Ilustrasi: Ilustruth
TRANSISI demokrasi di Indonesia sejak 1998 tidak berhasil membongkar kekuasaan elite super kaya. Ketimpangan ekstrem masih terus berlangsung. Menurut The Guardian, empat orang termakmur menguasai harta setara milik 100 juta warga termiskin, dan kepentingan bermodal masih mendominasi politik (Hadiz, 2012). Siapa pun yang hendak mengupayakan perubahan dari situasi semacam ini tentu mesti memahami terlebih dulu dengan jelas apa yang dihadapi. Dalam perkara inilah kita sering mendengar istilah “oligarki”.
Setidaknya ada dua teori utama tentang oligarki yang sering muncul dalam percakapan. Perspektif pertama dijelaskan oleh Jeffrey A. Winters. Ia mengambil pendekatan weberian yang lebih menekankan pada agensi, dengan fokus pada upaya perlindungan kekayaan oleh individu-individu berkuasa. Perspektif kedua dikembangkan oleh Vedi R. Hadiz dan Richard Robison. Keduanya menggunakan lensa strukturalis marxis dan memandang oligarki sebagai jaringan kelas yang mengakar dan mampu beradaptasi dalam sistem politik dan pasar yang berubah. Memahami perbedaan keduanya sangat penting karena hal ini akan memengaruhi pemahaman kita bagaimana kelas pekerja dapat melawan kekuasaan oligarkis.
Oligarki Menurut Jeffrey A. Winters
Ilmuwan politik kelahiran Amerika Serikat Jeffrey Winters mendefinisikan oligark sebagai “…aktor dengan konsentrasi kekayaan yang sangat besar yang menggunakan sumber daya mereka untuk mempertahankan dan memperluas kekayaan serta posisi sosial eksklusif mereka.” Dalam pandangan Winters, oligarki pada dasarnya adalah proyek “mempertahankan kekayaan” (wealth defense), bukan bentuk pemerintahan tertentu. Hal ini membawanya pada keyakinan bahwa “tidak ada konflik inheren antara demokrasi dan oligarki” (termuat di Winters, 2011, Oligarchy, hal. 281). Winters berpendapat bahwa stratifikasi ekonomi yang ekstrem—sekelompok kecil orang kaya versus mayoritas miskin—adalah akar persoalan, dan hal ini dapat bertahan di bawah berbagai bentuk sistem politik.
Dalam perspektif ini, oligark bisa saja tidak memegang kekuasaan secara langsung. Apa yang penting adalah mereka selalu berusaha melindungi kekayaannya. Demokrasi, dengan pemilu dan prinsip kesetaraan formalnya, tidak serta-merta mampu menggoyahkan posisi oligark. Seperti dicatat oleh Winters, sejarah menunjukkan bahwa para oligark dapat hidup berdampingan, bahkan berkembang, dalam institusi demokratis selama kekayaan mereka tetap aman. Ia mengutip pengamatan Aristoteles bahwa demokrasi dan oligarki dapat menyatu secara stabil “selama mayoritas rakyat miskin tidak mengancam minoritas orang kaya… dan minoritas orang kaya tidak mengakumulasi kekayaan sampai tingkat yang membuat rakyat miskin menjadi ancaman politik.”
Kerangka pikir Winters mengklasifikasikan politik oligarki berdasarkan cara kekayaan dipertahankan dalam berbagai rezim. Dalam oligarki sipil (seperti di Amerika Serikat atau Singapura masa kini), para oligark tidak menggunakan kekerasan melainkan mengandalkan institusi hukum yang kuat untuk melindungi hak milik. Sebaliknya, di negara dengan supremasi hukum yang lemah, oligark menggunakan kekayaannya untuk membelokkan atau merusak institusi. Indonesia menjadi contoh nyata. Selama masa Orde Baru Soeharto—Winters menyebutnya sebagai “oligarki sultanistik”—para pengusaha besar bergantung pada perlindungan sang diktator. Setelah kejatuhan Soeharto, Indonesia bertransformasi menjadi demokrasi elektoral tetapi para oligarknya “memerintah secara kolektif… tanpa dikekang oleh sistem hukum yang mudah mereka manipulasi dengan uang.”
Pemilu dan proses demokrasi formal memang kembali berjalan, namun elite kaya hanya mengubah taktik—mendanai partai, menyuap pejabat, dan memiliki media massa—untuk tetap menjaga kekayaan mereka. Logika pertahanan kekayaan tetap dominan. Bahkan Winters mengamati bahwa ketegangan sosial-politik yang sebenarnya terletak pada kekayaan yang terakumulasi, bukan pada apakah oligark memegang kekuasaan formal. Selama demokrasi tidak secara signifikan mengancam aset mereka, para oligark dapat menerima dan bahkan memanfaatkan demokrasi.
Perspektif ini menyiratkan bahwa membatasi kekuasaan oligark bukan semata soal memilih demokrasi ketimbang oligarki, melainkan lebih kepada “menjinakkan” oligark melalui supremasi hukum atau memberi insentif agar mereka bersedia menerima reformasi. Namun pendekatan ini dapat menjadi problem bagi politik kelas pekerja. Akan dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Pandangan Strukturalis Hadiz & Robison
Berbeda dengan Winters, ilmuwan sosial asal Indonesia Vedi R. Hadiz dan ilmuwan dari Australia Richard Robison menawarkan kritik strukturalis yang berakar pada ekonomi politik dan analisis kelas marxis. Dalam Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, mereka berpendapat bahwa oligarki di Indonesia bukan sekadar kumpulan individu kaya melainkan jaringan elite politik-bisnis berbasis kelas yang terbukti sangat tangguh menghadapi berbagai perubahan sejarah. Menurut Hadiz dan Robison, kejatuhan Soeharto serta hadirnya pasar neoliberal dan institusi demokrasi tidak secara mendasar mengubah struktur kekuasaan. Apa yang terjadi justru adalah reorganisasi hubungan kekuasaan oligarkis yang telah tumbuh selama Orde Baru, sehingga kepentingan elite tetap dapat bertahan dan beradaptasi dalam era terkini. Demokratisasi dan liberalisasi, dalam pandangan mereka, “dilembagakan demi kelangsungan kepentingan yang dibesarkan di bawah rezim Soeharto,” bukan untuk menghapusnya (Hadiz & Robison, 2004). Dengan kata lain, ketika sistem otoriter lama tidak lagi dapat dipertahankan, elite menemukan bentuk baru untuk menyesuaikan diri di iklim “reformasi”.
Hadiz dan Robison menekankan bagaimana para oligark (dalam pengertian kelas) mengolonisasi institusi-institusi baru dalam demokrasi dan pasar. Partai politik, pemerintah daerah, bahkan organisasi masyarakat sipil pasca-1998 diwarnai oleh infiltrasi atau kooptasi kepentingan modal. Para “bos predator” lokal dan kroni rezim lama menemukan kehidupan baru melalui desentralisasi, yang memungkinkan mereka menguasai pemerintahan daerah dan sumber dayanya. Taipan bisnis berubah menjadi penyandang dana partai atau bahkan legislator. Hasilnya adalah fusi informal antara kekuatan ekonomi dan kekuasaan politik dalam demokrasi Indonesia, yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai politico-capitalist. Studi terbaru dari Forum Kajian Pembangunan menunjukkan bahwa 45% anggota DPR dan 65% menteri kabinet (periode 2019–2024) memiliki keterkaitan langsung dengan perusahaan swasta. Ini jelas mencerminkan pertautan antara kepentingan elite dan jabatan publik.
Reformasi-demokrasi memang menggeser lokasi kekuasaan, tetapi tidak mengubah watak kelasnya. Jika pada era Soeharto elite bisnis bekerja melalui negara otoriter, maka pada era demokrasi mereka secara langsung mengambil peran politik, memanfaatkan kekayaan untuk memenangkan pemilu dalam lingkungan kampanye yang berbiaya tinggi. Oligarki, dalam pengertian struktural ini, tetap eksis sebagai sistem dominasi kelas meskipun cara kerjanya telah berubah dari kediktatoran terbuka menjadi politik elektoral berbasis patronase.
Secara kritis, pendekatan Hadiz–Robison menyoroti bahwa oligark dapat memperbarui dirinya sendiri. Dalam setiap krisis atau perubahan—seperti krisis keuangan Asia, berakhirnya kekuasaan militer, hingga desentralisasi—jaringan oligark mampu “menyusun ulang” (reorganize) diri mereka melalui akomodasi dan institusi baru. Jauh dari terancam oleh demokrasi, elite justru menggunakan proses demokratis untuk melegitimasi dan melanggengkan kendali mereka (misalnya dengan mendanai beberapa partai politik sekaligus agar siapa pun yang menang tetap berutang pada mereka). Pandangan ini menyiratkan bahwa oligarki sangat tertanam dalam struktur ekonomi-politik Indonesia—sebuah warisan dari perjuangan kelas historis dan aliansi antara pejabat negara dan kapitalis. Ini bukan sekadar soal beberapa individu korup, melainkan tentang sistem yang terus mereproduksi dominasi elite kecuali jika dilawan secara mendasar.
Bagi gerakan kelas pekerja, analisis ini menegaskan bahwa perubahan sejati memerlukan transformasi struktural, bukan sekadar pergantian orang di puncak kekuasaan.
Bahaya “Agensi” pada Agenda Politik Kelas Pekerja
Perbedaan antara teori Winters dan Hadiz–Robison bukan sekadar wacana akademik, melainkan memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana kita membayangkan perjuangan melawan oligarki. Kerangka kerja Winters yang berpusat pada agensi dan wealth defense memberikan pengingat penting bahwa para oligark akan memanfaatkan rezim apa pun demi melindungi kekayaan mereka, serta bahwa demokrasi formal saja tidak menjamin kesetaraan ekonomi (Hadiz & Robison, 2004). Namun, dengan menyatakan bahwa tidak ada benturan inheren antara demokrasi dan oligarki, pendekatan ini berisiko menimbulkan strategi yang minimalis atau bahkan pasif. Jika oligark dapat “dijinakkan” dalam demokrasi melalui supremasi hukum dan insentif yang cerdas, maka fokus strategi bisa saja bergeser dari membongkar oligarki ke sekadar mengelolanya. Pendekatan ini terlalu menekankan pada agensi individu oligark—seolah-olah membujuk atau menekan beberapa miliarder untuk bersikap lebih baik (atau menggantikan satu kelompok taipan dengan kelompok lainnya) dapat menyelesaikan masalah. Misalnya, Indonesia dapat menggantikan generasi lama konglomerat era Soeharto dengan sekelompok pengusaha teknologi atau wirausahawan politik baru, dan menyebutnya sebagai kemajuan. Namun jika struktur dasar dari konsentrasi kekayaan dan privilese elite tetap tak berubah, maka kelas pekerja tidak akan memperoleh banyak manfaat. Fokus yang sempit pada perilaku oligark justru dapat melegitimasi “oligarki pengganti”, hanya menukar tokoh-tokoh di puncak kekuasaan tanpa mengubah sistem yang memungkinkan dominasi mereka.
Dari perspektif kelas pekerja, pendekatan strukturalis Hadiz dan Robison jauh lebih mencerahkan. Mereka menyadari bahwa pembebasan sejati bagi kaum buruh dan kelompok miskin memerlukan pembongkaran pilar-pilar struktural kekuasaan oligark. Sebuah transformasi yang jauh melampaui sekadar menjinakkan beberapa individu kaya. Ketahanan oligarki Indonesia di tengah reformasi demokratis adalah pelajaran penting: tanpa tekanan terorganisir dari bawah untuk mengubah struktur ekonomi-politik, kekuasaan elite hanya akan bermetamorfosis dan terus bertahan. Singkatnya, oligarki dan demokrasi memang dapat hidup berdampingan, tetapi “koeksistensi” itu sering kali berarti demokrasi menjadi kosong, sekadar fasad sementara hasil-hasil politik ditentukan oleh oligark di balik layar. Agar demokrasi memiliki makna bagi kelas pekerja, keseimbangan kekuasaan harus bergeser secara mendasar. Ini menuntut pemahaman bahwa oligarki adalah musuh sistemik yang hanya dapat dilawan melalui aksi kolektif dan perubahan struktural.
Agenda untuk Gerakan Kelas Pekerja di Indonesia
Pada bagian ini saya akan menggunakan contoh-contoh historis untuk menawarkan rancangan agenda bagi kelas pekerja Indonesia membongkar kekuasaan oligarkis, bukan sekadar mengganti elite yang berkuasa.
Jika dominasi oligarki di Indonesia bersifat struktural dan mendalam, maka respons yang dibutuhkan haruslah sama berani dan menyeluruh. Beruntung, sejarah Indonesia sendiri serta pengalaman internasional menawarkan pelajaran berharga. Dari politik buruh yang militan pada era 1950-an, kita belajar bahwa gerakan kelas pekerja dapat menantang kekuasaan oligarki—tetapi hanya jika didukung oleh organisasi yang independen, solidaritas antarkelompok, dan program transformasi yang jelas. Agenda berikut merumuskan prinsip-prinsip kunci dan strategi-strategi utama yang dapat digunakan oleh kelas pekerja untuk menghadirkan tantangan serius terhadap kekuasaan oligarkis yang telah mengakar.
Indonesia pada era 1950-an memberikan contoh mencolok tentang bagaimana gerakan kelas pekerja yang kuat mampu mengubah lanskap politik nasional. Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan federasi serikat buruh sekutunya, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), membangun basis massa yang luas di seluruh negeri. Pada pertengahan 1950, SOBSI mengklaim memiliki sekitar 2,5 juta anggota yang tersebar di puluhan serikat afiliasi (lihat Habibi, 2016, Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran), menjadikannya organisasi buruh terbesar di republik yang masih muda. Di bawah kepemimpinan D. N. Aidit, PKI tumbuh secara eksplosif, dari partai yang sempat dilarang dan hanya memiliki beberapa ribu kader pada 1951 menjadi kekuatan besar dengan 1,5 juta anggota pada 1958 dan memperoleh sekitar 16% suara nasional dalam Pemilu 1955.
Koalisi buruh-tani ini mendorong perubahan radikal, yakni redistribusi tanah untuk petani miskin, nasionalisasi perkebunan dan industri asing, kenaikan upah dan perlindungan sosial bagi buruh, serta kebijakan ekonomi anti-imperialis yang tegas. Serikat-serikat di bawah SOBSI bersifat militan. Misalnya, pada tahun 1950, buruh perkebunan dan minyak menyelenggarakan pemogokan besar yang berhasil menekan pemerintah untuk menaikkan upah dan bahkan menerapkan skema pensiun (Donald, 1964, hlm. 148). Melalui aksi-aksi ini, gerakan buruh secara langsung menantang kepentingan korporat warisan kolonial maupun kapitalis pribumi yang diuntungkan oleh sistem baru.
Ada beberapa sorotan penting dari pengalaman PKI-SOBSI. Pertama, organisasi kelas yang independen merupakan kunci. Tidak seperti partai lain yang bergantung pada patron elite atau militer, PKI membangun basisnya di kalangan buruh dan tani, dengan mengembangkan kader dan agenda politiknya sendiri. SOBSI, meskipun dipengaruhi oleh PKI, beroperasi sebagai front luas kelas pekerja—bahkan beberapa serikat non-komunis turut mendukung kampanye SOBSI karena efektivitasnya (Feith, 1958, hlm. 50). Independensi ini memungkinkan gerakan buruh menyuarakan tuntutan yang dihindari partai-partai mapan serta membuatnya sulit dikooptasi oleh elite penguasa saat itu.
Kedua, gerakan tahun 1950-an membangun solidaritas lintas sektor—antara buruh industri, buruh perkebunan, serikat pekerja kota, dan organisasi petani (sering melalui Barisan Tani Indonesia/BTI). Solidaritas ini memperkuat posisi mereka, terlihat dari aksi koordinatif dalam pendudukan perusahaan-perusahaan milik Belanda pada 1957–1958, ketika buruh dan aktivis lokal mengambil alih aset-aset korporasi dan memaksa negara untuk menasionalisasinya. Ketiga, agenda yang diusung bersifat struktural dan tidak kompromistis: mereka tidak hanya menuntut reformasi kecil tetapi mengusulkan perubahan menyeluruh dalam struktur kekuasaan ekonomi (melalui reforma agraria, nasionalisasi, dan hak-hak buruh) demi kepentingan rakyat banyak.
Meskipun PKI dan SOBSI pada akhirnya dihancurkan dalam pembantaian anti-komunis tahun 1965—sebuah tragedi yang melenyapkan kekuatan kiri Indonesia—kekuatan mereka di era 1950-an tetap menjadi bukti apa yang dapat dicapai oleh gerakan kelas pekerja yang militan dan terorganisir dalam menghadapi kepentingan oligarkis. Ketiadaan gerakan serupa dalam dekade-dekade setelahnya, akibat pembantaian massal dan represi Orde Baru, memberikan ruang bebas bagi oligarki untuk mengkonsolidasikan kekuasaan ekonomi selama masa Soeharto. Oleh karena itu, merebut kembali warisan organisasi kelas pekerja ini menjadi langkah penting dalam perjuangan kontemporer melawan dominasi oligarki.
Prinsip-Prinsip Kunci untuk Agenda Baru Kelas Pekerja
Berdasarkan pelajaran historis yang telah dipaparkan, gerakan kelas pekerja di Indonesia dapat menyusun agenda yang berani dengan menekankan pada kemandirian, solidaritas, dan perubahan struktural. Berikut ini adalah prinsip-prinsip utama yang seharusnya menjadi pedoman bagi agenda tersebut:
1. Organisasi Politik Kelas yang Independen
Kelas pekerja membutuhkan suara sendiri di ranah politik. Ini berarti membangun atau memperkuat partai politik (atau koalisi) yang berakar pada serikat buruh, petani, dan rakyat biasa—dan benar-benar independen dari partai-partai yang dikuasai elite. Tanpa kendaraan politik independen, kepentingan buruh akan selalu terserap dalam agenda elite yang berkuasa. Selama hampir lima dekade sejak 1965, Indonesia kekurangan representasi kelas pekerja yang sejati di parlemen. Upaya-upaya baru seperti pembentukan Partai Buruh oleh serikat pekerja merupakan langkah awal yang penting, meskipun masih diperdebatkan efektivitas dan arah perjuangannya.
Partai atau front independen seperti ini dapat mengusung kebijakan pro-buruh seperti upah minimum yang layak, jaminan kerja, dan perlindungan sosial tanpa harus tunduk pada veto dari oligarki yang bermain di balik layar. Kuncinya adalah menolak pendanaan dan kontrol dari taipan, agar perwakilan terpilih hanya bertanggung jawab pada konstituennya. Blok politik buruh yang terorganisir juga dapat menegosiasikan kebijakan secara langsung dengan negara, seperti yang dilakukan aliansi buruh dan sosial-demokrat di negara-negara Skandinavia, dengan posisi tawar yang kuat.
2. Mendorong Reformasi Struktural (Pertanahan, Keuangan, dan Pendanaan Politik)
Agenda kelas pekerja harus fokus pada reformasi struktural yang secara langsung melemahkan akumulasi kekayaan oligarki dan memperkuat posisi rakyat. Tiga bidang prioritas utama adalah: pertanahan, sistem keuangan, dan pembiayaan politik.
Reforma agraria sangat krusial (Habibi, 2022). Ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia—dengan banyaknya perkebunan besar dan konsesi tanah yang dikuasai korporasi—telah membuat jutaan rakyat pedesaan hidup tanpa lahan atau dalam kondisi rentan. Melaksanakan reforma agraria yang sejati, termasuk distribusi tanah yang menganggur atau dimonopoli kepada petani tak bertanah serta pengakuan atas hak ulayat, akan melemahkan kekuatan oligarki perdesaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Ini merupakan tuntutan kiri pada 1950-an dan tetap relevan hingga kini, karena ketimpangan agraria terus menjadi sumber kemiskinan dan konflik struktural.
Reformasi keuangan juga sangat penting sebagai instrumen redistribusi kekayaan dan penguatan kapasitas negara untuk membiayai program sosial. Saat ini, sistem perpajakan di Indonesia sangat menguntungkan orang kaya. Rasio pajak terhadap PDB Indonesia (tax ratio) berada di bawah 11%, salah satu yang terendah di Asia Tenggara, yang mencerminkan lemahnya kontribusi kelas atas terhadap pembangunan nasional. Oleh karena itu, agenda kelas pekerja harus mendorong:
- Pengenaan pajak kekayaan (wealth tax) secara langsung terhadap aset-aset besar yang dimiliki oleh individu ultra-kaya, termasuk properti mewah, kepemilikan saham dalam jumlah besar, dan barang-barang bernilai tinggi. Pajak ini akan menyasar kekayaan yang selama ini tidak tersentuh oleh mekanisme pajak penghasilan konvensional.
- Penerapan pajak progresif yang lebih tajam, di mana tarif pajak meningkat secara signifikan seiring dengan kenaikan penghasilan. Reformasi ini tidak hanya akan menghasilkan pendapatan negara lebih besar, tetapi juga memperkuat keadilan sosial dengan membatasi penumpukan kekayaan berlebihan.
- Pajak warisan terhadap harta yang ditransfer antargenerasi dalam keluarga-keluarga kaya. Tanpa regulasi ini, kekayaan besar dapat diwariskan tanpa dikenai beban, memperkuat dinasti kekuasaan ekonomi dan memperlebar kesenjangan antarkelas.
- Reformasi sistem pajak korporasi dan penghapusan insentif fiskal yang merugikan publik, termasuk penghindaran pajak oleh perusahaan besar melalui celah hukum dan manipulasi transfer pricing. Transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan perusahaan harus diperkuat untuk memastikan bahwa bisnis besar berkontribusi secara adil.
Langkah-langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kapasitas fiskal negara, tetapi juga mengurangi dominasi oligarki yang selama ini leluasa mengamankan kekayaannya dari kewajiban sosial. Dengan pendapatan pajak yang lebih adil dan berkelanjutan, negara dapat memperluas jaminan sosial, pendidikan, layanan kesehatan, dan menciptakan sistem ekonomi yang lebih berpihak kepada mayoritas rakyat.
Reformasi perpajakan bukanlah sekadar soal teknis fiskal, tetapi merupakan perjuangan politik untuk membalikkan arah distribusi kekuasaan ekonomi. Pajak menjadi alat untuk mendobrak privilese kelas atas dan memperluas ruang kesejahteraan bagi kelas pekerja dan kelompok miskin. Dalam konteks ini, memperjuangkan keadilan pajak adalah bagian integral dari strategi melawan oligarki.
3. Menolak Kooptasi Elite dan Jalan Pintas Populis
Gerakan kelas pekerja harus menjaga jarak secara prinsipil dari kooptasi elite. Sejarah menunjukkan bahwa sebagian elite kadang memberikan patronase atau konsesi simbolik untuk menumpulkan kekuatan gerakan rakyat. Baik itu politisi kaya yang membentuk “sayap buruh” dalam partainya atau pemimpin populis yang didanai taipan dan mengklaim membela rakyat kecil, semua itu bisa menjadi jebakan yang melemahkan energi gerakan akar rumput.
Dalam era reformasi, buruh Indonesia telah mengalami hal ini—misalnya, beberapa pemimpin serikat dikutip masuk menjadi penasihat atau legislatif partai-partai mapan, namun akhirnya terbentur oleh kepentingan oligark yang mendanai partai-partai tersebut. Untuk benar-benar melawan oligarki, gerakan harus menolak kesepakatan yang mengorbankan independensinya. Ini tidak berarti menolak semua bentuk aliansi, namun aliansi dengan elite harus dibangun secara skeptis dan bersyarat tanpa mengorbankan tuntutan utama.
Selain itu, gerakan harus waspada terhadap retorika populis tanpa isi—pemimpin yang lantang soal “korupsi” atau “pejabat busuk” namun tetap mempertahankan sistem oligarkis di belakangnya. Tujuannya bukan menggantungkan diri pada elite baru melainkan membongkar struktur kekuasaan elite itu sendiri. Dengan menjaga integritas dan akuntabilitas organisasional, gerakan kelas pekerja dapat terus mendorong agenda perjuangannya terlepas dari siapa yang berkuasa, dan bernegosiasi dari posisi yang kuat, bukan dari ketundukan.
Kesimpulan
Kelas pekerja Indonesia memiliki musuh tangguh: oligarki yang telah mengakar kuat dan berhasil bertahan melewati revolusi, rezim diktator, hingga transisi demokrasi. Perdebatan antara pemikir seperti Winters dan Hadiz/Robison menunjukkan bahwa meskipun demokrasi secara formal telah hadir, kekuasaan oligarkis secara substansial masih tertanam dalam struktur sosial dan politik bangsa. Bagi jutaan rakyat yang tertinggal—buruh yang bekerja dengan upah rendah, petani tanpa tanah, dan masyarakat miskin kota yang hidup dalam ketidakpastian—janji demokrasi akan terdengar hampa jika kekayaan dan privilese oligarki tidak dihadapi secara langsung. Hal ini menuntut kita untuk melampaui anggapan bahwa perubahan pemimpin atau penguatan hukum saja cukup. Apa yang sebenarnya dibutuhkan adalah gerakan rakyat banyak untuk merestrukturisasi fondasi kekuasaan.
Agenda yang telah diuraikan memang ambisius, tetapi memiliki dasar kuat dalam preseden historis dan kebutuhan praktis. Indonesia pernah memiliki gerakan buruh terkuat di dunia berkembang, dan pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa oligarki bukanlah kekuatan yang tak terkalahkan. Melawan oligarki pada akhirnya berarti memperdalam demokrasi, agar “kekuasaan rakyat” bukan sekadar slogan kosong melainkan kenyataan hidup di mana kekayaan dan sumber daya masyarakat dikelola oleh dan untuk kepentingan mayoritas.
Perjalanan ini tidak akan mudah. Elite yang telah lama berkuasa akan melawan di setiap langkah—dan sejarah menunjukkan, mulai dari represi 1960-an hingga kooptasi institusi-institusi era reformasi, betapa jauh mereka bersedia bertindak demi mempertahankan kepentingannya. Namun sejarah baik global maupun lokal membuktikan bahwa gerakan kelas pekerja yang terorganisir dan bertekad mampu mewujudkan hal yang tampak mustahil. Dengan belajar dari perjuangan masa lalu dan membangun front persatuan baru, kelas pekerja Indonesia dapat menyusun agenda bukan hanya untuk mengganti satu oligark dengan yang lain, tetapi untuk membongkar kekuasaan oligarki secara menyeluruh, demi menciptakan masyarakat yang lebih adil, setara, dan demokratis.
Referensi
Hadiz, Vedi R. “Democracy and money politics: The case of Indonesia.” In Routledge handbook of Southeast Asian politics, pp. 71-82. Routledge, 2012.
Winters, Jeffrey A. Oligarchy. Cambridge University Press, 2011.
Hadiz, Vedi R., and Richard Robison. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. RoutledgeCurzon, 2004.
Indonesia at Melbourne, “Indonesian oligarchs are defending their wealth at the cost of democracy” (April 2022).
Guardian (World News). “Indonesia’s four richest men worth as much as the poorest 100 million.” 22 Feb 2017.
Hindley, Donald. The Communist Party of Indonesia, 1951-1963. Berkeley: University of California Press, 1964.
Feith, Herbert. The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia. Ithaca, N.Y.: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Dept. of Far Eastern Studies, Cornell University, 1958.
Socialist Alternative. “A Short History of the Indonesian Communist Party – Part 2.” (Data on PKI and SOBSI growth and 1950s actions)
Forum Kajian Pembangunan (FKP) Seminar Abstract. “Business–politics relations in Indonesia: the oligarchization of democracy.” 18 March 2025.
Habibi, Muchtar. Capitalism and agrarian change: Class, production and reproduction in Indonesia. Routledge, 2022.
Rizvi Nahar Ilhammullah, pegiat di Fisipol Corner UGM (dulu MAP Corner Club).