Empat Tesis tentang Kemerdekaan Berdiskusi di Indonesia
Melalui uraian berikut, kami mengajukan empat tesis tentang kemerdekaan berdiskusi di Indonesia sebagai respon terhadap pelarangan diskusi buku kiri yang belakangan ini marak terjadi. Tesis
Melalui uraian berikut, kami mengajukan empat tesis tentang kemerdekaan berdiskusi di Indonesia sebagai respon terhadap pelarangan diskusi buku kiri yang belakangan ini marak terjadi. Tesis
Pendahuluan: Apa itu Kapitalisme? PERTANYAAN mendasar yang tak terelakkan ketika kita hendak mengkaji sejarah kemunculan kapitalisme tak lain soal, apakah yang kita maksud dengan kapitalisme
PADA kesempatan ini, kita akan berteologi. Kita akan membangun suatu model teologi yang secara inheren berciri Marxis. Dan apa yang saya maksudkan bukanlah semacam perumusan ulang atas ‘teologi pembebasan’ para pastor revolusioner dari Amerika Latin. Kita perlu menaruh hormat pada mereka, tetapi sayang sekali kita tidak akan membahasnya di sini. Teologi pembebasan, kendati memiliki kegunaan emansipatoris (berguna, misalnya, sebagai sarana mobilisasi massa Kristiani demi tujuan-tujuan emansipasi revolusioner), tetaplah pada hitungan terakhir merupakan teologi dalam pengertiannya yang eksternal terhadap Marxisme, yakni teologi sebagaimana lazimnya yang melibatkan akhirat, dosa dan segala macam kredo biblikal terhadap yang transenden. Apa yang ingin saya upayakan di sini, sebaliknya, adalah membidani suatu teologi yang dilahirkan dari dalam rahim Marxisme sendiri—dibuahi oleh materialisme historis, dikandung oleh materialisme dialektis.
TULISAN ini merupakan catatan tentang politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang dimainkan Goenawan Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Dalam tulisan ini, saya akan (1) menguraikan data-data baru tentang tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari penelusuran saya secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis eksistensialisme Camus, (3) menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia, dan (4) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965.
DALAM kehidupan sehari-hari kita, sering kita jumpai ungkapan-ungkapan yang telah sarat percabangan makna: kebebasan, keadilan, efisiensi, kebaikan, perdamaian, kemanusiaan, dsb. Ungkapan-ungkapan semacam itu lazim digunakan dalam percakapan kebudayaan, ekonomi, politik, hingga moral. Dalam perdebatan Marxisme, misalnya, para pengritik sering melayangkan tuduhan bahwa Marxisme memberangus ‘kebebasan.’ Model perekonomian terpimpin kerap dikritik sebagai tata ekonomi yang tak memungkinkan perwujudan ‘efisiensi.’ Contoh lain, dalam perbincangan kebudayaan, kita kerap mendengar seni mesti menjunjung tinggi ‘kemanusiaan.’ Namun, pada saat yang bersamaan, ungkapan-ungkapan tersebut dapat digunakan dalam arti yang sepenuhnya berlainan. Seorang Marxis, misalnya, dapat menyanggah para kritikusnya dengan menyatakan bahwa Marxisme justru memungkinkan ‘kebebasan’ riil bertumbuh-kembang, sejauh ‘kebebasan riil’ itu diartikan sebagai kemampuan masyarakat dalam menentukan tindakan kolektifnya tanpa dikerangkeng dalam segregasi kelas dalam perekonomian kapitalis. Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan semacam itu mesti diklarifikasi secara persis maknanya agar perdebatan kita tidak jatuh ke dalam debat kusir semata (verbal dispute). Alih-alih memberikan klarifikasi historis-konseptual satu demi satu atas ungkapan-ungkapan yang berbeda itu, alangkah baiknya bila kita punya satu metode umum untuk menganalisisnya. Tulisan kali ini adalah tentang ‘program analisis konseptual,’ yang pada hemat saya dapat dirancang untuk menangani ungkapan-ungkapan sejenis itu secara ketat.
[Tulisan di hadapan pembaca ini berasal dari era yang berbeda: masa muda. Ini adalah contoh dari tulisan yang dihasilkan dari ketidakmatangan, baik secara metodologis maupun teoretis. Di dalamnya, si penulis mencampur-adukkan Marxisme, anarkisme dan sentimen romantik Goenawan Mohamad. Maklum, ketika itu si penulis masih duduk di bangku SMA. Tulisan ini dibuatnya sebagai tugas mata pelajaran Sosiologi, sekitar tahun 2004 atau 2005. Judul aslinya adalah ‘Perlawanan Sistematik Atas Kezaliman Global’ dan berikut ini dimuat tanpa perubahan. Kalau ada nilai didaktis dari tulisan berikut ini bagi kita di masa kini, itu tak lebih sebagai contoh tulisan Kiri yang ruwet secara metodologis: ilustrasi dari moralisme, voluntarisme, humanisme universil, Bonoisme dan kebodohan yang bersembunyi di balik kesimpulan-kesimpulan paradoksal, lengkap dengan segala tetek-bengek ideologi ‘kelas menengah ngehe’ pada umumnya. Itulah saya—sembilan tahun yang lalu.]
KARL Marx adalah seorang teoretisi kapitalisme ketimbang sosialisme atau komunisme. Tentu banyak dari kita yang akan heran mendengar pernyataan itu. Bagaimana mungkin Marx—yang merupakan bapak sosialisme ilmiah dan menginsiprasikan banyak orang untuk mengupayakan transisi dari kapitalisme ke sosialisme dan dari sosialisme ke komunisme—bisa disebut sebagai ‘seorang teoretisi kapitalisme?’ Kita mesti jernih: ‘teoretisi kapitalisme’ atau ‘ahli ekonomi kapitalis’ tidak sama dengan ‘pembela kapitalisme;’ seseorang bisa saja menjadi ahli sesuatu tanpa memuja sesuatu itu. Derajat kepakaran Marx terhadap isu-isu perekonomian kapitalis tercermin dalam tiga jilid Das Kapital-nya. Apa yang tak kita temukan dalam ketiga jilid tersebut adalah pemaparan tentang sosialisme maupun komunisme. Model ekonomi sosialis dan komunis lebih merupakan sesuatu yang diimplikasikan secara tidak langsung dalam karya-karya Marx: misalnya, karena kapitalisme bertopang pada produksi komoditas (nilai), maka alternatif terhadapnya—entah dalam wujud sosialisme atau komunisme—mesti menghapus sistem produksi berbasis komoditas (nilai). Itulah sebabnya kaum Marxis di kemudian hari mesti bersusah-payah merekonstruksi Der Sozialismus dan Der Kommunismus dari Das Kapital. Kerja-kerja teoritis dan praktis macam itulah yang dibebankan ke pundak Lenin, Stalin, Mao dan kaum Marxis pada umumnya.
POSITIVISME—sepenggal kata ini di hadapan kaum cendekiawan berbudaya, nyaris sepadan dengan kata ‘komunisme’ di mata antek-antek Orba. Kata ‘positivisme’ kerapkali dihadirkan sebagai cercaan, sebagai penghinaan terhadap hakikat multi-dimensional manusia, sebagai perlambang tentang semangat untuk mereduksi keragaman pemaknaan pada sistem verifikasi yang dingin. Semangat positivis Lingkaran Wina yang hendak menuntut bukti empiris dari setiap pernyataan ilmiah dianggap telah meringkas dan meringkus kemanusiaan. Khususnya dalam kajian-kajian kebudayaan kritis, positivisme adalah sesuatu yang membikin mual para budayawan. Namun, rasa mual para budayawan ini membikin saya mual. Seandainya saja mereka tahu dari semangat dan konteks seperti apakah positivisme itu dilahirkan. Seandainya saja mereka tahu apa yang mereka bicarakan.
Belakangan ini ada sekelumit persoalan tentang kesusastraan yang terus menghantui saya setiap kali membaca karya sastra. Maklum saya sendiri tak fasih dalam sastra, juga agak kurang berbudaya. Oleh karena itu, saya mohon kepada para pembaca sekalian agar sudi mencerahi budi saya perihal sastra dengan menjawab persoalan yang disebut di muka.
Beberapa persoalan yang dimaksud baru akan mengemuka setelah sedikit kerja praktikum berikut. Pertama-tama, saya akan sekenanya mengambil salah satu karya sastra. Nah, karya yang terambil adalah sajak “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” buah karya Goenawan Mohamad. Berikut saya tik ulang teksnya.
Dalam pengertian yang paling umum sekalipun, kerap dilihat bahwa tak ada dua posisi pemikiran politik-ekonomi yang lebih berlawanan secara demikian kontras ketimbang antara Marxisme dan libertarianisme. Ambil contoh mengenai cita-cita masyarakat yang hendak dicapai. Libertarianisme menggagas masyarakat dengan peran negara yang minimal, dimana distribusi sumber daya ditentukan oleh kemampuan masing-masing individu melalui mekanisme pasar. Sementara Marxisme menggagas masyarakat tanpa perbedaan distribusi sumber daya dan karenanya juga tanpa negara, tetapi kondisi ini dicapai melalui penguasaan dari mereka yang lemah secara ekonomis terhadap negara. Demikian pula dalam pengertian keduanya tentang penindasan atau eksploitasi. Bagi seorang libertarian, eksploitasi terjadi dalam sistem dimana orang kaya diwajibkan meluangkan hasil kerjanya untuk membantu orang miskin, sementara bagi seorang Marxis, eksploitasi terjadi dalam sistem dimana para pekerja tidak memperoleh hasil yang setara dengan nilai hasil kerjanya. Singkatnya, libertarianisme adalah filsafat kelas kapitalis, sementara Marxisme adalah filsafat kelas pekerja.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.