Martin Suryajaya

Marxisme dan Dua Kebudayaan Filsafat Kontemporer (Bagian II)

Marx, seperti kita ketahui, adalah seorang Jerman yang lebih banyak menghabiskan hidupnya di Inggris. Cara pandangnya terpengaruh oleh Hegel, tetapi ini ia artikulasikan secara bertanggung-jawab lewat studi empiris ekonomi-politik yang dipelajarinya di Inggris. Dalam arti itu, bisa dikatakan bahwa Marx adalah anak tradisi Kontinental sekaligus Analitik. Ia memiliki imajinasi Kontinental ditambah dengan kecermatan Analitik, ambisi menggelora khas Kontinental—untuk ‘menangkap hukum gerak masyarakat,’ begitu katanya—sekaligus ketekunan bak akuntan yang mencirikan tradisi Analitik. Ia melihat segala sesuatunya secara holistik dan dialektis layaknya seorang Kontinental, tetapi ia juga siap menganalisinya per bagian secara mendetail dan lebih dari sekadar bersedia mengintegrasikan gagasannya dalam koordinasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan seperti cara kerja tradisi Analitik. Das Kapital adalah buku yang menjadi saksi pertemuan dua kebudayaan itu. Dan materialisme historis adalah visi yang bercorak Kontinental sekaligus Analitik: holistik seperti layaknya filsafat Kontinental, tetapi juga naturalistik seperti layaknya filsafat Analitik. Karl Marx, dengan begitu, dapat dikatakan, merupakan sintesis Kontinental-Analitik pertama pasca-Kant.

LIBERTARIAN BERSAUDARA: Resensi Buku Anarchy, State, and Utopia dan The Philosopher and His Poor

APA JADINYA bila seorang libertarian-kiri dihadapkan dengan libertarian-kanan? Apakah keduanya akan berdebat secara brutal, atau malah saling memuji satu sama lain? Resensi komparatif ini berangkat dari rasa penasaran itu. Kita akan mengkaji isi pemikiran Robert Nozick dalam karya seminalnya, Anarchy, State, and Utopia (selanjutnya disingkat ASU) dalam perbandingannya dengan pemikiran Jacques Rancière dalam The Philosopher and His Poor (selanjutnya disingkat PHP). Nozick adalah seorang libertarian-kanan yang melegitimasi secara filosofis argumen-argumen Ludwig von Mises, Friedrich Hayek, Murray Rothbard dan kawan-kawannya. Sementara Rancière adalah seorang mantan Althusserian yang berpaling ke anarkisme keperancis-perancisan. Kita akan lihat sejauh mana keduanya berbeda (dalam kata) dan sejauh mana keduanya bersaudara (dalam roh).

Marxisme dan Dua Kebudayaan Filsafat Kontemporer (Bagian I)

BULAN Juli lalu, media sosial kita sempat diramaikan dengan berita tentang silat lidah antara Noam Chomsky dan Slavoj Zizek. Chomsky, seorang filsuf, ahli tata bahasa sekaligus anarkis, menganggap Zizek tak punya teori dan hanya bermain kata-kata, sebagaimana Derrida dan Lacan. Zizek, seorang filsuf posmo, yang konon anti-posmo, membantah anggapan itu dan mengajukan gugatan balik atas Chomsky. Komentar Chomsky adalah ekspresi tipikal dari filsuf Analitik, sementara posisi Zizek adalah ekspresi tipikal dari filsuf Kontinental. Pada kesempatan kali ini, saya akan menganalisis interaksi kedua tradisi tersebut dan melihat implikasinya bagi Marxisme. Dalam artikel pertama ini, kita akan berfokus membedah—meminjam istilah C.P. Snow—‘dua kebudayaan’ filsafat kontemporer itu. Barulah kemudian dalam bagian kedua, kita akan memeriksa keterkaitan antara cekcok dua budaya ini dengan Marxisme.

Marxisme dan Pembuktian

MARI kita mulai dengan sebuah teka-teki. Andaikan suatu planet lain di sebuah semesta paralel yang secara umum identik dengan planet kita. Sebut saja planet itu sebagai Bumi Kembar. Seperti planet kita, Bumi Kembar itu dihuni oleh manusia yang berevolusi dari kera. Seperti juga manusia Bumi kita, manusia dalam planet itu, pada tahap tertentu perkembangannya, mengenal sistem kepemilikan-privat, mengembangkan pembagian kerja yang bertumpu pada kerja-upahan—singkatnya, mengenyam kapitalisme.

Marxisme dan Kritik Ekonomi-Politik Suara (Bagian II)

MELANJUTKAN artikel sebelumnya, kita akan berbicara tentang ekonomi-politik suara. Politik suara bukanlah tatanan kodrati yang ada sejak manusia hidup di muka bumi. Politik suara adalah produk sejarah. Politik menjadi persoalan pengorganisasian suara manakala produsen politik, yakni massa, telah kehilangan aksesnya pada sarana produksi politik. Separasi historis antara produsen politik dan sarana produksi politik tak lain adalah penceraian antara massa dan kekuatan politiknya. Hasil dari separasi historis ini ialah munculnya suara, yakni kapasitas politik umum yang dihitung berdasarkan jumlah individu abstrak yang menyusunnya. Lebih tepat lagi, dengan diubah menjadi suara, kapasitas politik massa mengalami fragmentasi menjadi kapasitas politik individual. Formasi politik suara tak lain adalah formasi kepemilikan-privat atas kapasitas politik. Ketika massa direduksi menjadi suara, di saat itulah modus politik komoditas mengemuka. Semua kerja dan produk kerja politik bertransformasi menjadi komoditas politik yang seukur satu sama lain karena dilandasi oleh besaran homogen yang sama—suara.

Marxisme dan Kritik Ekonomi-Politik Suara (Bagian I)

DALAM Bab 3 Kapital I, Marx menulis tentang metamorfosis komoditas. Bagaimana komoditas beralih-wujud menjadi uang untuk kemudian beralih kembali jadi komoditas yang lain? Apa yang memungkinkan metamorfosis ini? Pertama, mesti ada komoditas. Namun agar ada komoditas, mesti ada proses produksi. Karenanya, syarat pertama metamorfosis ialah keberadaan proses produksi. Kedua, mesti ada uang. Namun uang tak lain daripada mediator yang menghubungkan proses produksi yang berbeda. Karenanya, syarat kedua metamorfosis adalah keberadaan mediator produksi. Ketiga, mesti ada pasar. Apa yang dimaksud pasar ialah ruang tempat transaksi dagang terjadi, lengkap dengan seluruh pengaruh yang dihasilkannya pada transaksi tersebut. Syarat ketiga metamorfosis, karenanya, adalah keberadaan ruang gerak. Proses produksi, mediator produksi dan pasar sebagai ruang gerak—inilah ketiga syarat yang mesti dipenuhi agar sirkuit komoditas-uang-komoditas dimungkinkan.

Marxisme dan Alkimia

Uang adalah sarana pertukaran, pembayaran dan penyimpanan nilai. Dalam arti itu, uang adalah konsep yang diturunkan dari konsep nilai. Dari manakah uang memperoleh nilainya? Marx menunjukkan bahwa uang tak lebih daripada representasi atas nilai komoditas. Nilai komoditas sendiri ditentukan oleh pencurahan sejumlah kerja tertentu. Uang karenanya merupakan representasi atas representasi atas kerja. Demikianlah Marx memperlihatkan bahwa uang, sebagaimana kapital, tak lain daripada relasi sosial. Buanglah relasi sosial yang mensituasikannya, maka selembar uang akan menjadi selembar kertas biasa. Apabila nilai komoditas lenyap sebagai akibat dari lenyapnya relasi sosial yang menopangnya, maka lenyaplah pula uang sebagai sarana pertukaran, pembayaran dan penyimpanan nilai. Uang, seperti juga nilai dan entitas sosial pada umumnya, adalah produk sejarah interaksi manusia dengan alam. Uang dan entitas sosial lainnya adalah seperti centaur, makhluk dengan dua kodrat: sebagian bersifat alamiah (sebagai kertas) dan sebagian lain bersifat sosial (sebagai medium nilai). Namun pandangan seperti ini tidak selalu mengemuka.

Marxisme dan Matematika

TAK BANYAK orang yang tahu bahwa Marx meninggalkan manuskrip seribu lembar tentang matematika. Manuskrip itu ia tuliskan selama waktu senggang pada tahun 1881. Isinya adalah pemaparan tentang kalkulus diferensial. Proyek penulisan itu tak hanya memiliki nilai rekreasional bagi Marx, tetapi juga ditujukan untuk menguasai salah satu sarana kunci dalam program kritik ekonomi-politik yang tengah ia jalankan. Paul Lafargue melaporkan bagaimana Marx percaya bahwa ‘sebuah ilmu tak akan sungguh-sungguh berkembang sebelum ilmu tersebut belajar menggunakan matematika.’

Marxisme dan Keniscayaan Kausal

MARILAH kita bayangkan sebuah situasi yang tak jarang kita jumpai. Salah seorang kenalan lama yang baru saja bertemu kembali berdiskusi dengan kita tentang situasi politik dan ekonomi aktual. Dalam tahap tertentu pembicaraan itu, mengetahui bahwa kita adalah Marxis atau bersimpati pada Marxisme, ia kemudian melontarkan pertanyaan yang tipikal: ‘Tapi bukankah analisis Marxis tentang kapitalisme terbukti keliru? Nyatanya, kapitalisme tak niscaya runtuh seperti diprediksi Marx. Malah sebaliknya, sekarang kapitalisme tumbuh subur di mana-mana. Bukannya itu menunjukkan bahwa Marxisme gagal?’

Marxisme dan Supervenience

DEWASA ini, kaum inteligensia yang beradab akan lari terbirit-birit ketika mendengar kata ‘reduksi,’ ‘determinasi,’ ‘totalitas,’ ‘absolut’ dan sejenisnya. Agaknya, kata-kata itu menyinggung rasa kemanusiaan mereka yang demikian sublim dan subtil. Hal ini sepertinya sesuai dengan iklim intelektual kontemporer yang hipersensitif pada diksi, pada pilihan kata, sembari abai pada kenyataan dan konsep yang dinyatakan oleh kata-kata. Kita dengan mudah lupa pada ungkapan Cato, seorang pemikir dan politisi Romawi: rem tene, verba sequentur; ‘rengkuhlah bendanya, maka kata-kata akan mengikuti.’

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.