Apa yang Bisa Kita Lakukan Sekarang?

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


BELUM pudar ingatan saya melihat Prabowo Subianto tampil di atas podium untuk memperingati Hari Buruh Internasional di kawasan Monumen Nasional (Monas) pada 1 Mei lalu. Saya tak bisa menyembunyikan perasaan liminal melihat siaran tersebut saat itu. Tapi, dorongan naluriah memaksa saya untuk terus menonton siaran. Kemudian, tanpa bisa diduga siapa pun, mantan menantu Soeharto itu menyanyikan lagu-mars anarkis, sosialis, dan komunis seluruh dunia: “L’Internasionale”. Titik paradoksikal menemui puncaknya. Di panggung yang sama berdiri aristokrat-aristokrat buruh (saya tidak perlu sebut siapa sebab pembaca pasti tahu minimal salah satu dari mereka) tertawa sambil ikut bernyanyi tapi bersusah payah mengikuti Prabowo melantunkan syair suci itu. 

Di momen tersebut saya tiba-tiba mengingat Binatangisme (Animal Farm, 1983) karya George Orwell. Di sana diceritakan bagaimana para babi yang awalnya mengakui kolektivitas di peternakan “BINATANG” mengubah nama tempat itu menjadi “MANOR” sembari kembali pada tesis individualitas. Mereka awalnya hendak melakukan perubahan besar, tapi di akhir justru kembali ke titik awal bahkan lebih buruk. Saya tidak hendak bilang bahwa Prabowo dan para aristokrat buruh itu seperti babi dalam karya monumental itu. Justru sebaliknya: sejak awal, Prabowo dan aristokrat buruh itu tidak pernah menangkap agenda politik kelas buruh dengan meletakkannya di urutan buncit. Mempertahankan operasi-operasi logika ekonomi-politik oligarkilah yang menjadi prinsip utama mereka.

Pidato Prabowo pada hari itu juga tak lebih dari ampas kosong. Namun ampas itu adalah mekanisme kekuasaan yang memasok gambaran surga duniawi kepada rakyat; semata agar rezim mampu terus mengamankan kekuasaan dan mengambil sumber daya ekonomi-politik. Mungkin saja ada yang memvonis bahwa audiens yang datang di hari itu sebagai buruh yang tak tahu kelas dan kepentingan kelasnya sendiri—Prabowo pada akhirnya adalah bagian dari kelas kapitalis. Namun perlu diingat bahwa sampai sekarang dampak depolitisasi itu masih nyata, pun dengan upaya untuk terus mendepolitisasi kesadaran kelas, misalnya dengan program bantuan sosial dan makan bergizi gratis. 

Penjinakan kesadaran kelas tersebut merupakan alarm tanda bahaya, dan itu hanya satu aspek saja. Belum bidang-bidang kehidupan lain. Maka penting saat ini untuk mengaktifkan (atau mempolitisasi) kesadaran bahwa kita dalam situasi berbahaya bahkan dalam keseharian.


Bahaya Kita setelah 27 Tahun Reformasi

Kita tidak pernah keluar dari kondisi berbahaya setelah 27 tahun Reformasi. Ambil satu kasus: otonomi daerah atau desentralisasi. Desentralisasi diimplementasikan dengan asumsi bahwa ia akan membuka kesempatan partisipasi dari komunitas lokal dalam pengambilan keputusan. Ini jelas ide yang segar bagi banyak orang mengingat 32 tahun sebelumnya dikekang secara terpusat oleh Soeharto. Apa yang terjadi justru desentralisasi melahirkan pola baru dari korupsi. Ia kini amat cair dan tersebar. Pejabat lokal yang predatoris memegang kendali dan menutup ruang suara orang biasa. Politik uang menjadi panglima baru. 

Contoh lain adalah Dwifungsi ABRI. Penghapusan peran militer selain urusan pertahanan tak pernah benar-benar terlaksana, dan sekarang malah bubar di tengah jalan setelah muncul UU No. 3/2025 tentang TNI. Tidak hanya menjegal partisipasi publik yang bermakna dari aspek legal, revisi UU TNI harus dilihat sebagai instrumentalisasi atas kembalinya kontrol militer di negara ini. Revisi juga memperkuat peran tentara untuk mengontrol sumber daya ekonomi-politik sipil. Hal itu dibuktikan melalui penambahan komando teritorial—yang dianggap sebagai saluran terluas untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. Militer pun mengooptasi area pendidikan. Lihat Universitas Udayana yang resmi bekerja sama dengan TNI AD. Akhirnya, batas-batas antara sipil-militer menjadi kabur sebab Prabowo-Gibran memiliterisasi ruang kita. Tak pernah ada harapan baik yang pantas disematkan pada rezim militer dewasa ini.

Adili Soeharto? Tidak pernah berhasil sampai dia mati. Dia tidak bisa diseret ke pengadilan karena sakit permanen. Saat itulah diktator dari Dusun Kemusuk ini selamanya menjadi simbol impunitas paling utama dalam riwayat bangsa Indonesia. Kemudian soal adili kroni-kroninya. Mereka beradaptasi dan berkembang secara struktural, melewati transisi politik paling drastis dari alam otoriter ke demokrasi. Kelas elite dominan itu mampu mengooptasi reformasi lembaga hukum dengan mudah; sebab hukum tak pernah netral dari proses ekonomi-politik.

Cita-cita Reformasi soal supremasi hukum pun sudah “dipetieskan” sejak lama. Ia jadi pepesan kosong bagi mahasiswa fakultas hukum. Tidak ada reformasi hukum hari ini. Hukum Indonesia sudah melenggang masuk dalam kategori negara hukum otoritarian. Hukum dengan operasi repressive state apparatuses menjadi sarana kontrol paling ampuh terhadap masyarakat sipil. Salah satu yang tengah bergulir, misalnya, mengenai RUU KUHAP sebagai pembaruan hukum acara pidana agar harmonis dengan KUHP Nasional. RUU KUHAP justru terefleksi kuat sebagai instrumen kekerasan terhadap tubuh manusia oleh negara. Belum lagi soal RUU Polri yang menambah kewenangan polisi secara eksesif.

Satu lagi, mari lihat sejauh mana tuntutan pemberantasan korupsi yang menggurita sejak era Soeharto? Perjuangan masyarakat sipil antikorupsi dan lahirnya institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bukti awal bagaimana demokratisasi sebetulnya telah membatasi kepentingan politik predator. Akan tetapi, demokratisasi tidak dapat membendung korupsi lebih lama lagi. Aktor elite dominan berhasil menguasai institusi antikorupsi dengan jaringan predator dan patronase yang kuat dalam ruang persaingan tertentu. Konkretnya? Revisi UU KPK.

Rasa-rasanya, tidak ada tuntutan Reformasi yang berhasil. Kondisi yang terjadi malah menggiring kita semua ke pinggir jurang. Militerisasi, rezim predatoris, korupsi luas, tak bisa percaya penuh pada hukum, hingga budaya impunitas.


Perlawanan Sehari-hari

Di level mikro, kita semua berkutat dengan rutinitas yang membosankan setiap hari. Kita bekerja, dihisap nilai lebihnya oleh kapitalisme, dan mendapat upah seadanya hanya agar bisa kembali dieksploitasi besok pagi. Kata Henri Lefebvre dalam Critique of Everyday Life 1 (1991), kesadaran baru untuk melawan semakin tumpul akibat keseharian ini. Menjadi tidak peduli terhadap “situasi bahaya”—belum tentu pula hal ini disadari–merupakan hal lumrah. Ketika kita semakin digerogoti dalam keseharian secara sadar atau tidak, para elite memakan habis hak-hak sipil kita dan tuntutan Reformasi. Kita seakan menunggu untuk mati di pinggir jurang bahaya ini. 

Lantas, apa yang tersisa dan bisa kita kerjakan sekarang? Perlawanan sehari-hari, kecil atau besar. Apa yang tertinggal dari kita hanyalah kesadaran melawan untuk merespons segala kondisi bahaya ini. 

Faktanya banyak hal yang terjadi sekarang adalah ketidakadilan. Keseharian kita pun tergolong di dalamnya. Perlawanan jadi pembeda. Melawan ketidakadilan berarti melibatkan menolak untuk bekerja sama dengan mekanisme yang memproduksi dan mempertahankannya. Berhadap-hadapan dengan ketidakadilan membutuhkan, paling tidak, mengambil sikap terhadapnya, dengan mengungkapkan atau secara diam-diam menandakan protes. Candice Delmas dalam A Duty to Resist (2018) mengungkapkan bahwa ketidaksetujuan individu secara mendadak dapat menjadi tindakan perlawanan. Meskipun, yang terbaik, melawan berarti mengorganisir secara kolektif untuk membongkar ketidakadilan sistemik.

Kita tidak boleh takut untuk melawan kebatilan dan kezaliman, sekecil apa pun wujudnya. Ketakutan untuk melawan disebabkan oleh apa yang disebut dengan kewajiban politik dan kesadaran—yang pada dasarnya adalah pembatasan ruang. Konsep tersebut diterjemahkan sebagai kewajiban kita sebagai masyarakat sipil untuk menaati hukum dalam negara yang sah dan adil. Tapi, perluaslah sedikit kewajiban politik itu, kata Delmas, sehingga ia bisa dimaknai sebagai kewajiban moral warga negara untuk melawan ketidakadilan meskipun via pelanggaran hukum yang berdasarkan prinsip. Dengan mendasarkan bentuk kewajiban politik seperti itu, kita mampu menjalankan perlawanan dalam praktik keseharian. 

Satu contoh adalah okupasi ruang publik di Balairung UGM yang menerabas jaring-jaring birokrasi kampus untuk bermain sepak bola, membaca, berkemah, dan sebagainya. Balutan kegiatan tersebut sebenarnya apolitis; tapi ia menjadi ekspresi politik bila disingkap. Pendeknya, ruang Balairung dibayangkan, direbut, dan diciptakan ulang oleh mahasiswa untuk medan perlawanan. Contoh lain, ketika buruh negeri sipil harus merasakan tekanan efisiensi anggaran mereka melakukan perlawanan sehari-hari dengan cara menolak patuh atau menunda pekerjaan.

Dalam “Everyday Forms of Resistance” (1989), James C. Scott menyebutkan tujuan perlawanan sehari-hari adalah untuk menghindari perhatian dan deteksi kontrol dari negara. Dengan demikian, dalam situasi berbahaya ini, siapa saja yang masih ragu atau takut untuk melakukan aksi politis secara terang-terangan seperti demonstrasi memiliki pilihan “bawah tanah” untuk dilakukan. Beragam praktik mungkin secara layak dapat diklaim mewakili bentuk perlawanan sehari-hari sehingga inklusif dan representatif. Perlawanan sehari-hari menjadi instrumen paling masuk akal untuk dilaksanakan hari ini. Alasan paling utama adalah militerisasi rezim sekarang sudah hampir mustahil untuk dijegal tanpa perlawanan kolektif dalam skala besar. Dengan perlawanan sehari-hari, ada totalitas kesatuan tertentu bahwa pembangkang adalah mereka yang selalu tenang, tersamar, anonim, dan acap kali tidak dinyatakan sebagai bentuk perlawanan oleh pihak-pihak yang punya akses terhadap kekuasaan.

Puluhan, ratusan, atau bahkan jutaan pembangkang yang konsekuen melawan sehari-hari akan menciptakan jaringan gerakan kolektif yang rizomatik. Gerakan tersebut fluktuatif, cair, dan berstatus non-hierarkial sehingga ketahanannya dapat diuji kala vis-à-vis dengan rezim. Sebagai sebuah jaringan berbentuk rimpang, menurut Gilles Deleuze dan Félix Guattari (1987), ia akan tanpa henti membangun hubungan antara rantai semiotik, organisasi kekuasaan, dan keadaan yang berkelindan dengan perjuangan sosial.

Jadi, sekali lagi, apa yang bisa kita kerjakan sekarang? Kanalnya cukup banyak; berkolektif dan berjejaring. Tapi bila ia tidak dimungkinkan, perlawanan sehari-hari adalah pilihan yang sedikit banyak dapat dikerjakan. Kita tidak memiliki apa pun yang tersisa sebab eksploitasi rezim dan keseharian kecuali satu: kesadaran untuk menolak bagian status quo. Kesadaran yang kemudian diterjemahkan menjadi perlawanan kecil-kecilan-keseharian secara kuat dan istikamah. Di tengah rezim militer dan kapitalisme yang menceraikan identitas kesadaran kita, perlawanan kecil sudah merupakan tindakan revolusioner.***


Alvino Kusumabrata adalah penulis. Tulisannya tersebar di IndoProgress, jurnal Prisma, majalah Basis, Inside Indonesia, Tirto, dll.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.