Prahara Kuasa Eksklusi di Nangahale

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: illustruth


PENGGUSURAN besar-besaran kembali terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Sebanyak 120 rumah milik masyarakat adat suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai diratakan dengan tanah oleh ekskavator yang beroperasi berdasarkan perintah dari PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), sebuah perusahaan milik Keuskupan Maumere. 

Penggusuran, yang oleh bos perusahaan disebut sebagai “pembersihan”, selain memaksa korban kehilangan tempat tinggal dan sumber produksi juga menjadi babak baru dari sejarah panjang perampokan ruang hidup di Pulau Flores—setelah Mataloko, Awololong, Ulumbu, Poco Leok, Labuan Bajo, Wae Sano, dan Mbay Lambo.


Sejarah Awal; Pengantar Singkat

Sengketa agraria di Nangahale dapat ditelusuri jejaknya sejauh lebih dari satu abad lalu. Dulunya, ini adalah tanah milik masyarakat adat suku Soge dan Goban, namun kemudian direbut oleh penguasa Hindia Belanda sekitar tahun 1912. Pemerintah kolonial memberikan tanah itu untuk dipakai perusahaan yang bermarkas di Amsterdam untuk menanam kapas dan kelapa. Namun karena terus merugi, pada 1926 perkebunan ini dijual kepada Apostolik Vikariat van de Klanis Soenda Eilanden, lembaga yang mewadahi sebuah wilayah sebelum ada keuskupan, seharga 22.500 gulden. 

Ketika sudah merdeka, pada tahun 1960-an, pemerintah Indonesia membuat aturan yang menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya (eigendom) akan dialihkan menjadi tanah negara. Atas dasar itu tanah adat Nangahale dinasionalisasi dan pemerintah berhak mengeluarkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). PT Perkebunan Kelapa Diag, korporasi milik Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende, mendapat hak tersebut pada 1987 sampai 25 tahun ke depan. Pada 2005, ketika Keuskupan Maumere didirikan berpisah dari Keuskupan Agung Ende, konsesi dialihkan ke PT Krisrama. 

Menurut anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sutomo Hurint, masyarakat adat sudah berupaya mendapatkan hak atas tanah tersebut sejak tahun 1990-an, mengingat sejak awal itu memang tanah leluhur sebelum diambil penjajah. Pada awal 2000-an, demonstrasi masyarakat adat Nangahale menuntut tanah justru dibalas dengan persekusi dan kekerasan. Lebih lanjut, pada 31 Desember 2013, persis saat masa kontrak HGU berakhir, masyarakat memobilisasi diri membangun permukiman di tengah perkebunan. Jadi, masyarakat adat di Nangahale sudah membangun tempat tinggal permanen dan menghidupkan kawasan perkebunan selama lebih dari 20 tahun terakhir. Mereka hidup secara komunal dan tanpa gangguan. Mereka bukan “pendatang”. Mereka adalah bagian tidak terpisahkan dari daerah itu sendiri. Seturut uraian Bachriadi (1998), dapat dibayangkan bagaimana marah dan lukanya mereka jika wilayah tersebut diubrak-abrik, apalagi jika prosesnya tidak atas izin pemilik dan mengikuti tata cara adat dan budaya setempat.

Namun itulah yang terjadi. PT Krisrama mengklaim tanah dengan modal sertifikat HGU yang mereka perpanjang dan terbit pada Agustus 2023. Maka gesekan tidak terelakkan. Upaya pematokan akhirnya dilakukan sepihak. Dialog dan pendekatan humanis diabaikan. Puncaknya terjadi pada 22 Januari lalu. Alat berat diturunkan, rumah-rumah dibongkar tanpa ada surat pemberitahuan sebelumnya. Aparat disiagakan “mengawal” penggusuran dan perwakilan gereja menonton. Semua warga termasuk anak-anak dan lansia dipaksa tinggal di tenda-tenda darurat di tengah cuaca terik dan minim sanitasi. Belum lagi, setelah peristiwa itu, delapan warga dilaporkan ke polisi dan divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Maumere atas tuduhan perusakan papan informasi yang terpasang di area sengketa.

Peristiwa ini seperti apa yang dikatakan Bachriadi (1998): rakyat yang sesungguhnya berhak atas sebidang tanah yang hendak dijadikan kawasan industri sulit mendapatkan keadilan sebab penyelesaian atas konflik diserahkan kepada lembaga yang justru menciptakan konflik-konflik itu.


Kuasa Eksklusi dan Pemiskinan Sistemik

Apa yang terjadi di Nangahale, mengutip Hall, Hirsch, dan Li (2020), tidak lain adalah eksklusi, yaitu “tindakan yang mencegah pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan manfaat dari suatu hal, khususnya tanah.” Menurut mereka, lawan dari eksklusi adalah “akses” yang memungkinkan orang-orang dapat menggunakan hak mereka. Jadi berbeda dengan kebanyakan studi yang memahami eksklusi sebagai lawan dari inklusi. Di Nangahale, ada semacam “ketertutupan akses” kepada masyarakat adat yang mendiami tanah tersebut untuk kemudian memisahkan mereka. Itulah yang diistilahkan Li (2020) sebagai gatekeeping mechanism: hukum negara beroperasi untuk menyaring siapa yang dapat diakui sebagai pemilik yang sah dan siapa yang didefinisikan sebagai penyusup. Di sini, eksklusi berjalan tidak melalui larangan eksplisit tetapi mengikuti kerangka hukum yang tidak mengakui keberadaan relasi sosial-ekologis masyarakat dengan wilayah yang mereka kelola. 

Kuasa eksklusi terhadap hak dan akses atas tanah tidak pernah berlangsung secara alamiah. Proses itu merupakan hasil konfigurasi kekuasaan yang bekerja melalui empat mekanisme utama; regulasi, kekerasan, legitimasi, dan pasar. Proses ini saling berkelindan dan menguatkan, menyusun jaringan kekuasaan yang mampu menciptakan, mempertahankan, dan melegitimasi penyingkiran kelompok-kelompok sosial dari ruang hidup mereka (Hall, Hirsch, Li: 2020). Di Nangahale, eksklusi tidak serta-merta hadir dari bentuk pengusiran fisik—bisa disimak dari sistem yang digerakkan menggunakan empat kekuatan tersebut. Rentetan kronologi konflik dapat dilihat sebagai bagian dari kerja-kerja kuasa yang terorganisir untuk menghapus subjek agraria dari tanah mereka sendiri, lalu menjadikannya sebagai “yang tidak sah”, “yang tidak berhak”, dan pada akhirnya “yang harus pergi”. Melalui pasar, pengaturan, pemaksaan, dan legitimasi, menurut ketiga antropolog tersebut, proses eksklusi mendapat sokongannya. 

Sesuai pijakan kuasa eksklusi, kekerasan bukan semata insiden atau ketidaksengajaan, melainkan bagian struktural dan tidak terpisahkan. Ketika warga mempertanyakan legalitas penggusuran, aparat tidak hadir sebagai penengah namun justru bersikap konfrontatif. Protes direspons dengan intimidasi; keberatan dianggap ancaman keamanan. Hall (2020) menyebut situasi demikian layaknya kekerasan yang hadir di pelbagai wujud—fisik, psikologis, hingga simbolik. Dalam konflik di Nangahale, intimidasi verbal, tekanan sosial, dan stigmatisasi warga seperti “perambah dan pendatang” merupakan satu dari sekian banyak cara PT Krisrama mengatur siapa yang berhak berbicara dan siapa yang harus diam dan tunduk. 

Keadaan kian kompleks ketika Keuskupan Maumere, institusi agama yang secara historis dipandang dekat dengan kaum marjinal, terlibat. Legitimasi moral gereja digunakan guna membingkai perampasan lahan sebagai upaya “kesejahteraan umat” dan “optimalisasi sumber daya gereja”. Inilah apa yang disebut Hall (2020) sebagai technologies of rule, bahwa eksklusi tak selalu tampil dalam wujud perampasan, tapi juga terkadang bertopeng moralitas, pembangunan, dan rasionalitas teknokratik. Warga lokal tidak sebatas diusir secara fisik, bisa juga dibungkam secara simbolik–tidak hanya dianggap salah, tetapi juga “menghambat kemajuan”. Tatkala upaya pembenaran berbasis religiositas dipakai untuk mengamini praktik eksklusi, kekuasaan itu menjadi jauh lebih sulit dilawan. Ia tidak lagi tampak sebagai dominasi, melainkan moral itu sendiri. Masyarakat yang bertahan akan dianggap bukan melawan hukum belaka, tetapi resistan terhadap nilai-nilai kebaikan yang dibawa oleh institusi gereja. 

Mekanisme terakhir dari eksklusi adalah pasar. Meski sejauh ini belum dipublikasi secara terbuka, indikasi lahan eks-HGU tersebut akan dimanfaatkan untuk investasi industri atau pertanian komersial sudah terasa kuat. Pasar bekerja dalam diam: bukan sebagai dalih awal, melainkan tujuan akhir. Setelah regulasi disusun, kekerasan dijalankan, dan legitimasi dibangun, di situ manfaat tanah perlahan direduksi masuk ke sirkuit kapital. Seperti yang ditekankan Li (2020): eksklusi merupakan prasyarat bagi integrasi tanah dalam logika pasar–ruang harus dibersihkan dari klaim rakyat agar bisa dikomodifikasi. Apa yang terjadi tidak juga modernisasi, tapi transformasi agraria yang menghapus subjek lokal demi ekspansi kapital. Alhasil, warga yang terdampak tidak semata kehilangan tempat hunian dan sumber kehidupan. Mereka juga kehilangan hak untuk menentukan masa depan ruang hidup secara berdaulat.

Empat kekuatan eksklusi di atas tidak bekerja secara simultan namun saling melengkapi dalam membangun skema penggusuran yang sistematis. Regulasi menyingkirkan klaim sosial; kekerasan mendisiplinkan perlawanan; legitimasi membungkus represi dengan kemanusiaan; pasar mengubah ruang hidup sebagai nilai tukar. Nangahale bukan kasus yang berdiri sendiri, ia menegaskan bahwa konflik agraria bukan perihal tumpang tindih kepemilikan semata. Itu soal siapa yang akan diakui sebagai subjek sah atas ruang hidup, dan siapa yang dianggap sebagai “beban” dari skema pembangunan bercorak industri.

Peluso dan Lund (2011) juga mengamati bagaimana pemagaran tanah (frontier) dan kontrol tanah (land control) berlangsung melalui beragam skema. Setidaknya, menurut mereka, pembatasan dan kontrol tanah dilakukan melalui “new actor”, “primitive accumulation, enclosure, privatization”, “territorialization”, “legalization”, dan “violence”. Semua bentuk ini tidak lain adalah upaya yang disengaja dan sistematis dalam rangka mencegah pihak-pihak lain menguasai dan menggunakan tanah. Cara ini umumnya digunakan untuk “pembatasan”, yang dengannya mencegah “orang luar” memanfaatkan tanah. Secara tidak langsung, proses ini juga merupakan bagian dari “pengeksklusian” dengan memakai batasan-batasan tertentu. 

Ditarik dalam langgam sirkuit kapital, penggusuran lahan di Nangahale oleh PT Krisrama merupakan bentuk akumulasi primitif, yang oleh Karl Marx disebut merupakan proses pemisahan masyarakat dari alat produksinya. Hasilnya ialah proses pemiskinan sistemik kepada warga.


Elegi Pertaruhan Hidup

Konflik agraria seperti yang terjadi di Nangahale bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah simpul dari berbagai krisis struktural—krisis yang mempertemukan kuasa negara, modal, dan legitimasi ideologis berlandaskan satu sumbu kekuasaan eksklusi—yang telah lama mengakar dalam sejarah agraria Indonesia. Maka dari itu, untuk membayangkan masa depan agraria yang lebih adil, tidak cukup hanya meratapi kesedihan atau mengecam kekerasan semata. Perlu ada perumusan ulang kerangka berpikir dan gerakan atas tanah, kehidupan, dan keadilan ekologis itu sendiri. 

Kemudian, penting juga menolak logika hukum positif yang menjadikan sertifikat ataupun HGU sebagai satu-satunya tanda legitimasi atau tidaknya seseorang dan sekelompok orang atas tanah. Legalitas administratif tidak boleh digunakan sebagai alat memutus sejarah dan relasi sosial yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Tanah tidak semata-mata benda mati yang bisa diperjualbelikan di pasar bebas—ia adalah ruang hidup, warisan kultural, dan fondasi identitas kolektif masyarakat perdesaan. Mengakui hak atas tanah ulayat bukan berarti memberikan “izin”, tapi memberikan pengakuan yang dirampas atas logika kolonial yang kian berulang melalui wujud dan perilaku baru (neo-colonialism).

Di situasi itulah kebijakan pertanahan seyogyanya diletakkan—menurut kerangka keadilan ekologi, sejarah, dan budaya, bukan sekadar terbingkai hegemoni investasi dan pertumbuhan ekonomi. Setiap konflik agraria mesti disikapi bukan menggunakan pendekatan represif atau kompromi transaksional, namun dengan pengakuan utuh atas hak-hak rakyat, serta moratorium terhadap ekspansi korporasi (baca: kapital) di atas wilayah-wilayah yang sedang berkonflik. Tanah yang disengketakan diharapkan menjadi ruang rekonsiliasi dan pemulihan, bukan panggung eksklusi yang terus-menerus dilanggengkan negara, korporasi, institusi agama, maupun elite-elite lokal.

Peran institusi keagamaan juga penting dikritisi secara radikal. Ketika gereja berubah seperti perusahaan, manakala nama Kristus disematkan dalam dokumen HGU dan dioperasikan layaknya rantai industri, maka yang muncul tidak sekadar penyimpangan tetapi transformasi ideologis dari lembaga yang semestinya berpihak pada kaum papa, marjinal, dan terpinggirkan. Mereka menjadi pelaku aktif terhadap skema akumulasi kapital dan perampokan ruang hidup. Pada kondisi demikian, dinamika agraria kritis juga turut mendesak reformasi institusi-institusi moral yang sudah melenceng dari misi etiknya. Solidaritas sejati tidak mungkin hadir menunggangi tubuh lembaga yang menggusur umatnya sendiri.

Lebih daripada itu, kita perlu membayangkan redistribusi kekuasaan agraria yang bukan hanya berarti pembagian ulang tanah. Ia mesti dipahami juga sebagai pembongkaran struktur kuasa yang sejauh ini memusatkan kendali atas sumber daya pada segelintir elite. Politik agraria yang adil adalah politik yang mendengar suara-suara dan rintihan petani, memulihkan posisi masyarakat perdesaan sebagai subjek sejarah, dan menghidupkan kembali relasi-relasi produksi yang berkeadilan. Sebab, mengingat yang diuraikan Bachriadi (2017), hak dan akses atas tanah begitu penting terutama bagi kelompok miskin di perdesaan yang masih sangat tergantung pada kegiatan pertanian untuk bisa hidup. Porsi pendapatan terbesar kelompok miskin ini berasal dari kegiatan pertanian. Karenanya, demokratisasi akses dan penguasaan atas tanah (termasuk sumber air) menjadi penting untuk mengentaskan kemiskinan.

Nangahale, dengan segala duka dan perlawanan yang dihidupkan, merupakan cerminan dari pertanyaan yang teramat reflektif: apakah tanah akan terus menjadi objek spekulasi, komodifikasi, dan penggusuran? Apakah kita akan selalu menyaksikan (dan mungkin merasakan sendiri) masyarakat perdesaan dijajah dan diusir dari tempat yang mereka sebut rumah, demi kepentingan industri yang bersembunyi di balik jubah agama dan hukum konvensional? 

Di Nangahale saat ini, seperti di banyak penjuru Indonesia, tanah bukan lagi ruang hidup melainkan lahan kosong yang ditafsir ulang oleh kapital. Dari logika ini, tanah kehilangan relasinya dengan manusia—ia dipisahkan dari ingatan, dari air mata, dari darah yang pernah tertumpah untuk menjaganya. Tapi justru di titik itulah perlawanan menemukan maknanya. Mempertahankan tanah bukan berarti menolak pembangunan atau kesejahteraan, tetapi menolak dilupakan. Ini adalah penegasan bahwa demokratisasi agraria tidak bisa dibangun dari penghapusan, bahwa rumah bukan sekadar bangunan tapi tempat sejarah itu bernapas. Dari tanah yang retak dan luka yang terbuka, Nangahale kemudian mengingatkan Gereja Katolik Keuskupan Maumere: ihwal keadilan harus tumbuh dari akar, bukan puncak menara gading berkedok nilai-nilai (a)moral.


Referensi

Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li. Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di Asia Tenggara. Yogyakarta: INSISTPress, 2020.

Bachriadi, Dianto. Merana Di Tengah Kelimpahan. Jakarta: ELSAM, 1998.

Bachriadi, Dianto. Menjadikan Hak atas Tanah sebagai Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara. Bandung: ARC Books, 2017.

Peluso, Nancy Lee, dan Christian Lund. “New Frontiers of Land Control: Introduction.” The Journal of Peasant Studies Vol. 38, No. 4 (2011): 667–681. Diakses dari https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/03066150.2011.607692


B. Mario Yosryandi Sara dan Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila merupakan pegiat agraria kritis, ekstraktivisme, dan ekonomi politik pembangunan di Nusa Tenggara Timur.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.