Dilema Althusser

Print Friendly, PDF & Email

ARTIKEL Mohamad Zaki Hussein yang berjudul Ideologi dan Reproduksi Masyarakat Kapitalis, yang merupakan pengantarnya untuk diskusi tentang artikel Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, sangat menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut.

Dalam semangat memperkaya diskusi yang telah dimulai dengan baik oleh Zaki, saya ingin berbagi pengetahuan tentang gagasan Althusser mengenai ideologi, sebagaimana yang diterakannya dalam artikelnya tersebut. Pada bagian awal ini, saya coba memaparkan latar belakang ditulisnya teks Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara, sementara di bagian akhir, saya coba menawarkan jalan keluar dari kritisisme yang dikemukakan Zaki terhadap pemikiran Althusser itu.

I

Louis Althusser (1918 – 1990) adalah seorang filsuf Marxis dari Prancis, yang pandangannya berpengaruh dalam berbagai lini pemikiran Kiri kontemporer. Di Inggris, kita jumpai Marxis seperti Alex Callinicos dan Roy Bhaskar yang mengaku terpengaruh oleh Althusser.  Begitu juga dengan Ernesto Laclau dan Chantall Mouffe, yang berangkat dari konsep Althusserian tentang ‘overdeterminasi’ dan membangun paradigma pasca-Marxisme yang kontroversial itu.

Di Prancis, kita jumpai serangkaian pemikir yang terlibat dalam dialog erat dengan tradisi Althusserian, yakni Étienne Balibar, Jacques Rancière dan Alain Badiou dalam filsafat, serta Pierre Macherey dalam kritik sastra, Maurice Godelier dalam antropologi dan Nicos Poulantzas dalam sosiologi. Di bidang ekonomi-politik, kita jumpai kaum Althusserian seperti Stephen Resnick dan Richard Wolff di Amerika Serikat, John Milios, Dimitri Dimoulis dan George Economakis di Yunani, serta Jacques Bidet di Prancis.

Ide-idenya juga terus dikembangkan lewat jurnal Rethinking Marxism dan Décalages, yang memiliki orientasi Althusserian yang kuat. Pada masa ini, hampir ke segala penjuru kita menengok, kita akan menjumpai jejak-jejak gagasan Althusser. Oleh sebab itu, mempelajari pemikirannya adalah pintu gerbang ke dalam alam pemikiran Kiri kontemporer.

Pemikiran Althusser tak dapat dilepaskan dari konteks gerakan Kiri di Prancis dan Eropa pada pertengahan abad ke-20. Inilah yang juga ditekankannya dalam pengantar edisi bahasa Inggris dari karya utamanya, Demi Marx (Pour Marx; 1965), yakni bahwa pemikirannya adalah ‘intervensi di dalam konjungtur yang tertentu’ (Althusser 1997: 9). Konjungtur yang dimaksudnya tak lain adalah proses de-Stalinisasi sejak Kongres Partai Komunis Uni Soviet ke-20 (1956), hingga perpecahan Cina-Soviet (1960 – 1963). Di antara dogmatisme Stalinis dan kritik Kanan atas dogmatisme itu (maksudnya argumen humanis dalam proses de-Stalinisasi), Althusser berupaya mencari jalan ketiga. Apabila dogmatisme mewujud dalam determinisme ekonomis dan kritik Kanan atas dogmatisme mengemuka sebagai humanisme borjuis yang subyektivis-voluntaris, Althusser kemudian hendak melampaui keduanya dengan mengakui ‘otonomi relatif’ superstruktur di atas basis sekaligus ‘determinasi pada pokok terakhir’ oleh basis (Althusser 1997: 111). Artinya, ia mengakui bahwa ideologi memiliki koherensi internal dan logikanya sendiri yang tak bisa sepenuhnya direduksi kepada mekanisme ekonomis dan dapat pula mempengaruhi mekanisme itu (inilah yang disebut sebagai ‘overdeterminasi’), sembari mengakui pula bahwa pada pokok terakhir mekanisme ekonomi itu tetap menentukan. Inilah tegangan dasar dalam pemikiran Althusser.

Terdapat seutas benang merah, yang menurut Althusser, mempertemukan dogmatisme Stalinis dan kritik Kanan atasnya, yakni Hegelianisme. Keduanya telah gagal memahami kespesifikan diskursus Marxis sebagai sebuah ranah teoretik yang terpisah dari diskursus idealis tentang Manusia dan Sejarah. Keduanya masih melihat Sejarah sebagai proses teleologis, di mana Manusia sebagai Subyek yang mengalami alienasi (keterasingan) dari hakikat-dirinya akan menemukan pemenuhannya kembali pada akhir sejarah, dalam komunisme sebagai realisasi humanisme (Elliot 2006: 29). Keduanya, dengan kata lain, masih terjebak dalam ideologi humanisme dan historisisme yang berasal dari pengaruh Hegel atas Marx ‘muda.’ Keduanya belum berhasil mengisolasi pokok pemikiran Marx yang benar-benar saintifik dan memilahnya dari konsep-konsep idealis yang masih meresapi pemikiran Marx sampai dengan fase penulisan Ideologi Jerman. Dalam rangka memerangi pengaruh Hegelianisme inilah, Althusser menolak beberapa konsep yang umumnya dikaitkan dengan tradisi Marxisme yang baginya masih Hegelian, antara lain alienasi, subyek, distingsi esensi – penampakan dan negasi atas negasi. Intensi Althusser tak pelak lagi adalah purifikasi atas Marxisme dengan mencerai-beraikan segala bentuk kontaminasi filsafat borjuis (Hegelianisme) atasnya. Hasil dari purifikasi ini adalah Marxisme sebagai sains sejarah (materialisme historis) yang terseparasikan dari segala bentuk ideologi dan materialisme dialektis yang bebas dari Hegelianisme (Althusser 2003: 231). Hanya dengan cara itulah Marxisme akan terbebas baik dari dogmatisme Stalinis maupun humanisme borjuis.

Resolusi Althusser atas dilema Marxisme kontemporer itu adalah dengan memberikan otonomi yang lebih luas pada superstruktur dan karakterisasi baru atasnya. Apabila dalam tafsiran Hegelian, superstruktur akan tampak sebagai ekspresi alienasi-diri manusia, dalam tafsiran Althusserian, superstruktur nampak seperti sedimentasi diskursif yang beragam dan tak punya pusat atau esensi tersembunyi selain hubungan yang tak langsung dengan basis sebagai pokok penentu terakhirnya. Konsepsi semacam ini mensyaratkan klarifikasi yang lebih ketat tentang fungsi efektif dari basis ekonomis. Inilah yang justru gagal disediakan oleh Althusser. Dilema Althusser dapat dirumuskan seperti ini: Bagaimana merumuskan hubungan antara basis dengan superstruktur tanpa membuat basis itu menjadi sebuah esensi tersembunyi yang mengatur gerak teleologis sejarah ‘penebusan Manusia’ dan karenanya terjebak dalam skema ‘muslihat akal budi’ (List der Vernunft) Hegelian maupun membuat superstruktur menjadi sepenuhnya independen dan karenanya terjatuh pada ilusi borjuis tentang otonomi pikiran dan individu? Karya-karya Althusser di tahun 60-an lebih merupakan pengemukaan atas problem ini ketimbang penyelesaiannya.

Dalam hamparan situasi inilah, kita mesti menempatkan teks Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara yang diselesaikannya sekitar tahun 1969-1970. Tegangan antara ekonomi dan politik itulah yang menjelaskan mengapa Althusser, dalam esai tersebut, menempatkan diskursus tentang ideologi pada konteks reproduksi syarat-syarat produksi, atau dengan kata lain, pada konteks ekonomi. Untuk menjamin kesinambungan modus produksi kapitalis, tidak cukup kaum kapitalis hanya membeli tenaga-kerja kelas pekerja melainkan mesti juga membangun ‘kesediaan kultural’-nya untuk bekerja demi kapitalisme. ‘Kesediaan kultural’ inilah yang diwujudkan lewat berbagai aparatus negara dalam bentuk ideologi. Salah satu efek dari ideologi adalah naturalisasi relasi produksi atau menjadikan relasi produksi yang ada nampak  alamiah, seolah sudah dari kodratnya demikian. Dalam menjalankan fungsi naturalisasi ini, Althusser memilah dua bentuk aparatus yang bekerja. Aparatus yang paling kasat mata adalah aparatus represif negara, yakni seluruh mekanisme koersif yang bekerja dalam memastikan tereproduksinya syarat-syarat produksi. Contohnya adalah pemerintah, pengadilan, penjara, angkatan bersenjata dan lain sebagainya. Jenis aparatus lain yang bekerja secara lebih ‘halus’ adalah aparatus ideologis negara, yakni segala mekanisme persuasif-ideologis yang berfungsi menjamin reproduksi syarat-syarat produksi. Contohnya adalah agama, pendidikan, keluarga, kebudayaan dan seterusnya. Apabila aparatus jenis pertama bekerja melalui kekerasan, aparatus jenis kedua ini bekerja melalui internalisasi nilai secara ‘humanis.

Dalam teks ini, seperti juga pada teks-teks Althusser yang lain, tegangan antara ekonomi dan politik ditutup dengan memberikan porsi yang lebih besar pada politik, pada dimensi superstruktural. Demikianlah, esai Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara yang berangkat dari cakrawala problematik reproduksi syarat-syarat produksi material, justru diakhiri dengan afirmasi superstrukturalis bahwa ‘tidak ada sesuatupun di luar ideologi’ (Althusser 1971: 175). Konsekuensi dari pengakuan ini adalah bahwa semua yang kita anggap objektif sebetulnya hanyalah konstruksi subyektif-ideologis yang tertentu saja. Di sini masuk argumennya tentang subyek. Bagi Althusser, fungsi penting ideologi adalah menjalankan subyektivasi atau proses transformasi individu menjadi subyek atau agensi sosial yang tertentu. Melalui aparatus ideologis pendidikan, misalnya, kita diajar untuk menjadi orang yang patuh pada aturan masyarakat sekaligus diisi dengan ilmu yang berguna bagi peran kita dalam masyarakat. Pendidikan, dengan demikian, memastikan agar fungsi kita sebagai subyek dalam masyarakat terpenuhi, misalnya agar dapat bekerja mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam sistem pembagian kerja yang ada. Menjadi subyek, karenanya, bukan berarti menjadi otonom melainkan justru menjadi hamba dari (subjectus; subjected to) mesin sosial-politik di mana sang subyek menjadi sekrup di dalamnya. Akibatnya, pandangan sang subyek tentang dunia tak lain adalah pandangan sistem yang memproduksinya.

II

Apabila kita teliti membaca esai ini, teori subyektivasi yang dirumuskan Althusser di situ sejatinya bersumber dari psikoanalisa Jacques Lacan. Althusser secara eksplisit menyepadankan operasi ideologi dengan fase cermin dalam psikoanalisa. Dalam pandangan Lacan, identitas selalu ditandai oleh keterbelahan. Ia berangkat dari situasi ketika seorang bayi belum dapat mengenali perbedaan antara diri dan dunia objek-objek. Pengertian pertama sang bayi akan identitasnya diperoleh dari persepsinya atas cermin atau segala yang memantulkan citra dirinya. Pada titik itulah sang bayi memperoleh pengertian tentang dirinya. Namun karena identifikasi ini terjadi berdasarkan sesuatu yang lain dari dirinya—citra-diri di cermin, misalnya—maka identitas dirinya selalu terbelah antara diri dan yang-bukan diri. Identitas, karenanya, diperoleh bersamaan dengan alienasi (Lacan 2006: 78). Akibatnya, dalam setiap identitas telah selalu termuat yang-lain. Atas dasar inilah Lacan berbicara tentang ‘yang-Lain Besar’ (le Grand Autre) atau aturan masyarakat secara umum yang membentuk subyek dan mengarahkan hasratnya. Konteks psikoanalisa inilah yang menjelaskan mengapa Althusser menyebut proses subyektivasi sebagai sesuatu yang bermuara pada Subyek (dengan ‘S’ kapital). Proses subyektivasi melalui aparatus ideologis adalah proses pencerminan atas Subyek yang diidealkan, yang kepadanya setiap subyek yang terbentuk akan menyesuaikan dan mematuhkan-diri padanya.

Konsekuensi langsung dari pengertian tentang subyek dan identitas sebagai yang telah selalu dikonstitusikan oleh yang-lain adalah bahwa akhirnya ‘tak ada sesuatupun di luar ideologi.’ Kesimpulan inilah yang di kemudian hari dikembangkan oleh Laclau dan Mouffe, untuk menyerukan bahwa tidak ada distingsi antara diskursus dan non-diskursus dan bahwa ‘segalanya dikonstitusikan sebagai objek diskursus’ (Laclau & Mouffe 2001: 107)—yang artinya sama saja dengan: ‘Tak ada sesuatupun di luar diskursus.’ Tak pelak lagi, ini merupakan sebuah idealisme. Konsekuensi idealis ini sudah merupakan resiko laten dalam pemikiran Althusser sendiri. Ia bermaksud membuang pengaruh Hegelian atas Marxisme dengan jalan menyuntikkan psikoanalisa. Ia seperti tak menyadari bahwa Lacan adalah seorang Hegelian. Gagasan-gagasan dasar Lacan tentang psikoanalisa dibentuk oleh kuliah-kuliah Alexandre Kojève, yang ia hadiri secara rutin pada tahun 30-an tentang filsafat Hegel (misalnya, konsep méconnaissance atau ‘salah-pengertian’ dalam fase cermin yang secara langsung berasal dari momen misrecognition dalam dialektika Tuan-budak dalam Fenomenologi Roh-nya Hegel). Mengatasi Hegelianisme lewat Lacanianisme berarti memperparah permasalahannya. Inilah yang menjelaskan mengapa tegangan antara ‘otonomi relatif’ superstruktur dan ‘determinasi pada pokok terakhir’ oleh ekonomi pada Althusser cenderung diselesaikan dengan memprioritaskan yang pertama dan membuang yang kedua. Konsekuensinya, Althusser beresiko terjatuh ke dalam varian lain dari humanisme borjuis yang subyektivis-voluntaris yang mulanya mau ia kritik sendiri. Inilah pula yang menjelaskan mengapa dalam pemikiran para muridnya yang langsung (Balibar, Rancière, Badiou), kita tidak menjumpai analisis ekonomi-politik samasekali. Bukan sesuatu yang mengejutkan, karenanya, kalau pada akhir fase pemikirannya Althusser berbicara tentang ‘materialisme aleatoris’ atau pandangan tentang keserba-kontinjenan segala sesuatu yang menutup kemungkinan bagi penentuan pokok-pokok determinan dalam sejarah dan masyarakat. Materialisme historis sudah meredup ketika ia menyatakan sejak dini hari bahwa “jam sepi ‘pokok terakhir’ tak pernah tiba” (Althusser 1997: 113).

Esai Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara ini terletak pada sebuah persilangan. Di dalamnya kita masih bisa menjumpai visi materialisme historis tentang ‘determinasi pada pokok terakhir’ oleh ekonomi dalam wujud problem reproduksi syarat-syarat produksi material. Namun, di dalamnya juga kita dapat menyaksikan tarikan yang kuat, via psikoanalisa, ke arah otonomi superstruktur dan pan-ideologisme. Tegangan inilah yang akan kita rasakan ketika kita menelusuri lembar demi lembar esai yang berpengaruh ini. Nyaris setengah abad sejak esai ini terbit, perhatian cenderung terpusat pada bagian akhir esai ini yang membahas tentang problem subyektivasi oleh ideologi. Dari situ kemudian berkembang segala penafsiran lanjutan tentang ‘peminggiran atas subyek’ (decentering of the subject) à la Laclau-Mouffe maupun proyek ‘pengembalian subyek’ dalam pemikiran Alain Badiou dan Slavoj Žižek. Kini kita sudah mulai dapat mengamati konsekuensi idealistik dari pendekatan itu berikut dengan kebuntuannya dalam menjawab persoalan emansipasi nyata. Laclau-Mouffe tenggelam dalam konstruksi arbitrer atas perlawanan serta reduksi realitas pada diskursus. Badiou terjebak dalam aksioma-aksioma perlawanan yang ahistoris dan Žižek terjatuh dalam voluntarisme irasional dengan idealisasi absurdnya tentang ‘bunuh-diri simbolik.’

Kini, lebih dari kapanpun, kita mesti berfokus pada bagian awal esai ini yang membahas tentang reproduksi syarat-syarat produksi. Dan itu artinya, meninggalkan konstruksi arbitrer tentang ideologi yang maha kuasa dan maha mencakup, untuk lalu kembali bertanya tentang alasan mengapa ideologi itu ada. Atau dengan kata lain, tentang problem ekonomi-politik yang menjadi fokus perhatian Marx sendiri. ***

Martin Suryajaya, mahasiswa STF Drijarkara, Jakarta dan aktif di Forum Komunitas Marx

Sumber Acuan

Althusser, Louis. 1971. Lenin and Philosophy and Other Essays diterjemahkan oleh Ben Brewster. New York: Monthly Review Press.

————. 1997. For Marx diterjemahkan oleh Ben Brewster. London: Verso.

————. 2003. The Humanist Controversy and Other Writinggs diterjemahkan oleh G.M. Goshgarian. London: Verso.

Elliott, Gregory. 2006. Althusser: The Detour of Theory. Leiden: Brill.

Lacan, Jacques. 2006. Écrits diterjemahkan oleh Bruce Fink. London: W.W. Norton & Co.

Laclau, Ernesto dan Chantall Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.