Marxisme dan Universalia (Bagian II)

Print Friendly, PDF & Email

PERBEDAAN filsafat Marx dari Hegel, seperti sudah kita saksikan dalam artikel sebelumnya, dapat dipilah ke dalam posisi realisme imanen dan realisme transenden. Bagi Hegel, sifat-sifat dan relasi antar hal dapat ada terpisah dari halnya, sementara bagi Marx, sifat-sifat dan relasi tersebut hanya ada di dalam halnya. (Sedikit catatan tentang terminologi. Istilah ‘realisme’ yang digunakan di sini jangan dikacaukan dengan istilah yang sama yang dipakai dalam perdebatan epistemologis tentang hubungan antara pikiran dan kenyataan. Para pemikir Yunani Antik dan Eropa Abad Pertengahan tidak mempersoalkan ada/tidaknya kenyataan di luar pikiran kita sebab, bagi mereka, kenyataan sudah jelas dengan sendirinya ada dan independen dari pikiran. Persoalan ada/tidaknya kenyataan di luar pikiran adalah topik yang khas Modern, antara lain dimulai sejak Descartes. Istilah ‘realisme’ yang digunakan di artikel ini sepenuhnya berkaitan dengan status ontologis dari sifat dan relasi—dua hal yang disebut sebagai universalia. Realisme Klasik dan Abad Pertengahan berkenaan dengan ontologi, sementara realisme Modern berkenaan dengan epistemologi). Pertanyaan utama kita di sini adalah: apakah relevansi dari posisi realisme imanen Marx bagi konsepsinya tentang dialektika? Apakah perbedaan pengertian Marx dan Hegel tentang universalia ikut menyumbangkan sesuatu terhadap perbedaan mereka dalam hal dialektika?

Oleh karena dialektika adalah sejenis relasi, maka ada baiknya kita mulai dengan mengklarifikasi konsep relasi dalam Hegel dan Marx. Menurut Hegel, baik substansi maupun sifat-sifat substansi ditentukan oleh relasinya dengan hal lain. Sebuah benda atau substansi partikular tak lebih daripada ‘kumpulan relasi’ (bundle of relations). Sebuah benda memiliki sifat, katakanlah ‘panas’, karena sifat itu dikondisikan oleh relasinya dengan sifat lain, misalnya ‘dingin’. Demikian pula keberadaan sebuah benda, katakanlah ‘batu’, dikondisikan oleh relasinya dengan benda lain, seperti ‘non-batu’. Inilah yang dikenal juga sebagai doktrin relasi internal atau pengertian bahwa relasi bersifat inheren dalam hal yang berelasi sedemikian sehingga tak ada apapun tanpa relasi. Tak ada sesuatupun di luar relasi. Dalam konsepsi ini, apabila kita menghilangkan seluruh relasi yang dimiliki suatu objek, maka objek itu sendiri akan lenyap tak bersisa persis karena definisi objek itu sendiri, sebagai substansi partikular, dihabiskan oleh relasi. Substansi tak lain adalah relasinya. Posisi semacam ini mengandung sejumlah permasalahan.

Ada dua problem yang dapat kita kemukakan di sini. Pertama, problem identitas substansial. Problem ini dapat dinyatakan melalui ilustrasi sederhana. Ada sebuah meja di depan yang berjarak satu meter dari saya. Sekarang andaikan bahwa karena saya bergerak ke belakang satu meter, meja tersebut kini berjarak dua meter dari saya. Pertanyaannya: apakah meja tersebut adalah benda yang sama dengan meja yang berjarak satu meter dari saya? Pertanyaan ini demikian sukar dijawab oleh orang seperti Hegel yang percaya bahwa benda tak lain daripada kumpulan relasinya. Apabila substansi adalah kumpulan relasinya, bagaimana kita dapat memastikan bahwa meja yang relasinya adalah ‘berjarak satu meter dari saya’ adalah meja yang sama dengan meja yang relasinya adalah ‘berjarak dua meter dari saya’? Problem semacam ini disebut sebagai problem identitas substansial, yakni problem penentuan landasan bagi identitas suatu objek. Ini bukanlah masalah bagi orang seperti Marx yang melihat substansi sebagai landasan material yang tak dapat direduksi pada kumpulan sifat dan relasi. Dalam kerangka Marx, pertanyaan di muka dapat dengan mudah dijawab: meja itu adalah meja yang sama sejauh ditinjau dari substansi atau komponen material yang membentuknya; apa yang berbeda hanyalah relasi spasialnya dengan saya dan relasi spasial dengan saya tidak serta-merta mengubah substansi meja tersebut.

Kedua, problem perubahan. Apabila substansi dipandang habis terdefinisikan oleh kumpulan relasinya, perubahan jadi tak dimungkinkan. Mari kita lanjutkan contoh sederhana kita tadi. Pada mulanya saya berjarak satu meter dari meja, kemudian karena saya bergerak ke belakang satu meter maka kini saya berjarak dua meter dari meja. Pertanyaannya: apakah yang berubah dari ‘saya yang berjarak satu meter dari meja’ ke ‘saya yang berjarak dua meter dari meja?’ Posisi Hegelian akan menjawab: ‘saya’ yang berubah. Namun, berdasarkan posisi Hegelian yang sama, ‘saya’ tak lain daripada kumpulan relasi sehingga ‘saya yang berjarak satu meter dari meja’ dan ‘saya yang berjarak dua meter dari meja’ adalah dua ‘saya’ yang berbeda. Permasalahannya, setiap perubahan mengandaikan hal yang berubah, suatu substansi yang sama yang melandasi perubahan dari kondisi x ke kondisi x.’ Tak ada perubahan tanpa substansi, tanpa hal yang mengalami perubahan. Kalau ‘saya’ dalam kondisi ‘saya yang berjarak satu meter dari meja’ dan ‘saya’ dalam kondisi ‘saya yang berjarak dua meter dari meja’ adalah ‘saya’ yang berbeda, maka tidak ada hal yang berubah. Karena tak ada hal yang berubah, maka tidak ada perubahan sama sekali. (Kita bisa lihat bahwa problem perubahan ini merupakan implikasi lanjutan dari problem identitas substansial.) Konsekuensinya, dialektika Hegel tak dapat berbicara tentang perubahan konkret. Dialektikanya hanya dapat berbicara tentang perbedaan antar kondisi dan bukan perubahan dari satu kondisi ke kondisi lain.

Dilihat dari posisi Marxian, ada satu kekeliruan mendasar Hegel yang menimbulkan dua persoalan di muka. Kekeliruan itu adalah bahwa Hegel melakukan hipostasis alias reifikasi, yakni membendakan sifat-sifat sehingga seolah-olah sifat-sifat itu adalah benda sesungguhnya dan benda material justru jadi nampak seperti sifat-sifat dari ‘benda’ tersebut. Alih-alih berbicara tentang hal yang bebas, Hegel berbicara tentang kebebasan; alih-alih berbicara tentang hal yang berdaulat, Hegel berbicara tentang kedaulatan—seolah-olah ‘kebebasan’ dan ‘kedaulatan’ merupakan makhluk independen yang berjalan berdampingan dengan manusia konkret, seakan-akan manusia dan masyarakat konkret hanyalah pengejawantahan dari makhluk spiritual bernama ‘kebebasan’ dan ‘kedaulatan’ itu. Inilah yang dimaksud Marx setiap kali ia berbicara tentang ‘mistifikasi’ yang diderita dialektika di tangan Hegel. Alih-alih berangkat dari materialitas ke sifat-sifat dan relasinya, Hegel berangkat ‘dari surga ke bumi’, dari sifat-sifat dan relasi yang abstrak untuk lantas bertanya-tanya tentang penubuhannya ke dalam materi. Itulah sebabnya Marx mengomentari secara kritis dalam Kemiskinan Filsafat bahwa ‘para filsuf tak pernah berhenti berdebat tentang inkarnasi,’ tentang bagaimana ide, roh, mentalitas, menjadi daging. Seluruh pembicaraan itu dimungkinkan sejauh sifat-sifat dan relasi telah terlebih dahulu diperlakukan seperti benda independen.

Dialektika Marxian berangkat dari konsepsi in re atau imanen tentang sifat-sifat dan relasi. Karenanya, dialektika Marxian berangkat dari substansi dan sifat-sifat serta relasinya. Alih-alih berangkat dari postulat tentang kesetaraan dan keadilan, dari reifikasi atas sifat ‘setara’ dan ‘adil,’ dialektika Marxian berangkat dari masyarakat yang mana sifat-sifat itu dianggap mengemuka untuk kemudian menunjukkan model ‘kesetaraan’ dan ‘keadilan’ macam apa yang dimungkinkan oleh tatanan masyarakat seperti itu. Sifat-sifat dan relasi dikondisikan oleh hal yang mana sifat-sifat serta relasi tersebut mengemuka. Sebongkah batu dapat menjadi patung, meja, kursi dan sebagainya—tetapi batu itu tidak bisa menjadi apa saja. Sifatnya untuk menjadi sesuatu dikondisikan oleh substansi batu itu sendiri, dikondisikan oleh materi yang membentuknya.

Karl-Marx-Mleczko_Andrzej
‘Karl Marx’ oleh Andrzej Mleczko (Koleksi IISH)

 

Kendati begitu, Marx tidak sepenuhnya menolak pengaruh sifat-sifat dan relasi terhadap substansi. Marx tidak sepenuhnya anti-Hegel; ia mengakui sumbangan Hegel, khususnya berkenaan dengan pengakuan atas adanya relasi internal. Dialektika Marxian mengakui bahwa ada hal-hal tertentu yang keberadaannya dikondisikan oleh relasinya dengan hal lain. Komoditas, misalnya, tidak ada dengan sendirinya. Komoditas ada sejauh ada relasi kerja-upahan. Adanya patung mengandaikan relasinya dengan pematung. Dalam arti itu, dapat dikatakan bahwa relasi mendahului substansi (relasi kerja-upahan mendahului komoditas, relasi pematung dan batu mendahului patung, dsb.). Akan tetapi, bukan berarti bahwa semua substansi tidak lebih daripada relasi. Di sinilah visi stratifikasi substansi (berikut dengan sifat-sifat dan relasinya) masuk ke dalam potret. Adanya komoditas (sebagai substansi) mengandaikan relasinya (relasi kerja-upahan) dengan para produsen komoditas dan pemodal; adanya para produsen dan pemodal mengandaikan relasinya dengan struktur pembagian kerja dalam masyarakat yang terbentuk secara historis; adanya masyarakat mengandaikan relasinya dengan biosfer; adanya biosfer mengandaikan relasinya dengan struktur semesta fisik. Pada setiap aras dalam gambaran tadi termuat substansi dan sifat-sifatnya yang pada gilirannya dikondisikan secara kausal oleh substansi dan sifat-sifat yang lebih fondasional. Inilah gambaran semesta berdasarkan realisme in re Marxian. Dialektika Marxian adalah proses kausal yang terjadi antar strata substansi tersebut. Dialektika Marxian tak hanya dapat berbicara tentang perbedaan antar kondisi, tetapi juga perubahan dari kondisi satu ke kondisi lain berkat stratifikasi kausal atas substansi yang merupakan konsekuensi dari kerangka realisme imanen yang dikandungnya. ***

 

2 Januari 2013

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.