1. Beranda
  2. /
  3. Logika
  4. /
  5. Page 15

Logika

Marxisme dan Matematika

TAK BANYAK orang yang tahu bahwa Marx meninggalkan manuskrip seribu lembar tentang matematika. Manuskrip itu ia tuliskan selama waktu senggang pada tahun 1881. Isinya adalah pemaparan tentang kalkulus diferensial. Proyek penulisan itu tak hanya memiliki nilai rekreasional bagi Marx, tetapi juga ditujukan untuk menguasai salah satu sarana kunci dalam program kritik ekonomi-politik yang tengah ia jalankan. Paul Lafargue melaporkan bagaimana Marx percaya bahwa ‘sebuah ilmu tak akan sungguh-sungguh berkembang sebelum ilmu tersebut belajar menggunakan matematika.’

Marxisme dan Keniscayaan Kausal

MARILAH kita bayangkan sebuah situasi yang tak jarang kita jumpai. Salah seorang kenalan lama yang baru saja bertemu kembali berdiskusi dengan kita tentang situasi politik dan ekonomi aktual. Dalam tahap tertentu pembicaraan itu, mengetahui bahwa kita adalah Marxis atau bersimpati pada Marxisme, ia kemudian melontarkan pertanyaan yang tipikal: ‘Tapi bukankah analisis Marxis tentang kapitalisme terbukti keliru? Nyatanya, kapitalisme tak niscaya runtuh seperti diprediksi Marx. Malah sebaliknya, sekarang kapitalisme tumbuh subur di mana-mana. Bukannya itu menunjukkan bahwa Marxisme gagal?’

Marxisme dan Supervenience

DEWASA ini, kaum inteligensia yang beradab akan lari terbirit-birit ketika mendengar kata ‘reduksi,’ ‘determinasi,’ ‘totalitas,’ ‘absolut’ dan sejenisnya. Agaknya, kata-kata itu menyinggung rasa kemanusiaan mereka yang demikian sublim dan subtil. Hal ini sepertinya sesuai dengan iklim intelektual kontemporer yang hipersensitif pada diksi, pada pilihan kata, sembari abai pada kenyataan dan konsep yang dinyatakan oleh kata-kata. Kita dengan mudah lupa pada ungkapan Cato, seorang pemikir dan politisi Romawi: rem tene, verba sequentur; ‘rengkuhlah bendanya, maka kata-kata akan mengikuti.’

Marxisme dan Universalia (Bagian II)

PERBEDAAN filsafat Marx dari Hegel, seperti sudah kita saksikan dalam artikel sebelumnya, dapat dipilah ke dalam posisi realisme imanen dan realisme transenden. Bagi Hegel, sifat-sifat dan relasi antar hal dapat ada terpisah dari halnya, sementara bagi Marx, sifat-sifat dan relasi tersebut hanya ada di dalam halnya. (Sedikit catatan tentang terminologi. Istilah ‘realisme’ yang digunakan di sini jangan dikacaukan dengan istilah yang sama yang dipakai dalam perdebatan epistemologis tentang hubungan antara pikiran dan kenyataan. Para pemikir Yunani Antik dan Eropa Abad Pertengahan tidak mempersoalkan ada/tidaknya kenyataan di luar pikiran kita sebab, bagi mereka, kenyataan sudah jelas dengan sendirinya ada dan independen dari pikiran. Persoalan ada/tidaknya kenyataan di luar pikiran adalah topik yang khas Modern, antara lain dimulai sejak Descartes. Istilah ‘realisme’ yang digunakan di artikel ini sepenuhnya berkaitan dengan status ontologis dari sifat dan relasi—dua hal yang disebut sebagai universalia. Realisme Klasik dan Abad Pertengahan berkenaan dengan ontologi, sementara realisme Modern berkenaan dengan epistemologi). Pertanyaan utama kita di sini adalah: apakah relevansi dari posisi realisme imanen Marx bagi konsepsinya tentang dialektika? Apakah perbedaan pengertian Marx dan Hegel tentang universalia ikut menyumbangkan sesuatu terhadap perbedaan mereka dalam hal dialektika?

Marxisme dan Universalia (Bagian I)

Ada yang mengatakan, Marx mengubah dialektika pada tataran ide menjadi dialektika pada tataran realitas. Ada pula yang mengatakan, sementara Hegel membuat pikiran menjadi motor penggerak materi, Marx membuat materi menjadi motor penggerak pikiran. Pernyataan-pernyataan ini tidak keliru. Persoalannya hanyalah bahwa itu kurang lengkap. Apa yang sebetulnya dipertaruhkan dalam pembalikkan tersebut belum terkemukakan secara memadai. Dalam artikel ini, kita akan menunjukkan bahwa dalam kritik Marx atas Hegel, terkandung pokok perdebatan yang sungguh mendasar dan memiliki asal-muasal yang purba dalam sejarah filsafat.

Marxisme dan Kebenaran

Apakah yang menjamin bahwa Marxisme benar adanya? Banyak orang akan menjawab pertanyaan ini dengan berkata: Marxisme benar karena apa yang dinyatakannya tentang kenyataan—sejarah perkembangan masyarakat, misalnya—sesuai dengan kenyataan itu sendiri. Dengan kata lain, kenyataan merupakan hal yang membuat benar (truthmaker) Marxisme. Tentu saja. Namun, ini belum menjawab pertanyaan kita, sebab yang kita tanyakan bukanlah apa yang membuat Marxisme benar, melainkan apa yang menjamin Marxisme benar. Apakah yang memungkinkan Marxisme disebut sebagai benar? Pertanyaan soal jaminan kebenaran Marxisme ini dapat dijernihkan melalui sederet eksperimen-pikiran.

Marxisme dan Kebaruan

Seorang Marxis adalah ia yang, tentu saja, mengakui kebenaran pandangan Karl Marx. Menjadi ‘Marxis’ berarti mereproduksi apa yang dikatakan Marx, menariknya dari realitas abad ke-19 dan mengutarakannya kembali di hadapan realitas awal abad ke-21. Persoalan segera muncul ketika kita memahami ‘Marxis’ dalam pengertian semacam itu. Dalam hal mereproduksi semua proposisi Marx, tentu mesin cetak Heidelberg lebih ‘Marxis’ daripada semua ‘Marxis’ yang kita kenali sepanjang sejarah. Heidelberg mereproduksi semua perkataan Marx sampai titik-koma dan bahkan salah tulisnya. Jika begitu, mungkinkah seseorang menjadi ‘Marxis’ sekaligus ‘pemikir?’

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.