Marxisme dan Sintaksis Seni Terpadu

Print Friendly, PDF & Email

ADAKAH bahasa yang terpadu untuk semua cabang kesenian?[1] Inilah pertanyaan kita kali ini. Faktanya, setiap cabang seni memiliki bahasa sendiri. Seni rupa memiliki bahasa rupa, seni musik memiliki bahasa nada dan ritme, demikian pula seni sastra, pertunjukan dan film memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Sekilas seperti tak ada bahasa yang cukup seragam untuk menerjemahkan ekspresi estetik dari satu cabang kesenian ke ekspresi estetik cabang yang lain. Proses penerjemahan antar cabang seni itu, kalaupun mungkin dilakukan, lazimnya diwujudkan lewat penafsiran arbitrer seperti puisi yang ditafsirkan menjadi musik, lukisan yang ditafsirkan menjadi puisi, dan sebagainya. Penafsiran ini dikatakan arbitrer sebab baik semantik (makna) maupun sintaksis (struktur linguistik) seni itu berubah ketika diterjemahkan. Karenanya, kita dapat bertanya: adakah cara penerjemahan antar cabang seni yang lebih kurang arbitrer dibanding cara-cara tradisional?

Namun mengapa penerjemahan itu perlu? Mengapa seni mesti terpadu? Ada banyak jawaban yang bisa diberikan. Salah satu yang bisa diberikan sebagai penjelasan adalah bahwa secara historis seni mulanya memang terpadu. Pada zaman Yunani Antik, misalnya, tidak ada perbedaan tegas antara seni dan ilmu pengetahuan—keduanya sama-sama cara manusia memahami kenyataan. Gagasan bahwa beragam seni harus diceraikan dari ilmu pengetahuan, dari teknologi, dan dari satu sama lain, adalah produk ideologi Romantik. Romantisisme menekankan yang-unik (singular) dan yang-tak terbahasakan (sublim). Dengan itu, seni hendak dimurnikan, dibersihkan dari kontaminasi keilmiahan dan kegunaan yang sejatinya turut membentuknya sejak awal mula peradaban. Dengan itu pula muncul dorongan untuk menghadirkan seni yang murni dari segala sesuatu: dari kegunaan dan kesosialan. Seakan sesuatu baru menjadi seni ketika ia kehabisan fungsi. Akibatnya adalah menyeruaknya gagasan ‘seni untuk seni’ yang kemudian berkembang dalam era kontemporer menjadi ajaran bahwa seni tidak harus menyatakan apa-apa. Autisme seni macam itu ternyata justru kondusif dengan ekspansi modal dalam sejarah abad ke-19 dan 20. Kemurnian seni seperti menjadi jaminan bagi kemahalan harganya, khususnya jika dibandingkan dengan seni kerajinan (craft) yang ‘cuma berguna’. Akar doktrin ‘seni untuk seni’, karenanya, terletak pada pemisahan tegas antar cabang seni dan antara seni dan ilmu pengetahuan. Maka itu, penolakan atas doktrin tersebut mensyaratkan upaya untuk merumuskan seni terpadu. Itulah yang akan saya coba lakukan lewat pencarian bahasa seni yang terpadu.

Dalam sebuah tulisan beberapa waktu yang lalu (https://indoprogress.com/2013/10/empat-pertanyaan-bagi-sastra/), saya pernah mengindikasikan bahwa puisi dapat diterjemahkan ke dalam sebuah bahasa formal yang lazim digunakan dalam logika filosofis, matematika dan ilmu pemrograman, yakni bahasa kalkulus predikat. Mungkinkah hal yang sama juga diterapkan pada setiap cabang seni yang lain? Jika ya, maka kita menemukan kerangka bahasa yang terpadu antar cabang seni, sehingga ekspresi estetik cabang seni yang satu dapat diterjemahkan ke ekspresi estetik cabang seni yang lain. Dengan itu, kita menemukan cara penerjemahan antar cabang seni yang lebih kurang arbitrer. Inilah yang akan coba dibuktikan dalam paparan berikut. Saya akan menunjukkan bahwa terdapat sintaksis seni yang terpadu. Kendati begitu, di sini saya tidak akan mengklaim bahwa terdapat semantik seni yang terpadu.

Sintaksis seni terpadu itu akan dirumuskan secara formal melalui seperangkat aksioma dan teorema-teorema turnannya berikut.

I.         Aksioma I: Aksioma Keterpaduan Sintaksis: untuk setiap cabang kesenian, terdapat struktur sintaksis yang padu dalam rupa kalkulus predikat dengan semua perluasannya (teori himpunan, logika modal, dan sebagainya) dan landasannya (logika proposisional).

SeniTerpadu01

    II.         Aksioma II: Aksioma Kebertopangan Semantik: makna ungkapan dari setiap cabang kesenian (kata, rupa dan nada) bertopang pada semantik yang terdefinisikan pada masing-masing cabang kesenian; makna tersebut tidak diubah oleh rumusan kalkulus predikat

SeniTerpadu02

b. Teorema 6: Teorema Terjemahan Lintas Disiplin: untuk setiap karya dari semua cabang kesenian, terdapat terjemahan kalkulus predikat yang mereduksi sintaksis aslinya ke dalam sintaksis kalkulus predikat dan mempreservasi semantik aslinya sesuai dengan semantik cabang kesenian terkait.

–      Contoh: seperti telah ditunjukkan dalam Teorema 4, ada keterpaduan sintaksis antar karya seni dari semua cabang kesenian. Hanya saja, perbedaannya terletak pada makna dari peubah dan predikat. Makna tersebut dikembalikan pada semantik cabang seni masing-masing (misalnya, c bisa dijadikan peubah untuk ‘cacing’ dalam karya sastra, sementara dijadikan peubah untuk nada c dalam karya musik). Dengan begitu, pada aras sintaksis semua bahasa ungkap seni dapat direduksi, tetapi tidak demikian secara semantik.

III. Aksioma III: Aksioma Penciptaan: setiap karya seni yang mungkin diciptakan dapat diciptakan dalam bahasa kalkulus predikat dan terdapat karya seni yang tak mungkin diciptakan tetapi tetap dapat diciptakan dalam bahasa kalkulus predikat.

a. Teorema 7: Teorema Kemungkinan: terdapat kemungkinan penciptaan karya seni yang tak mungkin dan kemungkinan ini dijamin oleh rumusan tertata dengan aturan yang leluasa.

SeniTerpadu03

b. Teorema 8: Teorema Kardinal: adalah mungkin bahwa karya seni (utamanya sastra) dapat diciptakan dengan cara dirumuskan ulang maknanya secara identik melalui perombakan struktur sintaksis bahasa asli ke dalam bahasa kalkulus predikat.

SeniTerpadu04

c. Teorema 9: Teorema Ordinal: semua karya seni dapat diciptakan dengan cara dirumuskan peringkat kemunculan suatu elemen artistiknya (kata, citra dan nada) dalam bahasa kalkulus predikat yang sepenuhnya mempreservasi sintaksis dan semantiknya.

SeniTerpadu05b

Dengan bersenjatakan ketiga aksioma dan sembilan teorema tersebut, kita dapat memproduksi karya seni dari berbagai cabang seni yang berbeda dengan bahasa ungkap yang terpadu.

Beberapa catatan dapat diberikan di sini guna mengilustrasikan secara lebih jelas apa yang dimaksud lewat paparan formal di muka. Agar lebih kasat mata, saya akan menggunakan ilustrasi dalam seni rupa. Perhatikan lukisan berdimensi 6 cm x 3 cm berikut:

SeniTerpadu06

Sekarang saya akan menerjemahkannya ke dalam bahasa kalkulus predikat. Apabila dirumuskan ke dalam bahasa tersebut, maka kita memperoleh ‘lukisan’ berikut:

SeniTerpadu07

‘Lukisan’ terjemahan tersebut sama dengan lukisan aslinya, dengan mengandaikan kamus berikut: M adalah notasi untuk warna merah. Rumusan tersebut memuat sintaksis yang mempreservasi semantik lukisan aslinya. Karenanya, rumusan itu tak perlu dicetak di atas kanvas untuk menjadi lukisan. Rumusan itu adalah lukisan, dengan atau tanpa dicetak di atas kanvas, bahkan dengan atau tanpa dicetak sama sekali.

Sekarang kita akan menjajal kemampuan bahasa kalkulus predikat itu dengan mewujudkan suatu ‘lukisan’ yang tak mungkin diwujudkan secara empiris. Coba perhatikan ‘lukisan’ berikut: 

SeniTerpadu08

Bagaimana melukiskan rumusan tersebut ke dalam lukisan empiris? Hasilnya tidak akan berbeda dari lukisan pertama.

SeniTerpadu06

SeniTerpadu09

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa ada bahasa yang terpadu untuk semua cabang seni, yakni kalkulus predikat. Akan tetapi, keterpaduan itu hanya terjadi pada aras sintaksis, dan bukan semantik. Paparan ini tidak membuktikan bahwa makna suatu karya dari cabang seni yang satu dapat diterjemahkan ke dalam makna karya dari cabang seni yang lain (lih. Aksioma II atau Aksioma Kebertopangan Semantik). Paparan ini hanya membuktikan bahwa sintaksis dari suatu cabang seni dapat diterjemahkan ke dalam sintaksis cabang seni yang lain, asalkan sintaksis kedua cabang tersebut dapat direduksi ke dalam sintaksis kalkulus predikat. Kendati semantiknya berbeda-beda, sintaksis dasar antar cabang seni adalah sama. Dengan itu, kerja bersama antar cabang seni dan antara seni dan sains dapat dijalankan secara terpadu. Dengan itu juga, mitos kemurnian seni dan salah satu potensi kapitalisasinya dicampakkan ke dalam api yang menyala-nyala. Singkatnya, secara sintaksis, tidak ada yang-unik dan yang-tak terbahasakan—tidak ada fetisisme kesenian. Karya seni apapun dapat diproduksi dan direproduksi secara logis dalam medium yang satu. Seni tak lain adalah kerajinan, yakni suatu entitas yang tercipta dari penerapan yang tekun atas metode tertentu untuk menghasilkan fungsi tertentu. Seni, pada dasarnya, adalah kerja.***

 

25 Februari 2014


[1] Refleksi ini ditulis melalui dialog dengan Dirdho Adithyo, Natalia Taufik, Berto Tukan, Yovantra Arief dan Guinness.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.