Martin Suryajaya

Marxisme dan Universalia (Bagian II)

PERBEDAAN filsafat Marx dari Hegel, seperti sudah kita saksikan dalam artikel sebelumnya, dapat dipilah ke dalam posisi realisme imanen dan realisme transenden. Bagi Hegel, sifat-sifat dan relasi antar hal dapat ada terpisah dari halnya, sementara bagi Marx, sifat-sifat dan relasi tersebut hanya ada di dalam halnya. (Sedikit catatan tentang terminologi. Istilah ‘realisme’ yang digunakan di sini jangan dikacaukan dengan istilah yang sama yang dipakai dalam perdebatan epistemologis tentang hubungan antara pikiran dan kenyataan. Para pemikir Yunani Antik dan Eropa Abad Pertengahan tidak mempersoalkan ada/tidaknya kenyataan di luar pikiran kita sebab, bagi mereka, kenyataan sudah jelas dengan sendirinya ada dan independen dari pikiran. Persoalan ada/tidaknya kenyataan di luar pikiran adalah topik yang khas Modern, antara lain dimulai sejak Descartes. Istilah ‘realisme’ yang digunakan di artikel ini sepenuhnya berkaitan dengan status ontologis dari sifat dan relasi—dua hal yang disebut sebagai universalia. Realisme Klasik dan Abad Pertengahan berkenaan dengan ontologi, sementara realisme Modern berkenaan dengan epistemologi). Pertanyaan utama kita di sini adalah: apakah relevansi dari posisi realisme imanen Marx bagi konsepsinya tentang dialektika? Apakah perbedaan pengertian Marx dan Hegel tentang universalia ikut menyumbangkan sesuatu terhadap perbedaan mereka dalam hal dialektika?

Marxisme dan Universalia (Bagian I)

Ada yang mengatakan, Marx mengubah dialektika pada tataran ide menjadi dialektika pada tataran realitas. Ada pula yang mengatakan, sementara Hegel membuat pikiran menjadi motor penggerak materi, Marx membuat materi menjadi motor penggerak pikiran. Pernyataan-pernyataan ini tidak keliru. Persoalannya hanyalah bahwa itu kurang lengkap. Apa yang sebetulnya dipertaruhkan dalam pembalikkan tersebut belum terkemukakan secara memadai. Dalam artikel ini, kita akan menunjukkan bahwa dalam kritik Marx atas Hegel, terkandung pokok perdebatan yang sungguh mendasar dan memiliki asal-muasal yang purba dalam sejarah filsafat.

Marxisme dan Kebenaran

Apakah yang menjamin bahwa Marxisme benar adanya? Banyak orang akan menjawab pertanyaan ini dengan berkata: Marxisme benar karena apa yang dinyatakannya tentang kenyataan—sejarah perkembangan masyarakat, misalnya—sesuai dengan kenyataan itu sendiri. Dengan kata lain, kenyataan merupakan hal yang membuat benar (truthmaker) Marxisme. Tentu saja. Namun, ini belum menjawab pertanyaan kita, sebab yang kita tanyakan bukanlah apa yang membuat Marxisme benar, melainkan apa yang menjamin Marxisme benar. Apakah yang memungkinkan Marxisme disebut sebagai benar? Pertanyaan soal jaminan kebenaran Marxisme ini dapat dijernihkan melalui sederet eksperimen-pikiran.

Marxisme dan Kebaruan

Seorang Marxis adalah ia yang, tentu saja, mengakui kebenaran pandangan Karl Marx. Menjadi ‘Marxis’ berarti mereproduksi apa yang dikatakan Marx, menariknya dari realitas abad ke-19 dan mengutarakannya kembali di hadapan realitas awal abad ke-21. Persoalan segera muncul ketika kita memahami ‘Marxis’ dalam pengertian semacam itu. Dalam hal mereproduksi semua proposisi Marx, tentu mesin cetak Heidelberg lebih ‘Marxis’ daripada semua ‘Marxis’ yang kita kenali sepanjang sejarah. Heidelberg mereproduksi semua perkataan Marx sampai titik-koma dan bahkan salah tulisnya. Jika begitu, mungkinkah seseorang menjadi ‘Marxis’ sekaligus ‘pemikir?’

Dialectical Materialism Strikes Back

Tanggapan atas Ridha dan Yosie ALANGKAH beruntungnya para penulis yang karyanya dikritik. Setidaknya itu menunjukkan bahwa karyanya dibaca. Untuk itu, saya berterima kasih pada Muhammad

Martin Suryajaya: Materialisme Dialektis Sebagai Metode

SETELAH lebih dari tiga dekade Marxisme sebagai ilmu pengetahuan dihancurkan secara vulgar dan sistematis, kini perlahan tapi pasti ia kembali menyeruak ke permukaan. Ditandai dengan maraknya diskusi dan penerbitan buku yang berkaitan dengan tema ini. Kebangkitan kembali ini bukan hanya dimaksudkan untuk meramaikan iklim kebebasan terbatas saat ini, tapi sekaligus untuk menjelaskan relevansi dan posisi Marxisme di hadapan aliran pemikiran kontemporer yang dominan di Indonesia. Dalam konteks inilah, buku Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer yang ditulis pelajar filsafat, Martin Suryajaya, terbit pada saat yang tepat.

Lenin, PKS dan Realisme

Kritik atas Kritik Ted Sprague atas Ragil Nugroho DALAM tulisannya, PKS dan Lenin, Ragil Nugroho mengangkat sebuah wacana yang mengagetkan bagi sebagian aktivis-pemikir Marxis. Ia

Politik Etika Dan Negara Etis Kaum Borjuis

POLITIK tampil pada kita—kelas menengah kota Indonesia—sebagai timbunan kebusukan moral yang menggunung: sebagai korupsi, sebagai permainan kekuasaan, sebagai jual-beli suara. Kita mencita-citakan suatu pemerintahan yang

Dilema Althusser

ARTIKEL Mohamad Zaki Hussein yang berjudul Ideologi dan Reproduksi Masyarakat Kapitalis, yang merupakan pengantarnya untuk diskusi tentang artikel Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,

Kritik Lagi Atas Goenawan Mohamad

GOENAWAN MOHAMAD, dalam jawabannya atas kritik saya, tidak hanya mengelak dari mempersoalkan inti kritik saya, tetapi juga tak henti-hentinya mempertontonkan kontradiksi-dirinya. Saya akan mulai dari

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.