Menuntut Logika yang Lebih! Pemilu 2014 dan Respon Taktis Politik Marxis Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

‘Sepertinya Kawan Bordiga ingin mempertahankan sudut pandang kaum Marxis Italia di sini; tetapi dia tidak menjawab argumen apapun yang dikemukakan di sini oleh kaum Marxis lainnya yang mendukung aksi parlemen….Kawan Souchy, seorang sindikalis revolusioner, membela teori yang sama; namun logika tidak berada di sisinya. Dia mengatakan bahwa dia bukan Marxis, sehingga pendapatnya dapat dimengerti. Tetapi ketika Anda, Kawan Bordiga, mengatakan bahwa Anda adalah seorang Marxis, maka kami harus menuntut logika yang lebih dari Anda!’

(Pernyataan Lenin dalam Notulensi Perdebatan Kongres Kedua Komunis Internasional,
Sesi Malam, 2 Agustus 1920)

 

MENUNTUT logika yang lebih! Begitulah yang diingatkan oleh Lenin ketika berbicara mengenai intervensi politik Marxis. Hal ini memang tidak terelakkan. Rumit serta dinamisnya realitas membuat intervensi politik Marxis harus memiliki koherensi logis tertentu agar upaya untuk merealisasikan kemenangan politik rakyat pekerja menjadi dimungkinkan. Di sinilah, Marxisme yang sepenuhnya logis,  menjadi sangat penting. Marxisme, dalam hal ini, bukanlah satu tubuh pemikiran yang koheren layaknya agama dimana mudah untuk melakukan deduksi atas (beberapa) proposisi Marxisme dalam kenyataan terkini kita. Akan tetapi, ia adalah satu metode berpikir spesifik tertentu yang berupaya untuk menjawab pertanyaan praktis perjuangan kelas dalam konteks historis tertentu untuk mengatasi hambatan-hambatan nyata yang dihadapi rakyat pekerja. Apa yang sebenarnya logis dalam perkembangan sejarah kini yang dapat dipergunakan untuk memperkuat organisasi politik rakyat pekerja? Apa langkah-langkah yang mungkin ditempuh untuk merealisasikan hal ini? Bagaimana langkah-langkah tersebut dapat dilakukan? dsb., adalah problem-problem kunci yang harus diajukan (sekaligus dijawab) pada setiap upaya intervensi politik Marxis. Dalam hal inilah, Marxisme menjadi metode pemikiran yang sepenuhnya hidup, karena alih-alih berupaya untuk membuat purifikasi pemikiran, Marxisme ditempatkan sebagai metode berpikir dalam menjawab problem di realitas itu sendiri.

Dalam terang Marxisme yang logis inilah, kita berupaya memahami bagaimana Gerakan Kiri Indonesia melakukan intervensi politik terhadap pemilu 2014 sekarang. Harus diakui bahwa pemilu 2014 banyak menyita perhatian Gerakan Kiri. Radikalisasi perlawanan rakyat yang terjadi di mana-mana menjelang pemilu, munculnya kebutuhan gerakan buruh untuk terlibat aktif dalam politik (go politics), munculnya figur ‘populis’ Jokowi, serta kebangkitan kembali ide Orde Baru beserta representasinya dalam figur seperti Prabowo dan Aburizal Bakrie, adalah faktor-faktor yang membuat Gerakan Kiri harus melakukan respon taktis atasnya. Banyak respon yang telah dilakukan oleh Gerakan Kiri, dan respon-respon tersebut tidak dapat dikatakan sama antara satu dengan yang lain. Akan tetapi, respon-respon yang ada belum cukup mampu memobilisasi kesadaran massa rakyat pekerja untuk mulai membangun serta memperkuat organisasi politik mereka. Hal inilah yang membuat munculnya pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya logis dalam intervensi Gerakan Kiri Indonesia (yang banyak mengklaim diri mereka menggunakan Marxisme sebagai metode gerakannya)  dalam momen pemilu 2014 kali ini.

Dalam memahami problem ini, artikel ini akan mengambil posisi yang sepenuhnya partisan dengan menggunakan posisi resmi Partai Rakyat Pekerja (PRP), mengenai kegunaan populisme Jokowi bagi organisasi rakyat pekerja, sembari memperluas problem politik yang muncul dari posisi ini. Bagaimana pendefinisian populisme Jokowi serta pengungkapan secara jelas konteks politik yang melingkupi fenomena ini akan membantu kita mengatasi problem-problem Gerakan Kiri sekarang dan mulai membangun respon taktis yang sama di antara Gerakan Kiri itu sendiri.

 

Krisis Legitimasi Politik Oligarki dan Kemunculan ‘Populisme’ Jokowi

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, artikel ini akan tanpa malu membela posisi resmi PRP; bahwa dalam ‘populisme’ Jokowi terdapat potensi yang dapat digunakan untuk penguatan keterorganisiran politik rakyat pekerja. Rasionalisasi atas klaim ini terletak pada bagaimana populisme itu sendiri dapat dipahami. Dalam ranah akademis, tidak pernah ada kesepakatan di kalangan para ahli mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan populisme. Sebagai –isme, populisme berbeda dengan gagasan politik lainnya seperti liberalisme, sosialisme, atau bahkan fasisme. Dalam populisme, tidak ada gagasan ideologis yang konsisten yang mendasari praktik politik mereka.  Akan tetapi, walau istilah populisme bersifat elusif, bukan berarti tidak dapat dipahami. Alih-alih populisme dipahami sebagai ideologi, populisme lebih tepat dilihat sebagai logika politik dalam rangka melakukan mobilisasi dukungan terhadap agenda politik tertentu. Ada tiga hal penting yang terkait dengan populisme sebagai logika politik: 1) Populisme selalu muncul dalam masa krisis legitimasi politik elit yang berkuasa; 2) Populisme yang muncul karena krisis beroperasi dengan wacana tentang pembelahan antara elit politik dipertentangkan dengan ‘kepentingan rakyat;’ 3) Pertentangan ini secara dominan terjadi di luar ruang politik formal (institusi negara, hukum, dsb.) terutama dalam melakukan mobilisasi dukungan. Populisme, dengan kata lain, selalu diartikulasikan dalam tiga fitur utama ini.

Lalu bagaimana kita dapat memahami ‘populisme’ Jokowi? Pemeriksaan harus kita mulai dari terjadinya krisis legitimasi politik oligarki Indonesia. Krisis yang disebabkan oleh ketidakpuasan massa rakyat terhadap banyaknya kebijakan Negara yang didominasi kepentingan oligarki-neoliberal. Oligarki dalam hal ini dipahami sebagai aliansi kalangan bisnis-politisi-birokrat, yang agenda utamanya adalah melakukan perampokan atas sumberdaya negara (uang, otoritas, akses, dll.) untuk kepentingan pribadi mereka sendiri. Kekuatan politik oligarki sebetulnya telah dibentuk sejak masa Orde Baru yang anti rakyat.  Fungsi negara dimanipulasi sebatas untuk pemenuhan kepentingan segelintir penguasa. Sistem politik yang otoriter dan represif mengakibatkan kekuasaan segelintir elit Oligarki pada masa Orde Baru, dapat mengklaim legitimasi dari minimnya perlawanan rakyat. Krisis terhadap elit oligarki mencapai puncaknya pada tahun 1998, sebagai dampak lanjutan dari krisis ekonomi Asia saat itu yang mengakibatkan kendali elit atas rakyat jauh merosot. Oligarki mulai digugat dengan tuntutan anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Pasca lengsernya Soeharto, salah satu gejala yang penting sebagai penanda krisis legitimasi politik oligarki-neoliberal saat ini adalah bagaimana rakyat pekerja semakin massif melawan berbagai kebijakan neoliberal. Rakyat semakin berani, walau mayoritas terjadi relatif spontan, melawan perampokan sumberdaya publik atas nama negara. Oligarki harus merespon masifnya perlawanan-perlawanan spontan rakyat ini jika tidak ingin terjadi instabilitas politik yang dapat mengancam kedudukannya. Karena tidak dapat lagi menggunakan kekuasaan secara otoriter seperti pada masa Orde Baru, maka diperlukan satu mekanisme mobilisasi dukungan baru yang mampu untuk mengendalikan ketidakpuasan massa rakyat tersebut.

Upaya yang kemudian dilakukan untuk mengatasi problem ini adalah dengan menciptakan citra mengenai munculnya sosok pemimpin alternatif yang pro-rakyat . Siapa yang menciptakan citra ini? Tentu saja melalui kerja media massa yang secara dominan dikuasai oleh kalangan oligarki itu sendiri. Akan tetapi, menariknya, pengkonstruksian opini publik ini harus dilakukan dalam celah antara ketidakpercayaan terhadap elit karena krisis legitimasi politik oligarki sekaligus aspirasi massa mengenai negara yang berpihak kepada mereka. Di sinilah muncul gagasan populisme dengan Jokowi sebagai figur populis itu. Melalui pembentukan opini publik, figur Jokowi dikesankan memiliki otonomi terhadap relasi politik oligarki-neoliberal. Jokowi dikonstruksikan sebagai figur yang sederhana dan merakyat, profil yang tentu saja sangat dekat dengan pengalaman keseharian rakyat pekerja Indonesia itu sendiri. Selain itu, melalui praktik politik non-formal seperti ‘blusukan,’ populisme Jokowi tengah mengoperasikan suatu strategi mobilisasi dukungan. Jokowi populer karena kesan bahwa kekuasaan dirinya berbeda dengan partai atau birokrasi selaku institusi politik formal yang saat ini citranya negatif, karena di mata rakyat lebih banyak menjadi alatnya oligarki.

Di sinilah populisme Jokowi dilihat sebagai representasi kepentingan rakyat secara ilusif. Hadirnya ilusi melalui populisme Jokowi, serupa dengan problem hegemoni Gramsci dimana penciptaan kesepakatan (consent) akan figur yang merakyat seperti Jokowi digunakan untuk mengatasi ketidakpuasan massa. Faktanya, ketika Jokowi berkuasa (di Jakarta), modus kekuasaan pemerintah yang telah lama bersemayam di Jakarta tetaplah digunakan. Tidak heran jika pada masa Jokowi, kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat (penggusuran, menolak peningkatan UMP, dll.) masih tetap diproduksi. Akan tetapi, terdapat beberapa detil yang tidak dapat diabaikan. Dalam kasus penggusuran kaum miskin kota di Jakarta Barat belum lama ini misalnya, banyak lahan yang berhasil dibersihkan dialihkan dalam luas tertentu menjadi lahan terbuka hijau. Kebijakan yang secara populer mendapat dukungan publik.

Popularitas yang tinggi di mata warga Jakarta, terjadi karena persepsi umum bahwa banjir di Jakarta merupakan akibat dari banyaknya lahan yang ditempati penghuni liar dan kumuh. Suatu kebijakan, yang dapat dikatakan, berbeda dengan rezim kekuasaan urban sebelumnya yang seolah tidak peduli dengan popularitas. Lalu apa artinya? Kepemimpinan Jokowi mencoba menjalankan sistem pemerintahan yang membutuhkan dukungan popular. Strategi menonjolkan kebijakan mengalokasikan lahan pasca penggusuran menjadi lahan terbuka hijau adalah upaya populisme Jokowi untuk tetap mendapatkan dukungan ini. Harus tetap dicatat bahwa kepentingan yang diakomodasi oleh kebijakan pengalihan lahan ini bukanlah kepentingan langsung kelas pekerja perkotaan, akan tetapi lebih kepada akomodasi kepentingan kelas menengah perkotaan.

Namun yang hendak ditekankan dalam argumen ini adalah dalam populisme, gagasan mengenai ‘rakyat’ dihadirkan kembali sebagai dasar legitimasi politik yang selama ini disingkirkan oleh dominasi kekuatan politik oligarki. Di sinilah dimungkinkan terjadinya perubahan ekspresi kekuasaan selama kepemimpinan Jokowi. Perubahan ekspresi kekuasaan Jokowi yang mengakomodasi kepentingan kelas menengah Jakarta, adalah implikasi dari ’kecerewetan’ kelas menengah Jakarta di banyak kanal media sosial terhadap kekuasaan Jokowi, selain juga mereka adalah salah satu basis pendukung Jokowi selama pemilukada Jakarta.

Lalu apa artinya bagi rakyat pekerja? Hal ini berarti dalam momen krisis legitimasi politik oligarki, dimungkinkan  suatu bentuk kekuasaan yang mengakomodasi kepentingan politik yang berbeda dengan kepentingan politik oligarki. Kepentingan kelas menengah urban yang diakomodasi oleh kebijakan populisme Jokowi adalah bukti bahwa ada ruang politik yang baru yang dapat digunakan untuk kepentingan yang lain. Yang harus diperhatikan dari ruang politik baru ini, jika diserahkan kepada figur populis sepenuhnya, akan menjadi tidak lebih dari ruang kooptasi politik yang lebih luas. Namun, jika ruang politik ini diisi oleh suatu bentuk artikulasi politik rakyat pekerja yang lebih kuat,  ruang politik ini dapat digunakan untuk melawan kepentingan politik oligarki itu sendiri. Dalam kemungkinan ini, intervensi Gerakan Kiri terhadap kepemimpinan populis Jokowi berpotensi membuka ruang untuk meningkatkan kapasitas organisasi politik rakyat pekerja secara luas. Yang dibutuhkan kemudian adalah bagaimana membangun strategi intervensi ke dalam populisme Jokowi itu sendiri.

 

poster2Poster oleh Nobodycorp.Internationale.Unltd

…Lalu, kebangkitan ide Orde Baru

Lalu bagaimana kita memahami kebangkitan ide Orde Baru yang banyak memengaruhi dinamika pemilu sekarang? Menurut saya, jawaban atas pertanyaan ini juga harus dikembalikan ke problem krisis legitimasi politik oligarki itu sendiri. Jika populisme adalah suatu upaya untuk memobilisasi dukungan politik tanpa dasar artikulasi yang konsisten, maka kebangkitan ide Orde Baru lebih merupakan suatu upaya untuk melakukan konsistensi atas dukungan politik ini. Dalam momen kebangkitan ide Orde Baru, yang lebih banyak dipropagandakan adalah gagasan romantik mengenai suatu rezim politik yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Masyarakat dibuai dengan bagaimana Orde Baru mampu menciptakan banyak kemudahan bagi masyarakat. Gagasan ini dapat dikatakan memiliki relevansi ketika rezim yang tercipta pasca Orde Baru justru menciptakan banyak problem bagi masyarakat dengan banyak kebijakan yang tidak pro rakyat. Dengan kata lain, kebangkitan ide Orde Baru adalah upaya untuk memberikan jawaban yang masuk akal (common sense) sekaligus pragmatis untuk keluar dari krisis legitmasi politik oligarki itu sendiri.

Akan tetapi pembacaan diskursif seperti  ini tentu saja masih jauh dari mencukupi.  Yang harus diperhatikan adalah gagasan kebangkitan Orde Baru justru diajukan oleh para oligarki yang telah menciptakan krisis legitimasi bagi diri mereka sendiri. Apa yang terjadi dalam kebangkitan ide Orde Baru adalah menguatnya momen kompetisi antar oligarki untuk dapat menancapkan pengaruhnya terhadap masyarakat, yang merupakan konstituen utama bagi legitimasi mereka. Bagi kelompok oligarki pengusung kebangkitan Orde Baru, problem utama dari krisis terletak pada mekanisme demokrasi yang telah diterima oleh para oligarki yang telah gagal memastikan dominasi mereka atas masyarakat. Demokrasi yang dikuasai oleh para oligarki tidak lagi mencukupi untuk dapat mengekang ketidakpuasan yang muncul di kalangan masyarakat. Ketidakpuasan yang berkelanjutan hanya akan menciptakan instabilitas yang berbahaya bagi keberlanjutan dominasi kekuasaan oligarki.

Dalam gagasan mengenai stabilitas sosial inilah kebangkitan ide Orde Baru banyak dipropagandakan. Stabilitas dalam perkembangan politik kini adalah apa yang diperlukan oleh para oligarki di tengah radikalisasi perlawanan rakyat dalam ruang demokratis yang ada. Akan tetapi, yang penting untuk diperhatikan dari kebangkitan ide Orde Baru ini adalah kebangkitan yang terjadi sekarang masih sebatas potensi. Bentuk kekuasaan politik Orde Baru diangankan mensyaratkan relasi politik tertentu dimana terdapat satu kekuatan politik yang mampu mendominasi semuanya. Akan tetapi, jika kita memeriksa secara aktual relasi politik antar oligarki yang ada saat ini, dimana masih dimungkinkan adanya negosiasi serta koalisi antar mereka, maka kebangkitan ide Orde Baru dapat dikatakan sebagai suatu hal yang dapat diabaikan jika kita hanya merujuk pada relasi yang ada sekarang.

Namun pertanyaannya kemudian adalah, apakah hal ini yang sebenar-benarnya tengah berlaku? Maka saya akan menjawab tidak. Sebagaimana problem krisis legitimasi politik yang tengah dihadapi oleh para oligarki, pendalaman krisis legitimasi menjadi krisis politik yang lebih luas membuka kemungkinan untuk terjadinya pendalaman kompetisi diantara para oligarki. Pendalaman kompetisi ini mendorong suatu kondisi dimana aliansi atau koalisi yang terbangun antar oligarki tidak lagi dibutuhkan. Dalam hal ini, apa yang tadinya dianggap sebagai ancaman kecil berubah menjadi ancaman nyata bagi masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, terdapat keharusan melakukan antisipasi atas apa yang potensial untuk mencegahnya menjadi aktual; dalam arti penolakan atas kebangkitan ide Orde Baru menjadi suatu keharusan.

 

Serikat buruh go politics?

Salah satu fenomena lain yang juga penting untuk dijelaskan dalam dinamika pemilu kini, khususnya terkait dengan penguatan organisasi politik rakyat pekerja adalah mulai dipropagandakannya intervensi politik selama pemilu di kalangan Serikat Buruh. Serikat buruh yang selama ini diidentikan dengan kesadaran normatif, mulai mendorong para anggotanya untuk terlibat aktif dalam aktifitas politik yang ada melalui keikutsertaan para anggota serikat buruh ke partai politik tertentu. Bentuk paling konkrit dari keikutsertaan ini dapat dilihat dari keterlibatan para anggota serikat dalam proses kontestasi legislatif dimana mereka secara berani mendaftarkan dirinya menjadi calon.

Proses ini adalah suatu kondisi yang patut untuk diperhatikan secara seksama. Tentu saja saya secara personal mengapresiasi inisiatif ini dimana kesadaran untuk berpolitik di kalangan serikat, khususnya serikat yang dahulu dikategorikan sebagai serikat kuning alias konservatif, mulai meningkat. Peningkatan ini adalah konsekuensi dari radikalisasi perjuangan serikat-serikat buruh dalam mendorong tuntutan mereka. Realitas perjuangan yang dialami oleh serikat memberikan banyak pelajaran penting mengenai metode perjuangan keserikatan dalam rangka mencapai kemenangan. Dalam hal inilah inisiatif go politics harus dipahami. Keterbatasan metode perjuangan yang hanya berkutat pada sebatas keserikatan harus diatasi dengan pemahaman baru mengenai perjuangan serikat dimana politisasi atas tuntutan serikat menjadi suatu keharusan.

Akan tetapi dalam kategori politik pulalah inisiatif go politics harus dinilai efektivitasnya sebagai metode untuk memajukan kualitas perjuangan politik rakyat pekerja sebagai sebuah kelas. Apakah go politics yang ada sekaligus dipahami benar-benar akan meningkatkan kapasitas organisasi kelas buruh? Saya tidak akan menjawab langsung iya atau tidak pertanyaan ini, karena jawaban atas pertanyaan ini akan selalu terkait dengan kondisi riil yang dihadapi ketika melakukan praktik. Apa yang hendak saya ajukan di sini justru adalah beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam melihat bagaiman go politics menjadi inisiatif yang operasional.

Hal pertama yang tentu saja harus diperhatikan dan sangat jelas dari go politics itu sendiri adalah, inisiatif ini dilakukan melalui partai-partai politik yang ada sekarang yang pada dasarnya merupakan aktor utama yang menghambat perjuangan keserikatan di mana-mana. Saya tidak akan mengulang argumen mengenai kooptasi partai-partai dalam memoderasi tuntutan radikal serikat buruh. Akan tetapi yang penting untuk diperhatikan dalam pengalaman kekinian, metode perjuangan baru seperti apa yang dapat dimunculkan dalam menghadapi kooptasi ini? Yang banyak dilakukan justru hanya sebatas menitipkan perjuangan pada segelintir kader serikat yang berhasil masuk ke dalam partai. Saya tidak akan membantah bahwa proses ini adalah sebuah pendidikan politik bagi kaum buruh dari pengalaman nyata mereka sendiri. Akan tetapi, cara ini bukanlah cara yang sama sekali baru dan telah dibuktikan keterbatasannya.  Dalam hal inilah inisiatif go politics tidak banyak membuka pendiskusian sekaligus perdebatan mengenai metode baru dalam menginisiasikan kemenangan-kemenangan yang realistis yang berguna bagi peningkatan kapasitas politik kelas pekerja secara keseluruhan.

Hal kedua yang juga turunan dari yang pertama adalah, inisiatif go politics belum benar-benar politis. Politik yang dimaksud masih sebatas negosiasi sekaligus transaksi yang dilakukan oleh serikat terhadap kalangan elit oligarki. Saya tidak akan menyangkal bahwa dalam setiap aktivitas politik, transaksi dan negosiasi tidak dapat diabaikan. Akan tetapi membatasi politik pada pemahaman seperti ini tidak serta merta membuat suatu intervensi politik dikatakan terpolitisasi. Terdapat anggapan bahwa dengan memasukan sebanyak mungkin kader serikat ke dalam partai-partai borjuasi diharapkan dapat meningkatkan harga tawar serikat dalam mempengaruhi kebijakan partai yang kemudian akan mempengaruhi kebijakan negara baik langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, yang diabaikan dari anggapan seperti ini adalah saling pengaruh-memengaruhi dalam partai akan selalu terkait dengan relasi kuasa yang ada. Keterorganisiran elit oligarki dalam partai tidak akan secara mudah memberikan ruang manuver untuk tawar-menawar bagi serikat itu sendiri.

Dalam hal ini, menjadi penting untuk melakukan politisasi secara lebih luas akan tuntutan serikat, dimana problem serikat harus dapat bertemu dengan problem rakyat pekerja yang tertindas lainnya. Di sinilah go politics dalam artian politisasi yang penuh dapat tercapai ketika politik kaum buruh adalah politik bagi rakyat pekerja secara keseluruhan. Dengan kata lain, intervensi  ini mensyaratkan adanya suatu bentuk keterorganisiran yang sedikit banyak tersentralisir yang melingkupi bukan hanya dari kalangan serikat buruh, akan tetapi  juga sektor lain dari rakyat pekerja. Sebuah hal penting yang tidak banyak dibuka pendiskusian sekaligus perdebatannya dalam inisiatif go politics itu sendiri.

 

Merumuskan intervensi politik Marxis

Lalu dalam pembacaan situasi seperti ini, bagaimana kita merumuskan intervensi politik Kiri yang logis? Intervensi yang secara sadar berupaya untuk memperkuat keterorganisasian politik rakyat pekerja, akan tetapi juga memerhatikan keterbatasan-keterbatasan yang ada? Dalam hal ini saya berpendapat, kita dapat memulai dari ruang politik yang diciptakan oleh populisme. Populisme secara abstrak menghadirkan kembali gagasan mengenai rakyat dan kerakyatan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, penghadiran gagasan rakyat dalam populisme tidak lebih sebagai ilusi agar rakyat pekerja tertarik untuk mendukung bentuk politik ini. Dalam pandangan para oligark, dengan rakyat pekerja mendukung Jokowi maka rakyat kembali mendukung rezim politik oligarki itu sendiri, walau dukungan ini termanifestasi dengan rupanya yang lain. Akan tetapi, implikasinya tetaplah sama yakni rakyat pekerja akan semakin dijauhkan dari ide mengenai kebutuhan akan organisasi politiknya sendiri.

Namun, sebagaimana bentuk ilusi, terdapat konsekuensi yang lain dari penghadiran gagasan rakyat dalam populisme. Bahwa melalui imaji kerakyatan ini, pembangunan politik rakyat pekerja menjadi dimungkinkan. Yang harus dilakukan adalah melakukan pembongkaran kritis atas gagasan kerakyatan, dimana rakyat bukanlah suatu ide yang abstrak seperti bentukan populisme. Akan tetapi rakyat adalah ide konkrit dengan berbagai macam masalah penindasan dan ketidakadilan yang diciptakan secara struktural oleh sistem ekonomi politik yang ada. Dalam hal ini, intervensi politik kiri menggunakan mekanisme kerja mobilisasi dukungan populisme untuk membalikkan logika terdalamnya, bukan untuk tunduk dalam bentuk lain dominasi borjuasi yang oligarkis, namun untuk penguatan pengorganisasian rakyat pekerja sebagai sebuah kelas.

Dalam hal ini, saya tidak bersepakat dengan inisiatif beberapa elemen gerakan Kiri Indonesia seperti, misalnya, Komite Politik Alternatif, yang menolak intervensi pemilu karena pemilu sekarang tidak lebih adalah pemilu borjuasi. Saya sepenuhnya sepakat dengan anggapan bahwa pemilu dalam kapitalisme adalah pemilu kalangan borjuasi dan oleh karena itu, lebih penting bagi kita, gerakan Kiri, untuk membangun partai alternatif. Akan tetapi, saya tidak bersepakat bahwa pemilu borjuasi dengan sendirinya adalah pemilu yang anti rakyat pekerja. Kesimpulan ini adalah kesimpulan yang ceroboh, karena kesimpulan ini mengabaikan analisa mengenai perkembangan politik spesifik yang juga secara nyata memengaruhi gerak serta dinamika rakyat pekerja itu sendiri. Dalam momen pemilu kali ini, terdapat suatu ruang politik, yang walaupun kecil, tetapi sebenarnya dapat digunakan untuk mendorong tuntutan politik Kiri yang dengan sendirinya menjadi dasar bagi proses pembangunan partai alternatif.

Walau begitu, keberadaan ruang politik yang tercipta karena populisme tidak dapat sepenuhnya diartikan sebagai ruang yang menguntungkan bagi kalangan Kiri. Terdapat relasi kuasa tertentu yang juga beroperasi dalam mekanisme kerja populisme. Oleh karena itu, sebatas melakukan ‘dukungan kritis’ sebagaimana yang diusung beberapa elemen gerakan Kiri, seperti kelompok IndoPROGRESS (IP), dimana saya adalah salah satu bagian di dalamnya, juga sangat problematis. Gagasan ‘dukungan kritis’ yakni upaya untuk memberikan dukungan bersyarat bagi majunya Jokowi mengabaikan proses kerja struktural relasi kuasa yang sedari awal sudah mengondisikan kemunculan populisme Jokowi. Saya tidak mengatakan bahwa IP melupakan problem struktural sepenuhnya, karena secara eksplisit IP mengakui bahwa ada problem struktur yang harus diantisipasi, namun penjelasan mengenai bagaimana problem struktur tersebut bekerja juga adalah sama pentingnya dengan pengakuan bahwa ada problem struktur yang harus diantisipasi.

Hilangnya penjelasan mengenai kerja struktur kekuasaan dalam membentuk ranah politik dapat dilihat dari tulisan Martin Suryajaya mengenai artikulasi politik Marxis. Martin, yang juga merupakan bagian dari IP, mencoba untuk memberikan justifikasi teoritis atas gagasan ‘dukungan kritis’ dimana problem politik Marxis Indonesia saat ini adalah karena kalangan Marxis Indonesia gagal untuk meyakinkan kalangan non-Marxis dari sudut pandang non-Marxis itu sendiri. Walau terdengar persuasif, argumen ini memiliki keterbatasan mengingat penolakan kalangan non-Marxis terhadap gagasan Marxis tidak melulu karena kegagalan penjelasannya, tapi juga terkait dengan implikasi politiknya yang sulit diikuti oleh kalangan non-Marxis dari kelas borjuasi atau penindas lainnya. Dengan kata lain, jika pihak Kapitalis merasa tidak perlu mendengar kalangan Marxis bahwa investasi yang dilakukan mereka hanya akan berujung pada krisis ekonomi secara luas, itu bukan karena pihak Marxis gagal untuk meyakinkan, tapi karena implikasi politik dari penjelasan itu, yakni pelampauan menuju sosialisme, akan mengganggu kepentingan kelas kapitalis yang dikondisikan secara struktural. Jikapun mereka mengalami krisis, mereka memiliki cara mereka sendiri untuk mengatasinya, misalnya dengan pemutusan hubungan kerja besar-besaran, penghancuran alat-alat produksi atau mendorong negara untuk melakukan kebijakan pengetatan anggaran seperti sekarang ini. Dalam konteks ‘dukungan kritis,’ mengakui bahwa ada problem relasi kuasa tanpa melihat bagaimana relasi kuasa tersebut bekerja hanya akan membuat kita terjebak pada problem politik yang tidak kalah buruknya, dimana muncul anggapan bahwa situasi dapat diubah hanya melalui kapasitas intelektual yang mumpuni dalam mendukung Jokowi, seperti juga anggapan bahwa kelas kapitalis akan mendengar kalangan Marxis karena analisa Marxis adalah yang paling benar.

Lalu bagaimana upaya kita untuk mendorong ruang politik yang tercipta untuk pengorganisasian rakyat pekerja? Hal ini dapat dimulai dengan mengakui dan menyepakati bahwa ada urgensi untuk melakukan intervensi. Sebagaimana telah saya kemukakan sebelumnya, momen populisme kini juga diiringi dengan momen kebangkitan ide Orde Baru. Walau secara aktual relasi politik yang ada tidak memungkinkan bagi bentuk kekuasaan Orde Baru, namun situasi krisis legitimasi yang menyertainya, membuka kemungkinan untuk terjadinya perubahan politik di tingkatan elit. Dalam hal ini, mendukung kepemimpinan populisme Jokowi adalah bukan karena populisme itu dengan sendirinya baik, tetapi karena populisme Jokowi lebih membuka peluang untuk pengorganisasian lebih lanjut bagi politik rakyat pekerja.

Urgensi ini semakin nyata pertaruhannya pada pemilu 2014 kini. Kekuatan oligarki yang mengidentifikasi dirinya sebagai pengusung ide Orde Baru semakin mendapat banyak dukungan. Figur seperti Aburizal Bakrie serta Prabowo yang mempropagandakan romantisme Orde Baru, semakin mendapat perhatian masyarakat. Masalah ini semakin pelik ketika ada juga bagian dari gerakan kiri seperti PRD, yang secara sadar menyorongkan dukungan mereka ke figur pengusung Orde Baru seperti Prabowo, yang membuat kesadaran beberapa bagian rakyat pekerja yang diorganisir PRD termakan dalam ilusi yang diciptakan oleh oligarki itu sendiri.

Pembacaan ini mengritik argumen Ted Sprague mengenai tindakan politik (yang menurutnya Marxis) di masa pemilu sekarang. Bagi Sprague, yang diperlukan adalah tindakan yang biasa dilakukan pada masa-masa normal pengorganisiran, karena bagi Sprague tidak ada perubahan sama sekali dalam relasi kuasa oligarki. Oleh karena itu, intervensi politik kiri hanya akan memperkuat posisi kelas borjuasi. Akan tetapi Sprague alpa mengenai perubahan politik yang melingkupi masa pemilu sekarang. Di sinilah Marxisme yang ditawarkan Sprague tidak lebih sebagai Marxisme EGP-isme (Emang Gue Pikirin), yang mengabaikan sama sekali bahwa perubahan-perubahan yang terjadi ikut memengaruhi preferensi sekaligus kesadaran rakyat pekerja.  Mengabaikan hal ini hanya akan membuat gagasan Marxisme terasing dari pengalaman konkrit rakyat pekerja yang dimobilisasi kesadarannya selama proses pemilu. Di sinilah kesabaran dalam berpropaganda yang ditawarkan Sprague menjadi gagasan yang sama sekali abstrak, karena propaganda yang ditawarkan tidak bertemu dengan keseharian pengalaman rakyat pekerja itu sendiri.

Aliansi anti Orde Baru yang juga mendukung populisme Jokowi, harus ditempatkan secara sadar sebagai bagian taktis untuk membangun organisasi politik rakyat pekerja. Problem dari ketidakterorganisiran politik rakyat pekerja kini terletak dari kegagalan untuk membangun agenda politik bersama. Dalam hal ini, aliansi anti Orde Baru adalah perekat awal untuk membangun agenda bersama. Namun, tentu saja, proses ini tidak akan pernah mencukupi mengingat dalam populisme Jokowi itu sendiri, juga beroperasi kekuatan oligarki. Dengan kata lain, ilusi politik borjuasi akan tetap mengancam aliansi popular ini.

Apa yang harus dilakukan di tengah hambatan struktural ini? Yang harus dilakukan adalah membangun agenda politik rakyat pekerja dalam populisme Jokowi. Gagasan mengenai ‘rakyat’ tidak dapat lagi diserahkan pendefinisiannya pada figur Jokowi semata, akan tetapi dimulai dari gerakan massa yang mendukung Jokowi yang sudah terkonsolidasi dalam aliansi anti Orba ini. Di sini menjadi penting untuk merumuskan kepentingan rakyat yang nyata sembari juga memahami batas-batas kesadaran politik yang dihadapi dalam momen populisme Jokowi. Artinya, penting untuk membenturkan Jokowi sebagai figur populis dengan kekuatan politik oligarki yang selama ini membentuk populisme Jokowi.

Agenda politik kerakyatan yang secara potensial bisa menyasar kepentingan rakyat pekerja secara luas sekaligus realistis dan berpotensi menantang relasi politik oligarki adalah pengimplementasian kebijakan perlindungan sosial yang universal dan komprehensif. Kebijakan ini harus disorongkan bersama-sama oleh seluruh gerakan rakyat pekerja ke Jokowi sebagai bentuk pertukaran dukungan terhadap dia. Perlindungan sosial ini harus disediakan seluruhnya oleh pembiayaan negara. Pentingnya pembiayaan negara ini bukan sekadar sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap warga negaranya, tapi juga sebagai bagian dari pertarungan politik terhadap elit oligarki yang telah mengalihkan, sekaligus merampok sumber daya negara yang bersifat publik untuk pemenuhan kepentingan mereka semata. Dalam hal ini, menjadi penting untuk membangun agenda serta propaganda sistem perpajakan yang memiliki kapasitas untuk membiayai program perlindungan sosial ini, termasuk juga mengenakan pajak ke pihak pelaku transaksi finansial dan spekulator.

Gagasan ini merespon kritik Sprague bahwa pemberlakuan pajak transaksi finansial tidak lebih sebagai upaya reaksioner oportunis borjuis kecil. Sebagai retorika radikal, Sprague mungkin ada benarnya. Akan tetapi jika dikaitkan dengan relasi politik dimana kekuatan politik oligarki menggunakan instrumen finansial sebagai bagian dari upaya mereka untuk merampok dana publik di negara, maka mengenakan pajak atas transaksi finansial adalah bagian dari perjuangan kelas itu sendiri. Karena mekanisme ini memaksa kekuasaan negara berpihak pada kepentingan rakyat pekerja yang lebih luas, dimana pajak atas keuntungan kelas borjuasi didistribusikan ke kelas sosial yang lain. Di sini Sprague sebenarnya muncul sebagai seorang borjuis kecil yang reaksioner, karena penolakan atas upaya ini tidak didasarkan pada bagaimana kontribusinya terhadap perjuangan kelas itu sendiri.

Salah satu alasan mengapa perlindungan sosial sangat realistis, juga karena isu perlindungan sosial sempat menjadi bagian dari agenda perjuangan serikat buruh di Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi modal penting untuk mendorong agenda ini di tengah munculnya aspirasi go politics dari serikat. Perlindungan sosial bisa menjadi agenda politik yang lebih luas karena ia harus mengikutsertakan kepentingan sektor rakyat pekerja lainnya. Di sini politisasi lebih luas menjadi tak terhindarkan sekaligus mendorong kesadaran serikat buruh untuk lebih maju dalam memahami peran dan tugas mereka sebagai sektor rakyat pekerja yang paling maju. Dengan pandangan politik yang lebih luas serta kebutuhan untuk mempropagandakan perlindungan sosial sebagai upaya intervensi terhadap pemilu, akan meningkatkan serta memperkuat kapasitas organisasi politik buruh sebagai organisasi kelas pekerja.

Yang harus dipahami dari perlindungan sosial adalah ia menjadi penting sebagai fondasi untuk perjuangan kelas lebih lanjut. Dengan perlindungan sosial, gerakan rakyat pekerja tidak lagi harus takut untuk mengalami kerentanan dalam hidupnya ketika melakukan aktivitas propaganda untuk penguatan organisasi mereka. Hal ini disebabkan negara telah menjamin kebutuhan hidup yang layak bagi rakyat pekerja itu sendiri melalui perlindungan sosial. Selain itu, perlindungan sosial juga menjadi bentuk solidaritas paling jelas di antara rakyat pekerja. Solidaritas ini memperkuat sekaligus menyatukan kesadaran rakyat pekerja untuk memahami bahwa ada agenda politik yang lebih tinggi yang harus dilakukan segera, yakni melakukan perebutan kekuasaan negara. Di sinilah kapasitas politik rakyat pekerja meningkat dan upaya untuk penguatan organisasi politiknya menjadi semakin besar.

Pengadopsian agenda kerakyatan yang lebih luas membuat gerakan rakyat pekerja memiliki dua keuntungan dalam upaya membongkar ilusi yang dihasilkan oleh elit oligarki. Yang pertama, mobilisasi masif gerakan akan membuat Jokowi harus memilih antara gerakan rakyat atau elit oligarki. Hasil dari pilihan ini, mau tidak mau, akan mempengaruhi persepsi rakyat pekerja terhadap figur Jokowi itu sendiri. Jika ia memilih gerakan rakyat, maka potensi untuk perjuangan politik yang lebih luas dalam melawan kapitalisme-neoliberal akan menjadi lebih besar. Sedangkan jika ia memilih oligarki, rakyat akan mengalami penyadaran mengenai siapa itu Jokowi. Yang kedua adalah apapun pilihan yang dilakukan oleh Jokowi, rakyat pekerja melalui intervensi ini harus tetap membangun organisasi politiknya sendiri. Jika Jokowi memilih gerakan rakyat, maka rakyat pekerja harus membangun organisasinya sendiri yang independen dari kekuatan politik lama. Organisasi politik ini penting sebagai basis dukungan bagi upaya pengimplementasian kebijakan yang dilakukan Jokowi. Sedang di sisi lain, jika Jokowi memilih untuk berada di pihak oligarki, maka hal ini semakin membuat upaya membangun organisasi politik yang mampu melawan secara efektif kekuatan politik yang ada, menjadi keharusan. Karena kekuatan politik yang terorganisir harus dilawan dengan kekuatan politik yang terorganisir pula.

 

Penutup

Perjuangan kelas, revolusi, pengambilalihan kekuasaan, sosialisme dan berbagai macam gagasan yang sangat erat dengan propaganda serta agitasi Marxis tidak dapat direalisasikan hanya dengan retorika. Gagasan-gagasan tersebut harus dipertemukan dengan kenyataan empirik yang beroperasi dalam realitas keseharian rakyat pekerja. Di sini, menjadi keharusan untuk memeriksa secara detil dan sabar relasi kuasa apa yang sebenarnya tengah bekerja dan bagaimana relasi kuasa ini dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang menjadi tuntutan politik dari Marxisme itu sendiri.

Dalam hal ini, pembacaan yang logis atas realitas menjadi keharusan bagi siapapun yang mendaku dirinya sebagai Marxis. Pembacaan tersebut tidak dapat dilakukan hanya dengan mencocokpadankan apa yang dikatakan oleh kalangan Marxis di masa lampau dengan realitas kita, akan tetapi lebih dari itu, bagaimana membuat realitas kita sekarang dapat dipahami dengan mata kalangan Marxis di masa lampau. Di sinilah Marxisme sebagai satu bentuk tradisi pengetahuan yang telah lama muncul terus menerus dihidupkan secara kreatif melalui produksi dan reproduksi pengetahuan politik rakyat pekerja. Yang semuanya akan sangat berguna sebagai batu pijakan untuk memastikan kemenangan tertinggi bagi rakyat pekerja, yakni terwujudnya sosialisme di Indonesia.***

 

Penulis aktif di Biro Politik Partai Rakyat Pekerja (PRP)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.