1. Beranda
  2. /
  3. Topik
  4. /
  5. LKIP Edisi 06

LKIP Edisi 06

Edisi LKIP06

“Sastra Indonesia miskin tradisi kritik”, mungkin ini salah satu ratapan yang kerap kita dengar dalam dunia sastra Indonesia. Kalau pun ada, dewasa ini produksi kritik sastra sering kali tampak hanya beberapa kali pasang, tapi banyak surutnya. Padahal pada gelombang lain, karya-karya sastra banyak ditawarkan secara online mau pun offline: di toko buku. Beberapa judul berhasil merayu. Sebagian membuat kita ragu. Di antara perasaan itu penilaian atas isi sebuah karya terasa perlu.

Namun, apa benar tuduhan di atas? Dalam ‘rubrik teori’ edisi ini, Yovantra Arief ingin membuka diskusi tentang masa depan tradisi kritik sastra Indonesia dengan memaparkan secara ringkas sejarah kritik sastra di Indonesia sejak masa Balai Pustaka hingga era H. B. Jassin dalam tulisannya bertajuk Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik Jadi Panglima, 1920-1965. Tidak lupa kami juga hadirkan sebuah tulisan lama dari A. S. Dharta yang bertajuk Ukuran Bagi Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini dalam ‘rubrik kliping’.

Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik Jadi Panglima, 1920-1965

Kritik sastra adalah produk budaya modern; bukan sesuatu yang lahir dari kebudayaan-kebudayan lokal atau nasional Indonesia. Namun kebudayaan Indonesia memiliki semacam ‘basis material’ yang memungkinkan kritik sastra modern itu bisa tumbuh. Kritik sastra di Indonesia tidak bekerkembang dari ruang kosong; bukan tiba-tiba saja orang-orang bule datang dan ‘menghadiahkan’ kritik sastra pada pribumi, melainkan juga karena dalam kultur pribumi sendiri, ada lahan yang memungkinkan bibit-bibit kritik sastra untuk bersemai.

‘Basis material’ dari kritik sastra Indonesia modern adalah, pertama-tama, bahwasanya kritik adalah sesuatu yang internal dalam sastra itu sendiri. Tentu hal ini tidak berlaku secara general; tidak semua karya sastra merupakan kritik. Rumusan ini setidaknya menunjukkan bahwa sastra pada dirinya sendiri memiliki kemungkinan untuk menjadi kritik dan, dalam berbagai karya, ia menjelmakan kemungkinan itu. Imanensi kritik dalam sastra ini mengemuka dalam dua modalitas; pertama, ia adalah kritik atas realitas, dan kedua, ia adalah kritik atas karya yang lain. Dalam modalitas pertama, sastra tampil dalam relasinya dengan realitas sosial yang melatari sekaligus memungkinkannya, mengenali kontradiksi-kontradiksi yang inheren di dalamnya, untuk kemudian memformulasikannya dalam bentuk sastrawi. Dalam modalitas kedua, kritik (yang internal) dalam sastra merupakan rentetan relasi internal dalam semesta sastra itu sendiri; dicirikan oleh oposisi suatu karya dengan karya yang lain. Karena aktivitas sastrawi menyangkut produksi dan reproduksi makna, maka konfigurasi oposisi itu tidak sepenuhnya bergantung pada kontradiksi spesifik yang melahirkan mereka, melainkan terutama dipengaruhi oleh situasi sosial tertentu yang menuntut pemaknaan tertentu pula.

Ukuran Bagi Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini

Saya bukan seorang kritikus sastra. Saya seorang penyair. Terpisah dari berhasil-tidaknya sajak-sajak saya. Saya terima acara ini dari Panitia Simposium atas dasar pengertian bahwa juga seorang yang bukan kritikus sastra ada baiknya diberi kesempatan mengemukakan pandangannya mengenai kritik sastra. Ditambah lagi, dalam kedudukan saya sebagai Sekretaris Umum Sekretarian Pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), saya kira ada kebutuhan dari simposium ini untuk mendengarkan pendapat seorang anggota pimpinan Lekra tentang kritik sastra berdasarkan pandangan kebudayaan untuk rakyat. Saya sendiri menganggap kesempatan ini berguna untuk mengemukakan pandangan seorang anggota pimpinan Lekra tentang kritik sastra.

Penjara dan Sejarah

Sehimpunan sajak SA memang lahir dari penjara, bukan dari Grand Indonesia—karena itulah editor dari penerbit Ultimus memberikan judul Puisi-Puisi dari Penjara, bukan Puisi-Puisi dari Grand Indonesia. Dengan demikian, penjara menjadi situs kelahiran sehimpunan sajak SA—sajak-sajak SA yang terhimpun dalam Puisi-Puisi dari Penjara merupakan hasil kreasinya pada kurun waktu 1966-1978, masa-masa ketika SA menjalani kehidupan sebagai tahanan. Dari sudut pandang demikian, saya melihat kata “penjara” dalam sehimpunan sajak SA pertama-tama bukan sebagai metafora, melainkan sebagai realitas. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga: penjara yang masuk dalam nomenklatur kata benda berarti bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui; lembaga pemasyarakatan. Inilah arti (sense) dari penjara versi KBBI. Lantas bagaimana dengan makna (meaning) dari “penjara” itu sendiri?

Berhimpun Berkarya dan Berhuni Bersama – Pengalaman Rakyat Brazil

Selain berkarya sebagai arsitek dan mengajar di salah satu sekolah arsitektur, Pedro Arantes adalah koordinator sebuah lembaga bernama ‘Colectivo USINA’, sebuah lembaga kolaborasi berbagai profesi, mulai dari arsitek, insinyur sipil, ahli tata kota, pengacara, sosiolog, seniman sampai analis sistem. Sebelum secara legal terbentuk pada tahun 1990, dalam 1980-an, beberapa anggotanya secara terpisah (secara kolektif atau individual) bekerja sama dengan gerakan sosial masyarakat Brazil untuk menyelesaikan permasalahan permukiman bagi masyarakat miskin kota. Para pengajar sekolah arsitektur dan mahasiswanya sangat aktif terlibat, tidak hanya meneliti, tapi juga mendorong pemahaman bahwa kebutuhan masyarakat akan hunian tidak hanya berupa rumah, tetapi juga sarana umum seperti tempat bermain, sarana olahraga dan pusat kebudayaan komunitas. Selama satu dekade, pengetahuan teknis desain dan konstruksi bangunan alternatif yang lebih efektif dan efisien (dalam artian sesuai kebutuhan masyarakat dan relatif lebih murah), serta pengalaman solidaritas kaum profesional untuk berkolaborasi dengan masyarakat miskin dan kelas pekerja pun terakumulasi. Keterlibatan para peneliti dan pengajar universitas bukanlah tanpa persoalan. Akibat krisis anggaran, tenaga pendidikan juga saat itu harus menghadapi pemecatan dan pengurangan dana penelitian. Untungnya, kematian satu inisiatif terus diikuti oleh kemunculan inisiatif baru sehingga gerakan kolaborasi untuk habitat yang humanis tersebut terus bergulir. Perlu dicatat, bahwa gerakan sosial (politik) perumahan di Brazil ini juga banyak dipengaruhi oleh gerakan serupa di Uruguay (Pedro Arantes, 2013).

Puisi-Puisi Yoseph Yapi Taum

PUISI-PUISI YOSEPH YAPI TAUM   TAK ADA MIMPI DI NEGERI INI : Sondang Hutagalung cakrawala memberinya sepotong rimba sebagai arena merampas kembali kebebasannya di kala

Kamus Kecil Bangsa Indonesia

Puisi T. D. Ginting   Kamus Kecil Bangsa Indonesia (Edisi Revisi)   disusun oleh: T. D. Ginting   Laissez-faire, artinya bi(c)ar(a)kan saja Pemerintah, artinya ia

Sekarang Kamu Mengerti

Puisi Sonny H. Sayangbati   Sekarang Kamu Mengerti   Saat matahari terbit: Ibu ayah ke mana ? Ayah sedang bersinar jadi matahari Ketika matahari tenggelam:

Tiang Belum Runtuh

PUISI INDRAWISUDHA   Tiang Belum Runtuh   Teringat Pramoedya saat murung terkurung di rumah kaca. Betapa berani ia bersuara dalam diam di kejinya penjara. Pada

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.