Foto: Dokumentasi pribadi
MATAHARI hampir tenggelam sempurna ketika saya tiba di halaman rumah Tata, seorang laki-laki lanjut usia yang sepanjang hidup mengabdi sebagai juru kunci salah satu gunung di Sulawesi Selatan, setelah kurang lebih empat jam mengendarai roda dua. Tata adalah orang yang sering saya kunjungi rumahnya saat hendak melakukan pendakian. Saat berada di sana, setiap kali Tata ingin ke kebun, saya selalu bersedia menemani, entah hanya untuk mengecek aliran air atau sekadar membersihkan semak belukar. Meski saat itu belum pulang, tapi rumah Tata selalu terbuka.
Saya lalu meletakkan carrier di ruang tamu yang sudah penuh dengan barang-barang para pendaki. Angin berembus sedikit kencang. Kabut pun perlahan turun. Dengan sigap saya mengambil jaket untuk melindungi tubuh dari angin yang perlahan menggulung Lembang Bu’ne, kampung di pinggiran Kabupaten Gowa yang berada di ketinggian kurang lebih 1.320 MDPL, terletak di barat daya salah satu puncak gunung yang pasti akrab di telinga para pendaki. Musim kemarau memang sudah tiba, tapi jika malam justru suhu rata-rata bisa lebih dingin dari biasanya, minimum 15 derajat Celsius.
Hidup yang Lain
Tempat yang saya kunjungi ini, wilayah pegunungan atau dataran tinggi, kerap tidak diperhitungkan dengan patut sebagaimana dataran rendah. Itu sering dianggap sebagai dunia yang sama sekali berbeda. Oleh sejumlah kalangan terutama pemerintah, dataran tinggi bahkan dipandang sebagai wilayah terbelakang, tidak produktif, marginal, liar, bahkan di masa kolonial dianggap sebagai wilayah yang masih bersifat mistis dan penuh dengan hal-hal irasional (Santoso, 2019: 25).
Dataran tinggi, utamanya di Indonesia, telah dikonstruksi sedemikian rupa melalui beragam wacana dan praktik. Sebagai komunitas yang hidup “jauh” dari kerumunan, mereka didefinisikan, dibentuk, dibayangkan, dikelola, dikendalikan, dieksploitasi, dan “dibangun” dengan deretan pendekatan, baik melalui karya akademik, kebijakan, aktivisme nasional dan internasional, hingga pemahaman masyarakat awam (Li 2002). Konstruksi mengenai wilayah dataran tinggi semakin tegas saat mereka yang menghuninya juga mengidentifikasi diri sebagai kelompok yang memilih melakoni jalan hidup berbeda. Istilah—yang mungkin akrab didengar—seperti “wong gunung” semakin memperlebar jarak dengan orang-orang yang mendiami dataran rendah.
Namun bukan berarti mereka sepenuhnya tertutup dari kehidupan luar, apalagi saat ini. Berdasarkan catatan Li (2002), penetrasi tanaman-tanaman komersial telah membuat ekonomi hingga setiap sisi dari relasi sosial menjadi makin terintegrasi ke dalam pasar. Dia memberi contoh Sulawesi Tengah. Ledakan tanaman komersial seperti cokelat telah mengubah lanskap bentang alam dan bahkan lapisan sosial menjadi semakin tajam.
Di Asia Tenggara, perluasan pertanian komersial atau boomcrop seperti yang dikatakan Li terjadi sejak abad ke-19. “Demam” komoditas dan akses kredit yang mudah menandai peran pasar semakin intensif hingga membuat komodifikasi atas tanah mengakar. Ketika suatu wilayah mengalami “demam” terhadap komoditas tertentu, orang-orang dari luar akan datang alias mendorong migrasi besar-besaran. Orang yang pindah berharap menjadi makmur. Akibat dari ini adalah meningkatnya penjualan tanah kepada para pedagang (Hall.et.all, 2020). Sebelum dapat melakukan itu, para petani akan berupaya mendapatkan klaim formal dan sifatnya perseorangan atas tanah yang sebelumnya diatur dengan kesepakatan lebih luwes.
Demam komoditas budi daya punya tiga ciri penting. Pertama, melibatkan pesatnya konversi lahan besar-besaran untuk produksi monokultur (nyaris monokultur) (Hall. et. all, 2020). Kedua, biasanya diikuti dengan perubahan penggunaan tanah. Terakhir soal peran dan fungsi para aktor. Ada tiga aktor utama dalam soal ini: petani kecil yang adalah jantung dari semua demam ini; pemerintah yang biasanya berperan memberi subsidi, pinjaman, bantuan, dan infrastruktur; dan perusahaan-perusahaan agrobisnis yang mendirikan perkebunan, menyediakan teknologi produksi, serta merancang industri hilir pengolahan dan pemasaran (Hall. et. all, 2020).
Apa yang terjadi di di Lembang Bu’ne tidak jauh berbeda. Sebelum istilah “desa” atau “kelurahan” dikenal luas, masyarakat sekitar menyebut lingkungan mereka sebagai “galarang”. Lembang Bu’ne merupakan bagian dari Galarang Lembayya, sekarang dikenal dengan Desa Rappolemba. Dahulu, berdasarkan penuturan warga, orang-orang dapat memanfaatkan lahan secara kolektif. Setiap orang dapat mengakses tanah secara bebas dan mengambil manfaat darinya. “Satu petak lahan biasa dipakai oleh 10 orang sekaligus,” begitu kata salah satu dari mereka. “Bu’ne” dalam Lembang Bu’ne berarti ‘buah-buahan’, sementara “Lembang” itu sendiri berarti ‘lembah’. Nama sudah menandakan kemakmuran tempat itu.
Pada 1970-an, kampung yang awalnya memenuhi kebutuhan pangan dari nasi jagung dan umbi-umbian ini mulai dipenuhi oleh beras dan sayuran seperti sawi dan wortel. Komoditas ini diperkenalkan oleh pemerintah dengan dalih bantuan. “Supaya bisa berkembang masyarakat,” ucap Tata kepada saya menurut ingatannya yang sudah samar, sembari kami mengerjakan tanah yang akan ditanami. Pada tahun 1990-an, penanaman tanaman hortikultura semakin intensif. Hal ini ditandai dengan membeludaknya bantuan bibit dan pupuk dari pemerintah setempat.
Saat boomcrop hortikultura “mendarat” di Lembang Bu’ne, kepemilikan atas tanah menjadi lebih tegas. Semua orang mulai memagari kebun masing-masing. Dengan kata lain, skema kepemilikan pribadi mulai tampak. Skema penguasaan atas lahan-lahan penghidupan berubah sedemikian rupa juga terjadi di tengah-tengah situasi konflik antara ABRI dan gerombolan DI/TII. Saat situasi memanas, menurut salah satu warga, mereka diungsikan ke wilayah dataran rendah. Selama masa pengungsian itu warga berjarak dengan tanah-tanah di kampung mereka.
Pola penguasaan atas tanah berubah drastis di kampung tersebut sejak sawi muncul. Tentu ada yang tersingkir. Salah satunya adalah Tata. Dia menggarap lahan yang bukan miliknya sendiri. Petani kecil atau yang biasa disebut petani gurem terpaksa menggarap lahan meskipun hasilnya jauh dari kata cukup. Mereka bertahan karena terbatasnya pilihan yang dapat diambil. Berusaha memiliki tanah sendiri jelas sulit, jika tak mau dibilang mustahil, pun jika hendak beralih ke pekerjaan lain di luar sektor pertanian sebab minimnya keterampilan hingga rezim tenaga kerja yang semakin sulit menyediakan peluang.
Tata mengerjakan lahan milik Armi, nama samaran, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebenarnya masih keluarganya. Dalam relasi produksi semacam ini, hubungan keluarga tidak lagi penting dan menjadi prinsip untuk kesejahteraan bersama. Armi tetaplah pemilik lahan, sedang Tata hanya petani penggarap, tidak lebih. Hasil panen (dalam kasus Tata, sayur-mayur) dijual seluruhnya, hasilnya kemudian harus dibagi dengan pemilik lahan. Jadi, ketika tetap mendapatkan upah stabil per bulan sebagai PNS, Armi juga mengumpulkan pundi-pundi keuntungan dari lahan miliknya yang dikerjakan oleh orang lain tanpa perlu menginjakkan kaki secara langsung pada tanah.
Armi dapat digolongkan ke dalam kategori “petani-kapitalis profesional”, orang yang memiliki pekerjaan non-pertanian, berpendidikan tinggi, serta memiliki pekerjaan profesional (Yistiarani, 2024). Sedangkan Tata tergolong “kelas pekerja” pertanian yang dikontrol oleh penguasa desa. Mereka tidak memiliki alat produksi dan menjual tenaga kerja sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan hidup (Yistiarani, 2024).
Lahan-lahan yang dihiasi hutan-pegunungan sebagai latar, aliran sungai jernih, kabut tipis, hingga lanskap yang hampir semuanya hijau jelas memikat setiap orang, termasuk saya. Namun, potret orang-orang yang hidup di sana tidak selalu terwakilkan dari apa yang tampak di hadapan kita. Sebagian sisinya menggambarkan kesuraman seperti Tata. Meski sistem bagi hasilnya 50:50, petani penggarap tetaplah pihak yang mencurahkan tenaga kerja paling banyak. Segala bentuk ancaman pada lahan seperti kekeringan, serangan hama, biaya pergantian, hingga anjloknya harga pasar pun menjadi urusan penggarap.
Dalam seluruh siklus produksi, Tata harus menghadapi banyak rantai yang dapat membuatnya menjadi semakin rentan. Mengurus kebun milik orang lain membuat hasil yang dapat ia terima sering kali tidak sebanding dengan tenaga kerja yang dicurahkan sepanjang tahun. Belum lagi ketidakpastian cuaca kerap membuat petani gagal menentukan waktu tanam yang tepat. Beberapa petani kecil yang lebih dulu menanam sayur harus merugi di tengah musim kemarau di Lembang Bu’ne saat itu. Tanaman mereka banyak yang mati. Opsi lain adalah mengurangi frekuensi tanam, namun akibatnya adalah semakin sedikit pendapatan.
Kol, kentang, dan bawang merah merupakan komoditas andalan kampung ini. Tanaman-tanaman tersebut ada di hampir setiap lahan. Saat saya ke sana banyak tanaman kol sudah mati dan dibiarkan begitu saja.
Para petani di desa ini bersaing dengan petani desa sebelah yang juga memiliki tanaman sama. Sayangnya petani di kampung ini lebih sering kalah. Akses jalan yang lebih sulit dan jauh (karena berada di ujung) membuat kampung Tata masuk dalam urutan terakhir yang didatangi pedagang. “Lebih sering ambil tanaman yang dekat-dekat,” ucap Tata. Dia menambahkan betapa para petani bergantung pada perantara (tengkulak). Meski harganya murah, namun mereka tetap menjualnya. “Daripada busuk ih,” katanya. Ancaman dan ketidakpastian seperti ini merupakan kenyataan mereka sehari-hari.
Selain itu punya lahan saja jelas tidak cukup. Keterbatasan modal membuat banyak petani tetap tidak bisa berproduksi. “Lihat mi itu (sambil menunjuk lahan di sebelah), Dibiarkan saja karena tidak ada sekali modalnya untuk beli bibit sama pupuk,” katanya. Meski di tengah deretan pegunungan dan lahan yang tampak kaya, beberapa petani yang hidup sebagai orang gunung tidaklah selalu menampakkan kesejahteraan dan ketenangan sebagaimana yang sering dinikmati oleh para pendaki.
Saat perjalanan pulang, begitu hari mulai gelap, setelah mengurus pipa-pipa yang sudah mulai rusak, kami berhenti sejenak melihat sumber air yang begitu deras. Saya heran, di tengah mata air yang begitu deras, mengapa beberapa orang masih terjepit dengan kondisi kekeringan? Saya bertanya ke Tata dan dia menjawab, “Milik pribadi memang itu air. Siapa-siapa yang duluan dapat dan punya uang banyak bisa langsung na kerja. Dan tidak dibagi mi lagi, untuk satu keluarga ji saja.” Modal yang sedikit membuat beberapa orang terpaksa menahan diri untuk mengurus sistem irigasi lebih cepat. Modal pada akhirnya menentukan sejauh mana rumah tangga dapat mengontrol sumber penghidupan yang tersedia di kampung. Dalam beberapa kasus, orang yang lebih dulu mendapatkan sumber air tetap tak bisa berkutik banyak saat dihadapkan dengan modal untuk pembelian pipa (termasuk biaya yang lain). Siapa yang pertama kali memasang pipa, maka ia adalah pemiliknya.
Kami melanjutkan perjalanan dan beristirahat kembali saat hampir sampai rumah. Kami menghisap rokok masing-masing sembari duduk di pinggir kebun. Saya mencoba menggali lebih banyak cerita. Tata selalu memberikan jawaban ringkas, termasuk perkara kepemilikan atas air. Menurutnya dahulu sumber air dapat dimanfaatkan oleh semua orang, baik untuk kebutuhan domestik maupun irigasi kebun. Namun, saat tanaman pasar seperti sawi dan wortel mulai muncul di kampung, relasi orang-orang dengan sumber daya bersama perlahan berubah. Kepemilikan atas sumber daya semakin tegas. Masing-masing sibuk dengan kebun sendiri dan mereka—mungkin secara tidak sadar–bersaing meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan memproduksi tanaman pasar. Sumber daya yang tadinya dapat dimanfaatkan bersama pun menjadi terprivatisasi berdasarkan modal yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga.
Didorong oleh persaingan, tuntutan produktivitas, hingga bayangan soal pundi-pundi uang yang dapat dikumpulkan, masing-masing rumah tangga akhirnya merasa perlu memiliki jaring pengaman sumber penghidupan yang sedang diusahakan. Salah satunya yakni sumber air. Air adalah penyangga kehidupan, utamanya bagi tanah pertanian. Seiring waktu, mata air yang mulanya berlimpah menjadi kian tipis. Ini semakin memperkuat konsentrasi kepemilikan dan akses atas air yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang di kaki gunung. Orang-orang yang memiliki modal lebih banyak cenderung lebih diuntungkan.
Catatan Refleksi
Lembang Bu’ne dan banyak desa sejenis sering disebut sebagai “desa terakhir” oleh para pendaki gunung. Ia hanya dapat diakses setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Namun demikian, segalanya terbayar setelah sampai. Gugusan vegetasi hijau dan rapat, kabut tipis, hingga suara cericit burung hingga serangga menghasilkan suasana magis yang dibutuhkan manusia perkotaan. Semuanya kian lengkap dengan betapa hangatnya orang-orang desa menjamu tamu. Paket lengkap ini menegaskan bahwa perdesaan adalah tempat pelarian paling cocok.
Kondisi-kondisi demikian menjadi dasar untuk memandang desa secara romantik; sebagai suatu komunitas yang adem ayem, guyub rukun, tenteram, hingga memiliki hubungan persaudaraan kuat, baik antaranggota keluarga, komunitas desa, maupun orang dari luar. Kesan ini tertanam di kepala kelompok para pendaki gunung. Mereka melihat desa tanpa konflik, apalagi jika memang hanya sekadar singgah.
Pernahkah para pendaki memikirkan lebih dalam dari itu? Pernahkan para pendaki tidak sekadar memikirkan tentang kegagahan puncak gunung dan lebatnya hutan yang sedemikian rupa memanggil untuk dijelajahi? Pernahkah para pendaki berpikir tentang orang-orang yang mereka tumpangi rumahnya, tentang posisi mereka dalam masyarakat? Pernahkan para pendaki bertanya dan mendengar dengan segala kerendahan hati, kira-kira apa yang mengkhawatirkan mereka yang sepenuh hidupnya bergantung pada tanah, air, dan segala sumber daya yang dapat dimanfaatkan di hutan-hutan? Kompleksitas dinamika perdesaan khususnya masyarakat tani di kaki gunung seharusnya membawa kesadaran tertentu bagi para pendaki untuk tidak sekadar berkunjung, naik hingga beberapa hari, turun, lalu pamit pulang—begitu seterusnya.
Naik gunung adalah perjalanan yang tidak pernah benar-benar berakhir karena yang sebenarnya kita tuju bukanlah semata tugu bertulis nama puncak, melainkan sesuatu yang terus kita jelajahi di dalam diri kita sendiri—yang terhubung dengan kehidupan yang lebih besar di luar sana. Kesederhanaan hidup di alam bebas telah mengajari kita untuk menikmati “apa yang ada, bukan apa yang diinginkan”. Sebotol air tampak sangat berharga saat seseorang berada dalam kondisi darurat. Begitu pula bagi sebagian petani yang tengah berjuang membangun penghidupan dan keluarganya. Oleh karena itu, hiduplah lebih lama bersama mereka yang terpinggirkan akibat kekuasaan segelintir orang.
Referensi
Hery Santoso (2019). Raja Merah di Ladang Kentang: Pertaruhan dan Pembentukan Relasi Kapitalis di Pegunungan. Interlude.
Tania Murray Li. 2022. Kisah Kebun Terakhir. Marjin Kiri: Tangerang Selatan.
Wida Dhelweis Yistiarani. 2024. Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa: Pembangunan Bandara dan Dinamika Kelas Agraria di Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Independen & IndoProgress.
Hall, et.al. 2020. Kuasa Eksklusi. InsistPress: Yogyakarta
Muhammad Riski, akrab disapa Yoyo, bergiat di Perkumpulan Cita Tanah Mahardika (CTM), Gowa