Ilustrasi: The Break-Down
ADAM Hanieh adalah seorang profesor Ekonomi Politik dan Pembangunan Global di University of Exeter, Inggris, yang penelitiannya berfokus pada kapitalisme dan imperialisme di Timur Tengah. Buku terbarunya adalah Crude Capitalism:Oil, Corporat Power, and the Making of the World Market. Dalam wawancara mendalam dengan Federico Fuentes untuk LINKS International Journal of Socialist Renewal, Hanieh mengeksplorasi perlunya mengedepankan transfer nilai dalam memahami imperialisme, peran Israel dalam kapitalisme fosil global, dan meningkatnya pengaruh negara-negara Teluk.
Artikel ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan pembangunan gerakan anti-imperialisme di Indonesia.
Federico Fuentes (FF): Selama satu abad terakhir, istilah imperialisme telah digunakan untuk mendefinisikan berbagai situasi yang berbeda dan, terkadang, digantikan oleh konsep-konsep seperti globalisasi dan hegemoni. Apakah konsep imperialisme masih berlaku? Jika ya, bagaimana Anda mendefinisikannya?
Adam Hanieh (AH): Tentu saja masih valid dan ada banyak hal yang dapat dipelajari dari para penulis klasik tentang imperialisme, seperti Vladimir Lenin, Nikolai Bukharin, dan Rosa Luxemburg, serta dari kontribusi dan perdebatan yang terjadi kemudian, termasuk dari para marxis anti-kolonial di tahun 60-an dan 70-an.
Pada tingkat yang paling umum, saya mendefinisikan imperialisme sebagai bentuk kapitalisme global yang berpusat pada ekstraksi dan transfer nilai yang terus-menerus dari negara-negara miskin (atau pinggiran) ke negara-negara kaya (atau inti), dan dari kelas-kelas di negara-negara miskin ke kelas-kelas di negara-negara kaya. Saya pikir ada kecenderungan untuk mereduksi imperialisme menjadi sekadar konflik geopolitik, perang, atau intervensi militer. Namun, tanpa memahami konsep inti mengenai transfer nilai ini, kita tidak dapat memahami imperialisme sebagai fitur permanen dari pasar dunia yang beroperasi bahkan di masa-masa yang seharusnya “damai”.
Cara-cara transfer nilai ini berlangsung sangat kompleks dan membutuhkan pemikiran yang cermat. Ekspor kapital sebagai investasi asing langsung ke negara-negara yang dikuasai adalah salah satu mekanismenya. Kontrol langsung dan ekstraksi sumber daya adalah mekanisme lainnya. Tetapi kita juga perlu melihat berbagai mekanisme dan hubungan keuangan yang telah meluas sejak tahun 1980-an: misalnya, pembayaran cicilan utang yang dilakukan oleh negara-negara di Global South. Ada juga perbedaan nilai tenaga kerja antara negara-negara inti dan pinggiran, sesuatu yang telah dieksplorasi oleh para ahli teori imperialisme dari tahun 60-an dan 70-an, seperti Samir Amin dan Ernest Mandel. Pertukaran yang tidak setara dalam perdagangan adalah jalan lain. Dan tenaga kerja migran adalah mekanisme lebih lanjut yang sangat penting di mana transfer nilai terjadi. Memikirkan berbagai bentuk ini membuka pemahaman kita tentang dunia saat ini – lebih dari sekadar pertanyaan tentang perang atau konflik antar negara.
Pendekatan terhadap imperialisme melalui transfer nilai ini membantu mengungkapkan siapa yang diuntungkan. Lenin mengedepankan kapital keuangan (finance capital), yang merupakan hasil dari semakin terintegrasinya kontrol atas kapital perbankan (banking capital) dan kapital industri (industrial capital), atau kapital produktif (productive capital). Hal ini masih berlaku. Namun, saat ini lebih rumit, di mana beberapa lapisan borjuasi yang mendominasi di pinggiran telah terintegrasi sebagian ke dalam kapitalisme di inti. Mereka tidak hanya sering memiliki kewarganegaraan di negara-negara tersebut, tetapi juga mendapatkan keuntungan dari hubungan imperialisme ini. Ada juga lebih banyak kepemilikan kapital lintas batas dan munculnya zona keuangan lepas pantai, yang membuatnya lebih sulit untuk melacak kontrol dan aliran kapital. Memahami imperialisme saat ini membutuhkan pemetaan yang lebih baik tentang siapa yang diuntungkan dari integrasi ke dalam pusat-pusat inti akumulasi kapital, dan cara-cara di mana pasar keuangan yang berbeda saling terhubung.
Fitur ketiga yang muncul dari transfer nilai ini adalah konsep aristokrasi buruh. Hal ini sangat penting dalam membahas kolonialisme dan imperialisme, yang sudah ada sejak zaman Karl Marx dan Friedrich Engels, tetapi sering disalahartikan atau tidak dimasukkan ke dalam pemikiran marxis kontemporer. Jika kita menelaah lebih mendalam pamflet Lenin, Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme, dan melihat tulisan-tulisannya yang lain tentang imperialisme, kita akan menemukan bahwa ia mendedikasikan perhatian yang signifikan untuk menganalisis implikasi politik dari hubungan imperialisme dalam menciptakan lapisan-lapisan sosial di negara-negara inti yang politiknya menjadi berorientasi dan terhubung dengan kaum borjuis mereka sendiri. Wawasan ini masih tetap valid dan perlu dikedepankan lagi. Di Inggris, misalnya, hal ini membantu menjelaskan karakter Partai Buruh Inggris yang jelas-jelas pro-imperialis.
Salah satu ciri imperialisme kontemporer yang tidak diteorikan dengan baik di awal abad ke-20 adalah bagaimana dominasi imperialisme selalu terikat dengan jenis ideologi rasis dan seksis tertentu, yang membantu membenarkan dan melegitimasinya. Saat ini, kita dapat melihat hal ini dalam konteks Palestina. Sangatlah penting untuk mengintegrasikan anti-rasisme dan feminisme ke dalam cara kita berpikir tentang kapitalisme, anti-imperialisme, dan perjuangan anti-imperialisme. Neville Alexander melakukan hal ini dalam konteks Afrika Selatan, seperti halnya Walter Rodney, seorang marxis anti-kolonial dari Guyana, dan Angela Davis di Amerika Serikat.
FF: Banyak yang setuju bahwa setelah Perang Dingin, politik dunia didominasi oleh imperialisme AS/Barat. Namun, pergeseran relatif tampaknya sedang terjadi dengan kebangkitan ekonomi Tiongkok, Rusia menginvasi Ukraina, dan bahkan negara-negara yang lebih kecil, seperti Turki dan Arab Saudi, yang melebarkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Secara umum, bagaimana kita dapat memahami dinamika yang terjadi di dalam sistem imperialis global?
AH: Sejak awal tahun 2000-an, kita telah melihat munculnya pusat-pusat akumulasi kapital baru di luar AS. Cina berada di garis depan dalam hal ini. Hal ini pada awalnya terkait dengan aliran investasi asing langsung ke Cina dan wilayah Asia Timur yang lebih luas, yang bertujuan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah sebagai bagian dari penataan ulang rantai nilai global. Namun sejak saat itu, kebangkitan Cina telah dikaitkan dengan melemahnya kapitalisme AS secara relatif dalam konteks krisis global yang mendalam dan semakin dalam.
Erosi relatif dari kekuatan AS ini dapat dilihat di berbagai metrik. Selama tiga dekade terakhir, dominasi AS atas teknologi, industri, dan infrastruktur utama telah melemah. Salah satu indikasinya adalah turunnya pangsa AS dalam PDB global dari 40% menjadi sekitar 26% antara tahun 1985-2024. Juga telah terjadi pergeseran relatif dalam kepemilikan dan kontrol perusahaan-perusahaan kapitalis terbesar di dunia. Jumlah perusahaan Tiongkok di Global Fortune 500, misalnya, menyalip AS pada tahun 2018 dan tetap seperti itu hingga tahun lalu, ketika AS mendapatkan kembali kepemimpinannya (139 perusahaan AS dibandingkan dengan 128 perusahaan Tiongkok). Representasi Tiongkok dalam daftar ini telah meningkat dari hanya 10 perusahaan pada tahun 2000. Meskipun kebangkitan Tiongkok sebagian besar mengorbankan perusahaan-perusahaan Jepang dan Eropa, ada juga penurunan kontrol AS atas kapital besar: dalam 25 tahun terakhir, pangsa AS di Global Fortune 500 telah turun dari 39% menjadi 28%.
Yang penting, indikasi-indikasi penurunan relatif AS ini tercermin di dalam negeri. Kapitalisme AS didera oleh masalah sosial yang parah: menurunnya angka harapan hidup, penahanan massal, tunawisma, penyakit mental, dan runtuhnya infrastruktur penting. Neoliberalisme dan polarisasi kekayaan yang ekstrem telah mengikis kapasitas negara AS untuk merespons krisis besar – seperti yang terlihat pada pandemi Covid-19 dan, yang terbaru, pada musim badai tahun 2024 dan kebakaran Los Angeles pada Januari 2025.
Namun, kita perlu menekankan melemahnya kekuatan AS adalah secara relatif. Saya tidak yakin dominasi AS akan segera runtuh. AS masih memiliki keunggulan militer yang sangat besar dibandingkan para pesaingnya, dan sentralitas dolar AS tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang terakhir ini adalah sumber utama kekuatan AS karena memungkinkan AS untuk menyingkirkan pesaing dari pasar keuangan dan sistem perbankan AS (terutama terlihat jelas sejak peristiwa 9/11). Begitu banyak kekuatan geopolitik AS diartikulasikan melalui dominasi keuangannya – alasan lain mengapa kita perlu mempertimbangkan imperialisme lebih dari sekadar bentuk militernya.
Ada juga gambaran yang lebih besar dari persaingan global ini yang harus kita tekankan: berbagai krisis yang saling berhubungan yang sekarang menandai kapitalisme secara global. Kita dapat melihat hal ini dalam stagnasi tingkat keuntungan dan melimpahnya surplus kapital uang (money capital) yang kesulitan menemukan lokasi investasi yang menguntungkan; peningkatan besar dalam utang publik dan swasta; serta kelebihan produksi di banyak sektor ekonomi. Semua itu diperparah oleh situasi darurat iklim yang semakin nyata. Jadi, ketika kita berbicara tentang dinamika sistem imperialis global, ini bukan hanya masalah persaingan antar negara dan membandingkan kekuatan AS versus kekuatan kapitalis lainnya. Kita perlu menempatkan konflik-konflik ini dalam krisis sistemik jangka panjang yang sedang dihadapi oleh semua negara.
FF: Bagaimana Anda memahami kemunculan Presiden AS Donald Trump dalam semua ini?
AH: Banyak komentator liberal menggambarkan Trump sebagai sosok egosentris yang memimpin pemerintahan yang telah dibajak oleh miliarder ekstremis sayap kanan, atau bahkan secara diam-diam dituding dikendalikan oleh Rusia. Namun, menurut saya, perspektif semacam ini salah. Terlepas dari sifat narsistiknya, Trump sebenarnya mewakili sebuah proyek politik yang jelas, yang mencoba merespons masalah umum yang baru saja saya uraikan: bagaimana cara menghadapi kemunduran relatif posisi AS di tengah krisis sistemik yang lebih besar yang dihadapi kapitalisme global?
Jika Anda mengikuti diskusi di antara para penasihat ekonominya, terdapat bukti kuat mengenai hal ini. Contoh yang paling jelas adalah analisis panjang yang ditulis oleh Stephen Miran, seorang ekonom yang baru saja dikukuhkan sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi Trump, pada November 2024. Menurut Miran, ekonomi AS telah menyusut relatif terhadap PDB global selama beberapa dekade terakhir, namun AS menanggung biaya untuk mempertahankan “payung pertahanan” dunia dalam menghadapi persaingan antarnegara yang semakin meningkat. Yang paling penting, menurutnya, dolar AS dinilai terlalu tinggi karena perannya sebagai mata uang cadangan internasional, yang berakibat pada melemahnya kapasitas manufaktur AS.
Untuk mengatasi masalah tersebut, ia mengusulkan agar AS menerapkan ancaman tarif untuk memaksa sekutu AS menanggung bagian yang lebih besar dari biaya imperialisme. Miran mengatakan, pendekatan ini juga bertujuan untuk membawa kembali manufaktur ke dalam negeri – suatu hal yang dianggap strategis jika terjadi perang. Dia juga mengusulkan serangkaian langkah untuk membatasi dampak inflasi dari rencana ini dan mempertahankan dolar AS sebagai mata uang yang dominan meskipun terjadi devaluasi (dia secara eksplisit menunjukkan pentingnya dolar AS untuk memproyeksikan dan mengamankan kekuatan AS). Perspektif seperti ini sedang didorong oleh pemerintahan Trump, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent.
Poin kuncinya bukanlah apakah rencana ini berhasil atau masuk akal secara ekonomi, tetapi memahami motivasi di baliknya. Rencana ini secara eksplisit disusun sebagai cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi AS dan kapitalisme global, dan untuk menegaskan kembali keunggulan global AS dengan mengalihkan biayanya ke bagian lain dunia. Pemerintahan Joe Biden mengusulkan solusi yang berbeda, tetapi bergulat dengan masalah yang sama, berbicara secara terbuka tentang mengintensifkan “persaingan strategis” dan kebutuhan untuk menemukan cara bagi AS untuk “mempertahankan keunggulan intinya dalam persaingan geopolitik”.
Jadi, kita harus mendekati pemerintahan Trump sebagai aktor dengan proyek yang koheren. Jelas ada banyak sekali kontradiksi dan ketegangan internal yang ditimbulkan oleh proyek ini, dan ketidaksepakatan yang jelas dari beberapa seksi kapital AS dan sekutu asing yang sudah lama ada. Tetapi ketegangan-ketegangan ini juga merupakan cerminan dari sifat kapitalisme global yang sangat tidak stabil saat ini.
Artikulasi domestik dari proyek ini, seperti yang sering terjadi pada masa krisis, dibangun di atas pengkambinghitaman, rasisme yang ganas dan sikap anti-migran, irasionalisme anti-ilmiah, penyangkalan terhadap iklim, serta politik gender dan seksualitas yang sangat konservatif. Semua jenis kiasan ideologis ini berfungsi untuk mempromosikan nasionalisme, militerisme, dan perasaan bahwa sebuah negara sedang dikepung. Hal ini memungkinkan lebih banyak lagi penindasan oleh negara dan pemotongan belanja sosial. Tentu saja, hal ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Kebangkitan global dari ideologi-ideologi sayap kanan ini merupakan indikasi lebih lanjut bahwa kita sedang menghadapi krisis sistemik yang lebih besar yang sedang dihadapi oleh semua negara kapitalis.
Saya ingin menekankan kembali keadaan darurat iklim. Kita dapat melihat bagaimana pemerintahan Trump merobek-robek peraturan lingkungan dan berusaha mempercepat produksi minyak dan gas dalam negeri sebagai salah satu cara untuk menegaskan kembali kekuatan kapitalisme AS (melalui penurunan biaya energi). Namun, sangat jelas pula bahwa kita sedang memasuki fase kehancuran iklim yang tidak dapat diprediksi, yang secara material akan berdampak pada miliaran orang dalam beberapa dekade mendatang. Kaum kanan mungkin menyangkal realitas perubahan iklim, tetapi pada akhirnya hal ini terjadi karena kapitalisme tidak dapat membiarkan apa pun berdampak buruk pada akumulasi. Kita perlu memusatkan perhatian pada masalah iklim dalam politik kita saat ini, karena masalah ini akan semakin merasuk ke dalam segala hal.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
FF: Berbagai penjelasan yang saling bersaing telah ditawarkan untuk menjelaskan dukungan imperialis AS/Barat terhadap perang Israel di Gaza. Apa pandangan Anda? Bagaimana proses normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab cocok dengan hal ini? Dan apa dampak dari peristiwa 7 Oktober dan genosida Gaza terhadap hal ini?
AH: Kita harus melihat hubungan AS-Israel dalam konteks wilayah yang lebih luas, dan tidak hanya melalui lensa tentang apa yang terjadi di dalam perbatasan Palestina atau motivasi para pemimpin Israel. Hal ini membutuhkan latar belakang imperialisme AS dan sentralitas kawasan ini terhadap kapitalisme fosil global.
Bangkitnya AS sebagai kekuatan kapitalis yang dominan berkaitan erat dengan pergeseran ke minyak sebagai bahan bakar fosil utama pada pertengahan abad ke-20. Hal ini memberikan Timur Tengah – sebagai pusat ekspor minyak dunia dan zona produksi energi yang sangat penting – sebuah peran yang sangat penting dalam proyek global AS. Di Timur Tengah, Israel telah menjadi pilar utama pengaruh AS, terutama setelah perang (Arab-Israel) tahun 1967, di mana Israel menunjukkan kemampuannya untuk mengalahkan gerakan-gerakan nasionalis Arab dan perjuangan-perjuangan anti-kolonial. Dalam hal ini, AS selalu berada di kursi kemudi hubungan ini – bukan Israel, dan tentu saja bukan lobi Israel.
Pilar lain dari kekuatan AS di Timur Tengah adalah negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi. Sejak pertengahan abad ke-20, AS telah membangun hubungan istimewa dengan kerajaan-kerajaan Teluk, yang bertindak sebagai penghalang bagi kelangsungan hidup mereka selama mereka tetap berada dalam sistem aliansi regional AS yang lebih luas. Hal ini berarti menjamin aliran minyak ke pasar dunia dan memastikan bahwa minyak tidak pernah digunakan sebagai “senjata”. Hal ini juga berarti bahwa triliunan dolar yang diperoleh negara-negara Teluk melalui penjualan minyak sebagian besar disirkulasikan kembali ke pasar-pasar keuangan Barat.
Sama halnya dengan status globalnya, dominasi AS di kawasan ini telah terkikis selama dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari meningkatnya peran negara-negara asing lainnya di kawasan ini (seperti Cina dan Rusia), dan perjuangan kekuatan-kekuatan regional untuk memperluas pengaruh mereka (misalnya Iran, Turki, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab). Yang juga penting, ada juga pergeseran ke arah timur dalam ekspor minyak dan gas Teluk, yang sekarang mengalir terutama ke Cina dan Asia Timur, daripada ke negara-negara Barat.
Sebagai tanggapan, AS telah berusaha untuk menyatukan dua sekutu regional utamanya dengan menormalkan hubungan politik, ekonomi, dan diplomatik antara negara-negara Teluk dan Israel. Proyek ini sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu, namun semakin intensif di bawah Perjanjian Oslo pada tahun 90-an. Baru-baru ini, kita melihat Israel menormalkan hubungan dengan UEA dan Bahrain melalui Perjanjian Abraham tahun 2020. Pada tahun itu, Israel juga menormalkan hubungan dengan Sudan dan Maroko. Langkah-langkah signifikan ini diikuti pada tahun 2022 dengan penandatanganan perjanjian perdagangan bebas antara UEA dan Israel.
Kita perlu membaca tindakan Israel dan genosida di Gaza melalui lensa ini. Bahkan saat ini, setelah peristiwa 7 Oktober dan genosida, dan di tengah-tengah pembicaraan tentang pengusiran lebih lanjut warga Palestina dari tanah mereka, tujuan AS tetaplah normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Teluk sebagai sarana untuk menegaskan kembali keunggulannya di wilayah tersebut.
FF: Namun, apakah usulan Trump untuk membersihkan Gaza secara etnis akan mempersulit pemerintah-pemerintah di wilayah tersebut untuk menormalisasi hubungan dengan Israel?
AH: Usulan Trump untuk melakukan pembersihan etnis lebih lanjut di Gaza jelas beresonansi dengan sebagian besar spektrum politik Israel. Namun, ada banyak hambatan untuk melakukan hal ini, dimulai dengan fakta bahwa negara-negara seperti Yordania dan Mesir tidak ingin melihat pengungsi Palestina dalam jumlah besar ke wilayah mereka.
Namun negara-negara seperti Arab Saudi, Yordania dan Mesir tidak memiliki pandangan yang berbeda dengan proyek AS. Pada prinsipnya, kerajaan Saudi tidak memiliki masalah dalam menormalkan hubungan dengan Israel, dan mereka tentu saja memberikan lampu hijau bagi UEA untuk melakukannya sebagai bagian dari Kesepakatan Abraham. Ada keselarasan yang sangat erat antara AS dan negara-negara Teluk, yang semakin meningkat di bawah kepemimpinan Trump. Kita dapat melihat hal ini dari fakta bahwa Arab Saudi menjadi tuan rumah negosiasi AS-Rusia saat ini, dan dalam pengumuman UEA baru-baru ini bahwa mereka berencana untuk menginvestasikan 1,4 triliun dolar AS di AS selama dekade berikutnya.
Pada saat yang sama, jelas sangat sulit bagi proyek ini untuk bergerak maju tanpa adanya kekalahan dari pihak Palestina di Gaza dan di tempat lain, dan semacam persetujuan dari pihak Palestina. Solusi potensial untuk dilema ini ditemukan di Tepi Barat, dalam bentuk Otoritas Palestina (PA). PA adalah kuncinya karena PA telah menciptakan lapisan politisi Palestina dan kelas kapitalis Palestina yang kepentingannya terkait dengan akomodasi dengan Israel dan yang bersedia untuk memfasilitasi normalisasi regional (yang merupakan inti dari Perjanjian Oslo). Jadi, kita tidak boleh membaca negara-negara Arab sebagai sesuatu yang secara genetis menentang pembersihan etnis dan normalisasi seperti yang diusulkan oleh Trump.
FF: Monopoli minyak nasional yang dijalankan oleh negara-negara Timur Tengah (dan negara-negara non-Barat lainnya) telah mengambil alih posisi perusahaan-perusahaan Barat di pasar minyak global. Bagaimana hal ini memengaruhi posisi Timur Tengah dalam kapitalisme global?
AH: Selama dua dekade terakhir kita telah melihat kebangkitan perusahaan-perusahaan minyak nasional yang besar, yang mengubah dinamika industri minyak global. Negara-negara Teluk menonjol dalam hal ini, terutama Saudi Aramco, produsen dan eksportir minyak terbesar di dunia saat ini, melampaui perusahaan-perusahaan besar Barat yang mendominasi industri ini hampir sepanjang abad ke-20.
Perusahaan-perusahaan minyak nasional ini telah mengikuti jejak perusahaan-perusahaan minyak besar Barat untuk menjadi terintegrasi secara vertikal. Pada tahun 70-an, negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, sebagian besar berfokus pada ekstraksi minyak mentah hulu. Namun saat ini, perusahaan-perusahaan minyak nasional mereka aktif di sepanjang rantai nilai. Mereka terlibat dalam penyulingan dan produksi petrokimia dan plastik. Mereka memiliki jalur pelayaran, jaringan pipa, kapal tanker, dan stasiun layanan di mana bahan bakar dijual. Mereka memiliki jaringan pemasaran global.
Pada saat yang sama, kita telah melihat munculnya apa yang saya sebut dalam Crude Capitalism sebagai “poros hidrokarbon Timur-Timur”. Dengan kebangkitan Cina, ekspor minyak Teluk telah berpaling dari Eropa Barat dan AS, dan ke arah timur menuju Cina dan Asia Timur secara lebih luas. Kita tidak hanya berbicara tentang ekspor minyak mentah, tetapi juga produk penyulingan dan petrokimia. Hal ini telah menyebabkan saling ketergantungan yang semakin besar antara kedua wilayah ini, yang sekarang menjadi poros utama industri minyak global di luar AS.
Bukan berarti pasar dan perusahaan minyak Barat tidak penting. Perusahaan-perusahaan besar Barat masih mendominasi di AS dan blok Amerika Utara yang lebih luas. Tetapi kita dihadapkan dengan pasar minyak global yang terfragmentasi, di mana hubungan Timur-Timur ini semakin mencerminkan melemahnya pengaruh AS – secara global dan di Timur Tengah.
FF: Apa implikasi dari hal ini terhadap anggapan bahwa sejumlah perusahaan milik negara, baik yang berskala transnasional maupun berasal dari negara non-Barat, dapat beroperasi secara sukses tanpa bergantung pada dukungan institusional dari kekuatan imperialis?
AH: Perusahaan-perusahaan ini bukanlah perusahaan milik AS atau Barat, tetapi mereka masih memiliki hubungan penting dengan perusahaan-perusahaan minyak Barat (termasuk melalui proyek-proyek bersama) dan aktif di pasar-pasar Barat. Kilang minyak terbesar di AS adalah milik Saudi. Jadi, kita tidak perlu mengadu domba satu dengan yang lain, seolah-olah ada perbedaan mendasar tentang bagaimana mereka, sebagai blok fosil, melihat masa depan industri ini. Mereka benar-benar berdiri di sisi yang sama dalam hal darurat iklim. Kita dapat melihat hal ini dalam peran penting negara-negara Teluk dalam menghalangi dan mengalihkan setiap respons global yang efektif terhadap keadaan darurat ini.
FF: Selain memperdalam hubungan dengan Cina, negara-negara Teluk semakin menunjukkan kesediaan mereka untuk bertindak secara otonom dan bahkan bersaing untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut. Bagaimana Anda menjelaskan peran negara-negara Teluk ini?
AH: Terkait dengan melemahnya kekuatan AS secara relatif, aktor-aktor lain, termasuk negara-negara Teluk, telah berusaha untuk memproyeksikan kepentingan regional mereka sendiri.
Mereka telah menggunakan berbagai mekanisme: mensponsori berbagai kelompok bersenjata atau gerakan politik atau menjadi tuan rumah bagi berbagai kekuatan politik yang berbeda (kasus Qatar menonjol di sini); memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara seperti Mesir dan Libya; intervensi militer di tempat-tempat seperti Yaman dan Sudan; dan dengan mengendalikan pelabuhan dan rute logistik. Dengan cara-cara ini, negara-negara Teluk telah berusaha untuk meningkatkan jejak regional mereka.
Hal ini sebagian berkaitan dengan akibat dari pemberontakan Arab (Arab uprisings) tahun 2011, yang dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah, menggoyahkan penguasa otoriter yang telah lama berkuasa, seperti di Mesir dan Tunisia. Negara-negara Teluk memainkan peran utama dalam upaya memulihkan negara-negara otoriter ini setelah pemberontakan.
Ada juga persaingan antara negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi dan Qatar, tetapi juga antara Arab Saudi dan UEA. Mereka tidak selalu sepakat dalam segala hal, dan terkadang mendukung pihak yang saling berlawanan – misalnya di Sudan (di mana Arab Saudi mendukung Angkatan Bersenjata Sudan dalam perang saudara yang sedang berlangsung, sementara UEA membantu Pasukan Dukungan Cepat/Rapid Support Forces).
Namun, meskipun relatif menurun, AS tetap menjadi kekuatan imperialis utama di kawasan ini. Hal ini terbukti melalui kehadiran militernya secara langsung di Teluk, di mana AS memiliki fasilitas dan pangkalan militer di negara-negara seperti Bahrain, Arab Saudi, dan UEA. AS masih menjadi penyangga terakhir – secara militer dan politik – bagi rezim-rezim Teluk.
FF: Istilah subimperialis kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan negara-negara seperti ini, yang keduanya berada di bawah kekuatan imperialis tetapi beroperasi dengan otonomi dalam lingkup pengaruh mereka. Apakah Anda melihat ini sebagai istilah yang berguna untuk memahami negara-negara Teluk?
AH: Meskipun istilah subimperialisme dapat menangkap beberapa hal yang diwakili oleh negara-negara ini, negara-negara Teluk tidak memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan militer mereka dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Itu tidak berarti bahwa mereka tidak membangun kapasitas militer, tetapi mereka sebagian besar masih beroperasi melalui proksi dan sangat bergantung pada payung militer AS. Seperti yang telah saya sebutkan, ada pangkalan militer AS di seluruh Teluk. Ekspor perangkat keras militer dari negara-negara Barat ke wilayah ini semakin meningkatkan pengawasan Barat terhadap militer Teluk, karena ekspor ini membutuhkan pelatihan, pemeliharaan, dan dukungan yang berkelanjutan.
Meskipun demikian, ekspor kapital dari Teluk ke wilayah yang lebih luas – dan semakin banyak juga ke benua Afrika – sangat nyata. Ekspor kapital ini mencerminkan transfer nilai lintas batas. Juga sangat jelas bahwa konglomerat-konglomerat yang berbasis di Teluk telah menjadi penerima manfaat utama dari gelombang neoliberal yang melanda Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir, di mana ekonomi dibuka, dan tanah serta aset-aset lainnya diprivatisasi. Saya tidak hanya berbicara tentang konglomerat Teluk milik negara, tetapi juga konglomerat swasta besar. Jika Anda melihat ke seluruh wilayah di sektor-sektor seperti perbankan, ritel, agribisnis, Anda akan melihat konglomerat negara dan swasta yang berbasis di Teluk.
Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk memikirkan kawasan ini dalam konteks kepentingan kapitalis dan pola akumulasi kapital, bukan hanya konflik antar negara.
FF: Iran terkadang dianggap sebagai kekuatan kecil atau subimperialis, mengingat konfliknya yang simultan dengan imperialisme AS dan perannya yang semakin meluas di kawasan ini. Yang lain melihatnya sebagai ujung tombak “Poros Perlawanan/Axis of Resistance” anti-imperialis di wilayah tersebut. Bagaimana Anda melihat peran Iran?
AH: Istilah “Poros Perlawanan” menyesatkan karena menyiratkan terlalu banyak kesepakatan bulat antara sekumpulan aktor yang cukup heterogen dengan kepentingan, basis sosial, dan hubungan dengan politik yang sangat berbeda, baik di dalam negeri maupun di kawasan. Pada dasarnya, hal ini berusaha untuk menempatkan tanda plus di mana (mantan Presiden AS George W Bush) meletakkan tanda negatif dengan “Axis of Evil”. Ini adalah cara yang sederhana dalam berpolitik.
Kita harus secara jelas dan tegas menentang segala bentuk intervensi imperialis Barat di Iran atau wilayah yang lebih luas (baik secara langsung atau melalui Israel). Ini bukan hanya berarti intervensi militer, tetapi juga intervensi ekonomi dan bentuk-bentuk intervensi lainnya. Sanksi adalah hal yang besar dalam kasus Iran.
Pada saat yang sama, kita harus menyadari bahwa Iran adalah negara kapitalis, dengan kelas kapitalisnya sendiri, yang memiliki tujuan-tujuannya sendiri di kawasan ini dan secara lebih luas. Sama seperti negara-negara Teluk, Iran mencoba memproyeksikan kekuatan regionalnya, di tengah konteks destabilisasi pasca-2011, melemahnya kekuatan AS dan semua hal lain yang telah kita bahas.
Memang benar bahwa Iran melakukannya di luar proyek AS untuk kawasan ini, seperti yang telah terjadi selama beberapa dekade. Namun, mengakui karakter kapitalis negara Iran berarti kita juga harus berdiri dalam solidaritas dengan gerakan-gerakan sosial dan politik yang progresif di Iran, baik itu perjuangan buruh dan serikat buruh (yang masih terus berlanjut), perjuangan perempuan, perjuangan rakyat Kurdi, dan seterusnya. Ini adalah gerakan-gerakan yang harus kita dukung sebagai kaum sosialis, dalam kerangka politik anti-imperialis.
Titik awalnya adalah secara konsisten bersikap anti-kapitalis dalam cara kita berpikir tentang negara dan gerakan, yang berarti tidak memberikan dukungan politik kepada pemerintah kapitalis – siapa pun mereka, di mana pun mereka berada. Kita dapat bersolidaritas dengan orang-orang yang sedang berjuang dan juga menentang intervensi imperialis dalam segala bentuknya. Tetapi, kita tidak boleh mereduksi kompleksitas kapitalisme di Timur Tengah menjadi semacam geopolitik manichean, yang memandang hubungan global secara biner dan moralistik: ”baik vs jahat”, ”kita vs mereka”, ”demokrasi atau otoritarianisme”.