Bagaimana Memahami Islam Politik?

Print Friendly, PDF & Email

Catatan redaksi: Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Deepa Kumar, Islam Politik Sebuah Analisis Marxis, yang diterbitkan oleh Resistbook, Yogyakarta, 2012.

Kata Pengantar Untuk Buku Deepa Kumar
Coen Husain Pontoh,
mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)

MEMBUAT  kata pengantar untuk sebuah karya tulis yang baik, susah-susah gampang. Susah karena boleh jadi pengantar yang kita terakan membuat maksud dan tujuan si penulis menjadi melenceng, tereduksi, atau malah berlebihan. Tetapi sekaligus gampang, karena kita tak perlu bersusah payah untuk mengantarkan apa yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca.

Kedua hal itulah yang membayangi saya ketika menulis pengantar untuk buku tipis karya Deepa Kumar, Islam Politik Sebuah Analisis Marxis. Sebabnya Kumar dalam buku ini telah begitu jelas dan gamblang memaparkan pesan yang ingin disampaikannya berkaitan dengan gejala kebangkitan Islam Politik saat ini. Karena itu, dalam pengantar ini, saya hanya ingin menambahkan apa yang dimaksud Kumar dengan ‘Analisis Marxis tentang Islam politik.’ Sebab penjelasan tentang apa itu metode analisa Marxis inilah yang kurang mendapatkan porsi pembahasan.

Untuk itu, pengantar ini akan saya bagi atas dua bagian: pertama, memaparkan secara singkat tentang Materialisme Historis, yang merupakan metode Marx dalam menganalisa perkembangan sejarah masyarakat; dan kedua, menempatkan karya Kumar ini dalam terang materialisme historis; dan ketiga, bagaimana kita melihat politik kiri dalam kaitannya dengan keberadaan Islam Politik.

Analisa materialis tentang sejarah

Penafsiran materialis atas sejarah, atau yang secara umum dikenal sebagai materialisme historis (historical materialism), merupakan penerapan dialetika materialisme pada studi tentang evolusi masyarakat manusia.[1] Menariknya, Karl Marx sebenarnya tidak pernah menamakan metode berpikirnya sebagai materialisme historis. Dalam bahasa Isaiah Berlin,[2] tak ada eksposisi formal tentang materialisme historis yang pernah diterbitkan oleh Marx sendiri. Pada Marx, metodenya ini berkembang serentetan dengan responnya terhadap perdebatannya dalam bidang pemikiran dan analisa sosial politik saat itu. Jejaknya, menurut Berlin pertama kali muncul dalam karyanya Critique of Hegel’s Philosophy of Right, kemudian berturut-turut muncul dalam On the Jewish Question, lalu dalam The Holy Family dan muncul lebih lengkap dalam risalah yang ditulisnya bersama Engels, The German Ideology.

Para pengkaji Marx bersepakat, Fridriech Engels adalah orang pertama yang memberi nama materialisme historis untuk pemikiran Marx. Dalam karya polemiknya terhadap Herr Eugen Dührings, Anti- Dührings, Engels menulis,

‘Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi tentang produksi (alat-alat yang menopang kehidupan manusia) dan, produksi sesudahnya yakni, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari seluruh struktur sosial: dasar kemunculan seluruh masyarakat dalam sejarah, dasar tentang bagaimana kekayaan didistribusikan dan masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas, dasar dimana organisasi tergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana barang-barang itu diproduksi dan kemudian dipertukarkan. Menurut cara pandang ini, penyebab akhir dari seluruh perubahan sosial dan revolusi politik tidak terletak pada otak manusia, bukan juga pada pengamatan yang jernih atas kebenaran dan keadilan yang abadi, tetapi dalam perubahan corak produksi dan pertukaran. Perubahan itu juga harus dilihat, bukan pada filsafat, tetapi pada ilmu ekonomi dari masing-masing epos tertentu.’[3]

Konsepsi materialis atas sejarah yang dikemukakan Engels ini, akarnya bisa kita temukan pada penjelasan Marx dalam Preface  untuk karyanya A Contribution to the Critique of Political Economy:

‘Kesimpulan umum yang aku temukan, yang kemudian secara prinsip memandu studi-studiku bisa diringkas sebagai berikut. Dalam produksi sosial dari keberadaannya, manusia tak terelakkan masuk ke dalam hubungan tertentu, yang independen dari keinginannya, yakni hubungan produksi yang sesuai dengan tahapan tertentu perkembangan kekuatan produksi materialnya. Totalitas hubungan produksi  ini adalah struktur ekonomi masyarakat, fondasi nyata, yang di atasnya muncul superstruktur legal dan politik dan  selanjutnya berkorespondensi dengan bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Corak produksi kehidupan material merupakan syarat dari proses umum kehidupan sosial, politik dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tapi keberadaan sosialnyalah yang menentukan kesadarannya…… Perubahan dalam fondasi ekonomi pada akhirnya, cepat atau lambat, menyebabkan terjadinya transformasi besar dan menyeluruh pada superstruktur.’[4]

Penemuan Marx atas konsepsi materialis tentang sejarah ini menyebabkan terjadinya revolusi pemikiran sosial saat itu. Inilah untuk pertama kalinya, sejarah tidak dilihat sebagai akumulasi dari peristiwa-peristiwa yang tak terduga, tindakan-tindakan dari manusia agung, tidak pula sebagai proses pasang surut kejadian yang terus berulang, pola yang tak pernah usai, juga tidak sebagai akibat dari adanya kekuatan misterius di luar dan di atas manusia, atau sesuatu yang telah ditakdirkan sejak awal hingga akhir.[5] Konkretnya, yang membedakan antara filsafat sejarah Marxis dan non-Marxis, sebagaimana dikemukakan Gandy dalam bentuk kalimat tanya jawab berikut:

‘Apa yang menyebabkan jatuhnya Roma? Jawabannya bukan karena jatuhnya gagasan tentang wargangara, tetapi akibat dari membusuknya kehidupan ekonomi: keseimbangan perdagangan dengan Asia yang tidak setara, jatuhnya ekonomi kaum pengrajin perkotaan, dan merosotnya pasokan akan kaum budak. Apa yang menyebabkan terjadinya perang Salib? Bukan karena kecintaan akan Tuhan, tapi karena kepentingan material: tuan tanah yang makin lapar akan tanah, haus akan barang rampasan, dan perjuangan untuk memperebutkan rute perdagangan. Apa yang menyebabkan revolusi Prancis? Bukan karena munculnya para filsuf yang subversif, tapi karena perjuangan kelas: meluasnya kekuatan produktif, kaum borjuasi yang tengah mengakumulasi kekuasaan, dan kaum tani yang sangat membutuhkan tanah. Sekali lagi, bukan gagasan melainkan perubahan sosial dan ekonomi yang mendorong perubahan sejarah. Kondisi-kondisi material berubah, maka gagasan pun jatuh atau bangkit.’[6]

Akibat lainnya, filsafat sejarah Marx ini secara jelas dan tegas bertentangan dengan filsafat sejarah yang diajarkan Hegel. Menurut Henri Lefebvre,[7] begitu materialisme historis diformulasikan, metode ini dengan segera menentang Hegelianisme, menentang Feuerbach, dan lebih dari itu, menentang filsafat secara umum.  Pada Hegel, manusia adalah mahluk non-obyektif, non-real, makhluk spiritual yang abstrak, yang egois, sehingga seperti kata Marx, ‘esensi manusia menurut Hegel adalah kesadaran diri (self-conciousness), dimana esensi keterasingan manusia itu tak lain adalah keterasingannya dari kesadaran diri.’[8] Dengan begitu, kesadaran bagi Hegel adalah produk dari akal murni dan sesuatu yang di luarnya bersifat abstrak, tidak nyata. Atau sebagaimana dikemukakan Marx dalam Critique,[9] dalam rumusan Hegel dunia nyata tak lebih sebagai hasil dari pemikiran manusia. Sementara pada Marx sendiri, karena sesuatu itu pada mulanya tidak dimulai dari gagasan dan kesadaran manusia, tapi pada manusia yang nyata dan kondisi-kondisi nyata kehidupannya, maka kesimpulannya adalah ‘bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tapi kehidupanlah yang menentukan kesadaran.’[10]

Dalam magnum opus-nya Capital, Marx menegaskan perbedaan dan pertentangan posisinya dengan Hegel:

‘Metode dialektika saya, pada dasarnya, tidak hanya berbeda dari Hegelian, tapi bertentangan langsung dengannya. Pada Hegel, proses berpikirnya, yang mengatasnamakan ‘Gagasan,’ yang kemudian ia transformasikan ke dalam subyek yang independen, adalah pencipta dunia nyata, dan dunia nyata itu sendiri hanyalah sesuatu yang bersifat eksternal, bentuk fenomenal dari ‘Gagasan.’ Pada saya, sebaliknya, gagasan tidak lain adalah refleksi dunia material dalam pikiran manusia, dan selanjutnya dipindahkan ke dalam bentuk pemikiran.’[11]

Tetapi, begitu persoalan dengan Hegel selesai, penggalan kutipan dari Engels tersebut di atas serta-merta melahirkan kontroversi baru yang tak kalah pelik. Melalui rumusan tersebut, Marx dianggap telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang fatalis, yang bertindak sekadar untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebutuhan perkembangan material. Atau dengan kata lain, perubahan yang terjadi pada manusia hanyalah dampak semata dari perubahan yang terjadi pada kondisi-kondisi material di luarnya. Misalnya, perkembangan alat produksi dari mesin ketik ke komputer mensyaratkan pengetahuan baru pada manusia yang sebelumnya hanya bisa mengoperasikan mesin ketik. Begitu ia mulai mengoperasikan komputer tersebut, dengan sendirinya ia harus mengubah cara berpikir dan bekerjanya dan dengan demikian mengubah pola hubungan sosialnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai historisisme, yang dasarnya diambil dari point ketiga dari Theses on Feuerbach.[12]

Tetapi, kalau kita perhatikan lebih seksama, Marx sama sekali jauh dari tuduhan historisisme. Justru sejarah bagi Marx merupakan hasil karya manusia yang aktif, manusia yang riil. Dalam The Eighteen Brumairre of Louis Bonaparte, Marx dengan tegas-tegas menulis bahwa ‘Manusia membuat sejarahnya sendiri, tapi mereka tidak membuat sejarah semau-maunya mereka; mereka tidak membuat sejarah di bawah kondisi-kondisi yang mereka pilih sendiri, tapi berdasarkan pada kondisi-kondisi yang telah terberi, tersedia, dan merupakan warisan dari masa lalu.’[13] Dari kutipan ini, tampak jelas bahwa pertama, Marx memberikan peran yang sangat besar pada manusia dalam membentuk sejarah, dengan demikian ia menolak  historisisme. Tetapi, jika ia berhenti pada frasa ‘manusia membentuk sejarahnya sendiri,’ maka ia terjatuh pada jurang Hegelianisme, karena itu ia tiba pada poin kedua,  yang tegas-tegas menolak Hegelianisme: ‘tapi mereka tidak membuat sejarah semau-maunya mereka; mereka tidak membuat sejarah di bawah kondisi yang mereka pilih sendiri, tapi berdasarkan pada kondisi yang telah terberi, tersedia dan merupakan warisan dari masa lalu.’ Di sinilah letak dialektikanya, manusia memiliki kebebasan untuk membuat sejarahnya sendiri, tetapi ia dibatasi oleh kondisi-kondisi nyata yang dihadapinya, masa lalu yang terwariskan yang tidak lain adalah bentukan manusia sebelumnya.

Dengan demikian, untuk memahami tindakan nyata manusia, kita tidak bisa memfokuskan studi kita pada apa yang manusia pikirkan dalam kurun waktu sejarah tertentu. Tapi, kondisi-kondisi sejarah seperti apa yang terjadi dalam kurun tertentu tersebut yang membuat manusia sanggup menciptakan sejarahnya sendiri. Proposisi inilah yang dikemukakan Marx dan Engels dalam The German Ideology, dimana keduanya mengatakan, ‘dalam kita melihat sejarah kita harus menempatkannya dalam basis nyata sejarah itu sendiri; bukan menjelaskan praktek dari gagasan tapi menjelaskan formasi gagasan itu dari praktek-praktek material, dan dari sana kita mengambil kesimpulan seluruh bentuk dari produksi kesadaran.’[14] Berdasarkan ini maka kita tidak bisa menilai seorang individu berdasarkan pada apa yang dipikirkannya, atau kita tidak bisa menilai satu periode transformasi melalui kesadarannya, tetapi sebaliknya, kesadaran ini harus bisa diterangkan dari kontradiksi-kontradiksi hidup material, dari konflik-konflik yang terjadi di antara kekuatan sosial produksi dan hubungan sosial produksi.

Pandangan ini jelas memiliki implikasi praktek yang sangat radikal. Karena perubahan sosial bukan merupakan produk dari gagasan yang independen dari kondisi-kondisi materialnya, dengan sendirinya kritisisme semata atas gagasan sebagai dasar perubahan harus ditolak. Sebagai gantinya, perjuangan untuk menghapuskan kondisi-kondisi material yang membentuk gagasan itulah yang mesti dimajukan. Dalam bahasa Marx, ‘keterasingan manusia hanya bisa diselesaikan melalui aksi penghancuran hubungan-hubungan produksi sosial yang ada, bahwa hanya revolusi dan bukan kritisisme, teori atau agama, yang merupakan motor pendorong sejarah.’[15]

Dari sini, Marx kemudian melangkah pada pentingnya keberadaan perjuangan kelas-kelas. Argumennya, karena manusia membentuk sejarahnya sendiri, dengan demikian konsekuensi dari materialisme historis bukan hanya merupakan metode untuk menafsirkan sejarah, tapi yang lebih penting adalah bagaimana mengubahnya menjadi lebih baik. Dan kembali ingat, karena manusia yang membentuk sejarah itu pertama-tama harus memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (makanan, pakaian, perumahan, dll) maka perjuangan kelas itu esensinya adalah perjuangan untuk memperebutkan, mempertahankan, dan menguasai faktor-faktor produksi yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar tersebut. Dalam konteks penguasaan faktor-faktor produksi ini, maka manusia terbagi atas  kelas yang menguasai alat-alat produksi dan kelas yang tidak memilikinya, yang dalam corak produksi tertentu komposisi kelas-kelas sosial ini berubah-ubah. Di sini Marx lantas mengatakan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, dan karena itu perjuangan kelas merupakan inti dari Marxisme. Menurut Wood, makna perjuangan kelas itu terdiri atas dua hal yang tak terpisahkan: (1) adalah perjuangan kelas, yang menurut Marxisme, merupakan faktor penggerak dinamika sejarah, dan (2) penghapusan kelas-kelas, baik yang sedang terjadi maupun sebagai produk akhir dari perjuangan kelas, merupakan tujuan tertinggi dari proses revolusioner.[16]

‘Kesatuan yang tak terpisahkan antara pandangan tentang sejarah dan tujuan-tujuan revolusioner inilah, di atas segalanya, yang membedakan Marxisme dari konsepsi-konsepsi lain tentang transformasi sosial, dan tanpa itu tak ada Marxisme.’[17]

Tentang buku ini

Dalam buku tipis ini, Kumar, menurut saya, telah berhasil mendemonstrasikan perangkat materialisme historis dalam menganalisa kemunculan Islam Politik. Ada tiga point penting yang patut mendapatkan perhatian lebih dari buku ini: pertama, Kumar menunjukkan bahwa tesis tentang menyatunya agama dan politik dalam Islam sebagai sesuatu yang alamiah tidak benar; kedua, konsekuensi dari tesis ini, maka Islam Politik merupakan akibat dari situasi ekonomi politik kontemporer; dan ketiga, kelas menengah sebagai basis utama dari kalangan Islam politik. Mari kita lihat ketiga point ini secara singkat.

Karena sejarah adalah bentukan manusia dan pada saat yang sama manusia terikat pada kondisi-kondisi material dimana ia bergulat, maka tak ada peristiwa yang bersifat a-historis, artinya peristiwa yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya karena ia telah ada sejak dunia ini ada dan akan terus ada selama dunia ini tetap ada.

Peristiwa yang historis berarti peristiwa tersebut bisa dijelaskan asal-usulnya, melekat pada kondisi kesejarahan tertentu, dan karenanya bisa diubah pada kondisi historis yang tertentu pula. Pemahaman  materialisme historis ini pula yang secara konsisten digunakan Kumar dalam studinya tentang Islam politik ini, seperti yang dikatakannya:

‘Dalam buku kecil ini, saya coba memposisikan diri untuk melihat secara historis fenomena Islam politik dan menjelaskan hal ihwal sampai menjadi demikian. Untuk itu, saya akan memulainya dengan membongkar gagasan atau pendapat bahwa kebangkitan organisasi-organisasi Islam adalah perkembangan alami Islam, dan sebaliknya akan menunjukkan pada pemisahan historis secara de facto antara agama dan politik pada mayoritas masyarakat Muslim.’[18]

Berdasarkan ini, Kumar menolak tesis kalangan orientalis yang menganggap Islam sejak awalnya telah menolak pemisahan agama dari politik (pandangan ini ironisnya justru menjadi sikap politik yang secara teguh diimani oleh kalangan Islam Politik), anti demokrasi, dan anti Barat. Dari studi historisnya, Kumar dengan tegas menunjukkan bahwa menyatunya agama dan politik dalam Islam hanya terjadi dalam periode yang sangat singkat, yakni periode ketika nabi Muhammad SAW masih hidup:

‘Islam yang dibayangkan Muhammad adalah ajaran yang mengombinasikan spiritualitas dengan politik, ekonomi, dan adat istiadat sosial. Ia sendiri memainkan peran baik sebagai pemimpin politik dan relijius, dan kekuasaannya dalam dua hal tersebut tak terbantahkan. Namun, tidak demikian yang terjadi dengan para penggantinya. Tak lama setelah kematiannya, ada banyak konflik tentang siapa yang akan menjadi pengganti sementara (khalifah).’[19]

Menurut Kumar, konflik-konflik pasca kematian Rasulullah tersebut, yang kemudian diikuti dengan terjadinya pemisahan antara agama dan politik, merupakan konsekuensi dari terus meluasnya wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam. Makin luasnya wilayah berarti makin banyak dan beragam penduduk dalam wilayah tersebut yang harus diatur agar sesuai dengan kepentingan dan stabilitas kekuasaan kekhalifahan tersebut. Dari sinilah kemudian muncul kebutuhan akan syariah untuk mengatur perilaku masyarakat muslim. Kebutuhan akan syariah ini lalu memunculkan sebuah kelas akademisi relijius yang disebut ulama, yang tugasnya adalah memformulasikan syariah tersebut. Tetapi, menurut Kumar, walaupun para ulama ini kedudukannya sangat penting dalam sebuah sistem politik yang baru, mereka tetap memainkan peran sekunder dan lebih rendah dalam hubungannya dengan kepemimpinan politik:

‘Sebagai konsekuensinya, terjadi pembagian kerja antara ‘mereka yang menulis’ dan ‘mereka yang menghunus pedang.’ Kelas pertama, termasuk di antaranya ulama dan birokrat yang bekerja di bawah kepemimpinan politik penguasa, ditugasi menunaikan fungsi-fungsi administrasi dan kebijakan. Sementara kelas yang kedua membela dan memperluas kerajaan dan memegang kekuasaan politik. Dengan demikian, jika nabi Muhammad adalah pemimpin politik maupun agama sekaligus, kebutuhan kerajaan ini memerlukan pemisahan secara de facto.’[20]

Setelah mengritik basis teoritik dari tesis orientalis, yang justru diimani oleh kalangan Islam Politik, Kumar kemudian melaju pada pokok pikiran kedua dalam buku ini. Karena Islam Politik tidak bisa dijustifikasikan keberadaannya dalam periode Islam awal, maka kebangkitan Islam Politik dengan sendirinya lebih merupakan sebuah fenomena sejarah kontemporer.

Menurut Kumar, paling tidak terdapat tiga faktor yang melatari kebangkitan dan meluasnya pengaruh Islam Politik: pertama, intervensi dan dominasi imperial yang berlanjut. Kekuatan imperialis (terutama Amerika Serikat), memainkan peran aktif dalam mensponsori dan mendorong kelompok-kelompok Islamis sebagai benteng pertahanan melawan nasionalisme sekuler dan kiri. Dominasi penjajah telah bertahan, bahkan setelah dekolonisasi, melalui para pemimpin yang mudah dipengaruhi, Israel, dan konfrontasi militer secara langsung; kedua, kegagalan dan kontradiksi internal dari nasionalisme sekuler dan Kiri Stalinis yang menciptakan kekosongan politik; dan ketiga, perkembangan krisis ekonomi di beberapa negara yang menunjukkan metode kapitalis untuk pembangunan nasional tak mampu memberikan solusi. Kondisi ini memberikan peluang kepada kaum Islamis, melalui jaringan badan-badan sosial mereka yang luas, dalam menawarkan solusi ‘Islami,’atas krisis yang terjadi. Beriringan dengan kesuksesan solusi-solusi ‘konkrit’ tersebut maka jaringan ini makin berkembang pesat, tidak hanya secara politik tapi juga jumlah keanggotaan, dengan cara merekrut kalangan muda perkotaan yang terdidik, kelas menengah lama dan baru yang terdiri dari para profesional yang diuntungkan oleh bisnis minyak, dan seksi-seksi lain yang non-kelas yang sangat miskin seperti para imigran miskin dan juga kaum miskin kota.[21]

Penutup

Dari pemetaan Kumar ini, kita bisa menyimpulkan beberapa hal: pertama, kebangkitan Islam Politik merupakan sebuah produk  sejarah tertentu. Menyatunya agama dan politik dalam Islam, bukan sesuatu yang lumrah dan faktual sepanjang sejarah Islam, seperti klaimnya kalangan Orientalis dan Islam Politik selama ini. Periode menyatunya agama dan politik hanya berlangsung singkat, yakni ketika Nabi Muhammad SAW hidup.

Kedua, analisis materialisme historis secara telak menghantam analisa kalangan Islam liberal, yang sangat dominan saat ini dalam mendefisikan Islam Politik. Kalangan Islam Liberal meyakini bahwa bangkit dan berkembangnya Islam Politik merupakan hasil dari penafsiran yang sempit dan jumud atas kitab suci umat Islam dan hadis Nabi. Karena itu, mereka memfokuskan analisanya pada gagasan dari para tokoh (baca pemimpin dan ulama) Islam Politik, sembari mengabaikan aspek ekonomi politiknya.

Dengan metode analisa sedemikian, tidak heran jika kalangan Islam Liberal menawarkan sebuah metode tafsir yang berbeda  (tafsir liberal) sebagai upaya untuk meredam bangkit dan meluasnya pengaruh Islam Politik. Sehingga, yang kita lihat kemudian adalah sebuah ‘perang’ tafsir antara kedua belah pihak dalam membaca pesan-pesan relijius yang muncul dalam kitab suci, hadis Nabi, maupun tradisi Islam setelahnya. Pada level politik, kalangan Islam Liberal tidak segan-segan mendorong negara untuk secara tegas menindak kalangan Islam Politik.

Perang tafsir antara kedua belah pihak ini menarik untuk distudi lebih lanjut. Cukup pada kesempatan ini saya mengemukakan dua hal menarik di antara kedua kalangan ini. Kalau kita perhatikan sungguh-sungguh, maka Islam Politik tidak pernah melakukan perlawanan politik terhadap rejim kapitalisme-neoliberal (bahkan bagi kelompok seperti Hizbut Tahrir, kapitalisme itu identik dengan AS). Apa yang menjadi kekhawatiran utama kalangan Islam Politik adalah dekadensi moral umat Islam sebagai akibat dari penjajahan kultural yang dilakukan Barat melalui penerbitan buku, pemberitaan media, peredaran film-film, lagu-lagu, pendidikan, cara berpakaian, bergaul, dan sebagainya. Sehingga itu, perlawanan Islam Politik terhadap Barat esensinya adalah perlawanan di wilayah hegemoni (buku Islami, pendidikan Islami, pakaian Islami, film Islami, media Islami, lagu Islami, dsb) dan bukan pada penghapusan struktur ekonomi politik kapitalisme yang eksploitatif. Di sisi lain, karena kritik Islam Liberal terhadap Islam Politik bergerak di wilayah penafsiran teks, maka (persis seperti kalangan Islam Politik) perjuangannya terletak di level hegemoni. Itu sebabnya, kalangan Islam Liberal ini juga gencar sekali membuat penerbitan buku, majalah, jurnal, film, dsb sebagai counter-attack terhadap agresivitas kalangan Islam Politik.

Apa yang bisa kita turunkan dari persamaan metode perjuangan dari keduanya ini? (1) basis sosial utama dari kedua kelompok ini adalah sama-sama datang dari kalangan muda perkotaan yang terdidik dan kelas menengah; (2) baik Islam Politik dan Islam Liberal sama-sama tidak memiliki agenda politik untuk menentang kapitalisme-neoliberal. Apa yang berbeda dari keduanya adalah retorika belaka: jika Islam Politik terang-terangan menentang agresi kultural Barat, maka Islam Liberal  mengapresiasi capaian-capaian kultural Barat dihadapkan dengan agenda Islam Politik.

Bagaimana dengan kalangan Kiri? Karena analisa Marxian mengatakan bahwa bangkit dan meluasnya gerakan Islam politik disebabkan oleh perkembangan ekonomi politik yang konkret pada tahap perkembangan sejarah tertentu,  maka hal pertama yang mesti dilakukan adalah melawan sebab-sebab kemunculannya, yakni politik imperialis Amerika Serikat dan para sekutunya, serta sistem kapitalisme-neoliberal yang sedang berlangsung. Dengan demikian, secara prinsipil kita menentang agenda Islam politik karena wataknya yang anti kiri, anti gerakan rakyat pekerja, dan pro kapitalisme-neoliberal, tapi kita juga mesti bisa memberikan solidaritas pada mereka (basis massa Islam Politik) yang ditindas oleh kekuatan imperialis.

Di sini prinsip politik kiri bukanlah politik yang membabi-buta, yang menghalalkan segala cara, yang berdiri tegak di atas landasan  ‘musuh dari musuh kita adalah kawan kita.’ Politik kiri adalah politik yang dipandu oleh ketepatan analisa atas perkembangan sejarah yang konkrit. Hanya dengan cara begitulah, gerakan kiri bisa menjadi kekuatan pembebas yang sejati.***

 

New York, Maret 2012.

 


[1] Howard Selsam & Harry Martel, Reader in Marxist Philosophy from writings of Marx, Engels, and Lenin, International Publishers, NY,1987, p. 182.

[2] Isaiah Berlin, ‘Historical Materialism’ in Karl Marx, edited by Tom Bottomore, Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1973, p. 56-57.

[3] Teks asli: ’The materialist conception of history starts from the proposition that the production (of the means to support human life) and, the next to production, exchange of things produced, is the basis of all social structure: that in every society that has appeared in history, the manner in which wealth is distributed and society divided into classes or orders is dependent upon what is produced, how it is produced, and how the products are exchanged. From this point of view the final causes of all social changes and political revolutions are to be sought, not in the men’s brain, not in men’s better insight into eternal truth and justice, but in changes in the modes of production and exchange. They are to be sought, not in the philosophy, but in the economics of each particular epoch,’ (Engels, 1959:367).

[4] Teks asli: ‘The general conclusion at which I arrived and which, once reached, became the guiding principle of my studies can be summarised as follows. In the social production of their existence, men inevitably enter into definite relations, which are independent of their will, namely relations of production appropriate to a given stage in the development of their material forces of production. The totality of these relations of production constitutes the economic structure of society, the real foundation, on which arises a legal and political superstructure and to which correspond definite forms of social consciousnerss. The mode of production of material life conditions tge general  process of social, political and intellectual life. It is not their consciousness of men that determines their existence, but their social existence that determines their coinsciousness. …..The changes in the economic foundation lead sooner or later to the tranformation of the whole immense superstructure,’ Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, International Publishers, Inc, NY, 1989, p. 20-21.

[5] Ernst Fischer, How to Read Karl Marx, Monthly Review Press, 1996, p. 90.

[6] D. Ross Gandy, Marx & History From Primitive Society to the Communist Future,  University of Teas Press, 1979, P. 156.

[7] Henry Lefebvre, Dialectical Materialism, University of Minnesota Press, 2009, p. 60.

[8] Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,’ Promotheus Book, NY, 1988, p.151.

[9] Op.Cit., p. 206.

[10] Erich Fromm, “foreword” in T.B. Bottomore, Karl Marx Selected Writing in Sociology and Social Philosophy,’ McGraw-Hall Inc, USA, 1964, p. xv.

[11] Teks asli: ‘My dialectic method, is, in its foundations, not only different from the Hegelian, but exactly opposite to it. For Hegel, the process of thinking, which he even transform into and independent subject, under the name of  ‘the idea,’ is the creator of the real world, and the real world is only the external appearance of the idea. With me th reverse is true, the ideal is nothing but the material world reflected in the mind of man,  and translated into forms of thought,’ Karl Marx, Capital Vol. I, Penguin Classics, 1990, p. 102.

[12] ‘The materialist doctrine that men are products of circumstances and upbringing, and that, therefore, changed men are products of changed circumstances and changed upbringing, forgets that it is men who change circumstances and that the educator must himself be educated. Hence this doctrine is bound to divide society into two parts, one of which is superior to society. The coincidence of the changing of circumstances and of human activity or self-change [Selbstveränderung] can be conceived and rationally understood only as revolutionary practice,’ sumber: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/theses/index.htm, diunduh pada tanggal 1 Maret 2012.

[13] Karl Marx, The 18th Brumaire of Louis Bonaparte, International Publishers, NY, 1998, p. 15.

[14] Karl Marx with Friedrich Engels, The German Ideology, Promotheus Books, NY, 1998, p.61.

[15] Loc.Cit

[16] Ellen Meiksins Wood, The Retreat From Class A New ‘True’ Socialism, Verso, London, 1998, p. 12.

[17] Loc.cit

[18] Deepa Kumar, Political Islam: a Marxist Analysis (part one), International Socialist Review (ISR), Marcj-April 2011, p.27.

[19] Op.cit., p. 28.

[20] Op.cit., 29-30.

[21] Deepa Kumar, Political Islam: a Marxist Analysis (part two), International Socialist Review (ISR), July-Aug 2011, p. 50-51.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.