1. Beranda
  2. /
  3. Lembar Kebudayaan Indoprogress
  4. /
  5. Page 15

Lembar Kebudayaan Indoprogress

Ukuran Bagi Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini

Saya bukan seorang kritikus sastra. Saya seorang penyair. Terpisah dari berhasil-tidaknya sajak-sajak saya. Saya terima acara ini dari Panitia Simposium atas dasar pengertian bahwa juga seorang yang bukan kritikus sastra ada baiknya diberi kesempatan mengemukakan pandangannya mengenai kritik sastra. Ditambah lagi, dalam kedudukan saya sebagai Sekretaris Umum Sekretarian Pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), saya kira ada kebutuhan dari simposium ini untuk mendengarkan pendapat seorang anggota pimpinan Lekra tentang kritik sastra berdasarkan pandangan kebudayaan untuk rakyat. Saya sendiri menganggap kesempatan ini berguna untuk mengemukakan pandangan seorang anggota pimpinan Lekra tentang kritik sastra.

Penjara dan Sejarah

Sehimpunan sajak SA memang lahir dari penjara, bukan dari Grand Indonesia—karena itulah editor dari penerbit Ultimus memberikan judul Puisi-Puisi dari Penjara, bukan Puisi-Puisi dari Grand Indonesia. Dengan demikian, penjara menjadi situs kelahiran sehimpunan sajak SA—sajak-sajak SA yang terhimpun dalam Puisi-Puisi dari Penjara merupakan hasil kreasinya pada kurun waktu 1966-1978, masa-masa ketika SA menjalani kehidupan sebagai tahanan. Dari sudut pandang demikian, saya melihat kata “penjara” dalam sehimpunan sajak SA pertama-tama bukan sebagai metafora, melainkan sebagai realitas. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga: penjara yang masuk dalam nomenklatur kata benda berarti bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui; lembaga pemasyarakatan. Inilah arti (sense) dari penjara versi KBBI. Lantas bagaimana dengan makna (meaning) dari “penjara” itu sendiri?

Berhimpun Berkarya dan Berhuni Bersama – Pengalaman Rakyat Brazil

Selain berkarya sebagai arsitek dan mengajar di salah satu sekolah arsitektur, Pedro Arantes adalah koordinator sebuah lembaga bernama ‘Colectivo USINA’, sebuah lembaga kolaborasi berbagai profesi, mulai dari arsitek, insinyur sipil, ahli tata kota, pengacara, sosiolog, seniman sampai analis sistem. Sebelum secara legal terbentuk pada tahun 1990, dalam 1980-an, beberapa anggotanya secara terpisah (secara kolektif atau individual) bekerja sama dengan gerakan sosial masyarakat Brazil untuk menyelesaikan permasalahan permukiman bagi masyarakat miskin kota. Para pengajar sekolah arsitektur dan mahasiswanya sangat aktif terlibat, tidak hanya meneliti, tapi juga mendorong pemahaman bahwa kebutuhan masyarakat akan hunian tidak hanya berupa rumah, tetapi juga sarana umum seperti tempat bermain, sarana olahraga dan pusat kebudayaan komunitas. Selama satu dekade, pengetahuan teknis desain dan konstruksi bangunan alternatif yang lebih efektif dan efisien (dalam artian sesuai kebutuhan masyarakat dan relatif lebih murah), serta pengalaman solidaritas kaum profesional untuk berkolaborasi dengan masyarakat miskin dan kelas pekerja pun terakumulasi. Keterlibatan para peneliti dan pengajar universitas bukanlah tanpa persoalan. Akibat krisis anggaran, tenaga pendidikan juga saat itu harus menghadapi pemecatan dan pengurangan dana penelitian. Untungnya, kematian satu inisiatif terus diikuti oleh kemunculan inisiatif baru sehingga gerakan kolaborasi untuk habitat yang humanis tersebut terus bergulir. Perlu dicatat, bahwa gerakan sosial (politik) perumahan di Brazil ini juga banyak dipengaruhi oleh gerakan serupa di Uruguay (Pedro Arantes, 2013).

Puisi-Puisi Yoseph Yapi Taum

PUISI-PUISI YOSEPH YAPI TAUM   TAK ADA MIMPI DI NEGERI INI : Sondang Hutagalung cakrawala memberinya sepotong rimba sebagai arena merampas kembali kebebasannya di kala

Kamus Kecil Bangsa Indonesia

Puisi T. D. Ginting   Kamus Kecil Bangsa Indonesia (Edisi Revisi)   disusun oleh: T. D. Ginting   Laissez-faire, artinya bi(c)ar(a)kan saja Pemerintah, artinya ia

Sekarang Kamu Mengerti

Puisi Sonny H. Sayangbati   Sekarang Kamu Mengerti   Saat matahari terbit: Ibu ayah ke mana ? Ayah sedang bersinar jadi matahari Ketika matahari tenggelam:

Tiang Belum Runtuh

PUISI INDRAWISUDHA   Tiang Belum Runtuh   Teringat Pramoedya saat murung terkurung di rumah kaca. Betapa berani ia bersuara dalam diam di kejinya penjara. Pada

Edisi LKIP05

Dalam sebuah diskusi pada peluncuran film Jembatan Bacem, sejarawan Hilmar Farid mengingatkan keterpautan peristiwa tersebut dengan peristiwa pasca G30S. Dalam film tersebut memang digambarkan bagaimana para tahanan peristiwa tersebut di atas dijemput dari rumah tahanan dan lenyap tak berbekas. Dari sana sebuah pesan muncul pada kita, bahwa negara dan hukumnya tak kuasa menegakan hukum yang menjadi penopang negara itu. Hal ini terulang kembali dalam skala kecil pada peristiwa Cebongan dan juga tentu pada peristiwa lainnya yang begitu banyak terjadi dalam skala besar mau pun kecil di seluruh negeri kita. Tak heran, perlawanan rakyat akhir-akhir ini, juga dalam pelbagai bentuk, begitu banyak terjadi. Seorang kawan dalam kesibukan kerjanya sempat meluangkan waktu mengamati berita-berita perlawanan tersebut dan dia berani bertaruh bahwa dalam sebulan saja perlawan rakyat mencapai hampir 1000 perlawanan.

Rangkaian kritik terhadap tiga pendekatan ‘kritis’ kajian budaya (Bag. 3, habis)

Mungkin tidak ada kata yang sepopuler istilah ‘critical’/’kritis’ dalam ilmu sosial dan humaniora dewasa ini. Selain ‘seksi’, istilah ini sering dipakai untuk memberikan nuansa ‘kebaruan’, ‘tidak ikut arus utama’ maupun ‘anti-tradisi.’ Mirip dengan penggunaan istilah-istilah lain—walau berbeda makna—seperti ‘interdisipliner’, ‘transdisipliner’ dll, kata ini menjadi paspor agar sebuah analisis dianggap ‘berkualitas’. Namun, seringkali kata ini kehilangan makna dan digunakan tidak lebih dari sekedar bungkusan belaka. Terutama di bawah payung postmodernisme, istilah ‘kritis’ ditelanjangi dari akar sejarahnya dan digunakan untuk semangat dekonstruksi tanpa rekonstruksi.

Jembatan Bacem, Riwayatmu Kini, Sedari Sekarang, Perhatian Insani

Ketika kita sedang bicara tentang jembatan, dalam relasinya dengan sungai Bengawan Solo, kita perlu memahami kata tersebut dalam dua medan makna: sebagai jembatan material-sosial, yakni jembatan dalam arti konotatifnya sebagai monumen yang menghubungkan kegiatan sosial dari dua daratan yang dipisahkan oleh sungai, serta sebagai jembatan historis, yakni sebagai ruang tempat suatu peristiwa historis terjadi. Jembatan dalam kedua arti tersebut rupanya seringkali luput dari kesadaran kita. Mungkin, bagi kita yang tidak pernah secara langsung ada di Solo, tidak akan terkejut bahwa, ternyata (!), ada jembatan di atas Bengawan Solo; beberapa dari kita mungkin berasumsi begitu saja: pastilah ada jembatan untuk melintasi sungai itu, supaya kendaraan bermotor bisa melintasinya—karena merepotkan juga kalau kendaraan-kendaraan itu harus naik perahu getek seperti dalam lagu karangan Gesang. Bagi kita yang mengenal jembatan itu, atau bahkan cukup sering melintasinya, mungkin akan melihatnya sebagai sesuatu yang ada di luar sana, sesuatu yang sedari dulu ada di sana, begitu saja.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.