Jembatan Bacem, Riwayatmu Kini, Sedari Sekarang, Perhatian Insani

Print Friendly, PDF & Email

Sengaja dan tak ada niat semena-mena menyuplik syair lagu tersohor di dalam tulisan ini. Tak elok juga menyadurnya dalam kata-kata yang asing dari telinga kita. Tentu kita sudah akrab dengan Bengawan Solo, sungai yang abadi dalam lagu ciptaan Gesang itu. Namun, ada yang luput ketika kita membicarakan soal sungai kebanggaan kota Solo, begitu pun dengan lagu gubahan almarhum Gesang: ada realitas yang tak ternyanyikan dalam irama keroncong. Tentu, luput bukan berarti tidak ada. Luput terkadang bukan sekadar karena lupa, melainkan juga karena ada sesuatu yang ingin ditutupi. Ketika kita berbicara soal sesuatu yang luput dari Bengawan Solo sebagaimana menjadi memori kolektif bangsa Indonesia, maka kita bicara tentang jembatan.

Ketika kita sedang bicara tentang jembatan, dalam relasinya dengan sungai Bengawan Solo, kita perlu memahami kata tersebut dalam dua medan makna: sebagai jembatan material-sosial, yakni jembatan dalam arti konotatifnya sebagai monumen yang menghubungkan kegiatan sosial dari dua daratan yang dipisahkan oleh sungai, serta sebagai jembatan historis, yakni sebagai ruang tempat suatu peristiwa historis terjadi. Jembatan dalam kedua arti tersebut rupanya seringkali luput dari kesadaran kita. Mungkin, bagi kita yang tidak pernah secara langsung ada di Solo, tidak akan terkejut bahwa, ternyata (!), ada jembatan di atas Bengawan Solo; beberapa dari kita mungkin berasumsi begitu saja: pastilah ada jembatan untuk melintasi sungai itu, supaya kendaraan bermotor bisa melintasinya—karena merepotkan juga kalau kendaraan-kendaraan itu harus naik perahu getek seperti dalam lagu karangan Gesang. Bagi kita yang mengenal jembatan itu, atau bahkan cukup sering melintasinya, mungkin akan melihatnya sebagai sesuatu yang ada di luar sana, sesuatu yang sedari dulu ada di sana, begitu saja.

Baiklah, andaikan saja Anda pernah melewati jembatan tersebut dengan kekasih Anda, dan di atas jembatan itu, kisah cinta Anda—yang sudah berjalan kira-kira dua tahun—berakhir. Tentu tidak sulit untuk kami membayangkan bahwa Anda setiap kali lewat atau melihat jembatan tersebut langsung terkenang mantan kekasih anda itu yang mungkin kini sudah menikah dan punya dua anak, dan Anda memendam dalam-dalam ingatan tentang betapa hancur hati Anda ketika itu. Nah, jembatan itu, bagi Anda, bukan lagi sekadar sebuah tempat menyeberang melainkan jembatan itu adalah saksi atau pula petanda akan sebuah kisah dalam hidup Anda. Kini, bayangkanlah sebuah peristiwa di jembatan itu yang menjadi pengalaman, ingatan, dan petanda untuk begitu banyak orang, yang karena begitu traumatis—ditambah lagi besarnya tekanan dari rezim yang berkuasa—harus diredam dan dipendam sedalam-dalamnya dari ingatan.

Sebuah film bicara soal hal itu: Jembatan Bacem: A Movie, karya sutradara Yayan Wiludiharto.

Bon’: Sejarah dan Bahasa

Jembatan Bacem terletak di perbatasan antara Solo dan Sukoharjo. Di bawahnya mengalir Sungai Bengawan Solo. Jembatan ini pernah menangis tatkala banyak anak manusia yang dihempaskan dan dilengserkan ke sungai. Jembatan Bacem, yang diproduksi oleh Elsam dan Pakorba Solo tahun ini (2013), mengangkat penuturan 3 saksi yang selamat dari penghilangan paksa; termasuk dua orang yang berhasil lolos dan menjadi penyintas dari peristiwa di atas jembatan. Ekskalasi politik 1965 menjadi muara dari  penuturan pihak-pihak yang dikorbankan oleh rezim. Mengapa 1965? Karena pada tahun tersebut sebuah rezim pernah mendapatkan kekuasaan, keleluasaan sampai kekebalan melakukan dehumanisasi; dengan dalih ‘NKRI harga mati’, demi mengganyang musuh politik: ‘PKI yang mengancam integrasi bangsa’.

Kisah bermula. Tak lama setelah pasca peristiwa `65, balai kota diduduki dan walikota Solo ditahan. Banyak orang-orang setempat yang dijamah, ditangkap dan dijemput paksa. Semenjak itu pula, banyak lokasi yang menjadi kamp-kamp ahanan, bahkan bangunan-bangunan pemerintah tak luput dari peralihan-fungsi ini: Loji Gandrung, Balai Kota Surakarta, atau Sasono Mulyo, pernah menjadi saksi bisu bagi kebiadaban yang terjadi di beberapa kecamatan di Solo. Sasono Mulyo sendiri menjadi salah satu kamp tahanan politik (tapol), sejak 1 Desember 1965 sampai 30 Mei 1967. Tercatat sebanyak 71 tahanan yang berasal dari kamp Sasono Mulyo yang ‘dibon’ dan menghilang. ‘Dibon’ adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan bahwa seorang tahanan dipinjam, dibawa pergi, dan ujung pangkalnya hanya ada dua pilihan: atau dipindahkan ke tempat lain, atau hilang entah ke mana rimbanya. Inilah Jembatan  Bacem punya cerita:

“Saat itu tanggal 20 Desember 1965, kira-kira sekitar jam 12 malam lebih. Saya ingat, saya nomor 18 tapi di belakang saya juga masih ada. Jadi pada waktu itu malam dan hujannya masih rintik-rintik. Satu memanggil dan satu mengikat. Saya diikat. Ini papan  orang disuruh tidur terlentang di atas papan, setelah itu diikat dari dada sampai ke kaki.  Setelah itu ada 2 orang petugas yang mengangkat. Di bawa terus sampai di atas truk, didorongkan dan dimasukan. Saya kira kalau 20 orang bisa lebih. Saya ini termasuk di tengah. Orang itu suaranya sudah macam-macam ada yang minta tolong, bahkan ada yang berdoa, ada yang kesakitan, umumnya kesakitan. Suara orang yang kesakitan itu sangat mengerikan. Sampai di Jembatan Bacem, antara Solo Wonogiri semua orang disandar di dekat jembatan, ditembak dan terjun langsung ke sungai dan sekarang ada yang hidup ada yang tidak.”

Mereka-mereka yang ‘dibon’ diangkut dengan truk. Sebelumnya, satu-persatu ditidurkan pada sebilah papan kayu, lantas diikat sekujur tubuhnya. Mereka dimasukan ke dalam truk dan ditumpuk dari bawah sampai ke atas. Sangat sistematik. Sesampainya di Jembatan  Bacem, satu per satu disandarkan, ditembak kemudian dilungsurkan ke sungai Bengawan Solo. Beruntung sekali, narasumber yang menuturkan kisahnya di atas tidak sempat tertembak, malah terjatuh, meluncur dari jembatan ke sungai, seperti perahu mengarungi arus sungai. Jembatan Bacem berkisah: Mata airmu dari Solo, air mata mengalir sampai jauh, jejak-jejak insan dilarungkan, akhirnya (bisa) sampai ke laut (* Kunci G7).

‘Dibon’ bisa kita lihat sebagai sebuah pengambilan paksa tanpa ada sebuah proses yang jelas dari rumah tahanan. Kata ‘dibon’ sendiri berasal dari kata ‘bon’. Dewasa ini, kata tersebut berarti sederhana: ‘hutang’. Barangkali, sebagian dari kita terkejut ketika menemukan kata tersebut muncul dalam peristiwa Cebongan beberapa waktu lalu: 15 orang anggota Kopassus menerobos masuk ke dalam lapas Cebongan untuk ‘nge-bon’ empat orang tahanan yang membunuh seorang anggota Kopassus. Melalui film ini, kita mengetahui bahwa kata sederhana yang kerap keluar dari kalangan kelas bawah dalam obrolan dengan penjaga warteg ini rupanya punya sejarah dan asosiasi yang sama sekali tidak sederhana. Secara historis, makna konotatif dari kata ini, setidaknya, sudah dipakai sejak tahun 1965, dan kata tersebut merujuk pada dua penanda signifikan: tentara dan teroris—tepatnya, kata ini digunakan oleh tentara untuk merepresi apa yang dituduh sebagai teroris.

Cukup dengan berbekalkan kata ini saja, kita bisa mendaku bahwa, sekalipun Soeharto sudah lengser dan Orde Baru sudah lewat, struktur ideologis yang bekerja di belakangnya, serta relasi produksi yang menyangganya, masih belum lengser benar. Tentara saat ini, sebagaimana ketika Orde Baru, masih menjadi aparat ideologis negara—untuk meminjam istilah Althusser—untuk merepresi kelompok yang mengganggu stabilitas situasi sosial-politik yang telah dibangun oleh status quo. Dan represi ini, selain bekerja secara fisik melalui hukuman ekstra-legal—baik itu penghilangan paksa anggota (dan tertuduh anggota) PKI, aktivis kontra-Orde Baru, maupun preman dewasa ini—juga memiliki semacam justifikasi ‘moral’ yang senada; bahwa PKI itu ateis, bahwa aktivis kontra-Orba itu mengancam integrasi bangsa, dan bahwa preman-preman itu mengganggu rasa aman masyarakat.

Namun demikian, mereka yang dicap sebagai ‘penyakit bangsa’, ‘teroris’, atau ‘penjahat’ itu, tak lebih dari manusia yang dikondisikan secara sosial dan historis; mereka termasuk dalam kelas tertentu dari struktur sosial yang ada, dan terlibat sekaligus merupakan dampak dari situasi historis yang melingkupi mereka. Dengan demikian, keterlibatan mereka dalam PKI, aktivisme anti-Orba, atau pun premanisme dewasa ini, adalah suatu reaksi atas situasi sosial-politik yang mengkondisikan mereka, dan mereka tak punya banyak pilihan kecuali bertindak seturut situasi tersebut. Film ini, lantas harus dibaca lebih dari sekadar pembelaan atas korban pembantaian `65; kita harus merebut kembali kebenaran dari situasi masa itu.

Orang yang kita sebut sebagai korban hari ini, tak pelak lagi, adalah orang-orang harus menghadapi ajal dalam perjuangan: mereka memperjuangkan kehidupan yang lebih layak, mereka memperjuangkan masyarakat yang setara, bebas dari represi ekonomi-politik, dan setiap kita yang cukup jeli melihat penindasan hari ini, adalah pewaris yang sah dari semangat itu.

 

Iwen iwen kultural

Di akhir film terdapat ritual serupa nyadran tanggal 2 Oktober 2005. Ramai orang mendatangi jembatan, sebagian tampak di atas, beberapa menuruni kolong jembatan, menyusuri tepi sungai. Iwen-iwen dilakukan. Di atas jembatan, tabur bunga dilakukan, burung-burung alasan (burung liar) dilepaskan dari sangkarnya, ditiupkan menjulang ke angkasa biru. Di kolongnya, ikan lele berkumis genap berdebur buih air sungai. Gending bahasa Jawa memazmurkan rekonsiliasi, begini terjemahannya “Ikhlas menemui ajal. Menjadi tumbal kelak sejahtera negeri. Sungguh besar nian jumlah mereka. Tak semestinyalah bagi umat manusia. Di fitnah tak jelas dimana salah mereka.” Ratapan agar korban mendapatkan keadilan. Untuk melawan amnesia kolektif maka kidungkanlah juga: “Jembatan Bacem (G), Riwayatmu dulu(D), Kaum yang kalah (D)Selalu, Naik itu (C) Perahu (G). Jembatan Bacem (G), Riwayatmu (D) Kini (G), Sedari Sekarang (D),  Perhatian (C)  Insani (G).”

Peristiwa Iwen-iwen dengan melepaskan ikan lele ke sungai dan menerbangkan burung-burung ke udara berisi harapan agar mereka-mereka, para korban ketakadilan mendapatkan keadilannya. Peristiwa ini sesungguhnya menyimpan harapan dari mereka yang jatuh sebagai korban di atas Jembatan bacem. Sayang di film ini, peristiwa Iwen-iwen tidak mendapatkan sebuah perhatian yang cukup sehingga terkesan sambil lalu. Padahal, pada hemat kami, peristiwa Iwen-iwen ini cukup penting sebagai sebuah pesan pada para penonton. Melalui Iwen-iwen harapan para korban ketidakadilan itu disampaikan pada kita yang ada di hari ini; harapan untuk mengubah ketidak-adilan itu menjadi keadilan. Sehingga dengan mengedepankan Iwen-iwen, Jembatan bacem tidak sekadar sebuah film yang mendokumentasikan kekerasan dan kekejaman serta tindakan-tindakan tak berperih-kemanusiaan yang menimbulkan komentar seperti ini misalnya, “ih, tentara kejam sekali”. Lebih dari itu dengan Iwen-iwen, Jembatan Bacem pun menjadi sebuah ingatan akan tugas-tugas dari masa lalu yang harus dilaksanakan kita di masa kini yakni mengubah ketidak-adilan dengan keadilan.

Memorialisasi kultural: melarungkan Indonesia, demi kemanusiaan yang lebih manusiawi.

**dengan fantasie improptu oleh Yovantra Arief dan Berto Tukan

Chris Poerbaesais yang tengah belajar di Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.