Kegembiraan Politik dan Kerja Bakti Politik
KAPANKAH politik menjadi ajang kegembiraan rakyat banyak? Sejak Orde Baru, kita telah dibiasakan dengan politik yang tak ideologis, politik suam-suam kuku. Urusan politik dibuat jadi
HomeLogika
KAPANKAH politik menjadi ajang kegembiraan rakyat banyak? Sejak Orde Baru, kita telah dibiasakan dengan politik yang tak ideologis, politik suam-suam kuku. Urusan politik dibuat jadi
PERDEBATAN tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) kembali marak belakangan ini. Tak pelak lagi, salah satu sebabnya adalah karena dalam momentum
ADA seribu satu argumen menolak fasisme. Namun apa yang sering mencuat adalah argumen berbasis pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam kerangka argumen ini, fasisme keliru karena
SECARA material, politik adalah perkara formasi, administrasi dan justifikasi pembagian kerja masyarakat dalam kerangka pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Administrasi masyarakat dalam rupa negara adalah salah
JOKO: War, kau masih ingat, sudah berapa lama kita berada di sini? Anwar: Wah, sejak kapan ya? Kayanya sudah dari sononya kita di sini. Mungkin
‘SETIAP manusia, secara kodrati, ingin tahu,’ tulis Aristoteles dalam risalah Metafisika. Keingintahuan merupakan kodrat manusia sebagai spesies biologis yang mengembangkan nalarnya guna menghadapi kondisi eksternal
Adakah bahasa yang terpadu untuk semua cabang kesenian? Inilah pertanyaan kita kali ini. Faktanya, setiap cabang seni memiliki bahasa sendiri. Seni rupa memiliki bahasa rupa, seni musik memiliki bahasa nada dan ritme, demikian pula seni sastra, pertunjukan dan film memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Sekilas seperti tak ada bahasa yang cukup seragam untuk menerjemahkan ekspresi estetik dari satu cabang kesenian ke ekspresi estetik cabang yang lain. Proses penerjemahan antar cabang seni itu, kalaupun mungkin dilakukan, lazimnya diwujudkan lewat penafsiran arbitrer seperti puisi yang ditafsirkan menjadi musik, lukisan yang ditafsirkan menjadi puisi, dan sebagainya. Penafsiran ini dikatakan arbitrer sebab baik semantik (makna) maupun sintaksis (struktur linguistik) seni itu berubah ketika diterjemahkan. Karenanya, kita dapat bertanya: adakah cara penerjemahan antar cabang seni yang lebih kurang arbitrer dibanding cara-cara tradisional?
PADA kesempatan ini, kita akan berteologi. Kita akan membangun suatu model teologi yang secara inheren berciri Marxis. Dan apa yang saya maksudkan bukanlah semacam perumusan ulang atas ‘teologi pembebasan’ para pastor revolusioner dari Amerika Latin. Kita perlu menaruh hormat pada mereka, tetapi sayang sekali kita tidak akan membahasnya di sini. Teologi pembebasan, kendati memiliki kegunaan emansipatoris (berguna, misalnya, sebagai sarana mobilisasi massa Kristiani demi tujuan-tujuan emansipasi revolusioner), tetaplah pada hitungan terakhir merupakan teologi dalam pengertiannya yang eksternal terhadap Marxisme, yakni teologi sebagaimana lazimnya yang melibatkan akhirat, dosa dan segala macam kredo biblikal terhadap yang transenden. Apa yang ingin saya upayakan di sini, sebaliknya, adalah membidani suatu teologi yang dilahirkan dari dalam rahim Marxisme sendiri—dibuahi oleh materialisme historis, dikandung oleh materialisme dialektis.
TULISAN ini merupakan catatan tentang politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang dimainkan Goenawan Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Dalam tulisan ini, saya akan (1) menguraikan data-data baru tentang tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari penelusuran saya secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis eksistensialisme Camus, (3) menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia, dan (4) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965.
DALAM kehidupan sehari-hari kita, sering kita jumpai ungkapan-ungkapan yang telah sarat percabangan makna: kebebasan, keadilan, efisiensi, kebaikan, perdamaian, kemanusiaan, dsb. Ungkapan-ungkapan semacam itu lazim digunakan dalam percakapan kebudayaan, ekonomi, politik, hingga moral. Dalam perdebatan Marxisme, misalnya, para pengritik sering melayangkan tuduhan bahwa Marxisme memberangus ‘kebebasan.’ Model perekonomian terpimpin kerap dikritik sebagai tata ekonomi yang tak memungkinkan perwujudan ‘efisiensi.’ Contoh lain, dalam perbincangan kebudayaan, kita kerap mendengar seni mesti menjunjung tinggi ‘kemanusiaan.’ Namun, pada saat yang bersamaan, ungkapan-ungkapan tersebut dapat digunakan dalam arti yang sepenuhnya berlainan. Seorang Marxis, misalnya, dapat menyanggah para kritikusnya dengan menyatakan bahwa Marxisme justru memungkinkan ‘kebebasan’ riil bertumbuh-kembang, sejauh ‘kebebasan riil’ itu diartikan sebagai kemampuan masyarakat dalam menentukan tindakan kolektifnya tanpa dikerangkeng dalam segregasi kelas dalam perekonomian kapitalis. Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan semacam itu mesti diklarifikasi secara persis maknanya agar perdebatan kita tidak jatuh ke dalam debat kusir semata (verbal dispute). Alih-alih memberikan klarifikasi historis-konseptual satu demi satu atas ungkapan-ungkapan yang berbeda itu, alangkah baiknya bila kita punya satu metode umum untuk menganalisisnya. Tulisan kali ini adalah tentang ‘program analisis konseptual,’ yang pada hemat saya dapat dirancang untuk menangani ungkapan-ungkapan sejenis itu secara ketat.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.