Marxisme dan Ketuhanan Yang Maha Esa

Print Friendly, PDF & Email

PADA kesempatan ini, kita akan berteologi. Kita akan membangun suatu model teologi yang secara inheren berciri Marxis. Dan apa yang saya maksudkan bukanlah semacam perumusan ulang atas ‘teologi pembebasan’ para pastor revolusioner dari Amerika Latin. Kita perlu menaruh hormat pada mereka, tetapi sayang sekali kita tidak akan membahasnya di sini. Teologi pembebasan, kendati memiliki kegunaan emansipatoris (berguna, misalnya, sebagai sarana mobilisasi massa Kristiani demi tujuan-tujuan emansipasi revolusioner), tetaplah pada hitungan terakhir merupakan teologi dalam pengertiannya yang eksternal terhadap Marxisme, yakni teologi sebagaimana lazimnya yang melibatkan akhirat, dosa dan segala macam kredo biblikal terhadap yang transenden. Apa yang ingin saya upayakan di sini, sebaliknya, adalah membidani suatu teologi yang dilahirkan dari dalam rahim Marxisme sendiri—dibuahi oleh materialisme historis, dikandung oleh materialisme dialektis.

marxismedanketuhanan00

Orang yang skeptis akan segera memotong: untuk apa kaum Marxis berteologi? Bukankah bagi Marx agama itu candu? Bagaimana mungkin materialisme historis dan materialisme dialektis mengakomodasi teologi? Segala pertanyaan skeptis tentang teologi Marxis dapat dipilah menjadi dua jenis: pertama, berkaitan dengan konsistensinya terhadap pemikiran Marx yang ‘ateistik’ dan ilmiah; kedua, berkenaan dengan kegunaannya bagi praxis emansipasi. Kita akan mengupasnya mulai dari yang pertama.

Penerimaan atas Marxisme tidak mensyaratkan penolakan total atas agama. Artinya, Marxisme tidak mengharuskan kita untuk menganut ateisme. Apa yang ditolaknya adalah konsepsi tertentu tentang Tuhan, yakni konsepsi realis ante rem tentangnya. Realisme ante rem tentang Tuhan merupakan pengakuan atas keberadaan substansi imaterial yang terpisah atau transenden dari alam semesta sebagai substansi material. Pandangan macam itu menuntut kita menganut dualisme substansi (mengakui adanya substansi material dan imaterial) yang sukar direkonsiliasikan dengan semangat ilmiah dari Marxisme. Sebabnya, semangat ilmiah sains modern yang menjadi dasar Marxisme, berpegang pada konsepsi realisme in re, yakni pengertian bahwa segala yang imaterial hanya mungkin terlembagakan sebagai sifat (property) dari substansi material. Oleh karenanya, pengertian ante rem (transenden) tentang Tuhan, yang lazimnya terdapat dalam agama-agama wahyu, tidak konsisten dengan Marxisme. Namun pengertian semacam itu bukanlah satu-satunya pengertian yang bisa direkonsiliasikan dengan ajaran agama-agama wahyu. Kita bisa juga menganut agama-agama wahyu sembari menjadi Marxis dengan cara bersikap fiksionalis terhadap keberadaan Tuhan. Fiksionalisme dalam arti ini adalah pandangan bahwa Tuhan, sebagai substansi immaterial, ada sejauh dinyatakan demikian dalam narasi religius tertentu, dan tidak ada di luarnya. Artinya, Tuhan ada sebagai entitas kultural, yakni objek yang dinyatakan keberadaannya oleh konvensi sosio-kultural tertentu, atau sebagai entitas mental, sebagai objek kepercayaan. Ini adalah semacam ateisme yang lunak: suatu sikap ateistik yang diplomatis.

Namun persoalannya, menganut fiksionalisme semacam itu berarti memangkas sejumlah besar ciri emansipatoris agama yang sebetulnya berguna bagi Marxisme. Realisme ante rem tentang dunia akhirat (surga-neraka), misalnya, merupakan kritik tak langsung atas kontradiksi dunia aktual. Apabila baik orang yang bersikap eksploitatif semasa hidupnya di dunia ini maupun orang yang tertindas sama-sama tak memiliki kehidupan setelah kematian – tidak mendapat ganjaran atau balasan atas perbuatan selama hidupnya – maka tentu semua orang akan memilih untuk bersikap eksploitatif. Distingsi teologis tentang surga-neraka, karenanya, merupakan kritik atas pembagian sosial antara kaum tertindas dan penindas dalam dunia aktual. Makanya, realisme ante rem tentang Tuhan mengandung aspirasi emansipatoris yang berharga. Semangat itu tidak tergantikan apabila kita menganut fiksionalisme. Sebabnya, dengan bersikap fiksionalis, dunia akhirat hanya ada dalam fiksi religius yang bebas mau dipercayai atau tidak sesuai kepentingan pragmatis kita di dunia. Artinya, dilihat dari kegunaannya bagi praxis emansipasi Marxian, realisme ante rem lebih berguna ketimbang fiksionalisme, sebab realisme semacam itu menunjukkan bahwa dunia lain itu mungkin (another world is possible) dan bahwa dunia aktual ini mengandung kontradiksi.

Pertanyaannya kemudian: mungkinkah kita merakit suatu model ketuhanan yang selaras dengan semangat ilmiah Marxisme, tetapi sekaligus juga menyimpan muatan emansipatoris? Saya rasa kunci jawabannya ada pada upaya merumuskan bidang abu-abu yang terletak di antara realisme ante rem dan fiksionalisme. Apa yang tidak kita butuhkan dari realisme ante rem adalah gagasan tentang substansi imaterial yang transenden, dan apa yang tidak kita perlukan dari fiksionalisme adalah gagasan bahwa dunia lain yang mungkin hanyalah fiksi yang diyakini tergantung keperluan. Solusinya terletak pada realisme in re yang menjadi ciri dasar Marxisme itu sendiri. Ada dua pertanyaan utama yang mesti dijawab oleh solusi tersebut:

  1. Mungkinkah kita merancang suatu teologi materialis?
  2. Apakah teologi tersebut berciri emansipatoris?

Saya akan berpendapat bahwa kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab secara afirmatif. Paparan berikut akan menjawab kedua pertanyaan di muka.

Di manakah tempat bagi Tuhan dalam materialisme, dalam konsepsi tentang kenyataan dimana segala yang ada hanya mungkin ada sebagai substansi material atau sebagai sifat-sifat imaterial yang terlembagakan pada substansi material? Dalam kenyataan seperti itu, segalanya terhubung secara kausal. Adanya manusia disebabkan oleh komposisi kimiawi planet Bumi. Adanya planet Bumi disebabkan oleh distribusi partikel pasca-Big Bang. Dalam konsepsi materialis, semesta fisik ini ‘abadi:’ ia bermula dari ledakan besar, berakhir pada penyusutan (Big Crunch) yang memicu ledakan besar yang baru. Apa yang kita sebut waktu hanyalah fungsi dari sifat-sifat semesta fisik itu. Waktu bermula dari ledakan besar, berakhir pada penyusutan, dan bermula kembali pada ledakan besar yang baru. Ruang dan waktu hanyalah fungsi dari distribusi materi dan sifat-sifatnya. Semesta fisik ini tak terhingga, dalam arti yang serupa dengan suksesi bilangan tak hingga dalam model himpunan Georg Cantor. Lantas di manakah letak Tuhan di hadapan ketakhinggaan semesta fisik ini?

Saya berpendapat bahwa seorang materialis dapat mempercayai Tuhan sebagai totalitas kemungkinan dan ketakmungkinan distribusi sifat dalam semesta fisik. Apabila Leibniz berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta kita sebagai semesta yang terbaik dari segala semesta yang mungkin, saya berpendapat bahwa Tuhan tidak lain daripada keseluruhan kemungkinan dan ketakmungkinan semesta itu sendiri. Tuhan adalah keseluruhan dunia yang mungkin dan tak mungkin. Namun apa artinya ‘dunia-dunia yang mungkin’ (possible worlds) dan ‘dunia-dunia yang tak mungkin’ (impossible worlds)? Dunia yang mungkin adalah, misalnya, dunia dimana Revolusi Industri tidak terjadi, planet Bumi tak pernah ada, atau gajah bisa terbang. Dunia yang tak mungkin adalah, misalnya, dunia dimana 2 + 2 = 15, atau dunia dimana proposisi ‘A = B’ adalah benar sekaligus salah. Apabila kita membayangkan himpunan yang beranggotakan seluruh dunia semacam itu, maka himpunan itulah yang saya sebut sebagai Tuhan.

Dengan demikian, bagi seorang materialis, letak Tuhan adalah pada ruang logis (logical space). Ini adalah ruang yang diakses oleh logika. Aparatus logika dapat membahasakan seluruh dunia yang mungkin dan tidak mungkin (misalnya melalui logika dialetheis/dialektis dan nilai-jamak). Benar bahwa metode komputasi logika yang kita miliki saat ini (metode tabel kebenaran atau pohon logika) masih sangat terbatas dan tak mampu mengkalkulasi benar/salahnya seluruh proposisi tentang semua dunia yang mungkin dan tak mungkin. Namun ini adalah masalah teknis yang berkait soal kemajuan teknologi dan tidak secara a priori menutup kemungkinan bagi komputasi logis tersebut. Dalam arti ini, kita dapat membayangkan Tuhan secara materialis sebagai suatu super-komputer yang mampu menghitung semua permutasi logis dari proposisi yang mungkin dan tak mungkin.

Walaupun totalitas kemungkinan dan ketakmungkinan itu belum mungkin kita daftar satu per satu, setidaknya kita bisa membuat semacam pemetaan atas jenis-jenis ruang logis tersebut. Kita dapat membuat taksonominya sebagai berikut:

  1. Dalam bentuknya yang paling luas, terdapat Tuhan sebagai himpunan kemungkinan dan ketakmungkinan. Ini dapat dinyatakan lewat logika dialetheis/dialektis dan nilai-jamak. Sebut saja himpunan ini sebagai dunia T.
  2. Sebagai bagian dari T, terdapat himpunan kemungkinan logis: himpunan semua yang mungkin dipikirkan secara logis dan tidak berlawanan dengan logika Klasik (dengan asas non-kontradiksi dan pengecualian nilai-tengah). Sebut saja himpunan ini sebagai dunia K.
  3. Sebagai bagian dari K, terdapat himpunan kemungkinan fisik: himpunan semua yang mungkin terjadi dalam alam semesta fisik dan tidak berlawanan dengan hukum-hukum alamnya. Sebut saja himpunan ini sebagai dunia F.
  4. Sebagai bagian dari F, terdapat himpunan dunia aktual: himpunan kenyataan yang merupakan dunia aktual yang kita hidupi sekarang. Sebut saja himpunan ini sebagai dunia A.

Empat jenis dunia ini tersusun secara hierarkis. Semua anggota A merupakan anggota F, semua anggota F ialah anggota K, dan semua anggota K adalah anggota T. Dalam rumusan teori himpunan, hubungan hierarkis antar tipe dunia ini dapat dirumuskan melalui stratifikasi bagian (subset) seperti berikut:

marxismedanketuhanan01

Ilustrasi yang lebih gamblang dari stratifikasi ini dapat digambarkan melalui diagram berikut ini.

marxismedanketuhanan02

Melalui diagram tersebut, terlihat bahwa dunia aktual yang kita hidupi sekarang, katakanlah , bukanlah satu-satunya dunia aktual yang mungkin, apabila dibandingkan baik dengan dunia-dunia aktual lain, dengan dunia-dunia fisik lain, maupun dunia-dunia logis lain. A¹ adalah dunia kita sekarang dimana kapitalisme merajalela dan nampak niscaya. Tetapi itu bukan satu-satunya dunia aktual yang mungkin berdasarkan kondisi fisik —katakanlah kondisi fisik dimana ada planet Bumi dan hal-hal yang diperlukan bagi adanya manusia. Terdapat dunia , misalnya, dimana kapitalisme sudah tumbang di awal abad ke-21, digantikan dengan sosialisme. Oleh karena  mungkin, maka kapitalisme tidak niscaya dalam —ia tidak bersifat kodrati, melainkan kontinjen. Konsekuensinya, perjuangan melawan kapitalisme atas nama sosialisme dan komunisme di , bukanlah perjuangan yang sia-sia atau niscaya gagal. Singkatnya, melalui diagram yang menggambarkan hubungan stratifikasi bagian tersebut, kita tahu secara logis bahwa another world is possible. Hal ini kita capai tanpa mempostulatkan keberadaan surga/neraka yang transenden. Apa yang kita perlukan hanya konsepsi tentang Tuhan sebagai totalitas kemungkinan dan ketakmungkinan yang dapat disusun secara taksonomis melalui logika. Dengan memungkinkan pengertian tentang dunia alternatif, model ketuhanan seperti ini jelas berciri emansipatoris dan karenanya berguna bagi praxis emansipasi Marxian.

Pada puncaknya, teologi materialis dimungkinkan sebagai logika. Teologi, dalam arti ini, adalah logika tentang kemungkinan dan ketakmungkinan (modal logic). Tetapi tidakkah ini mengharuskan kita mempostulatkan ruang logis sebagai suatu ranah supra-material? Diskursus materialis per se hanya mengizinkan pembicaraan pada taraf A dan F, tidak sampai K dan T. Jika begitu, mengapa model ketuhanan di muka, yang jelas mencakup K dan T, saya sebut berciri materialis? Hal itu berciri materialis sebab mempostulatkan ranah K dan T tidak berlawanan dengan materialisme. Klaim dasar materialisme mengatakan bahwa semua sifat, sejauh terlembagakan, mestilah terlembagakan dalam semesta fisik. Ada dua hal yang ditolaknya: (1) bahwa ada substansi imaterial; (2) bahwa ada pelembagaan sifat di luar semesta fisik. Jadi materialisme tidak menolak keberadaan sifat-sifat yang tak terlembagakan itu sendiri. Sifat-sifat yang tak terlembagakan itu bisa ada sebagai entitas abstrak yang keberadaannya dipostulatkan melalui rekonstruksi logis (secara abduktif) atas sifat-sifat yang terlembagakan. Tuhan adalah ujung dari rekonstruksi tersebut. Karenanya, penerimaan atas Marxisme yang materialistik tidak meniscayakan penolakan atas Tuhan. Hanya konsepsi realisme ante rem tentangnya yang perlu ditolak, sembari menyelamatkan konsepsi realisme in re yang baru saja dipaparkan.

Melalui teologi materialis alias logika ini, nampak juga bagaimana materialisme historis dapat dijangkarkan. Proposisi bahwa basis material mengondisikan suprastruktur kultural, dapat dijustifikasi berdasarkan fakta bahwa dunia fisik yang mungkin yang terlembagakan sebagai dunia kita adalah dunia . Dalam , terdapat distribusi partikel yang sedemikian rupa, sehingga modus realisasi kehidupan bertopang pada modus keberadaan material. Karena adalah konteks dari dunia aktual kita, dunia , maka materialisme historis menjadi benar dalam . Dengan kata lain, materialisme historis benar karena itu merupakan keniscayaan fisik dari dunia . Materialisme historis tidak benar dalam F^4, di suatu semesta fisik dimana planet Bumi tak pernah ada. Hal ini tidak menjadi masalah sebab kita tahu bahwa kita tak hidup di dalam kondisi seperti yang dinyatakan dalam F^4. Apa yang disyaratkan oleh Marxisme hanyalah bahwa materialisme historis benar dalam kondisi semesta fisik yang relevan.

Kita sudah menjawab dua pertanyaan utama kita. Teologi materialis dimungkinkan sebagai logika dan hal ini berguna bagi praxis emansipasi Marxian karena memberikan justifikasi logis bagi emansipasi. Orang yang belum puas akan solusi rekonsiliasi Marxisme dan Tuhan ini dapat bertanya: lalu di manakah letak iman dalam teologi materialis ini? Bukankah sikap religius dicirikan oleh keimanan atas sesuatu yang tak sepenuhnya diketahui secara kognitif? Tidakkah dengan menjatuhkan teologi pada logika, kita justru membuang aspek yang krusial dari sikap religius?

Menurut hemat saya, dalam teologi materialis macam ini, iman tetap dimungkinkan. Saya akan kembali pada pengertian Plato tentang pengetahuan: apa yang disebut pengetahuan adalah keyakinan yang terjustifikasi dan benar (justified true belief). Dari situ bisa dilihat bahwa iman atau keyakinan adalah sebagian dari pengetahuan. Beriman adalah sikap dari orang yang belum sepenuhnya tahu. Kalau ini yang dimaksud dengan beriman, maka logikawan paling handal saat ini pun pasti beriman. Sebab, seperti telah ditunjukkan, kendati logika dapat memetakan secara garis besar taksonomi ketuhanan (taksonomi kemungkinan dan ketakmungkinan), tetapi metode kalkulasi atas semua proposisi yang menyatakan kemungkinan dan ketakmungkinan itu sampai hari ini masih amat jauh dari sempurna. Dengan menggunakan metode tabel kebenaran, misalnya, kita memerlukan  2^n baris untuk menghitung benar/salahnya sebuah proposisi dengan n peubah. Kemampuan komputer modern mampu menghitung satu juta baris per detik. Apabila n itu berjumlah 80, maka kita memerlukan waktu 2^80 mikrodetik (1 mikrodetik =  1/1000000 detik) untuk menghasilkan tabel kebenaran yang lengkap yang dapat menguji semua permutasi benar/salahnya setiap peubah dalam proposisi tersebut. Sayangnya,  2^80 mikrodetik itu ekuivalen dengan 38 milyar tahun, yakni lebih dari dua kali lipat usia alam semesta kita sekarang (sekitar 15 milyar tahun). Problem ini dikenal dalam khazanah ilmu komputer teoretis sebagai problem ‘P versus NP’ (lih. Enderton, A Mathematical Introduction to Logic, h. 26). Karena kita tak sepenuhnya tahu metode penghitungan logis yang efisien dan akurat, maka kita beriman pada totalitas yang mungkin dan tak mungkin dalam ruang logis. Karena iman adalah awal-mula pengetahuan, maka dengan mencari tahu lebih, dengan membangun sains yang lebih akurat, kita mewujudkan iman kita dalam tindakan.

Maka inilah kredo iman materialis:

‘Aku percaya akan Tuhan, himpunan dunia yang mungkin dan tak mungkin;
yang ditemukan secara logis dari rekonstruksi atas sifat semesta fisik;
yang hanya dapat disembah dengan cara dipikirkan dan diketahui;
yang mewujud-nyata sebagai hukum fisika
dan tampil sebagai tendensi gerak sejarah sosial
yang disebut materialisme historis:
kebertopangan yang-mental pada yang-material.
Amin.’

 

16 Desember 2013

Catatan redaksi: ^ = pangkat.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.