Probabilitas Teori Nilai Kerja

Print Friendly, PDF & Email

Judul Buku      : Law of Chaos: A Probabilistic Approach to Political Economy
Penulis             : Emmanuel Farjoun dan Moshe Machover
Penerbit           : Verso Book, London
Tahun              : 1983
Tebal                : 264 hal.

 

SALAH satu hal yang ingin dicapai Karl Marx dalam karya babonnya Capital, adalah untuk menguak hukum umum kapitalisme melalui sains ekonomi politik. Ini tidaklah mengherankan, mengingat proyeksi politik pengetahuan Marx adalah menyediakan pendasaran saintifik bagi gerakan pembebasan rakyat pekerja. Namun, sebagaimana setiap upaya penelusuran ilmiah, Marx mengakui bahwa tidak ada jalan mudah untuk sains. Kesulitan ini, setidaknya, masih kita temui sampai sekarang. Akar dari kesulitan itu dapat dirujuk kepada kontradiksi internal kapitalisme sebagai sebuah sistem yang dinamis namun tidak teratur. Karakter inheren kapitalisme yang kontradiktif, menciptakan banyak perubahan pada bentuk kapitalisme itu sendiri. Perubahan karena dinamika sistemik ini pada tingkatan penampakan membuat beberapa temuan dalam Capital, melalui teori nilai kerja sebagaimana yang dirumuskan Marx, mendapat pertanyaan, tantangan, dan bahkan penolakan serius dari tradisi pengetahuan lainnya.

Dengan demikian, sangat penting untuk merespon tantangan tersebut sembari memperlihatkan kebaruan metode dalam menunjukan bahwa prinsip ekonomi yang diajukan Marx melalui teori nilai kerja (labor theory of value) adalah benar adanya. Apa yang membuat respon ini penting, bukan karena harus membela Marx, yang kita tahu hanyalah manusia biasa, melainkan pada asumsi pengetahuan Marx yang menjadi  fondasi teoritisnya: teori nilai kerja (labor theory of value). Dalam teori nilai kerja, terkandung pemahaman bahwa kerja manusia yang bersifat sosial merupakan dasar dari dinamika ekonomi. Membuktikan secara teoritis maupun empiris keterhubungan yang erat antara nilai dan harga, merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berdasarkan pada (eksploitasi) kerja itu sendiri. Meninggalkan asumsi ini, sama saja memberikan senjata pengetahuan ideologis kepada kelas borjuasi beserta para pendukungnya bahwa sosialisme adalah sesuatu yang mustahil; karena penguasaan kerja secara umum oleh manusia itu sendiri, yang merupakan ciri utama dari sosialisme, tidak memiliki landasan ilmiah.

Dalam hal inilah buku karya dua orang akademisi sekaligus aktivis organisasi sosialis Matzpen di Israel, Emanuel Farjoun dan Moshe Machover, Law  of Chaos, menjadi relevan. Buku yang terbit pertama kali pada 1983 ini berupaya untuk menafsirkan kembali hukum umum kapitalisme sebagaimana yang disimpulkan Marx dengan teori nilai kerjanya, dalam pengalaman dinamika kapitalisme kontemporer. Buku ini mencoba untuk membangun kembali dua konsep sentral ekonomi politik yang merupakan bagian integral dari penjelasan Marx mengenai hukum kapitalisme, yakni harga dan keuntungan. Dengan menggunakan pendekatan statistik-probabilitas, mereka mendefinisikan kembali dua gagasan tersebut dan melanjutkannya pada diskusi mengenai hubungan antara ‘nilai kerja’ dengan harga dan keuntungan. Pendekatan statistik dan probabilitas tentu saja sudah sangat berkembang pada seluruh ilmu alam dan ilmu sosial, namun seringkali diabaikan oleh banyak ahli ekonomi politik. Dengan menempatkan ekonomi kapitalis sebagai suatu sistem dengan koleksi besar objek yang bergerak  dan tidak teratur, Farjoun dan Machover berupaya untuk mengatasi banyak masalah dan kontradiksi yang muncul dalam kekakuan skema analitis ekonomi Marxian, tanpa harus meninggalkan prinsip mendasar Marx mengenai keutamaan relasi sosial produksi.

 

Debat Problem Transformasi dan Tantangan terhadap Teori Nilai Kerja

Buku Farjoun dan Machover ini secara umum berupaya mengatasi ketidakpuasan yang muncul dalam menjawab apa yang disebut sebagai ‘problem transformasi’ dalam tradisi ekonomi politik Marxian. Problem transformasi, secara sederhana, berkaitan dengan perdebatan untuk memahami hubungan antara nilai kerja dengan harga pasar yang dipahami secara sama (equal). Dalam kapitalisme, ekspresi paling nyata dari keuntungan dapat dilihat dalam bentuk harga. Semakin besar harga yang diapropriasi oleh kapitalis bisa dipastikan bahwa kapitalis tengah meraup keuntungan besar. Namun, pada sisi produksi, ekspresi atas besaran produksi komoditas, menurut Marx, pada mulanya hanya dapat dilihat pada satuan nilai kerja. Dalam celah konseptual inilah perdebatan problem transfomasi mengemuka.

Bagi Marx sendiri, jawaban atas problem transformasi dilakukan melalui pengenalan atas konsep harga produksi (price of production). Harga produksi adalah tingkat harga dimana nilai banyak komoditas dihitung secara rata-rata (average), yang terjadi karena adanya dorongan kompetisi dalam kapitalisme. Ide ini sendiri bukan sesuatu yang baru, karena Marx melakukan modifikasi konsep ‘harga alami’ (natural price) yang sudah dikembangkan Adam Smith dan juga David Ricardo. Dalam hal ini, harga produksi adalah tingkatan harga pusat  (centre price) dimana harga pasar bergravitasi terhadapnya dalam jangka waktu yang panjang. Yang membuat konsep harga produksi Marx  berbeda dengan konsepsi Smith dan Ricardo, adalah kemampuannya untuk menjelaskan determinasi nilai pada harga produksi.

Determinasi antara nilai komoditas dengan harga ditentukan oleh rasio kapital variabel yang memproduksi komoditas tersebut (eskpresi dari upah, kompensasi, dll.), dengan bagian kapital konstan (mesin, teknologi, bahan mentah, dll.).  Relasi antara dua bagian kapital ini dikenal juga sebagai komposisi organik kapital. Komposisi organik kapital dikatakan rendah jika dalam kondisi produksi tertentu, proporsi kapital variabel lebih besar dibandingkan dengan kapital konstan. Begitu juga sebaliknya, komposisi organik kapital tinggi jika kapital konstan lebih besar dibandingkan dengan kapital variabel. Rendahnya komposisi organik menunjukkan bahwa kapital mempekerjakan lebih banyak pekerja, yang menghasilkan lebih banyak nilai lebih, kareanya lebih banyak keuntungan. Karenanya, nilai produk, dengan komposisi organik yang rendah, lebih tinggi dari harga produksi. Bagi Marx hal ini menunjukan bahwa harga dari produk tersebut lebih mahal dari harga produksi yang berlaku dalam kondisi produksi yang ada. Kasus yang berseberangan terjadi ketika dalam situasi produksi tertentu, kapital yang diinvestasikan lebih banyak untuk ranah kapital konstan dibandingkan untuk rata-rata kapital upah. Nilai komoditas yang diproduksi akan berada di bawah harga produksinya (Marx 1981).

Walau begitu, penjelasan Marx masih dianggap problematis bagi beberapa kalangan. Kritik pertama dari model transformasi milik Marx muncul dari karya ekonom Eugen von Böhm-Bawerk, yang dipublikasikan pada tahun 1896. Menurut Böhm-Bawerk, Marx tidak memahami bahwa komoditas dalam perkembangan produksi kapitalis pada kenyataannya tidak dijual dalam bentuk nilai. Di sini Böehm-Bawerk berpendapat bahwa model transformasi Marx mengalami inkonsistensi internal.

Kritik yang lebih formal atas problem transformasi Marx, dilakukan oleh matematikawan  Rusia pada 1907, Ladislaus von Bortkiewicz. Niatan awal Bortkiewicz pada dasarnya lebih simpatik dibandingkan dengan Böhm-Bawerk, dimana ia berupaya untuk ‘memperbaiki’ inkonsistensi yang diidap model transformasi Marx. Namun, upaya ‘perbaikan’ ini justru menjadi kritik fundamental terhadap asumsi mendasar dari model transformasi Marx, yakni teori nilai kerja. Bahkan ekonom Marxis sekelas Paul Sweezy (1949, hal.  xxix), mengakui bahwa kritik Bortkiewicz adalah kritik paling lengkap sekaligus paling memuaskan. Inti kritik Bortkiewicz terletak pada kesalahan solusi Marx yang menyamakan nilai dengan harga melalui persamaan umum tentang total nilai sebagai setara dengan total harga. Dengan menggunakan model ekuilibrium neoklasik, Bortkiewicz menempatkan argumen Marx dalam model standar input-output. Dalam sisi input, ada mesin, bahan mentah dan upah yang dihitung berdasar nilai. Sedangkan pada sisi output, terdapat semua komoditas yang telah diproduksi, yang semuanya dihitung berdasarkan pada harga produksi. Diskrepansi antara input-output inilah yang menyebabkan persamaan total nilai dengan total harga menjadi tidak akurat. Kesalahan Marx, menurut Bortkiewicz, adalah karena ia tidak melakukan perhitungan secara simultan antara tingkat keuntungan dengan harga.

Kritik Bortkiewicz memberikan dasar yang lebih sistematis untuk meninggalkan apa yang krusial dalam asumsi posisi teoritis Marx tentang teori nilai kerja, bahwa relasi komoditas adalah ekspresi dari relasi sosial produksi itu sendiri. Upaya untuk meninggalkan asumsi ini tampak dari kritik atas model transformasi Marx yang dilakukan ekonom Italia, Piero Sraffa dalam bukunya Production of Commodities by Means of Commodities (1960). Karya Sraffa ini pada dasarnya merupakan kritik atas ekonomi marjinalis neoklasik, yang berpendapat bahwa proses distribusi pendapatan dapat diisolasi semata dalam relasi pasar (Dobb 1970). Dengan menggunakan model input-output (seperti Bortkiewicz), ditambah dengan pendekatan aljabar linier, Sraffa membuktikan secara matematis bahwa harga komoditas juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan ranah produksi. Walau terdengar identik dengan posisi Marx, pembuktian yang dilakukan Sraffa juga menjadi kritik fundamental terhadap teori nilai kerja Marx, walau tidak dilakukan secara eksplisit. Model Sraffa memberikan justifikasi bahwa tidak ada relasi yang pasti antara besaran fisik komoditas beserta harganya dengan nilai (Mandel  1984). Menurut Lopes (2011), Sraffa hendak mengatakan bahwa sistem nilai berbeda dari sistem produksi harga. Perbedaan ini terkait dengan kriteria distribusi nilai lebih. Dalam sistem nilai, kriterianya adalah ukuran kapital variabel (surplus didistribusikan dalam proporsi terhadap jumlah pekerja di tiap sektor), sementara dalam sistem produksi harga, surplus jumlah kapital variabel dan kapital konstan berlaku sebagai parameter distribusi surplus. Di sini, Sraffa mengembalikan proposisi teori nilai yang pernah dibangun David Ricardo, dimana distribusi harga dan pendapatan dipahami sepenuhnya dalam ekspresi material kuantitas komoditas dan kerja. Dalam hal inilah Sraffa menjadi salah seorang proponen utama tradisi pemikiran Neo-Ricardian.

Neo-Ricardian lainnya yang melakukan kritik eksplisit terhadap Marx beserta asumsi teoritis teori nilai kerjanya adalah Ian Steedman. Dalam bukunya Marx after Sraffa, Steedman berpendapat bahwa sistem analisa kuantitas yang dikemukakan Sraffa menyediakan determinasi yang tepat bagi tingkat keuntungan dan harga produksi dibandingkan model ekuilibrium yang ditawarkan Marx (Mumy 1979). Implikasi dari posisi teoritis ini, bagi Steedman, adalah terbukanya kemungkinan untuk menjelaskan tingkat keuntungan dan harga produksi pada sebatas kuantitas komoditas dan upah, tanpa harus menjelaskan terlebih dahulu nilai kerja dalam proses produksi. Dalam hal ini, Steedman menyatakan suatu kritik redundansi bahwa penggunaan teori nilai kerja dalam pengukuran tingkat keuntungan adalah berlebihan, dan karena itu teori nilai kerja tidak lagi relevan dalam menjelaskan ekonomi kapitalisme. Sebab yang terpenting kemudian adalah pada banyaknya produksi komoditas beserta teknik produksi atas komoditas itu sendiri.

Kritik Neo-Ricardian dapat dikatakan adalah kritik formal sekaligus sistematis atas landasan logis, sekaligus matematis, dari model transformasi Marx. Bukan berarti tak ada kontra-kritik dari kalangan ekonom Marxis. Respon awal atas kritik transformasi Marx, dilakukan oleh apa yang disebut dengan pendekatan ‘Solusi Baru’ (New Solution). Duncan Foley dan Gerard Dumenil adalah dua ekonom Marxis yang mengajukan pendekatan ini pada awal tahun 1980an. Keduanya berpendapat bahwa kritik Neo-Ricardian yang menempatkan determinasi harga dapat dilakukan pada distribusi kuantitas barang adalah salah, jika kapital variabel tidak ditempatkan sebagai upah nyata (yang jika dihitung, berdasarkan pada harga jumlah jam kerja), namun secara langsung dipahami sebagai uang-upah (money-wage) yang dibayarkan kapitalis kepada pekerja. Selain itu, pendekatan ini juga menginterpretasi ulang persamaan rata-rata nilai-harga sebagai kondisi hasil bersih (netto), dibandingkan sebagai hasil kotor (gross). Dari asumsi dan definisi ini, rata-rata hasil bersih persamaan nilai-harga memuaskan secara simultan persamaan rata-rata nilai lebih-keuntungan (Moseley 1999).

Respon lain untuk menjawab kritik terhadap transformasi Marx dilakukan ekonom Anwar Shaikh (1977). Ia  berpendapat bahwa kritik Neo-Ricardian tidak tepat, karena Marx menempatkan transformasi nilai melalui harga produksi sebagai proses yang berulang (iteration), dimana perhitungan atas transformasinya tidak dapat dilakukan sekali saja. Dengan menggunakan model iterasi Marx atas data input-output industri Amerika Serikat tahun 1947-1972, Shaikh (1998) membuktikan bahwa deviasi antara nilai dengan harga hanya berada di angka 12,8 persen. Jika dibandingkan dengan rasio penerimaan deviasi yang berada di angka 30 persen maka aproksimasi deviasi nilai-harga dapat dikatakan kecil. Di sini dapat disimpulkan bahwa nilai dengan harga berkaitan cukup kuat. Shaikh (1982) juga berargumen bahwa walaupun Neo-Ricardian memiliki kekayaan pe-model-an melalui aljabar linier, namun Neo-Ricardian masih mengalami kesalahan layaknya  ekonomi vulgar (ekonomi yang hanya memperhatikan dimensi empirik dari fenomena, red) yang membuatnya gagal dalam melakukan teoritisasi.

Respon yang lebih ambisius untuk menjawab kritik Neo-Ricardian dapat dilihat pada apa yang disebut sebagai ‘Interpretasi Sistem-Tunggal yang Temporal’ (Temporal Single-System Interpretation, TSSI). Menurut Andrew Kliman (2005), pendekatan ini menginterpretasikan bahwa transmisi input menuju output tidak dapat dipahami secara simultan sebagaimana yang dilakukan para Neo-Ricardian, akan tetapi harus dilihat secara temporal. Bagi Kliman, jika harga input-output dipahami secara simultan maka akan menciptakan dua tingkat keuntungan, yakni tingkat keuntungan berdasarkan nilai kerja dan tingkat keuntungan berdasarkan harga produksi. Solusi atas problem ini, menurut Kliman, dapat dilakukan jika total nilai (yang diekspresikan dalam istilah MELT; Monetary Equivalent of Labour Time atau Ekuivalensi Moneter atas Waktu Kerja) pada input dan output berubah dalam satu siklus namun pada waktu yang berbeda (Choonara 2007). Dalam hal ini, TSSI menolak kritik yang mengatakan bahwa terdapat inkonsistensi dalam transformasi Marx, karena model Marx dalam model tunggal yang temporal, nilai dimungkinkan untuk sama dengan harga.

Farjoun dan Machover
Emmanuel Farjoun dan Moshe Machover

 

 

Probabilitas Teori Nilai Kerja

Kembali kepada Farjoun dan Machover. Keduanya berpendapat, problem utama mengapa model trasnformasi Marx dikritik sebagai model yang inkonsisten terletak pada kerangka teoritis yang deterministis dalam konstruksi model Marx itu sendiri. Determinisme ini bisa dilihat pada bagaimana Marx melakukan transformasi nilai ke harga melalui mediasi harga produksi. Harga produksi, yang merupakan bentuk presentasi ekonomi politik klasik yang khas dari Adam Smith hingga Marx sendiri, melahirkan asumsi bahwa ada ekuilibrium rata-rata nilai komoditas yang berlaku secara seragam (uniform) dalam tingkat keuntungan produksi kapitalisme. Kondisi ekuilibrium ekonomi inilah yang membuat nilai selalu mendeterminasi harga.

Kemustahilan asumsi ekuilibrium, dalam pandangan Farjoun dan Machover, dapat ditilik dari dua aspek, yakni aspek matematis dan aspek ekonomi. Secara matermatis, Farjoun dan Machover memberikan contoh sederhana. Asumsikan ada dua perusahaan A dan B, masing-masing dengan modal $1000. Diasumsikan kedua cabang industri tersebut berjalan selama 10 tahun dengan menciptakan tingkat keuntungan masing-masing per tahun 5 persen (A), 35 persen (B). Jika menggunakan asumsi ekuilibrium, maka tingkat keuntungan kedua cabang industri ini berada pada angka 20 persen. Dalam hal ini menjadi benar untuk melakukan perhitungan teoritis guna menggantikan tingkat keuntungan yang berbeda-beda tersebut dalam angka yang sama. Problem muncul pada tingkatan mikro dimana beberapa kuantitas variabel sangat sensitif pada penyebaran tingkat keuntungan ini. Anggap bahwa tiap perusahaan harus membayar pajak 50 persen pada tiap keuntungan tahunannya, dengan pengecualian $150 pertama yang mana tidak dikenai pajak. Dengan demikian, sebuah perusahaan yang membuat keuntungan 5 persen dari modalnya tidak membayar pajak; sementara perusahaan yang lain yang membuat keuntungan 35 persen pada tahun yang sama, harus membayar pajak $100 (ingat: perusahaan mendapat keuntungan sebesar $350, karena awal $150 adalah bebas pajak dan sisa $200-nya dengan demikian dikenai pajak 50 persen) maka total pajak yang dibayar tiap tahun adalah $100. Akan tetapi, jika kedua perusahaan kita asumsikan memiliki tingkat keuntungan yang seragam 20 persen tiap tahun, maka keuntungan yang dihasilkan adalah $200, dimana hanya $50 yang dapat dikenai pajak. Jadi tiap perusahaan akan membayar $25 dalam pajak dan total pajak secara keseluruhan adalah $50 (hal. 29-30). Hal ini menunjukkan bahwa relasi matematis antar variabel tidak dapat ditempatkan dalam kondisi rata-rata.

Secara ekonomi, Farjoun dan Machover berargumen bahwa kondisi ekuilibrium adalah sesuatu yang tidak ada dalam situasi ekonomi kapitalisme yang nyata. Mereka menggunakan ilustrasi pendulum dalam rangka menjelaskan bagaimana ekuilibrium ekonomi dipahami. Ketika dalam ekuilibrium, sebuah pendulum menggantung secara vertikal ke bawah; dan pendulum itu akan berada dalam posisi tersebut kecuali terjadi gangguan eksternal. Jika diganggu secara eksternal, pendulum akan bergerak di sekitar ekuilibriumnya. Dengan absennya benturan, maka pendulum akan bergoyang selamanya; akan tetapi karena adanya benturan, goyangan tersebut akan melemah dan kondisi ekuilibrium akan terjadi kembali. Problem ekuilibrium mengemuka ketika hal ini direfleksikan pada bagaimana kapitalisme bekerja secara nyata. Kembali ke ilustrasi pendulum, apa yang dipahami sebagai gangguan eksternal terhadap pendulum adalah internal dalam sistem ekonomi kapitalisme. Kompetisi bebas selalu menciptakan kondisi ‘abnormal’ terhadap ekuilibrium itu sendiri sedari awal. Di sini, dalam kompetisi kapitalisme, pendulum tidak akan pernah berada pada posisi vertikal ke bawah karena selalu diganggu oleh kompetisi. Oleh karena itu, alih-alih dipahami sebagai kondisi ekuilibrium yang seragam, kerangka teoritis dalam memahami kapitalisme harus ditempatkan dalam relasi kompetisi dengan  proses yang tidak beraturan (disorder) (hal. 33-34).

Dalam menjelaskan bagaimana kapitalisme sebagai proses yang tidak beraturan, Farjoun dan Machover menggunakan pendekatan dalam ilmu fisika yang dikenal sebagai statistika mekanik.[1] Argumen mereka tentang statistika mekanik terletak pada pengamatan mereka terhadap kapitalisme, dimana pada tingkatan mikro, puluhan ribu firma dan puluhan juta pekerja dan konsumen individual terlibat dalam produksi dan pertukaran komoditas. Terhitung setidaknya ada 60.000 bahan kimia yang diproduksi setiap hari untuk memenuhi pasar; jumlah komoditas yang berbeda pasti mencapai jutaan lebih. Aktivitas dua atau lebih perusahaan dan konsumen secara umum hampir dikatakan independen antara satu dengan yang lain, yang sangat dipengaruhi oleh beragam penyebab teknis, sosial dan ekonomi. Perilaku ‘makro’ sistem seperti itu, dengan demikian, merupakan penjumlahan dari jumlah yang banyak dari proses dan peristiwa ‘mikro’ individual, yang mana tiap-tiap mereka didorong oleh berbagai penyebab dan motif (hal. 39).

Akan tetapi, menurut keduanya, masih ada kesenjangan dalam relasi antara ‘mikro’ dengan ‘makro.’ Walau dalam prinsip dimungkinkan untuk menelusuri tiap proses, persitiwa dan penyebab ‘makro’ melalui perhitungan dari hukum global yang mengatur fenomena mikro, perhitungan ini melibatkan bilangan komponen mikro beserta komponennya yang terlalu besar. Selain itu, peristiwa individual tersebut tidak dapat diamati dengan ketepatan yang mencukupi, dan relasi kausal yang mengatur hal tersebut sangat jauh untuk diketahui secara penuh. Dengan kata lain, deskripsi lengkap dan analisa terhadap sistem sampai dengan detail mikro menjadi tidak relevan.

Kesenjangan mikro-makro dalam kapitalisme ini, menurut Farjoun dan Machover, dapat diatasi jika pemahaman atas kapitalisme dilihat dalam hukum probabilitas dimana keuntungan, harga, dan berbagai besaran ekonomi lainnya harus berdasar pada karakter statistik, dan pertimbangan statistika  harus digunakan untuk mendeduksi hukum tersebut. Dengan demikian, walau gagasan ekuilibrium tingkat keuntungan dan harga alami (natural prices) mengakui statistika, teori ini tidak memperkenalkan secara eksplisit elemen probabilitas dalam model kuantitatif matematikanya. Model ini, menurut mereka, membuat, misalnya, keuntungan dan harga bukan sebagai kuantitas yang tetap sepanjang waktu, namun sebagai apa yang disebut sebagai variabel acak (random variable) dengan probabilitas distribusinya sendiri (hal. 40).

Implikasi dari pendekatan probabilitas ini, ekuilibrium tidak lagi dipahami layaknya ekuilibrium yang ideal, namun  lebih tepat dipahami sebagai distribusi statistik, dalam arti rasio antara nilai kerja dengan harga bergerak dari 0 sampai dengan 1. Ada hubungan statistik antara harga komoditas individual dengan nilai kerja komoditas individual tersebut. Ambil contoh, misalnya, dua sampel acak dengan besaran komoditas yang berbeda, maka rasio antara total nilai dan total harganya, dengan kemungkinan yang besar, akan sangat setara. Jadi ada hubungan makro antara harga dan nilai kerja, namun hubungannya bersifat statistis dibanding individual.

Hal ini membuat pemahaman mengenai tingkat keuntungan dari individu-individu perusahaan terlihat berubah-ubah atau berfluktuasi secara cepat. Namun, proporsi dari total kapital konstan yang menciptakan profit tertentu berdistribusi statistik secara normal atau jika pun berubah, perubahan tersebut sangatlah lamban. Hanya dalam kondisi krisis yang besar maka perubahan distribusi yang cepat dapat dimungkinkan. Dalam pendekatan probabilitas, tingkat keuntungan global di seluruh ekonomi yang dihitung dalam besaran harga dapat merefleksikan besaran nilai kerja. Ketika total harga surplus tahunan dan dibagi dengan total harga kapital yang diinvestasikan, besar kemungkinan  tingkat keuntungan global ini akan hampir serupa dengan tingkat keuntungan yang dihitung berdasar nilai kerja. Hal ini tentu saja menyelamatkan inti dari teori nilai kerja Marx, dimana skema reproduksinya bukan untuk menghitung harga tiap-tiap komoditas, melainkan  tingkat keuntungan global setara dengan  perhitungan yang menggunakan besaran nilai kerja.

Selain itu, terdapat keuntungan secara empirik ketika hendak menghitung rata-rata tingkat keuntungan naik atau turun. Jika rata-rata tingkat keuntungan mewakili seluruh tingkat keuntungan dan penurunannya, katakanlah dari 10 persen menjadi 7 persen per tahun, maka hal ini menjadi tidak masalah karena keuntungan 7 persen masih dapat dikatakan bagus. Akan tetapi jika pengamatan difokuskan pada distribusi, perkara tingkat keuntungan dapat menjadi lain. Ingat bahwa rata-rata tingkat keuntungan dipahami sebagai rata-rata sepanjang distribusi tingkat keuntungan yang berbeda dengan perusahan-perusahaan yang berbeda pula secara global. Maka perusahaan dengan tingkat keuntungan 3 persen atau kurang menjadi perusahaan yang merugi. Rata-rata tidak berubah banyak, namun akan banyak perusahaan yang bangkrut. Dengan kata lain, ketika rata-rata keuntungan menurun, masih ada banyak perusahaan yang menciptakan keuntungan. Hal ini lebih menampilkan gambaran yang akurat mengenai dinamika kapitalisme itu sendiri.

Probabilitas teori nilai kerja ini membawa implikasi lain pada bagaimana kita memahami teori krisis yang diajukan Marx, yakni teori ‘jatuhnya tingkat keuntungan.’ Salah satu penolakan dari banyak ekonom non-marxis, dan juga marxian tentunya, dengan teori krisis Marx adalah teorinya terdengar sangat kontra-intuitif karena, bagi Marx, fondasi dari krisis justru adalah peningkatan produktivitas itu sendiri. Produktivitas yang selalu meningkat yang disebabkan oleh mekanisasi kerja, mendorong penurunan atas komposisi organik kapital yang selanjutnya menjadi penyebab struktural dari krisis itu sendiri. Farjoun dan Machover berpendapat, peningkatan produktivitas yang menjadi dasar dari krisis dapat dijelaskan oleh hukum, yang mereka sebut sebagai hukum penurunan isi-kerja (law of decreasing labour-content).[2] Secara gamblang, hukum ini hendak mengatakan bahwa dengan perkembangan teknik produksi dalam kapitalisme, maka waktu kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas akan semakin berkurang. Sebagai contoh, isi-kerja dalam produksi gandum di Amerika Serikat kini (termasuk seluruh input kerja langsung maupun tidak langsungnya) lebih kecil dibanding tiga puluh tahun yang lalu.

Yang membuat penjelasan Farjoun dan Machover berbeda dengan penjelasan Marx, terletak pada penekanan bahwa situasi seperti itu harus dilihat dalam probabilitas, dimana situasi tersebut bukan sesuatu yang pasti terjadi namun sangat besar kemungkinannya untuk terjadi. Terdapat beberapa kasus dimana isi-kerja dari beberapa tipe komoditas tersebut meningkat, walau ongkos produksi dalam bentuk uang menurun; akan tetapi kasus tersebut secara relatif sedikit dan memiliki tingkat kemungkinan yang kecil. Farjoun dan Machover menunjukkan bahwa sebuah pengurangan dalam ongkos produksi, walau tanpa pengurangan input kerja langsung per unit terhadap output, memiliki probabilitas yang besar untuk mengurangi isi-kerja produk tersebut.

 

Ekonofisika Marxian

Hal lain yang tidak kalah pentingnya dari buku Farjoun dan Machover adalah dimungkinkannya intervensi marxian dalam diskursus ekonofisika, yang selama beberapa dekade belakangan muncul dalam ilmu ekonomi.  Ekonofisika, yang pada dasarnya adalah penggunaan alat dan metode fisika dalam menjelaskan problem ekonomi, dipandang sebagai salah satu pendekatan yang mumpuni dalam menjelaskan fenomena kapitalisme kontemporer yang semakin rumit dan kompleks. Kemampuan mumpuni ekonofisika terletak pada kekuatan penjelasan mereka ketika menggambarkan secara detail masalah ekonomi dalam ketidakberaturan (chaos) kapitalisme itu sendiri.

Kontribusi marxian terhadap ekonofisika, telah membuka ruang pemahaman yang lain terhadap kompleksitas itu sendiri. Bahwa kompleksitas yang terjadi bukan kompleksitas yang berasal dari subjektivitas aktor-aktor yang beraktivitas di pasar semata, namun lebih dikarenakan dinamika relasi produksi yang didasari pada upaya untuk mengapropriasi nilai-lebih pekerja dalam kompetisi antar kapitalis itu sendiri. Hal ini dapat memberikan dasar objektif yang lebih kuat bagi ekonomi itu sendiri. Ketika banyak penjelasan ekonomi arus-utama semakin terjerumus dalam penjelasan perilaku-psikologis, ekonofisika marxian justru menunjukkan bahwa praktik ekonomi yang kompleks dan tidak beraturan dapat dijelaskan jika relasi produksi konkrit dimasukkan dalam kerangka utama penjelasan ekonominya (Cockshott et al 2005).

Hal ini tentu saja menjadi ‘senjata ideologis’ yang penting dalam perdebatan ilmu ekonomi untuk membongkar mistifikasi ideologi kelas yang berkuasa itu sendiri. Ilmu ekonomi bukanlah sesuatu yang bebas nilai, akan tetapi ilmu ekonomi itu sendiri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari artikulasi kelas berkuasa. Dengan terlibat dalam problem ekonofisika dalam ilmu ekonomi, kontestasi ideologi dalam ilmu ekonomi menjadi dimungkinkan dan perjuangan politik kelas pekerja memiliki dasar sainsnya sendiri.

 

Penutup

Buku Farjoun dan Machover ini dapat dikatakan sebagai salah satu terobosan penting dalam presentasi ekonomi politik Marxian, khususnya dalam upayanya mempertahankan kembali apa yang krusial dari teori nilai kerja, yakni determinasi kerja yang bersifat sosial dalam aktivitas ekonomi kapitalis. Farjoun dan Machover sukses untuk membuktikan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis yang mempunyai derajat kebebasan yang tinggi sekaligus tidak beraturan, prinsip Marx dalam teori nilai kerja masih tetap berlaku. Dengan kata lain, buku ini adalah buku yang sangat penting dalam memahami teori nilai kerja dalam konteks kapitalisme kontemporer yang dianggap chaotic.

 

Muhammad Ridha, Pemimpin Redaksi Left Book Review (LBR). Penulis aktif di twitterland dengan akun @muh_ridha

 

Referensi Tambahan

Buku

Cockshott, WP; Cottrell, AF; Michaelson, GJ; Wright, IP; and Yakovenko, VM. (2005). Classical Econophysics. London and New York: Routledge.

Kliman, A. (2007). Reclaiming Marx’sCapital”: A Refutation of the Myth of Inconsistency. Toronto: Lexington.

Mandel, E. (1984). “Introduction”. dalam Ernest Mandel and Alan Freeman (eds). Ricardo, Marx, Sraffa: The Langston Memorial. London: Verso.

Marx, K. (1981). Capital: A Critique of Political Economy vol. III. London: Penguin Books

Shaikh, A. (1977). ‘Marx’s Theory of Value and the “Transformation Problem,”’ dalam J. Schwartz (Ed.), The Subtle Anatomy of Capitalism. Santa Monica: Goodyear.

Sraffa, P. (1963).  Production of Commodities by  Means of Commodities. Bombay: K.K Vora.

Sweezy, PM. (1949). ‘Editor’s Introduction.’  dalam Eugen von Boehm-Bawerk, Karl Marx and the Close of His System, New York: Augustus M. Keeley.

Shaikh, A.  (1998). ‘The Empirical Strength of the Labour Theory of Value.’ dalam Roberto Bellafiore (ed.), Marxian Economics: A Reappraisal vol. 2, New York: St. Martin,

 

Jurnal

Bortkiewicz, L. (1952). Value and Price in the Marxian System. Diambil dari http://minibiblionet.free.fr/textes.page6B/1907.bortk.pdf

Choonara, J. (2007). ‘Marx’s “Transformation” Made Easy,’ dalam International Socialism Issue 115,  Diunduh dari  http://www.isj.org.uk/?id=353

Dobb, M. (1970). ‘The Sraffa System and Critique of the Neo-Classical Theory of Distribution.’ dalam De Economist 118, NR. 4,

Lopes, TM. (2011). The Historical Phases of the Debate on the Transformation of Values into Production Prices.’ diunduh dari www.iippe.org/wiki/images/d/de/CONF_2011_Tiago_Lopes.pdf

Mumy, GE. (1979).  ‘Book Reviews: Marx After Sraffa by Ian Steedman London: New Left Books, 1978,’ dalam Review of Radical Political Economics 11: 71

Moseley, F.  (1999). ‘The “New Solution” to the Transformation Problem: A Sympathetic Critique.’  Diambil dari http://www.mtholyoke.edu/~fmoseley/CRITIQUE.pdf,

Shaikh, A.  (1982). ‘Neo-Ricardian Economics: A Wealth of Algebra, A Poverty of Theory.’ Review of Radical Political Economics, 14, 67–83.



[1] Statistika mekanik yang dirujuk Farjoun dan Machover, pertama kali dikembangkan oleh James Clerk Maxwell dan Ludwig Eduard Boltzman, dengan tujuan untuk menjelaskan properti dan perilaku sistem material fisik tingkatan makro yang terdiri dari sejumlah besar konstituen partikel dasar. Contoh paling sederhana untuk memahami statistika mekanik adalah dengan memperhatikan perilaku gas di bawah berbagai kondisi temperatur dan tekanan (yang dalam hal ini dimodelkan dalam model gas ideal, red). Anggap kuantitas ‘gas’ yang ditempatkan dalam suatu kontainer, yang agar mudah kita anggap berbentuk kubik. Gas ini dianggap terdiri dari sejumlah besar partikel, atau ‘molekul.’ Dalam kasus yang paling sederhana, yang mana adalah gas monatomik sederhana, semua partikel adalah identik dan tidak memiliki bagian konstituennya sendiri. Anggap sekarang sistem gas ini diisolasi dalam kontainer yang dibuat kedap udara; volume serta temperatur gas (dan juga tekanannya) menjadi konstan. Walau pada awalnya terganggu, sistem akan segera mencapai kondisi ekuilibrium. Namun hal ini bukan berarti partikel gas akan berhenti; berkebalikan dengan itu, partikel gas mereka tetap bergerak dan tetap berbenturan antara satu dengan yang lain dan dengan dinding kontainer itu sendiri. Dengan demikian, tiap partikel secara terus-menerus berganti posisi, dan sering pula berubah kecepatan dan arah sebagai hasil dari benturan ini. Kuantitas makro atau energi panas dari gas dijelaskan sebagi jumlah total gerak energi dari partikelnya. Jjadi semakin panas gas, semakin cepat mereka bergerak. Kuantitas makro yang penting lainnya adalah tekanan dipahami sebagai jumlah total hasil dari jumlah besar partikel yang terus menerus berbenturan dengan dinding kontainer. Hal in menunjukkan bahwa gerak termal partikel gas secara total adalah tak beraturan dan tidak terkordinasikan: dalam momen tertentu gerak dua partikel cukup independen, kecuali jika benturannya terjadi dalam waktu yang bersamaan. Bagaimanapun juga apa yang dilakukan oleh satu partikel sangat tergantung pada apa yang dilakukan oleh yang lain pada waktu tertentu. Hal ini karena hukum konservasi energi, dimana  total energi gerak adalah tetap (konstan). Dengan demikian, semua partikel berkompetisi dengan yang lain untuk mendapatkan bagian dalam ruang energi yang sama. Jika satu partikel bergerak cepat tidak seperti biasanya, maka hal itu menunjukkan partikel tersebut menyerap bagian energi yang lebih besar, yang membuat partikel yang lain bergerak lamban. Dengan demikian energi dari suatu partikel dalam suatu momen tertentu harus setara dengan total energi sistem itu sendiri yang dikurangi dengan jumlah energi seluruh partikel lainnya (hal. 42).

[2] Konsep isi-kerja disini hampr serupa dengan konsep nilai (value) yang dikembangkan Marx, akan tetapi konsep ini sepenuhnya dibangun di atas logika probabilitas yang membuatnya tidak lagi memiliki bias ekuilibrium. Ingat, Farjoun dan Machover sudah menghilangkan dimensi ekulibrium dalam penjelasan ekonomi politiknya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.