Pedoman Membaca Marx dengan Baik dan Benar

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


Judul buku : Marx Literary Style

Penulis : Ludovico Silva

Penerbit : Verso

Tahun terbit :2023


SAYA sering membaca anekdot di internet tentang para marxis. Salah satu yang tidak asing adalah, “mereka ini bahkan tidak membaca Karl Marx!” Anekdot yang muncul di kalangan intelektual lain lagi: setiap intelektual marxis menuduh intelektual marxis lain keliru membaca Marx. Terlepas dari—secara ironis—praktik dialektika yang “produktif” ini, ada sedikit kebenaran yang perlu direfleksikan dalam kritisisme tersebut. Gerakan dan intelektual kiri perlu belajar bahwa isme tidak sama dengan agama, tokoh bukan nabi, dan teks berbeda dari kitab suci. Ibrahnya mungkin terang benderang—tak perlu dijelaskan namun rasanya perlu ditekankan ulang. 

Ludovico Silva, penyair, esais, dan filsuf dari Venezuela tahu benar soal itu. Dalam buku Marx Literary Style, Silva berfokus pada bagaimana Marx menulis dan seharusnya tulisannya dipahami. Sebelum buku ini, Silva telah banyak menulis tentang Marx dan marxisme, utamanya masalah ideologi dan alienasi yang saling mengiris dan memengaruhi kritik terhadap kapitalisme serta utopia konkret sosialisme. 

Buku ini diantar oleh kritikus budaya dan filsuf asal Italia Alberto Toscano dengan secarik esai bertajuk “Echoes of Marx” (‘Gema dari Marx’). Toscano memulainya dengan deskripsi dari jurnalis dan sejarawan Jerman Franz Mehring tentang bagaimana Marx menulis. Mehring (1927, via Toscano: 2022) menunjukkan soal kegemaran Marx menggunakan bahasa figuratif. Tulisan-tulisan Marx dinilai berselimur majas atau metafora sebagai cara untuk menggambarkan relasi dialektis kapital. Mehring menilai itu dipakai karena Marx sadar soal kemiripan (to homoin theorien). Maksudnya, Marx memahami bahwa relasi abstrak perlu diilustrasikan dan dimanifestasikan melalui komparasi, simbol, serta bahasa agar manusia lebih menyadari hubungan gamblangnya. Maka—lagi-lagi, secara ironis—penggunaan majas dan penulisan puitis menjadi lazim untuk membangkitkan gambaran yang nisbi terang tentang apa itu relasi dialektis.

Hal tersebut, menurut Toscano, diamini oleh Silva. Bagi Silva, puisi adalah senjata yang tidak dapat disingkirkan untuk mencapai pengetahuan asli akan banyak ihwal. Puisi, dalam esensi terdalamnya, adalah dialektika. 

Silva berhasil mengidentifikasi tiga dasar langgam menulis ala Marx: 1) perspektif arkitektonik, 2) dialektika ekspresi serta ekspresi dialektika, dan 3) keahlian penggunaan metafora/majas. Perspektif arkitektonik merupakan perspektif yang tidak memisahkan sistem saintifik dan aspirasi terhadap karya seni (dalam menulis, berarti puisi). Ketika Marx menulis, disiplin ketat ilmu pengetahuan tidak berarti menanggalkan keindahan bahasa. Keindahan bahasa sebagai ekspresi seni kemudian diungkapkan. 

Dalam prakatanya, Silva menunjukkan bahwa sistem saintifik yang diadvokasi oleh Marx didukung oleh sistem ekspresif bahasa. Silva menunjukkan bahwa pilihan kosakata dan susunan kalimat dalam proses menulis merupakan proses atau tindakan berpikir itu sendiri. Menulis, bagi Silva, adalah kata kerja yang senantiasa aktif. Namun, bahasa adalah sarana komunikasi jua. Tanggung jawab tulisan adalah untuk dipahami. Urusan dipahaminya bagaimana, inilah yang kemudian menjelma rumit. Martinet (1960, via Silva: 2023) menjelaskan, “Ekonomi sebuah bahasa tidak lain adalah pencarian abadi untuk kesetimbangan/ekuilibrium antara kebutuhan komunikasi di satu sisi dan kelembaman/inersia ingatan serta artikulasi di sisi lain (perlu diingat bahwa keduanya selalu berseteru).” 

Dalam kasus tulisan Marx, Silva menyorot langgam yang menjamin komunikasi efektif dengan para pembaca. Artinya, ada intensi dari Marx untuk menggunakan majas sebagai ilustrasi, bukan teori. Pembaca misalnya dapat melihat teori dan konsep Marx atas masyarakat secara metaforis sebagai bangunan, arsitektur raksasa, dengan ekonomi sebagai fondasi atau basis dan non-ekonomi termasuk ideologi sebagai suprastruktur. Jika kemudian tulisan Marx dirasa membingungkan, itu karena majas dipahami secara harfiah, dan pada akhirnya menjerumuskan pembaca kepada kesalahpahaman dalam menafsirkan.

Gaya menulis Marx yang puitis bukan berarti surat izin pengkultusan. Silva menekankan betul soal ini. Baginya, menafsirkan karya Marx sebagai Injil adalah paradoks atau ketidaksesuaian anjuran. Materialisme dialektis mensyaratkan pemeriksaan saintifik yang ketat berbasis bukti terhadap hipotesis, menjadikannya kitab suci serta dogma adalah pesan terbalik. Menjadikan tulisan Marx sebagai naskah murni platonik—atau ide abstrak yang diamini belaka—adalah “tidak-Marx-banget”. Silva mengingatkan bahwa Marx adalah ideoklas, seseorang yang gigih merombak ide-ide mapan. Baginya, tulisan Marx harus dipahami melalui dasar filsafatnya: bukan untuk menafsirkan dunia, melainkan untuk mengubahnya (Veränderung).

Bab pertama, bertajuk “Marx’s Literary Origins” (‘Asal Mula Langgam Sastra Marx’), mempelajari sejarah (historiografi) bacaan (biblio-) dan tulisan (scripto-) Marx. Silva menandainya dengan ilham yang mampir di kepala Marx untuk menyelami kepenulisan dan melampaui sastra itu sendiri. Sastra, terutama yang klasik, begitu memengaruhi Marx. Kutipan-kutipan Shakespeare dan Homer ia taburkan dalam risalah-risalah soal ekonomi. Para ahli ekonomi menganggap risalah tersebut sebagai sesuatu yang vulgar karena telah merisak esprit de sérieux atau keseriusan bidang mereka. Puisi kemudian menjadi salah satu dalih untuk mencemari karya Marx sebagai “metafisik”, “sastrawi”, atau bahkan “ideologis”—yang terakhir ini bahkan digunakan secara serius oleh beberapa sosiolog. 

Marxisme kemudian menemukan bentuknya ketika Marx mempelajari bahwa kapitalisme menyangka dirinya abadi. Ketika Marx memeriksa kembali kerangka kebudayaan Barat kala itu, ia menemukan bahwa kapitalisme telah mengumumkan dirinya sebagai Kebudayaan—dengan “K” besar—itu sendiri. Inilah yang kemudian menjadi tugas intelektual Marx: untuk mengutuk “Kebudayaan”. Namun, bukan berarti Marx kemudian mengutuk pendidikan klasik sebagai fondasi sejarah kebudayaan. Baginya, mengutuk kebudayaan klasik yang dikooptasi oleh para borjuis dan kapitalisme hanya karena kebudayaan tersebut telah menjadi simbol kemapanan malah merumitkan masalah. Dalam masyarakat sosialis pun, sangat mungkin bagi warga untuk meminati dan mendalami kebudayaan klasik. 

Silva mengelaborasi temuannya soal langgam dalam bab kedua. Bab yang bertajuk “The Fundamental Features of Marx’s Style” (‘Fitur Dasar Langgam Menulis Marx’) ini menggamblangkan tiga dasar langgam tulisan Marx. Pertama adalah perspektif arkitektonik. Arkitektonik mengasumsikan karya ilmiah sebagai karya seni, mengingat metode yang digunakan secara umum oleh keduanya mengizinkan perspektif tersebut. Agar pikiran dapat menjadi ilmu pengetahuan, ia harus dituangkan secara sistematis. Agar ekspresi dapat menjadi seni, ia harus mau diatur oleh disiplin sistem-sistem. Begitulah maksud mula Marx dalam menulis.

Fitur dasar langgam kedua adalah dialektika ekspresi dan ekspresi dialektika. Dalam menulis, Marx menyadari adanya dialektika dalam ekspresi sastrawi. Marx bahkan meneguhkan dialektika dalam langgam sastra sebagai ungkapan paling sempurna dari gagasan logiko-historis yang melahirkan dialektika. Maksudnya, Marx berhasil menempatkan tanda/penanda (signifiers) verbal sebagai gestur plastis yang dimaksudkan untuk merefleksikan relasi historis dan material dari petanda (signified). Ihwal berikut Marx sarikan dari apa yang ia sebut benih rasional (rational kernel) dari gagasan-gagasan Hegel.

Prinsip tersebut penting dipahami agar Marx tidak disalahtafsirkan. Sebab, jika Marx hanya dimengerti sebatas pada bagian dialektika ekspresi saja, bisa jadi muncul klaim bahwa seorang Marx adalah hegelian.Salah kaprah tersebut malah berpotensi menuduh Marx sebagai penganut ideologi proudhonian: di mana sejarah diatur oleh Ide dan prinsip, alih-alih sebaliknya. Padahal, salah satu tulisan Marx bertajuk The Poverty of Philosophy (Kemiskinan Filsafat) bertujuan untuk meruntuhkan ilusi proudhonian. Menerapkan kategori logis Hegel pada ekonomi politik seperti yang dilakukan Proudhon malah melahirkan chimera, yang tidak menafikan idealisasi dan keabadian kondisi material kapitalis. Artinya, chimera ini hanyalah pemakluman (apologia) metafisik atas sistem. Lagi-lagi, sesuatu yang nggak-Marx-banget.

Mengenai ekspresi dialektika, Silva menyorot bagaimana cara Marx menulis sembari menerapkan filsafatnya sendiri. Pertama-tama, bagi Marx, dialektika bukan semata metode logis tapi juga metode historis. Pertukaran gagasan tidak hanya terjadi antarkepala melainkan melalui gesekan dengan sejarah dan kondisi material. Hal ini disadari betul kemudian menubuh dalam tulisan Marx. Setiap kalimatnya secara sering menampilkan struktur sintaksis di mana istilah yang berlawanan dituangkan dalam korelasi antagonistik sebelum kemudian digabungkan dalam frasa sintesis. Contohnya, “produk dari kerja adalah alienasi, produksi kemudian adalah alienasi secara aktif, alienasi dari kegiatan” (Marx: 1844 via Silva: 2023). Kalimat seperti berikut bertaburan di tulisan Marx, semuanya bertujuan untuk menggambarkan dampak moral, psikologis, dan fisiologis dari kerja-kerja teralienasi. Marx dalam tulisannya ingin menunjukkan bahwa kontradiksi bersifat inheren dalam gerak sejarah hingga ke tata bahasa. Marx bermaksud untuk menyampaikan gagasan dan ide lewat sejarah; dialektika kemudian secara sederhana adalah metode marxis untuk mempelajari sejarah. Pamungkasnya, bahasa yang digunakan Marx adalah teater bagi dialektikanya.

Fitur terakhir dalam langgam Marx adalah penggunaan majas/metafora. Majas barangkali tidak mewakili pengetahuan persisnya, namun mereka punya nilai kognitif sendiri. Setiap majas yang sesuai memperluas daya ekspresif dari bahasa, dan setiap pengetahuan membutuhkan bahasa yang luar biasa ekspresif, sehingga setiap majas pada tempatnya adalah pendamping yang baik bagi pengetahuan. Dalam buku ini, Silva membedah tiga majas besar yang digunakan oleh Marx: 1) majas “suprastruktur”, 2) majas “refleksi”, dan 3) metafora keagamaan.

Majas suprastruktur digunakan oleh Marx untuk menggambarkan sejarah dan pembentukan ideologi. Fondasi ekonomi ia sebut sebagai Struktur dan fasad ideologisnya ia sebut sebagai suprastruktur atau Überbau. Sejarah ia gambarkan secara arkitektonik sebagai sebuah bangunan. Namun, majas berhenti di situ! Marx di kemudian teks menjelaskan secara detail tentang pembentukan ideologi dan hubungannya dengan struktur masyarakat. Suprastruktur di sini adalah majas, sebagaimana alienasi adalah majas etis yang kemudian menjelma penjabaran sosio-ekonomi. Untuk menerima majas sebagai penjelasan saintifik malah menjerumuskan Marx menjadi ideologue semata. Atau, lebih parahnya, menjadikan Marx sebagai penganut platonik yang percaya pada topos hyperouranios, kahyangan ide yang berdiang di atas langit.

Ontran-ontran suprastruktur ini tercermin pula dalam majas “refleksi”. Suprastruktur dalam pengertian Marx bukanlah dunia ideologi yang terpisah dan lebih superior. Ideologi justru hidup dan berkembang di dalam struktur sosial itu sendiri. Ideologi dalam kepala manusia adalah seperti pantulan terbalik dalam camera obscura. Representasi dunia seharusnya mencerminkan manusia yang mengendarai ide, bukan sebaliknya. Marx menjelaskannya dengan lebih spesifik bahwa ideologi dalam realitas kesejarahan-alami adalah seperti gambaran indrawi pada realitas fisik yang dialami. Inilah yang berulang kali ditekankan Marx, bahwa sejarah yang menggerakkan ide, bukan sebaliknya. Ideologi bagi Marx adalah ungkapan (Ausdruck) dari relasi material. Ideologi adalah ekspresi masyarakat—bahasa masyarakat. 

Metafora keagamaan dalam teks Marx sendiri bekerja sebagai majas yang menggambarkan relasi kerja. Alienasi sebab agama bertindak sebagai majas sempurna atas alienasi sebab kerja. Sebagaimana ekonomi yang dibangun berdasarkan kompetisi melawan segalanya dan bukannya distribusi berlandaskan kebutuhan, begitulah agama bekerja berdasarkan ketakutan atas neraka alih-alih kerinduan akan surga. 

Fitur minor lain dari Marx yang berhasil diidentifikasi oleh Silva adalah semangat (spirit) tentang apa yang konkret, yang polemik, dan yang mengejek. Semangat tentang apa yang konkret adalah keteguhan Marx untuk melihat sejarah dan kondisi material konkret. Sementara yang polemik hadir karena gagasan yang tidak disetujui (disukai?) oleh Marx. Kritisisme masamnya begitu korosif sehingga ia dipaksa untuk mengitari Eropa karena diasingkan oleh satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Ketidaksukaan Marx memuncak ketika dalam tulisannya ia memutuskan untuk merendahkan dan mengejek lawan gagasannya. 

Bab ketiga merupakan bagian buku di mana Silva memuji karya-karya Marx. Bertajuk “A Stylistic Appraisal of Marx’s Oeuvre” (‘Taksiran Stilistik atas Karya Marx’), Silva menekankan pola penulisan Marx yang menulis relasi dan korelasi antagonistik selalu berpuncak pada sintesis selaiknya dialektika. Dalam epilog bertajuk “Epilogue on Irony and Alienation” (‘Epilog Ihwal Ironi dan Alienasi’), Silva menarik pelajaran dari studinya tentang langgam Marx. Untuk dapat meniru gaya Marx dengan baik, kita perlu mengingat bahwa seluruh mesin kemarahannya dipasang pada roda gigi bergerigi ironinya. Di akhir hari, Marx adalah seorang ilmuwan pula. Silva menjulukinya ilmuwan prediktif. Dalam masyarakat kapitalis, makna begitu berantakan dan sering kali terbalik. Termasuk—secara ironis—bagaimana kita menafsirkan Marx dalam konteks hari ini. Seorang Marx yang konkret terdistorsi sedemikian rupa menjadi seseorang yang begitu abstrak, begitu asing, begitu alien

Maka, menjadi pekerjaan rumah bagi masing-masing kita, perang panjang untuk membaca Marx dengan baik. Pamungkasnya, membayangkan dunia yang lebih baik adalah mungkin belaka.


Hamzah lebih menyukai menyebut dirinya bermatra jamak seperti larik Walt Whitman. Dapat ditemui di hamzah.id

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.