Ilustrasi:Jonpey
AKTIVISME digital adalah alternatif perlawanan terhadap monopoli kebenaran penguasa. Istilah ini merujuk pada aksi-aksi yang dilakukan di ruang media sosial dalam bentuk daring ataupun saduran dari praktik aktivisme di dunia nyata. Ia muncul karena dunia telah bertransformasi ke dalam ruang digital. Seluruh kegiatan manusia terhubung satu sama lain di dalam ruang digital yang memainkan peran penting di dalam perebutan monopoli kebenaran oleh penguasa di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Sebagai pengguna media sosial terbesar nomor empat di dunia, ruang digital Indonesia selalu dipenuhi dengan aktivisme digital. Sebuah penelitian berjudul “Kampanye Aktivisme Digital (2016-2021)” oleh Fajar, dkk menemukan bahwa selama 2019-2021 terdapat 3.873 aktivisme digital di Indonesia. Topik yang dibicarakan meliputi lingkungan, politik, HAM, kesetaraan gender, ketidaksetaraan ekonomi, kesehatan, pemuda, teknologi digital, serta isu-isu lain. Aktivisme digital tersebut dikemas dalam berbagai bentuk seperti membagi tips dan informasi, protes daring, petisi daring, mobilisasi aksi luring, dan lain-lain.
Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia mengeluarkan paket kebijakan Omnibus Law. Kebijakan ini menuai protes karena terdapat perubahan upah minimum lokal, perizinan mempekerjakan pekerja asing, pembatasan dalam penyusunan analisis dampak lingkungan. dan kesempatan menggugat izin lingkungan. Berbagai protes dilayangkan oleh masyarakat melalui media sosial. Dengan menggunakan tagar #TolakOmnibusLaw #MosiTidakPercaya, warganet terus meramaikan media sosial. Bahkan aktivisme digital berubah menjadi aksi di dunia nyata dalam bentuk demonstrasi di kota besar seperti Semarang, Bandung, Banten, Surabaya, Makassar dan Jakarta.
Pada tahun 2024, media sosial Indonesia dihebohkan oleh tagar #KawalPutusanMK. Tagar tersebut merupakan respons masyarakat terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas dan usia calon wakil kepala daerah yang hendak direvisi oleh badan legislatif DPR. Berdasarkan analisis Drone Emprit, isu ini dibahas di 247 artikel dan 70.299 mention hanya di Twitter/X saja. Rakyat juga turun ke jalan mengawal keputusan tersebut. Hasilnya, DPR tidak jadi merevisi keputusan tersebut dan Keputusan MK digunakan sebagai acuan Pilkada 2024. Ini menunjukkan bahwa aktivisme digital efektif untuk melawan monopoli kebenaran penguasa.
Kebenaran tidak datang dari langit, tetapi kebenaran dibentuk oleh kekuasaan. Foucault meyakini bahwa kebenaran yang selama ini kita pahami adalah produksi kekuasaan; kekuasaan berada di setiap lini kehidupan manusia, tidak hanya terbatas pada kekuasaan politik saja. Dalam bukunya the History of Madness, Foucault membedah kekuasaan yang dimiliki oleh rumah sakit—rumah sakit “gila”—untuk menentukan suatu kebenaran tentang kegilaan pasien. Kekuasaan tersebut menentukan kebenaran mulai dari siapa saja yang dianggap gila, bagaimana harus diperlakukan, hingga menentukan apakah pasien boleh kembali ke masyarakat.
Kekuasaan juga menentukan kebenaran pengetahuan. Pengetahuan sering kali dipahami sebagai sesuatu yang bebas nilai dan objektif. Dengan tegas, Foucault menolak pandangan itu. Pengetahuan baginya tidak pernah terbebas dari kekuasaan dan kepentingan. Joseph Rouse berpendapat jika kekuasaan berperan pada kebenaran pengetahuan melalui dua jalan, jalan kekuasaan politik dan kekuasaan epistemik. Jalan kekuasaan politik memberi ruang kepada penguasa—pemerintah negara—untuk menentukan pandangan yang benar dan salah. Cara yang lazim digunakan adalah dengan mekanisme sensor, tetapi dewasa ini metode yang digunakan oleh penguasa lebih halus seperti menyewa buzzer untuk menggiring opini.
Jalan kedua adalah jalan epistemik, pada jalan ini lembaga penelitian seperti universitas atau institusi lainnya berperan sebagai penentu sebuah hal dapat dikatakan ilmiah atau tidak. Penentuan universitas atau lembaga penelitian tidak terlepas dari manusia modern terdidik yang menilai universitas atau lembaga penelitian memiliki kekuasaan—tidak terlepas dari kebenaran yang dibentuk oleh penguasa dan diamini oleh manusia modern—untuk menentukan kebenaran ilmiah. Kedua jalan tersebut bekerja beriringan untuk mengkonstruksikan sebuah pengetahuan kebenaran yang akan diyakini oleh masyarakat. Sebaliknya, apabila proses konstruksi pengetahuan kebenaran memproduksi sebuah hal yang dianggap kesalahan, masyarakat akan menganggap itu sebagai sebuah kesalahan mutlak.
Kekuasaan dapat terus berjalan dan berkuasa karena ada kebenaran yang dimenangkan di dalamnya, sehingga dapat mengendalikan kelompok masyarakat yang dikuasainya. Dalam pembentukan kebenaran tersebut, kekuasaan menggunakan wacana/diskursus untuk meyakinkan terhadap kebenaran. Wacana tersebut merupakan sebuah praktik dan pernyataan yang membentuk objek yang dibicarakan, seperti pada diskursus kegilaan yang memunculkan anggapan orang gila adalah orang sakit yang harus dirawat hingga terciptanya rumah sakit jiwa.
Indonesia memiliki contoh kekuasaan membentuk kebenaran melalui wacana ketika zaman Orde Baru. Pada saat itu, kekuasaan di bawah rezim Soeharto menilai bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat cepat harus segera diantisipasi. Pertumbuhan itu sendiri salah satu penyebabnya adalah anggapan “banyak anak banyak rezeki”. Orde Baru mulai membuat program yang bernama “Keluarga Berencana”. Karena program ini adalah program baru, maka berbagai kampanye dilakukan dengan masif. Kampanye tersebut berbentuk slogan, lagu, panggung hiburan, hingga perangko berseri KB. Hasilnya, program tersebut diikuti oleh 15,3 juta penduduk dari 1970-1986.
Hingga sekarang, program tersebut masih ada dan dianggap sebagai sebuah kebenaran untuk bisa menekan laju pertumbuhan penduduk. Program tersebut bertahan bukan hanya efektivitasnya, tetapi karena strategi komunikasi penguasa yang membentuknya sebagai kebenaran yang diterima masyarakat. Penguasa terus menyebarkan wacana bahwa memiliki banyak anak akan menghambat pembangunan melalui media yang mereka kuasai. Tidak ada ruang bagi narasi lain untuk menentang narasi ini hingga dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat selama puluhan tahun.
Saat ini, penguasa menggunakan ruang digital untuk mengendalikan kebenaran. Berbagai kampanye dan propaganda dibuat untuk mendukung sebuah kebijakan yang belum tentu akan bermanfaat kepada rakyat. Pemerintah menggunakan buzzer yang bekerja untuk memengaruhi pengguna media sosial lainnya agar mendukung kebijakan yang mereka keluarkan.
Pemerintah Indonesia mempekerjakan influencer untuk melakukan sosialisasi program pemerintah. Influencer dengan pengikut yang banyak tentunya akan lebih efektif dalam memengaruhi opini masyarakat untuk mendukung kebijakan pemerintah, tidak peduli apakah kebijakan tersebut menguntungkan atau merugikan rakyat. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan pemerintah Indonesia mengalokasikan dana sebesar Rp90,45 miliar atau sekitar $5.5 juta untuk membayar influencer.
Menyadari pentingnya media untuk mengendalikan kebenaran, pada 22 Februari 2025 lalu, Prabowo Subianto mengumpulkan pemimpin redaksi dan jurnalis di Hambalang. Ia berdalih tujuan kegiatan itu adalah mengajak mereka berdiskusi terkait isu dan kebijakan strategis, karena media menjadi garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Lebih menariknya, pertemuan tersebut dilakukan satu hari setelah demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” yang mengkritik kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis dan efisiensi anggaran di sektor penting. Adanya pertemuan tersebut menandakan pemerintah ingin menguasai media untuk mengendalikan kebenaran yang beredar di masyarakat.
Pada era digital, penguasa tetap memainkan peran sebagai pencipta kebenaran untuk melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara yang lebih modern dan halus. Monopoli kebenaran oleh penguasa akan berdampak buruk kepada rakyat. Kebijakan yang sebenarnya jelek bisa ditampilkan menjadi kebijakan yang bagus melalui cara-cara yang telah disebutkan di atas. Apabila kebenaran tersebut tidak direbut, maka penguasa akan semakin sewenang-wenang dalam membuat kebijakan, menindas rakyat, dan menguntungkan oligarki mereka.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Jika di era Orde Baru wacana dikendalikan melalui media konvensional yang dikendalikan penguasa, di era digital kebenaran menjadi arena perebutan antara penguasa dengan rakyat. Rakyat bisa merebut kebenaran yang dimonopoli oleh penguasa dengan membentuk wacana tandingan baik di ruang digital ataupun di dunia nyata.
Foucault merumuskan bentuk perlawanan yang dinamakan Battle for Truth (di dalam buku Power/Knowledge Foucault menyebutnya dengan production of truth) untuk menandingi dominasi pembuat kebenaran utama. Penguasa dengan semua sumber daya yang dimilikinya memproduksi terus-menerus kebenaran untuk diyakini dan diamalkan oleh masyarakat hingga membentuk rezim kebenaran. Mereka terus mengatur apa yang boleh dikatakan dan tidak boleh dikatakan, siapa yang boleh berbicara, apa yang dianggap benar atau salah, dan siapa yang boleh menentukan kebenaran. Masyarakat diperankan sebagai objek untuk terus melanggengkan kekuasaan mereka melalui kebenaran yang diproduksi, kebenaran yang diyakini dan diamalkan oleh masyarakat akan mengamankan kekuasaan dan membuat mereka terus berkuasa.
Battle for Truth atau pertarungan kebenaran merupakan sebuah ide untuk melawan dominasi narasi kebenaran oleh penguasa. Ide ini didasarkan pada pemahaman bahwa kebenaran tidak murni hasil dari pemikiran tanpa nilai, tetapi dikonstruksi oleh institusi. Karena kebenaran tidak berdiri sendiri, siapapun dapat memproduksi kebenaran—tidak hanya penguasa. Oleh karena kebenaran bisa diproduksi oleh siapapun maka ide Battle for Truth, menggunakan cara aktivisme digital untuk memproduksi kebenaran, yang diajukan Foucault relevan untuk melawan dominasi penguasa di era digital.
“Di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan.” Kutipan dari Foucault di dalam bukunya The History of Sexuality tampaknya relevan untuk membahas perebutan kebenaran dari penguasa di era digital. Aktivisme digital menjadi alternatif untuk melawan monopoli kebenaran penguasa. Melalui ruang digital gerakan rakyat tidak dibatasi oleh penguasa untuk merebut kebenaran tersebut, rakyat dapat menyebarkan ke seluruh dunia dan mengajak seluruh elemen untuk mengetahui permasalahan yang terjadi. Apabila dahulu rakyat harus melakukan konsolidasi secara langsung, sekarang hanya dengan membuat hashtag atau fitur “Add Yours” di Instagram sudah dapat mengabarkan bahwa sedang ada permasalahan.
Tindakan rakyat seperti berpartisipasi, berbagi, menghubungkan, dan menyaksikan di media sosial terbukti menjadi kekuatan yang besar untuk merebut makna kebenaran. Tindakan tersebut terakumulasi menjadi aksi nyata baik dalam aktivisme digital ataupun aktivisme di dunia nyata. Ini menjadi modal penting untuk aktivisme di Indonesia ke depan, setelah pada tahun 2021 The Economist Intelligence Unit (EIU) mengeluarkan data bahwa demokrasi Indonesia mengalami penurunan dan terendah dalam 14 tahun terakhir. Apabila hal ini tidak segera ditanggapi bisa saja demokrasi Indonesia akan mengalami kemrosotan terus-menerus, dalam kondisi terburuk mungkin saja era Orde Baru akan kembali.
Gerakan alternatif seperti aktivisme digital, yang telah terbukti efektif dalam merebut kebenaran dari penguasa, menunjukkan harapan untuk demokrasi di Indonesia ke depan.
Ade Putra Suryana adalah peneliti Kajian Kependudukan dan Perubahan Sosial, Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK)