Apa Arti ‘Dukungan Kritis’ Pasca Kemenangan Jokowi?
HARUS diakui bahwa gagasan ‘dukungan kritis’ beresonansi cukup kuat dalam proses pemenangan Jokowi pada pemilu kemarin. Jokowi didukung bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi juga
HomeMuhammad Ridha
HARUS diakui bahwa gagasan ‘dukungan kritis’ beresonansi cukup kuat dalam proses pemenangan Jokowi pada pemilu kemarin. Jokowi didukung bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi juga
Judul Buku: Capital in the 21st Century Penulis: Thomas Piketty Penerjemah: Arthur Goldhammer Terbitan: The Belknap Press of Harvard University Press Tahun: 2014 OK, saya
‘Kutundukkan kepalaku Kepada semua kalian para korban Sebab hanya kepadamu Kepalaku tunduk Kepada penguasa tak pernah aku membungkuk’ (Wiji Tukul) ‘Dikatakan bahwa seorang belum benar-benar
‘Sepertinya Kawan Bordiga ingin mempertahankan sudut pandang kaum Marxis Italia di sini; tetapi dia tidak menjawab argumen apapun yang dikemukakan di sini oleh kaum Marxis
PADA masa krisis kapitalisme global, Bloomberg, sebuah media korporat besar yang memfokuskan pada isu-isu ekonomi, sempat mengeluarkan sebuah artikel pada 2011 yang berjudul, ‘Give Karl Marx a Chance to Save Global Economy’ (Berikan Karl Marx Kesempatan untuk Menyelamatkan Ekonomi Global). Inti argumen dari artikel tersebut sangat sederhana, pandangan Marx mengenai kapitalisme sangat relevan dalam kondisi krisis kapitalisme sekarang. Bahkan secara implisit artikel tersebut hendak mengatakan kepada kita, alih-alih meninggalkan Marx karena prediksinya yang gagal mengenai kemunculan komunisme, kita harus kembali ke proyek awal Marx mengenai kritik ekonomi politik kapitalisme itu sendiri. Suatu hal yang setidaknya harus diajukan kembali dalam problem pengetahuan kita sekarang ini.
Buku Farjoun dan Machover ini secara umum berupaya mengatasi ketidakpuasan yang muncul dalam menjawab apa yang disebut sebagai ‘problem transformasi’ dalam tradisi ekonomi politik Marxian. Problem transformasi, secara sederhana, berkaitan dengan perdebatan untuk memahami hubungan antara nilai kerja dengan harga pasar yang dipahami secara sama (equal). Dalam kapitalisme, ekspresi paling nyata dari keuntungan dapat dilihat dalam bentuk harga. Semakin besar harga yang diapropriasi oleh kapitalis bisa dipastikan bahwa kapitalis tengah meraup keuntungan besar. Namun, pada sisi produksi, ekspresi atas besaran produksi komoditas, menurut Marx, pada mulanya hanya dapat dilihat pada satuan nilai kerja. Dalam celah konseptual inilah perdebatan problem transfomasi mengemuka.
PENJELASAN mengenai hubungan manusia dengan alam dari pendekatan Marxisme, boleh dibilang sebagai wilayah teoritis yang kurang berkembang. Dalam tradisi Marxisme klasik, misalnya, kita hanya menemukan beberapa karya ternama seperti Dialectics of Nature dan Anti Duhring yang ditulis Friedrich Engels, yang berupaya menjelaskan fenomena alam dan hubungannya dengan manusia. Namun selain dua karya tersebut, sulit untuk menemukan penjelasan yang lebih elaboratif mengenai hubungan antara manusia dengan alam.
REALITAS bekerja dengan penuh keanehan layaknya fiksi. Dalam pengalaman kita sekarang, misalnya, kita bisa melihat bagaimana pembangunan besar-besaran atas nama profit dan ‘revolusionarisasi alat-alat produksi’ berdampingan dengan kemiskinan akut dan deprivasi besar-besaran nilai-nilai kemanusiaan. Ketika apropriasi akumulatif untuk meningkatkan keuntungan kelas kapitalis, hal itu mensyaratkan pengurangan masif kualitas hidup mayoritas rakyat pekerja. Dalam ketegangan ini maka fiksi menjadi sangat operasional. Fiksi berfungsi sebagai perekat ideologis dalam rangka ‘rasionalisasi atas irasionalitas dari sistem yang irasional,’ yang berfungsi untuk memastikan bahwa sistem yang kontradiktif dan berlaku masih dapat berjalan sebagaimana biasanya. Di sini kita akan menemukan bagaimana fiksi, sekaligus karya-karya fiksi, justru menjadi pelayan ideologis dari status quo serta kekuasaan kapitalisme itu sendiri.
Bagi Zizek, tahun 2011 yang lalu adalah bukti bahwa komunisme adalah sebuah nama untuk perlawanan kemanusiaan kontemporer. Bukan sebagai predikat, namun mengutip filsuf Perancis Alain Badiou, sebagai aspirasi kolektif yang ‘abadi’ tentang kesetaraan, solidaritas dan keadilan. Perlawanan rakyat di semenanjung Arab untuk menggulingkan rezim otoritarian di negaranya masing-masing, gerakan pendudukan Wall Street di AS, hingga parade pemogokan massal rakyat Eropa dalam rangka menentang kebijakan pengetatan anggaran yang dilakukan oleh rezim neoliberal di masing-masing negara, sejatinya bukan tuntutan untuk demokrasi semata. Jika demokrasi adalah nama untuk inklusi seluas-luasnya (bahwa semuanya diakomodasi dalam ruang negosiasi dan konsensus politik), maka lebih dari itu, perlawanan yang terjadi pada tahun 2011 adalah suatu tuntutan umum tentang kebaikan bersama (bonum commune) yang secara sadar mengesklusikan kepentingan yang lain. Artikulasi utama dari perlawanan global 2011 adalah artikulasi kontradiksi, pembagian murni, logika perjuangan kelas antara satu pihak yang berupaya menegasikan yang lain. Kita, massa rakyat 99% melawan mereka elit 1%. Dalam hal inilah komunisme muncul sebagai suatu hal yang aktual sekarang ini.
KAPITALISME sebagai sebuah termin pengetahuan bukanlah barang baru dalam pengalaman Indonesia. Mayoritas, jika tidak dapat dikatakan semuanya, kalangan pergerakan di negeri ini pada masa sebelum dan awal-awal kemerdekaan mendedikasikan dirinya untuk memahami kapitalisme. Bukan untuk pemahaman itu sendiri, tapi memahami dalam rangka mengubahnya. Pengalaman panjang kolonialisme yang berakar dari logika ekspansif kapitalisme di masa itu memaksa mereka untuk menjadikan kapitalisme sebagai problem intelektual sekaligus praktis.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.