective. Routledge: New York. https://doi.org/10.4324/9780429459061 

Rights Watch. (2018, May 29). Bankrolling abuse: Israeli banks in West Bank settlements. https://www.hrw.org/report/2018/05/29/bankrolling-abuse/israeli-banks-west-bank-settlements 

Rich, Paul B. 2025. Book Review: Colonizing Palestine: The Zionist Left and the Making of the Palestinian Nakba, by Sabbagh-Khoury, Areej et al., Taylor & Francis. https://doi.org/10.1080/09592318.2025.2480328 

Stockholm International Peace Research Institute. (2023). SIPRI Yearbook 2023. Oxford University Press. https://www.sipri.org/yearbook/2023


Fajrin Hardinandar adalah mahasiswa doktoral National Dong Hwa University Taiwan

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.