Ilustrasi: Jonpey
INDONESIA termasuk salah satu negara megabiodiversitas. Luas hutan tropisnya mencapai 126 juta hektare atau terbesar ketiga di dunia (Maulana dkk, 2019; KLHK, 2022), wilayah pesisirnya membentang lebih dari 95 ribu kilometer, flora dan faunanya beragam, bentang alamnya pun unik. Karena itu semua ia berperan strategis untuk menjaga keseimbangan ekologi global. Namun, yang tengah terjadi adalah krisis sistemik dan multidimensional, dari mulai deforestasi, pencemaran, kerusakan pesisir, bencana alam, hingga konflik agraria yang mengancam hidup rakyat.
Berdasarkan latar belakang singkat tersebut, artikel ini hendak membahas bagaimana politik hijau dapat menjadi alternatif untuk membangun Indonesia yang lebih berkelanjutan dan adil secara ekologis. Dengan mengintegrasikan data empiris dan analisis teoretis dari literatur politik hijau, tulisan ini juga hendak menunjukkan bahwa krisis ekologis bukan sekadar masalah teknis atau sektoral, tetapi merupakan krisis politik dan demokrasi.
Kebijakan Eksploitatif dan Krisis Ekologis
Krisis lingkungan tidak lepas bahkan dideterminasi oleh kebijakan yang eksploitatif. Terutama sejak periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, lalu dilanjutkan oleh Prabowo Subianto, arah pembangunan nasional jelas difokuskan pada industrialisasi sumber daya alam dan percepatan investasi. Kebijakan seperti omnibus law UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, dan pelonggaran aturan tata ruang serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) menunjukkan adanya agenda sistematis untuk melemahkan perlindungan lingkungan demi kepentingan korporasi. Bahkan, slag nikel dan fly ash serta bottom ash (FABA)—semuanya merupakan limbah padat—dari PLTU dikeluarkan dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 101/2014.
Merujuk laporan tahunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berjudul Environmental Outlook 2025: Melanjutkan Tersesat atau Kembali ke Jalan yang Benar, dalam satu dekade terakhir Indonesia telah kehilangan lebih dari 4,3 juta hektare hutan primer, yaitu hutan alami yang sebelumnya belum pernah terjamah manusia. Deforestasi ini sebagian besar dipicu oleh ekspansi industri ekstraktif seperti tambang, perkebunan skala besar, dan proyek-proyek strategis nasional seperti food estate dan hilirisasi nikel. Program food estate sendiri, yang diklaim sebagai solusi ketahanan pangan, telah mengalihfungsikan 3,69 juta hektare lahan, termasuk 1,57 juta hektare hutan. Kebijakan atas nama pembangunan ini justru mempercepat laju kerusakan ekosistem, memperbesar emisi karbon, dan memperburuk ketimpangan sosial.
Pencemaran pun meningkat signifikan. Pencemaran udara akibat emisi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan industri smelter nikel, serta pencemaran air akibat pembuangan limbah industri ke sungai dan laut, telah memperburuk kualitas hidup masyarakat. Walhi mencatat peningkatan pencemaran mencapai 70–120 persen di kawasan tambang nikel dan smelter selama dua tahun terakhir. Polusi ini meningkatkan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), gangguan kesehatan, serta kerusakan habitat satwa liar.
Arah kebijakan lingkungan yang semakin menjauh dari prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan keadilan ekologis seperti ini menandakan substansi demokrasi tengah mengalami kemunduran. Demokrasi tidak lagi dimaknai sebagai mekanisme untuk menjamin hak-hak rakyat atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, tetapi direduksi menjadi prosedur elektoral semata, itu pun dikuasai oleh oligarki ekonomi dan politik. Partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup kian dipersempit. Demokrasi partisipatif yang seharusnya menjadi fondasi kebijakan lingkungan telah tergantikan oleh model top-down yang meminggirkan rakyat, khususnya komunitas lokal dan masyarakat adat. Konflik agraria, kriminalisasi pembela lingkungan, dan kekerasan terhadap masyarakat adat menjadi fenomena yang terus berulang. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan peningkatan signifikan konflik agraria. Pada tahun 2023, terdapat 346 desa terdampak dengan luas konflik mencapai 638 ribu hektare (KPA, 2024). Angka ini melonjak pada 2024 menjadi lebih dari 1,1 juta hektare dan melibatkan 349 desa serta lebih dari 67 ribu keluarga (KPA, 2025). Lonjakan ini mencerminkan memburuknya tata kelola sumber daya alam dan absennya perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan petani.
Memahami Politik Hijau
Dalam konteks inilah penting untuk mengangkat gagasan politik hijau, green politics, sebagai model pembangunan alternatif. Secara historis, istilah “politik hijau” berkembang pada akhir 1970-an terutama di Eropa Barat. Salah satu tonggak pentingnya adalah berdirinya Die Grünen di Jerman. Mereka menjadi pionir dalam membentuk gerakan politik yang berbasis pada isu lingkungan. Dalam waktu singkat, partai-partai hijau mulai muncul di berbagai negara lain dan menyebar secara global, misalnya Vihrea Iiito di Finlandia dan Les Ecologistes di Prancis. Partai-partai dan gerakan hijau kemudian membentuk Global Greens pada 2001 dan menyusun Global Greens Charter, sebuah piagam yang menetapkan enam prinsip dasar politik hijau, yaitu: (1) kebijaksanaan ekologis, (2) keadilan sosial, (3) demokrasi partisipatif, (4) non-kekerasan, (5) keberlanjutan, dan (6) penghormatan terhadap keberagaman (Global Greens Charter, 2001).
Politik hijau adalah ideologi yang bertujuan menciptakan masyarakat berkelanjutan yang berakar pada prinsip lingkungan, keadilan sosial, non-kekerasan, dan demokrasi akar rumput (Membrive & Armie, 2020). Dalam kacamata political ecology yang menawarkan pendekatan interdisipliner, kerusakan lingkungan adalah buah dari ketimpangan kekuasaan dan relasi produksi yang tidak adil. Lebih lanjut, persoalan degradasi ekologis dan marginalisasi sosial adalah dua sisi dari koin yang sama. Oleh karena itu, solusi atas krisis lingkungan tidak hanya terletak pada teknologi atau regulasi, tetapi juga transformasi struktural dalam cara kita memandang dan mengelola alam (Robbins, 2012). Banyak yang tertarik karena pandangan politik hijau menekankan pada integrasi antara ekologi dan keadilan dalam tata kelola pemerintahan sebagai solusi dalam menghadapi krisis ekologis.
Menurut Membrive dan Armie (2020), politik hijau berbeda dari pendekatan konvensional terhadap pembangunan. Ia menolak dikotomi antara manusia dan alam serta menolak dominasi ekonomi pasar atas semua aspek kehidupan. Sebaliknya, politik hijau menempatkan hubungan timbal balik antara manusia dan alam sebagai dasar moral dan filosofis dalam pengambilan kebijakan. Dengan demikian, politik hijau tidak hanya tentang “lingkungan hidup” dalam pengertian sempit, tetapi mencakup transformasi struktural dalam ekonomi, politik, budaya, dan etika. Robbins (2012) dalam bukunya Political Ecology: A Critical Introduction menekankan bahwa kerusakan lingkungan sering kali bukan akibat dari kesalahan teknis atau ketidaktahuan ilmiah, melainkan produk dari relasi kuasa yang timpang. Pada konteks ini, degradasi ekologis merupakan gejala dari ketidakadilan sosial dan ekonomi, di mana kelompok marginal sering kali menjadi korban dari ekspansi kapitalisme industri dan negara.
Dalam praktiknya, politik hijau melampaui kegiatan elektoral. Meskipun banyak partai hijau ikut serta dalam pemilu, namun inti dari politik hijau adalah mendorong perubahan dari bawah (bottom-up), memperkuat organisasi komunitas, serta menciptakan ruang deliberatif agar warga dapat secara aktif menyuarakan kepentingannya. Ini sejalan dengan gagasan deliberative democracy yang dikemukakan oleh Kronsell, Bäckstrand, dan Lövbrand (2010) yang menekankan pentingnya dialog, konsensus, dan inklusi dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam isu-isu lingkungan yang kompleks. Selain itu, politik hijau juga mempromosikan gaya hidup yang etis dan berkelanjutan. Banyak aktivis lingkungan yang mendorong konsumsi lokal, energi terbarukan, pertanian organik, dan model ekonomi solidaritas seperti koperasi. Dalam konteks ini, politik hijau juga terkait dengan gerakan ethical consumerism yang menyerukan perubahan perilaku individu untuk menciptakan dampak sistemik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Mulvaney (2011) dalam Green Politics: An A-to-Z Guide, politik hijau memiliki keterkaitan dengan banyak gerakan sosial lain seperti gerakan feminis, anti-kekerasan, konservasi, dan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa politik hijau bersifat holistik dan interseksional, memandang perjuangan lingkungan sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk keadilan sosial dan kesetaraan.
Meskipun begitu, implementasi politik hijau tidak lepas dari tantangan. Dalam banyak kasus, partai hijau yang berhasil masuk ke parlemen menghadapi dilema antara menjaga idealisme dan kompromi politik. Di negara-negara seperti Jerman dan Selandia Baru, partai hijau telah menjadi bagian dari pemerintahan koalisi, tetapi keberhasilan mereka masih dibatasi oleh struktur politik yang dominan dan tekanan kepentingan ekonomi. Meskipun politik hijau menjanjikan transformasi sistemik, beberapa kritik tetap relevan. Misalnya terkait bagaimana mereka membingkai isu-isu yang diperjuangkan. Di negara-negara global south seperti Indonesia, isu perubahan iklim sering dianggap mewah dibanding kebutuhan ekonomi dasar. Selain itu, politik hijau kerap diasosiasikan dengan elitisme urban dan tidak membumi. Untuk mengatasinya, politik hijau harus dikontekstualisasikan dan dibangun dari pengalaman rakyat—mengangkat suara petani, masyarakat adat, dan komunitas lokal sebagai aktor utama perubahan.
Relevansi Politik Hijau dalam Konteks Indonesia
Politik hijau adalah ideologi yang menggabungkan kepedulian lingkungan, keadilan sosial, dan demokrasi partisipatif. Meski konteks asalnya berbeda, prinsip dasar seperti keberlanjutan, keberagaman, dan non-kekerasan sangat relevan bagi Indonesia yang kaya hayati dan plural secara budaya, namun rentan secara ekologis dan sosial.
Politik hijau dapat menjadi kerangka penting dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, apalagi konstitusi (UUD 1945 Pasal 28H ayat 1) secara eksplisit menjamin hak warga negara atas lingkungan yang sehat. Politik hijau adalah jalan panjang untuk mengubah paradigma pembangunan dan demokrasi. Ia menantang model pertumbuhan ekonomi yang merusak lingkungan dan mengusulkan sistem politik yang lebih inklusif, adil, dan selaras dengan ekosistem bumi.
Relevansi politik hijau di negara global south seperti Indonesia semakin mendesak mengingat skala kerusakan ekologis dan dampaknya terhadap kelompok rentan seperti petani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin kota. Indonesia saat ini menghadapi krisis ekologis yang kronis dan terstruktur. Deforestasi masif, pencemaran udara dan air, kerusakan ekosistem pesisir, serta konflik agraria yang meluas menjadi bukti bahwa kebijakan pembangunan nasional telah gagal mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis. Seperti yang disampaikan oleh Walhi dalam Environmental Outlook 2025, kerusakan lingkungan di Indonesia bukan hanya akibat kegagalan teknis atau lemahnya pengawasan, tetapi merupakan hasil dari kebijakan yang secara sistematis memberi ruang bagi eksploitasi sumber daya alam. Proyek-proyek strategis nasional seperti food estate, hilirisasi nikel, dan pembangunan infrastruktur besar justru mengorbankan hutan, wilayah adat, dan kelestarian lingkungan hidup demi mengejar pertumbuhan ekonomi. UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba menjadi instrumen hukum yang mempercepat proses tersebut (WALHI, 2025).
Pada situasi seperti ini, pendekatan politik hijau menjadi sangat relevan. Politik hijau menekankan pada integrasi antara keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial. Prinsip-prinsip seperti kebijaksanaan ekologis, demokrasi partisipatif, dan keberagaman sangat sesuai dengan realitas Indonesia yang kaya akan keragaman hayati sekaligus pluralitas sosial-budaya. Politik hijau dapat menjadi kerangka kerja alternatif dalam menata kembali hubungan antara negara, rakyat, dan alam.
Selain itu, politik hijau sangat relevan dalam mendorong reformasi tata kelola sumber daya alam. Krisis tata kelola yang ditandai oleh korupsi, sentralisasi, dan dominasi oligarki ekonomi harus dilawan dengan desentralisasi kekuasaan dan penguatan peran komunitas lokal. Model demokrasi akar rumput dan deliberatif yang menjadi ciri khas politik hijau dapat menjadi jalan keluar dari kebuntuan demokrasi prosedural yang kita alami hari ini (Kronsell et al., 2010).
Lebih jauh lagi, relevansi politik hijau juga terletak pada kemampuannya untuk menghubungkan isu-isu ekologis dengan isu sosial seperti ketimpangan gender, ketidakadilan kelas, dan hak-hak masyarakat adat. Pendekatan politik hijau interseksional, dapat memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Perlu digaris bawahi bahwa perempuan dan masyarakat adat adalah kelompok yang paling terdampak oleh krisis ekologis.
Singkatnya, dalam konteks Indonesia yang sedang menghadapi krisis ekologis dan kemunduran demokrasi, politik hijau bukan sekadar pilihan ideologis, tetapi kebutuhan historis yang tak bisa ditunda.
Refleksi Politik Hijau: Tantangan dan Harapan
Meskipun secara ideologis dan praktis politik hijau memiliki relevansi yang tinggi, implementasinya di Indonesia masih sangat terbatas. Politik hijau belum memiliki kelembagaan yang kuat. Partai Hijau Indonesia (PHI), misalnya, cenderung stagnan dan tidak berkembang sejak didirikan lebih dari satu dekade lalu, apalagi dibilang memiliki kekuatan elektoral signifikan. Partai-partai lain tidak bisa diharapkan. Sebagian besar dari mereka justru berorientasi pada pertumbuhan ekonomi konvensional dan berbasis kepentingan elite bisnis, terutama di sektor pertambangan, energi, dan agribisnis.
Refleksi kritis terhadap Pemilu 2024 menunjukkan bahwa isu lingkungan hanya menjadi tempelan dalam narasi kampanye. Riset dari Yayasan Indonesia Cerah mengungkap bahwa partai-partai besar belum menunjukkan komitmen serius terhadap isu iklim dan transisi energi. Visi dan misi pasangan calon presiden tidak mencerminkan strategi jangka panjang untuk keberlanjutan, dan hanya mengulang jargon lama seperti “hijau”, “lestari”, dan “berkelanjutan” tanpa disertai langkah konkret (Cerah, 2023).
Hal ini menandakan bahwa sistem politik Indonesia memang tidak menerima gagasan politik hijau sebagai bagian integral dari demokrasi. Salah satu asumsinya adalah karena politik hijau bertentangan dengan tujuan politik partai konservatif yang rakus akan sumber daya alam. Bahkan di DPR RI partai-partai tersebut menjadi broker untuk kebijakan yang merusak ekosistem. Pada tahun 2020, riset dari kelompok studi bernama Marepus Corner menunjukkan bahwa 5 sampai 6 dari 10 anggota DPR merupakan pengusaha. Hal ini diperkuat dengan laporan Tempo edisi 10 Oktober 2024 berjudul “Dominasi Dinasti Politik di Kalangan Pengusaha Anggota DPR Periode 2024-2029” yang menemukan jika hampir 30 persen berafiliasi politik dinasti dan pengusaha. Maka tidak mengherankan gagasan politik hijau akan cukup sulit diterima atau ditawarkan oleh partai konservatif, kecuali hanya polesan kampanye saja.
Minimnya dukungan publik serta dominasi elite politik yang terafiliasi bisnis ekstraktif menjadi hambatan utama dalam mengarusutamakan agenda hijau di sistem politik elektoral kita. Karena itu, dengan mempertimbangkan praktik politik sekarang, pengembangan politik hijau di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih luas, tidak hanya melalui jalur elektoral tetapi juga penguatan gerakan sosial, pendidikan politik ekologis, dan penciptaan ruang-ruang partisipatif di tingkat lokal. Potensi untuk membangun gerakan politik hijau tetap terbuka, terutama melalui jalur non-elektoral. Pengalaman gerakan masyarakat sipil, komunitas energi terbarukan, koperasi hijau, dan inisiatif lokal seperti desa konservasi membuktikan bahwa politik hijau bisa tumbuh dari bawah. Untuk itu, diperlukan usaha kolektif dari masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis lingkungan untuk mendorong politik hijau sebagai arus utama.
Dalam upaya ini, generasi muda memainkan peran yang sangat strategis. Mereka bukan hanya kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim di masa depan, tetapi juga telah menjadi penggerak utama perubahan hari ini. Gerakan iklim yang dipimpin anak muda di berbagai belahan dunia, seperti Fridays for Future, menunjukkan bahwa transformasi politik ekologis membutuhkan energi, keberanian, dan imajinasi generasi baru. Di Indonesia sendiri, semangat serupa mulai tumbuh melalui berbagai inisiatif lokal, kampanye digital, dan solidaritas lintas komunitas yang digerakkan generasi muda. Inisiatif-inisiatif dapat dimulai dari pendidikan politik ekologis, pembentukan wadah politik alternatif yang berbasis komunitas, hingga advokasi kebijakan yang menyatukan kepentingan lingkungan dan keadilan sosial. Menyambung dengan konteks sebelumnya, perjuangan lingkungan harus ditempatkan dalam kerangka pembebasan struktural yang lebih luas, termasuk melawan bentuk-bentuk kolonialisme internal dan kapitalisme destruktif (Peet & Watts, 2004).
Refleksi ini setidaknya menegaskan bahwa politik hijau bukanlah utopia, melainkan sebuah kebutuhan mendesak, terutama dalam ikhtiar untuk menghadapi krisis ekologi dan stagnasi demokrasi. Mengembangkan politik hijau berarti memperjuangkan bentuk demokrasi yang hidup dan berpihak pada kehidupan—demokrasi yang tidak hanya menjamin hak suara, tetapi juga hak hidup yang berkelanjutan.
Penutup
Krisis lingkungan yang kian mendalam di Indonesia menuntut pendekatan baru dalam berpolitik dan membangun demokrasi. Politik hijau bukan hanya sekadar alternatif, tetapi menjadi kebutuhan historis untuk menjawab tantangan zaman yang ditandai oleh kerusakan ekologis, ketimpangan sosial, dan kemunduran demokrasi. Sebagaimana ditunjukkan dalam analisis sebelumnya, arah kebijakan negara yang eksploitatif telah memperparah kerusakan lingkungan dan merampas hak-hak dasar warga, terutama kelompok rentan seperti masyarakat adat, petani, dan perempuan.
Pendekatan politik hijau menawarkan paradigma baru yang menggabungkan keberlanjutan ekologis, keadilan sosial, demokrasi partisipatif, dan penghormatan terhadap keragaman. Prinsip-prinsip ini sangat relevan untuk konteks Indonesia yang plural, namun tengah terancam oleh homogenisasi kekuasaan dan dominasi oligarki. Melalui politik hijau, kita dapat membayangkan sistem politik yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan sebagai hak asasi manusia.
Namun, tantangan implementasi politik hijau di Indonesia tidak bisa diabaikan. Struktur kekuasaan yang masih didominasi oleh kepentingan industri ekstraktif dan minimnya kesadaran ekologis dalam sistem kepartaian menjadi hambatan utama. Pemilu 2024 telah menunjukkan bahwa isu lingkungan masih belum menjadi arus utama dalam arena politik elektoral. Komitmen partai politik terhadap keberlanjutan masih sebatas retorika tanpa langkah konkret.
Meski sistem politik nasional belum mendukung politik hijau secara utuh, benih-benih perubahan telah tumbuh dari bawah. Komunitas energi terbarukan, koperasi hijau, dan gerakan petani organik membuktikan bahwa politik hijau dapat dijalankan melalui aksi lokal dan kolektif. Untuk mewujudkan transformasi lebih luas, dibutuhkan pendidikan politik ekologis, reformasi sistem pemilu, serta keberanian untuk menantang dominasi oligarki demi masa depan yang adil dan lestari.
Untuk mendorong transformasi tersebut, perlu ada kolaborasi rakyat, terlebih elemen masyarakat sipil, akademisi, aktivis lingkungan, dan pemuda. Pendidikan politik ekologis harus diperluas agar publik tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi subjek yang aktif dalam menentukan arah pembangunan. Selain itu, dibutuhkan reformasi sistem pemilu dan kepartaian agar memungkinkan hadirnya partai politik yang benar-benar berkomitmen pada prinsip keberlanjutan.
Politik hijau bukan hanya soal sistem baru, tetapi tentang kesadaran baru: bahwa manusia, alam, dan demokrasi tidak bisa dipisahkan. Di tengah krisis iklim dan ketimpangan struktural, politik hijau adalah jalan menuju masa depan yang adil, lestari, dan bermartabat. Sebagaimana pesan dalam Piagam Global Greens: “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, tetapi meminjamnya dari anak cucu kita.” Maka, mari jaga pinjaman itu dengan keberanian politik dan komitmen etis yang nyata.
Daftar Pustaka
Global Greens. (2001). Global Greens Charter. https://www.globalgreens.org
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2022.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2024). Catatan Akhir Tahun KPA 2023.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2025). Catatan Akhir Tahun KPA 2024.
Kronsell, A., Bäckstrand, K., Lövbrand, E., & Khan, J. (2010). Environmental Politics and Deliberative Democracy. London: Routledge.
Maulana, A., Suryanto, P., Widiyatno, W., Faridah, E., & Suwignyo, B. (2019). Dinamika suksesi vegetasi pada areal pasca perladangan berpindah di Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Kehutanan, 13(2), 181–194.
Membrive, V., & Armie, M. (2020). Eco-Politics: History and Policy Frameworks. Cham: Springer.
Mulvaney, D. (2011). Green Politics, An A-to-Z Guide. SAGE Publications.
Peet, R., & Watts, M. (2004). Liberation Ecologies: Environment, Development, Social Movements. Routledge.
Robbins, P. (2012). Political Ecology: A Critical Introduction. Wiley-Blackwell.
WALHI. (2025). Environmental Outlook 2025: Melanjutkan Tersesat atau Kembali ke Jalan yang Benar. Jakarta: WALHI.
Yayasan Indonesia Cerah. (2023). Rekam Jejak Partai Politik dalam Isu Iklim dan Transisi Energi.
Wahyu Eka Setyawan, periset independen, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur