Ilustrasi: Illustruth
PEKERJAAN berkelanjutan menjadi sebuah istilah yang terdengar mulia. Ia menjanjikan masa depan kerja yang ramah lingkungan, adil secara sosial, dan layak secara ekonomi. Dalam konteks perubahan iklim dan krisis sosial global, gagasan ini muncul sebagai alternatif dari sistem kerja yang eksploitatif. Namun, ketika ditarik ke realitas, terutama di negara-negara Eropa, pekerjaan berkelanjutan sering kali tak lebih dari sekadar slogan. Di balik narasi hijau yang gencar digaungkan, masih tersimpan banyak ketimpangan, ketidakpastian, dan dominasi logika kapitalisme yang mengutamakan keuntungan di atas kesejahteraan manusia.
Apa itu pekerjaan berkelanjutan? Menurut UNDP (2015) dan ILO (2016), pekerjaan berkelanjutan bukan sekadar soal mengurangi emisi atau menciptakan pekerjaan ramah lingkungan. Ia harus mencakup empat pilar: (1) menyediakan penghidupan yang layak dan peluang pengembangan diri, (2) tidak merusak kapasitas ekologis bumi, (3) mengakui semua jenis kerja—termasuk kerja reproduktif dan sukarela, serta (4) memandang (dimensi) ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai satu kesatuan yang saling terkait.
Dalam kerangka ini, pekerjaan berkelanjutan tidak hanya bertanya: “Berapa banyak pekerjaan yang diciptakan?”, tetapi juga “Siapa yang bekerja?”, “Dalam kondisi seperti apa?”, dan “Apa dampaknya bagi bumi dan generasi mendatang?”
Retorika Hijau di Negara Kapitalis Maju
Banyak negara Eropa berlomba menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, arah pembangunan mereka tetap didorong oleh logika pasar dan efisiensi ekonomi. Mari kita lihat bagaimana beberapa negara mempraktikkan pekerjaan berkelanjutan.
Belanda dan Norwegia: Energi Hijau, Tapi Bisu Soal Pekerja
Di Belanda dan Norwegia, isu lingkungan hidup memang jadi perhatian utama. Norwegia, misalnya, dikenal karena transisinya menuju kendaraan listrik dan sumber energi terbarukan. Namun, di sisi lain, negara ini tetap menjadi eksportir minyak terbesar di Eropa. Hasil ekspor minyak dimasukkan ke dalam dana kekayaan negara yang “hijau”, tapi tetap saja menyumbang pada krisis iklim global.
Lebih parah lagi, isu pekerjaan nyaris absen dari strategi keberlanjutan mereka. Kebijakan tentang buruh, kualitas kerja, atau transisi pekerja lama ke sektor hijau nyaris tak dibahas. Teknologi menjadi jawaban utama, sementara pekerja dibiarkan beradaptasi sendiri. Dalam konteks ini, pekerjaan berkelanjutan tak lebih dari “pakaian hijau” untuk model ekonomi lama.
Prancis, Portugal, dan Spanyol: Pekerjaan Ramah Lingkungan, tetapi Murah
Negara-negara seperti Prancis dan Spanyol mencoba mengaitkan keberlanjutan dengan penciptaan pekerjaan. Mereka mempromosikan green jobs di sektor energi terbarukan, pertanian organik, dan konservasi alam. Namun, perhatian hanya diberikan pada jumlah pekerjaan, bukan kualitasnya.
Banyak pekerjaan di sektor hijau justru berada dalam kondisi kontrak pendek, upah minimum, dan tanpa jaminan sosial. Sebagian bahkan dilakukan dalam industri yang berisiko tinggi seperti nuklir. Dalam hal ini, “pekerjaan hijau” jadi semacam stiker yang ditempel di sektor-sektor ekonomi yang tetap eksploitatif.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Skotlandia dan Spanyol: Mendorong Transisi yang Adil
Ada juga kisah yang lebih menjanjikan. Skotlandia dan Spanyol mulai mengembangkan pendekatan just transition—transisi energi yang memperhatikan nasib pekerja. Strategi ini tidak hanya soal teknologi dan iklim, tetapi juga soal keadilan sosial.
Di Skotlandia, pemerintah membentuk komisi khusus untuk transisi yang adil, menyertakan serikat buruh, komunitas lokal, dan organisasi lingkungan. Mereka menyadari bahwa transformasi ekonomi harus dilakukan bersama-sama, bukan hanya oleh investor dan teknokrat. Di Spanyol, perjanjian transisi yang adil mencakup kompensasi sosial, pelatihan ulang, dan jaminan bagi komunitas yang terdampak penutupan tambang. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan sekadar soal energi bersih, tapi juga soal siapa yang diikutsertakan dalam proses perubahan.
Polandia dan Slovakia: Masih Terjebak di Industri lama
Sayangnya, di Eropa Timur, semangat pekerjaan berkelanjutan masih jauh panggang dari api. Polandia dan Slovakia masih sangat bergantung pada industri padat karbon seperti batubara. Pemerintah cenderung menolak transisi dengan alasan melindungi tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Serikat buruh di Polandia, alih-alih mendorong perubahan, justru fokus mempertahankan sektor lama.
Kebijakan lingkungan hidup dan ketenagakerjaan tidak saling terhubung. Sektor privat dominan dan transformasi diarahkan oleh investor, bukan masyarakat sipil. Ini menunjukkan bagaimana ketimpangan antara Eropa Barat dan Timur masih terjadi dalam hal visi pembangunan berkelanjutan.
Kapitalisme Hijau dan Ilusi Keberlanjutan
Apa yang bisa kita tarik dari pengalaman sembilan negara ini? Pekerjaan berkelanjutan, dalam banyak kasus, telah direduksi menjadi pekerjaan hijau versi kapitalisme: pekerjaan yang tidak merusak lingkungan (secara teknis), tapi tetap berorientasi pada profit, minim perlindungan sosial, dan tak mengubah struktur kerja yang timpang.
Istilah seperti “green economy” dan “green growth” menjadi alat untuk melanggengkan sistem lama dengan wajah baru. Logika produksi tetap berbasis pertumbuhan dan efisiensi. Nilai kerja hanya dihitung dari kontribusinya terhadap pasar, bukan terhadap kehidupan atau ekosistem.
Padahal, pekerjaan berkelanjutan yang sejati menuntut perubahan struktur: pengakuan terhadap kerja perawatan, distribusi waktu kerja yang lebih adil, dan hak partisipasi penuh bagi pekerja dalam proses transisi.
Di semua negara, kelompok yang paling rentan tetap mengalami kesulitan: perempuan, buruh migran, pekerja muda, dan pekerja sektor informal. Mereka seringkali tak terlibat dalam diskusi transisi, apalagi mendapat perlindungan yang layak. Misalnya, buruh perempuan yang bekerja di sektor perawatan atau rumah tangga nyaris tak pernah masuk dalam hitungan “pekerjaan hijau.”
Padahal, pekerjaan mereka menopang keberlanjutan hidup sehari-hari: merawat anak, orang tua, dan komunitas. Jika kerja-kerja ini terus diabaikan, maka pekerjaan berkelanjutan hanya akan menjadi proyek elit, bukan gerakan rakyat.
Meskipun negara dan pasar masih mendominasi, harapan tetap ada. Di banyak tempat, masyarakat sipil, serikat buruh progresif, dan komunitas lokal mulai menyusun strategi alternatif. Mereka mendorong koperasi energi, ekonomi solidaritas, pengurangan jam kerja, dan pengakuan terhadap kerja reproduktif.
Model-model ini masih kecil, tapi penting. Mereka menawarkan arah baru di luar kapitalisme hijau: arah yang menempatkan manusia dan alam sebagai pusat, bukan profit dan pasar.
Penutup
Pekerjaan berkelanjutan tak seharusnya hanya soal teknis atau lingkungan. Ia harus menjadi pintu masuk untuk membongkar sistem kerja yang tidak adil, eksploitatif, dan merusak kehidupan. Jika hanya difokuskan pada efisiensi dan pertumbuhan, pekerjaan berkelanjutan akan menjadi alat baru kapitalisme, bukan solusi bagi krisis yang kita hadapi.
Sudah waktunya kita bertanya: bukan hanya “apakah ini hijau?”, tapi juga “apakah ini adil?”, “siapa yang bekerja?”, dan “siapa yang mengambil keputusan?” Semua itu karena pekerjaan yang benar-benar berkelanjutan adalah pekerjaan yang adil—bagi manusia, bagi bumi, dan bagi masa depan.
Referensi
Azzellini, Dario. 2021. “Sustainable Work. Country Study of Discourses, Policies, and Actors. An Investigation of Nine European Countries: France, Portugal, Spain, the Netherlands, the United Kingdom, Sweden, Norway, Poland, and Slovakia.” Working Paper of the Specialist Group on Sociology and Labour Market Policy of the HdBA 1. Mannheim/Schwerin, Germany: University of Applied Labour Science.
Foster, John Bellamy. “The meaning of work in a sustainable society: a Marxian view.” CUSP Essay Series on the Ethics of Sustainable Prosperity CUSP 3 (2017): 3-15.
Gilang Mahardika (2023, 15 Oktober). Narasi Kapitalisme Hijau: Ramah di Luar, Tetap Bahaya di Dalam, https://indoprogress.com/2023/10/narasi-industri-kapitalisme-hijau/
Wildan Eka Arvinda adalah mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara, Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah, Tulungagung