Memahami Pekerja dan Kapital: Belajar dari Mario Tronti

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Autonomies


Judul buku : Workers and Capital

Penulis : Mario Tronti

Penerbit : Verso

Tahun terbit :2019


DEKADE 1960-an adalah periode politik penuh gejolak dalam lanskap internasional, dan bahkan cukup menentukan trajektori gerakan kiri setelahnya. Dalam narasi umum, aneka gerakan sosial dan politik yang terlibat sepanjang tahun ini digambarkan dalam citra yang “baik” dan penuh “harapan serta mimpi”. Tak hanya itu, seperti diutarakan Hardt, proyek politik yang berkarakter progresif dan revolusioner ini mengambil ragam wajah. Keadilan, perdamaian, dan kebebasan adalah ukuran capaian utama yang diperjuangkan oleh mereka. Narasi umum juga menggambarkan bahwa tahun 60-an adalah tahun ketika segala sesuatu berjalan dengan “benar” dan “baik”, yang amat sangat terbalik, jika bukan bertolak belakang, dengan situasi politik tahun 70-an yang bahkan diklaim tak terjadi apa pun (Hardt, 2023). Tahun-tahun ini begitu membekas dalam memori kolektif generasi radikal saat itu, khususnya di Italia. 

Sebelum lebih jauh, sejarah tahun 1950-an akan dibahas terlebih dahulu sebagai latar yang memungkinan dekade berikutnya muncul. Tahun 1950-an adalah periode ketika transformasi ekonomi berlangsung dalam skala yang masif di Italia, ditandai dengan proses industrialisasi besar-besaran yang berpusat pada bagian utara dan utamanya di tiga kota, yakni Turin, Milan, dan Genoa sebagai lokasi industri skala besar. Proyek industrialisasi ini ditopang utamanya oleh proses migrasi internal, yang membuatnya menjadi kasus khas Italia (Virno & Hardt, 2010), yaitu perpindahan penduduk desa ke kota, atau dari wilayah selatan ke utara. 

Secara umum, periode ini adalah masa Italia disebut-sebut mengalami “keajaiban” ekonomi yang menikmati peningkatan produktivitas dan konsumsi secara drastis. Meski demikian, yang penting untuk ditekankan adalah pasca-Perang Dunia Kedua, kondisi kapital Italia tetap utuh bahkan membesar selama masa perang. Namun, satu-satunya rintangan utama dalam menghalangi proses akumulasi tetap berjalan lancar adalah pekerja itu sendiri. 

Bila secara ekonomi menikmati masa “bulan madu” industrialisasi yang besar-besaran; Italia secara politik mengalami periode yang oleh Gigi Roggero disebut “political desert” (secara literal diartikan “gurun politik”) yakni kondisi ketiadaan perspektif politik yang sungguh-sungguh revolusioner. Semenjak Perang Dunia Kedua berakhir, dan gencar-gencarnya perkembangan industrial setelah itu, Italia justru mendapati kondisi krisis gerakan buruh yang tidak hanya terjadi di negerinya bahkan di seluruh dunia. Pada saat yang sama, setelah kekalahan militer fasis dan Nazi di Italia utara dan selatan, partai kiri mendapat momentum untuk pertumbuhan yang begitu pesat dalam kancah politik, utamanya Partai Komunis Italia (seterusnya disingkat PKI).

Basis yang begitu mengakar di pabrik-pabrik membuat PKI, apalagi setelah Palmiro Togliatti pulang dari eksilnya di tahun 1944 dan menjadi pemimpin partai, mendapat keuntungan yang paling besar dan menjadi dasar bagi haluan kebijakan partai yang berpusat pada rekonstruksi pasca-perang: kebijakan pertumbuhan ekonomi sebagai jalan menyelamatkan Italia. Kebijakan ini bukannya tanpa masalah karena justru malah mengorbankan kemajuan dan kondisi organisasi pekerja di lantai pabrik yang telah dicapai semasa Resistance—era perlawanan terhadap Nazi Jerman dan rezim fasis Benito Mussolini. 

PKI memiliki sejarah panjang beraliansi dengan Partai Sosialis Italia (PSI). Keduanya sama-sama menggariskan kebijakan pertumbuhan ekonomi demi menyalamatkan negara, strategi “partai baru” yang menyasar massa populer, serta menghindari antagonisme kelas sebagai bukti visi reformis yang dipilih. Kesamaan visi keduanya cukup wajar mengingat mereka sudah sejak 1934 hingga 1956 (selama 22 tahun) menjalin kolaborasi bernama “unity of action”. Meski sama dalam watak yakni reformis, perjalanan keduanya tak serupa. Tahun 1956 menandai titik balik sejarah PKI dan PSI. Basis tradisional PSI mulai mengalihkan dukungan ke PKI. Wright menilai PKI juga mampu meraih dukungan dari kalangan “intelektual organik” pasca-1945 karena kultur pasca-perang yang mereka implementasikan: memadukan tradisi “historisisme” dan pendekatan popular untuk menggaet massa luas dalam rangka mendorong reformasi sosial (Wright, 2017). 

Kondisi politik tahun ’50-an di Italia itu sangat kompleks, dan itu juga tercermin dari manuver partai kiri “historis” seperti PKI dan PSI. Dekade ini dapat dikatakan sebagai masa-masa pelik bagi politik revolusioner. Namun, di sisi lain, juga membuka ruang untuk memulai penyelidikan kritis terhadap kesalahan dan kekalahan kiri di masa lalu sehingga menjadi lahan bagi tumbuhnya benih tendensi politik baru yang dengan segera mengundang perhatian internasional. Tahun 50-an menjadi periode transisi yang berkarakter “historisis” dan “teleologis”. Segala inisiatif politik yang revolusioner dan antagonisitik melampaui bentuk kelembagaan formal karena dianggap hanya mimpi di siang bolong.

Inilah konteks bagi kemunculan operaismo (dalam bahasa Inggris disebut workerism, meskipun istilahnya menimbulkan pro dan kontra) yang, menurut Gigi Roggero, muncul terlalu dini, jika bukan tidak tepat waktu (Roggero, 2023b). 

Operaismo, kalaupun bisa dibilang tradisi politik, adalah tempat berkumpulnya aktivis dan militan radikal Italia saat itu. Sebut saja: Raniero Panzieri, Romano Alquati, Antonio Negri, dan Mario Tronti. Hampir semuanya berpartisipasi aktif dalam spektrum luas gerakan sosial-politik yang mengemuka, dan mereka pun berkontribusi secara aktif melalui upaya teorisasi. Jurnal Quaderni Rossi dan Classe Operaia adalah buktinya. Kecenderungan yang melihat ketakterpisahan antara teori dan praktik ini menubuh dalam aktivisme mereka yang bersifat radikal. Namun, dalam kesempatan ini, saya hanya akan fokus pada sosok Tronti dan pemikirannya yang tertuang dalam buku berjudul Workers and Capital

Tronti lahir dari keluarga kelas pekerja pada tahun 1931. Sejalan dengan komitmen komunisnya, dia mendedikasikan sebagian besar hidup untuk membantu menjalankan dan membesarkan partai, khususnya PKI. Di partai ini Tronti pernah menjabat sebagai sekretaris cabang di universitas. Setelah itu, ia pernah menjabat dua kali sebagai senat di tahun 1992 dan 2013, di dua partai berbeda yang masih punya hubungan dengan PKI: Democratic Party of the Left (PDS) dan Enrico Letta’s Democratic Party (Gent, 2023). Aktivitas politiknya terbilang cukup intensif dan panjang. Meski begitu, kontribusi pemikirannya pun tak bisa diremehkan.

Dari sekian banyak karya, buku yang akan diulas ini menjadi salah satu bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin berkenalan dengan dan menyelami horizon pemikiran operaismo. Beruntungnya, buku Workers and Capital yang diterjemahkan oleh David Broder dari edisi kedua tahun 1971 ini diterbitkan ulang ke dalam bahasa Inggris oleh penerbit ternama Verso tahun 2019 kemarin.


Sudut Pandang Kelas Pekerja 

Buku ini adalah kumpulan esai yang ditulis oleh Mario Tronti dalam kurun waktu satu dekade lebih, dari 1962 hingga 1971, jika kita mengecualikan apendiks yang merupakan tulisan terpisah daripada esai-esai inti buku tersebut. Buku ini hanya terdiri dari dua bagian utama: “First Hypotheses” adalah bagian pembuka yang memberi pemahaman baru tentang konsep-konsep marxis, sementara “Marx, Labour-Power, Working Class” menjadi teks penting nan panjang untuk memahami transformasi tenaga-kerja (labourpower) dalam wujud revolusionernya, yaitu kelas pekerja (working class). 

Kedua bagian ini, karena memuat begitu banyak konsep-konsep penting, membuat penulis kesulitan untuk bisa merangkum keseluruhan argumen yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini hanya berupaya untuk menjelaskan secara ringkas tesis-tesis sentral yang dikembangkan dalam buku tersebut, yakni sudut pandang dan pemikiran kelas pekerja, keutamaan perjuangan kelas pekerja sebagai motor perkembangan kapitalisme, dan pabrik sebagai lokus sentral perjuangan kelas.

Seperti yang telah disebutkan, salah satu tesis pokok dalam uraian buku ini adalah sudut pandang kelas pekerja. Semenjak Marx dan memuncak di Lenin, pemikiran kelas pekerja telah mengalami fase dekadensi yang, bagi penulis, bertahan hingga kini. Hal demikian berkonsekuensi cukup besar sebab hanya ada satu pemikiran, pemikiran kelas, yang hanya bisa eksis dan dominan. Kemunduran, dan bahkan kekalahan di level pemikiran, menjadi salah satu kemenangan penting bagi kelas apa pun yang menjadi pemenangnya—hari ini, pemikiran borjuis (kelas kapitalis) adalah pemenangnya. Kumpulan teks yang dibukukan dalam Workers and Capital menandai satu tahap penting pemikiran kelas pekerja: diperkenalkannya “Revolusi Kopernikan”, yaitu cara pandang yang melihat bahwa perjuangan kelas pekerjalah yang menjadi unsur fundamental dan motor perkembangan kapitalisme. 

Bagi Tronti, pemikiran kelas pekerja yang telah sekian lama redup ini hanya bisa dimenangkan dengan sikap politik yang tepat. Posisi politik ini adalah apa yang disebut “within and against” (di dalam dan melawan) kapital, yaitu posisi sekaligus sudut pandang parsial dalam menekankan sentralitas kelas pekerja dalam memahami kapital, sebagai bagian dari kapital yang bertujuan menghancurkannya dalam totalitasnya. Tentu saja, bagi kebanyakan orang pernyataan ini memang kontroversial sebab menganggap pekerja adalah bagian dari kapital. Oleh karenanya, penulis sepakat dengan pernyataan Yosias Polimpung: “Hal ini tentu akan memantik reaksi spontan yang tidak bersahabat.”

Hanya dengan posisi politik seperti ini, yaitu sudut pandang kelas pekerja, kita punya peluang untuk menghantam balik kapital tepat dari dalam jantungnya. Untuk memahami hal ini, kita perlu kembali ke tulisan Tronti (2019) yang berjudul “Lenin in England”:

We too saw capitalist development first and the workers second. This is a mistake. Now we have to turn the problem on its head, change orientation, and start again from first principles, which means focusing on the struggle of the working class.

Secara jelas dan gamblang, Tronti ingin menegaskan bahwa pekerjalah yang menjadi subjek sentral, ketimbang kapital, dalam sejarah kapitalisme. Hal ini pun tercermin dalam pemikiran umum para militan yang ada di operaismo, sehingga tidak ada salahnya jika kita menimba pelajaran darinya.

Untuk mengaplikasikan sudut pandang kelas pekerja, mereka berpegang pada beberapa pilar: kembali ke Marx dan Lenin sebagai rujukan tetapi tidak secara dogmatis mengamininya (terlihat dalam tradisi marxisme dan leninisme), menolak menyerah pada kekalahan (defeat) dan kepasrahan dalam bentuk viktimisasi yang terdapat dalam budaya gerakan kiri pada umumnya, serta mengidentifikasi dan memfokuskan upayanya menemukan kekuatan ketimbang kelemahan kelas pekerja (Roggero, 2023a). Inilah sebentuk optimisme khas yang dipegang teguh para operaist

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Pabrik dan Masyarakat: Menemukan Medan Utama Perjuangan Kelas Pekerja

Bagian tulisan ini merupakan salah satu teks yang paling sering beredar dan dikaitkan dengan Mario Tronti, sehingga paling sering dikutip oleh pembaca untuk menjelaskan bagaimana pabrik telah bertransformasi bukan lagi sebatas bangunan fisik namun telah menjelma dalam keseluruhan jejaring relasi sosial yang ada di masyarakat kapitalis. Dengan kata lain, relasi sosial yang eksis hari ini tidaklah berbeda dengan relasi sosial produksi yang ada di dalam pabrik itu sendiri. 

Tronti mengawali teks ini dengan menerangkan hasil pembacaannya atas Capital jilid satu bagian ketiga, dengan membedakan dua hal pokok dalam proses produksi kapitalis atas komoditi: proses kerja (labour process) dan proses valorisasi (valorisation process). Menurutnya, meski kedua aspek ini adalah satu kesatuan, namun kita mesti jeli melihat di titik tertentu kontradiksi keduanya agar penghancuran kapital dimungkinkan. Dengan begini, analisis terhadap produksi kapitalis ditujukan untuk mencari tahu posisi sentral pekerja dalam kontradiksi-kontradiksi yang dikandung kapital dan berujung pada penghancurannya. Jika tidak, kapital yang berkepentingan untuk menangkap (capture) kesatuan antara proses kerja dan proses valorisasi membuat produksi kapitalis semakin berkuasa dan merajalela di seluruh aspek masyarakat, seluruh relasi sosial yang eksis. 

Melalui penjabarannya tentang proses produksi kapitalis, Tronti kemudian mengantar kita pada nilai tenaga kerja (value of labour-power) dan nilai lebih (surplus-value) dalam rangka menunjukkan bagaimana mistifikasi borjuis telah mengaburkan kenyataan dan membuatnya terbalik (inverted) dalam pahaman kita. Dalam konteks nilai tenaga kerja (value of labour-power), upah menjadi cerminan dari nilai tersebut. Upah tiada lain adalah bayaran yang diberikan kepada kerja yang dilakukan seorang buruh, sehingga dengan demikian hanyalah fungsi dari tenaga kerjanya, yaitu aktualisasinya dalam rupa kerja yang dibayarkan dalam bentuk upah. Lebih sederhananya, upah bukanlah nilai atau harga yang dibayarkan kepada buruh atas curahan tenaga kerjanya melainkan imbalan atas kerja yang dikerahkannya. Demikianlah Tronti sampai pada kesimpulan bahwa dengan upah kita dapat mengetahui watak relasi produksi kapital meskipun secara terbalik. Di sini mistifikasi borjuis berperan sangat penting dengan membuat relasi produksi aktual tak lagi kasat mata di tengah-tengah masyarakat borjuis, sekaligus mengaburkan distingsi yang tegas antara kerja berbayar dan tak berbayar. 

Setelah nilai tenaga kerja telah disinggung, nilai lebih (surplus-value) kini perlu diketengahkan. Bila nilai tenaga-kerja kita dapati dibayarkan dalam bentuk upah untuk memistifikasi relasi produksi yang aktual, nilai lebih pun tidak terkecuali. Sejak dalam proses produksi, penjelasan mengenai nilai-lebih berupaya dibuat terbalik dalam proses mistifikasi yang dijalankan agar kapital-lah yang menjadi sumber terciptanya nilai-lebih, bukan kerja buruh. Tronti menjalakan tugasnya dengan baik untuk menerangkan perihal ini secara memadai. Berawal dari menerangkan proses produksi, yang terdiri dari dua momen fundamental, yakni produksi nilai-lebih absolut (absolute surplus-value) dan nilai-lebih relatif (relative surplus-value). Kemudian memberi perhatian khusus pada nilai-lebih relatif, dan persis di titik inilah, pelacakan dilakukan terkait bagaimana kekuatan produktif (subjektif) dari kerja sosial menjadi, seperti istilah Tronti, kekuatan produktif (objektif) dari kapital. 

Implikasinya, nilai-lebih seolah-olah merupakan ciptaan kapital dan terlepas dari proses produksi yang digerakkan oleh kekuatan produktif kerja sosial. Dengan demikian, relasi yang terbangun antara kerja-lebih (surplus-labour) dan nilai-lebih (surplus-value) tak lagi mengemuka. Karena itu pula proses produksi aktual tak lagi kentara dan sepenuhnya diabaikan. Melalui watak sosial, kerja kekuasaan kapital bahkan dapat diperluas dan diperdalam, yang karenanya sarana produksi sebagai kristalisasi kerja hidup pekerja sebelumnya tidak lagi hanya dipekerjakan (sekaligus dieksploitasi) oleh kapitalis. Ia kini telah terintegrasi dan karenanya menjadi bagian internal kapital.  

Saat kerja bahkan tenaga-kerja (baca: pekerja) telah terintegrasi di dalam kapital, di saat bersamaan kita bisa lihat bagaimana perkembangan kapitalisme adalah produk/hasil perjuangan kelas pekerja. Kutipan Tronti (2019) ini menegaskan hal tersebut

The working-class struggle constrained the capitalist to change the form of his dominion. Thus, the pressure of labour-power is able to force capital to modify its own internal composition; it intervenes within capital as an essential component of capitalist development; it pushes capitalist production forward from within, to the point of driving it to penetrate all external relations of social life. 

Tronti membawa hipotesis ini lebih jauh dengan mengatakan bahwa, di satu sisi, politik perjuangan kelas pekerja adalah hasil yang dicapai oleh tingkat perkembangan produksi kapitalis di saat tertentu. Di sisi lain, sekaligus inilah paradoksnya, perjuangan kelas pekerja adalah pengandaian dasar agar kapitalisme mampu melampaui tingkat perkembangannya sendiri yang dicapainya dalam tingkatan tertentu. 


Penutup: Pabrik, Masyarakat, dan Negara

Sejauh ini, kita telah amati bahwa produksi kapitalis telah menancapkan kekuasannya hingga pada titik yang begitu krusial bagi masyarakat. Selama produksi kapitalis terus berkembang dan bahkan memenetrasi seluruh jejaring relasi sosial yang eksis, maka produksi kapitalis tidak lagi terbedakan dari relasi sosial itu sendiri. Alhasil, produksi kapitalis menjadikan dirinya relasi sosial dan relasi sosial adalah momen bagi beroperasinya produksi kapitalis. Masyarakat menjadi lokasi bagi pabrik kapitalis untuk menjalankan aktivitas produksinya. Bila memang demikian, fakta bahwa pengaruh dan kuasa pabrik telah meluas hingga ke taraf yang merambah ke seluruh sendi-sendi masyarakat, menjadi benar adanya. 

Perihal pabrik, upaya memformulasikan konsepsi saintifik tentang pabrik telah dilakukan sejak Marx hingga Lenin. Upaya ini merupakan sesuatu yang diproduksi oleh mereka demi menyaingi konsepsi pabrik yang telanjur terseret dalam pandangan arus-utama. Tidak hanya itu, konsepsi saintifik ini bukan hanya sebagai upaya teoretis-akademis semata yang bertujuan untuk mengedepankan pandangan yang rumit dan abstrak. Alih-alih, perumusan konsepsi ini dilandasi oleh tujuan untuk menembus lapisan yang terdalam sekaligus esensial demi menghancurkan masyarakat kapitalis, yakni relasi produksi kapitalis. 

Tronti menemukan bahwa dalam pabrik penjelasan tentang kerja-surplus erat berkelindan dengan nilai tenaga-kerja. Lebih lanjut, dia pun menguraikan bagaimana perkembangan kapitalis terhubung dengan nilai-lebih relatif yang pada gilirannya akan sampai pada lokus utamanya, yaitu proses produksi kapitalis. Mengingat kemajuan produksi kapitalis tidaklah bisa dipisahkan dari produksi nilai-lebih, khususnya nilai lebih relatif, kebutuhan untuk membentuk sirkuit produksi-distribusi-pertukaran-konsumsi menjadi semakin mendesak. Jika sirkuit ini berhasil diciptakan, konsekuesinya ialah semakin menyatunya relasi yang terbangun antara produksi kapitalis, masyarakat, dan negara. Dengan demikian, ketiga hal tadi mestilah menjadi fokusan utama perhatian kelas pekerja sebab inilah titik singgung, seperti ungkapan Tronti, antara analisis kapitalisme dan revolusi kelas pekerja dapat bertemu.


Daftar Referensi

Gent, C. (2023). Mario Tronti Helped Us See Class Struggle. Novara Media. Diambil 10 Desember 2024, dari https://novaramedia.com/2023/08/08/mario-tronti-helped-us-see-class-struggle/

Hardt, M. (2023). The Subversive Seventies (1 ed.). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oso/9780197674659.001.0001

Roggero, G. (2023a). Italian Operaismo: Genealogy, History, Method. The MIT Press.

Roggero, G. (2023b). Italian Operaismo—Journal #134. https://www.e-flux.com/journal/134/524999/italian-operaismo/

Tronti, M. (2019). Workers and Capital. Verso.

Virno, P., & Hardt, M. (Ed.). (2010). Radical thought in Italy: A potential politics (Nachdr.). Univ. of Minnesota Press.

Wright, S. (2017). Storming heaven: Class composition and struggle in Italian autonomist Marxism (H. Cleaver, R. Bellofiore, & M. Tomba, Ed.; Second edition). Pluto Press.


Afrizal As-Siddiq saat ini bergiat di kolektif Redbook’s Literature, Makassar

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.