Marxisme dan Debat Transisi (1)

Print Friendly, PDF & Email

Pendahuluan: Apa itu Kapitalisme?

PERTANYAAN mendasar yang tak terelakkan ketika kita hendak mengkaji sejarah kemunculan kapitalisme tak lain soal, apakah yang kita maksud dengan kapitalisme itu sendiri. Apabila kita tidak hati-hati dalam memberikan definisi tersebut, kita dapat terjatuh dalam ketumpang-tindihan konseptual. Misalnya, begitu kita mengartikan kapitalisme secara kabur sebagai bentuk perekonomian yang bergantung pada pengambilan untung sebesar-besarnya, kita jadi merancukan kapitalisme dengan feodalisme di mana Raja dan para bangsawan meraup untung yang besar dari pajak dan kerja-wajib atas tanah. Begitu pula ketika kita mendefinisikan kapitalisme sebagai ‘ekonomi pasar’ atau modus perekonomian yang bertumpu pada produksi dan pertukaran komoditas—di sini kita kembali merancukan distingsi kapitalisme dan feodalisme, sebab pada era feodal kita juga telah menemui produksi komoditas dan keberadaan pasar. Penentuan atas pengertian kapitalisme, karenanya, sangat penting bagi teorisasi tentang tahap-tahap perkembangannya.

Pengertian yang umum diterima tentang kapitalisme adalah sebagai modus produksi yang bertumpu pada produksi komoditas melalui komoditas sehingga mewujudkan abstraksi atas nilai dalam rupa modal. Apa yang ditunjukkan oleh definisi minimal itu ialah keberadaan kerja-upahan (wage-labour), yang tak lain adalah barang dagangan, yang menjadi basis dari produksi barang dagangan. Asumsi dari kerja-upahan adalah separasi antara pekerja dan sarana kerja. Dengan itu mau dinyatakan bahwa hanya dalam kapitalisme lah kerja manusia secara merata menjadi komoditas tenaga kerja, di mana sang pekerja tak memiliki sarana kerja apapun selain tenaga kerjanya—sesuatu yang tak terjadi pada masa feodal di mana keberadaan pekerja-pemilik masih jamak dijumpai (mulai dari pengrajin dalam gilda, sampai dengan petani-pemilik lahan). Mekanisme ‘produksi komoditas melalui komoditas’ inilah yang memungkinkan terjadinya akumulasi nilai komoditas dalam rupa modal. Ketika terjadi mekanisme swaproduksi nilai (produksi komoditas melalui komoditas), saat itulah juga terwujud akumulasi modal. Kapitalisme dimulai dari titik itu.

Akan tetapi, seperti akan kita saksikan nanti, perdebatan tentang kemunculan kapitalisme akan memproblematisasi lebih lanjut definisi minimal di muka. Tulisan pendek ini akan mengupas perdebatan yang ada tentang sejarah lahirnya kapitalisme, khususnya yang terjadi antara Maurice Dobb dan Paul Sweezy, untuk kemudian mencatat beberapa elemen penting yang mesti diperhitungkan dalam setiap analisis tentang formasi awal kapitalisme.

 

Seputar Debat tentang Transisi dari Feodalisme ke Kapitalisme

Pada tahun 1950 terjadi perdebatan besar yang dimuat di jurnal Science and Society, tentang transisi historis dari feodalisme ke kapitalisme. Setiap analisis tentang kemunculan kapitalisme sampai hari ini, kerap kembali pada pokok-pokok utama perdebatan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk dipaparkan di sini perdebatan itu berlangsung. Perdebatan itu—yang kemudian dikenal sebagai ‘Debat Transisi’ (Transition Debate)—diawali dengan kritik ekonom Amerika Serikat, Paul Sweezy, atas buku kajian sejarah kapitalisme yang ditulis oleh ekonom Inggris, Maurice Dobb. Di sini kita akan melihat terlebih dahulu posisi dasar Dobb, untuk kemudian memeriksa kritik Sweezy serta kelanjutan dari perdebatan ini dalam dekade-dekade kemudian.

 

Paradigma Produksi Maurice Dobb

Dalam bukunya yang berjudul Studies in the Development of Capitalism (1946), Dobb menjelaskan transisi dari modus produksi feodal ke modus produksi kapitalis berdasarkan paradigma Marxian yang pada umumnya diterima. Paradigma dasar itu adalah paradigma produksi, bahwa ciri dasar dari kapitalisme atau modus produksi kapitalis terletak dalam ranah produksi. Bagi Dobb, ciri dasar tidak terletak pada bentuk teknologi tertentu dalam produksi ataupun model perdagangan bebas, melainkan pada bentuk relasi sosial produksi yang khas. Relasi sosial produksi yang menjadi definisi dasar kapitalisme itu adalah relasi kerja-upahan (wage-labour).[1] Persyaratan historis bagi terciptanya sistem umum kerja-upahan ini adalah apropriasi sarana produksi oleh sebuah kelas yang mengakibatkan hilangnya akses kelas-kelas yang lain terhadap produksi selain melalui penjualan atas tenaga-kerjanya. Dalam paradigma ini, karenanya, kapitalisme tidak identik dengan laissez-faire atau sistem perdagangan bebas (free enterprise), melainkan dengan sistem produksi komoditas yang berbasiskan pada relasi kerja-upahan.

Konsekuen dengan paradigma yang dipakainya ini, Dobb tidak menempatkan awal-mula kapitalisme pada periode merkantilisme. Keberadaan hubungan dagang internasional tidak memadai untuk mencirikan sebuah bangunan ekonomi tertentu sebagai kapitalis atau tidak. Ia, misalnya, menolak pandangan sejarawan Henri Pirenne yang mengasalkan kemunculan kapitalisme pada abad ke-12 dengan formasi kekuatan dagang Belanda. Menurut Dobb, kelas pedagang bukanlah leluhur dari kelas kapitalis sebab kelas pedagang pada dasarnya hanya menduduki status intermedier, sebagai broker, antara kelas feodal dan rakyat jelata, antara konsumen dan produsen.[2] Dalam kondisi seperti itu, kelas pedagang akan justru cenderung mempertahankan relasi produksi yang ada, yakni relasi produksi feodal, ketimbang mengubahnya secara radikal.[3]

Modus produksi kapitalis, bagi Dobb, terbentuk untuk pertama kalinya di Inggris. Ada dua momen dasar yang disebutnya: periode revolusi politiko-legal yang mengubah relasi produksi dan periode revolusi teknik yang mentransformasi tenaga produktif. Periode revolusi politiko-legal tersebut terjadi mulai akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 yang ditandai dengan tuntutan penghapusan undang-undang merkantilis yang mensahkan monopoli dan memuncak dalam revolusi Cromwell dan fase Restorasi sesudahnya. Pengesahan hukum pengalih-fungsian lahan (Enclosure Law) pada abad ke-17 dan ke-18 adalah contoh yang sempurna bagi periode ini. Melalui hukum ini, pemilikan lahan kecil-kecilan oleh para petani Inggris dihapuskan dan digantikan dengan ladang pertanian dan pembiakan domba yang dimiliki oleh tuan tanah besar.[4] Para petani-pemilik kemudian bertransformasi menjadi pekerja-upahan yang bekerja pada para tuan tanah tersebut atau urbanisasi ke kota. Periode revolusi teknik dimulai dengan Revolusi Industri pada abad ke-19 dengan diperkenalkannya tenaga produktif baru, yakni mesin uap sebagai sarana produksi yang sangat efisien. Melaluinya terciptalah hubungan kerja buruh-majikan yang modern. Revolusi politiko-legal abad ke-18 menyediakan prasyarat bagi terciptanya modus produksi kapitalis dalam arti penuh sebagaimana yang mengemuka melalui revolusi teknik abad ke-19.

Dalam modus produksi feodal, unit produksi yang terdasar adalah pekerja-pemilik, yakni para petani dan pengrajin (artisan) yang memiliki sarana produksi mereka sendiri. Kontribusi pekerja-pemilik ini terhadap totalitas ekonomi nasional terwujud melalui obligatory labour atau porsi kerja tertentu yang dialokasikan untuk menggarap lahan milik bangsawan feodal atau tuan tanah lokal tempatnya hidup. Porsi kerja ini merupakan kewajiban seorang ‘hamba’ (serf) pada tuannya yang memberikannya perlindungan keamanan. Itulah sebabnya modus produksi feodal dikatakan berbasis pada ‘perhambaan’ (serfdom).

 

Paradigma Sirkulasi Paul Sweezy

Lewat artikelnya yang diterbitkan dalam jurnal Science and Society pada tahun 1950, Sweezy mengritik model transisi Dobb. Sweezy memperlihatkan bahwa pengertian atas feodalisme yang hanya dibatasi oleh keberadaan kerja perhambaan saja tidak memadai. Ia mengutip salah satu surat Engels kepada Marx yang menyatakan, kerja-wajib dan perhambaan bukanlah fenomena khas feodalisme karena hal itu sudah terdapat dalam masyarakat pastoral yang secara historis mendahului keberadaan feodalisme itu sendiri.[5] Sebabnya, bagi Sweezy, Dobb memandang feodalisme secara terisolasi—seolah-olah memadai untuk mengenali modus produksi sebuah era berdasarkan analisis terpisah atas perekonomian nasional dan tidak menempatkannya dalam hubungan dengan perekonomian regional maupun dunia yang mensituasikannya.[6]

Mengatasi kelemahan definisi Dobb tersebut, Sweezy mengajukan definisinya sendiri tentang modus produksi feodal. Baginya, faktor pembeda modus produksi feodal dan modus produksi kapitalis terletak pada orientasi produksinya: apabila produksinya secara umum diarahkan pada penggunaan langsung maka itu dapat disebut modus produksi feodal, sementara jika produksinya diarahkan pada perdagangan maka itu disebut modus produksi kapitalis.[7] Artinya, menurut Sweezy, yang perlu dipelajari adalah ‘proses di mana perdagangan menciptakan sebuah sistem produksi untuk pasar dan kemudian implikasinya terhadap sistem produksi feodal yang didasarkan pada produksi untuk penggunaan’ (le processus par lequel le commerce a engendré un système de production pour le marché, puis de suivre son impact sur le système féodal de production pour l’usage).[8] Kapitalisme, dalam paradigma ini, adalah sistem produksi untuk pertukaran, atau produksi untuk laba, sementara feodalisme adalah sistem produksi yang difungsikan untuk menjaga subsistensi. Karena pengandaian itulah kemudian Sweezy melihat peran sentral yang dimainkan oleh perdagangan internasional dalam membawa logika subsistensi feodal sampai kepada batasnya. Intensitas perdagangan yang eksternal terhadap rezim feodal di tiap-tiap kerajaan membuat ideal subsistensi tak lagi memadai dan karenanya dimulailah pergeseran dalam memandang persoalan ekonomi sebagai persoalan pengejaran laba.

Berkebalikan dengan Dobb yang mencari akar kontradiksi feodalisme dan sebab-sebab transisionalnya ke kapitalisme di dalam aspek internal dari feodalisme, Sweezy mencarinya di dalam aspek yang eksternal terhadap feodalisme. Aspek eksternal itu tak bisa hanya dicari di negeri-negeri feodal Eropa Barat saja melainkan mesti ditinjau dalam kaitannya dengan dunia.[9] Tautan internasional ini mengemuka dalam rupa perdagangan. Berlawanan dengan Dobb yang kesulitan mendeskripsikan periode krusial dalam transisi dari feodalisme ke kapitalisme—antara abad ke-15 dan 16—selain sebagai momen antara yang ‘bukan feodal maupun kapitalis’(ni féodaux ni capitalistes), Sweezy mampu mengkarakterisasi model produksi periode tersebut, yakni sebagai ‘suatu produksi komoditas pra-kapitalis’ (une production marchande precapitaliste).[10] Dalam periode ini, telah terjadi generalisasi produksi komoditas dalam masyarakat: barang diproduksi tak lagi untuk nilai-pakainya semata melainkan untuk nilai-tukarnya. Kebutuhan akan nilai-tukar berarti kebutuhan akan perdagangan. Artinya, di sini Sweezy menegaskan bahwa sebuah modus produksi tak dapat dikaji hanya dalam aspek produksinya saja melainkan juga mesti menghitung konteks sirkulasinya.[11]

 

Bersambung ke bagian 2

 

Catatan redaksi: Tulisan berikut, dan bagian keduanya, adalah makalah lama yang pernah dipresentasikan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Pacivis di Universitas Indonesia.

 



[1] ‘Thus Capitalism is not simply a system of production for the market—a system of commodity-production as Marx termed it—but a system under which labour-power had “itself become a commodity” and was bought and sold on the market like any other object of exchange.’ Maurice Dobb, Studies in the Development of Capitalism (London: Routledge), 1950, hlm. 7.

[2] ‘[W]hile a rulling class, whether of slave-owners or feudal lords, may take into trading or enter into a close alliance with traders, a merchant class, whose activities are essentially those of intermediary between producer and consumer, is unlikely to strive to become a dominant class in quite that radical and exclusive sense of which we were speaking a moment ago.’ Ibid., hlm. 17.

[3] ‘Since its fortune will tend to be bound up with the existing mode of production, it is more likely to be under an inducement to preserve that mode of production than to transform it.’ Ibid., hlm. 17-18.

[4] Lih. Douglas Dowd, Capitalism and its Economics: A Critical History (London: Pluto Press), 2004, hlm. 20-21.

[5] ‘Ainsi, Engels, dans l’une de ses dernières lettres à Marx, écrit : « Certainement le servage et l’assujettissement à la corvée ne sont pas une forme spécifiquement (spezifisch) médiévale et féodale, nous la rencontrons partout, ou presque partout, où le conquérant fait cultiver la terre à son compte par les anciens habitants. »’ Paul Sweezy, Une critique dalam Maurice Dobb dan Paul Sweezy (ed.), Du féodalisme au capitalisme: problèmes de la transition I diterjemahkan oleh Florence Gauthier dan François Murray (Paris: François Maspero), 1977, hlm. 46.

[6] Lih. ibid., hlm. 54.

[7] Ibid., hlm. 57.

[8] Loc.cit.

[9] ‘[L]e système féodal n’a pas de dynamique interne et […]il faut chercher sa dynamique en dehors du système. (Je présume que cela se passe de cette façon dans tous les systèmes féodaux, et pas seulement en Europe occidentale, mais cela est en dehors de notre sujet.)’ Paul Sweezy, Riposte dalam ibid., hlm. 152.

[10] Paul Swezzy, Une critique dalam ibid., hlm. 68.

[11] Sweezy mengutip Kapital I Marx: ‘La circulation des marchandises est le point de départ du capital. Il n’apparaît que là où la production marchande et le commerce ont déjà atteint un certain degré de développement. L’histoire moderne du capital date de la création du commerce et du marché des deux mondes au XVI siècle.’ Ibid., hlm. 69.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.