Kritik

Perfilman Indonesia sebagai Indikator Demokrasi  

KADAR demokrasi suatu negara sesungguhnya bisa dilihat dari pilihan film yang tersedia bagi masyarakatnya. Logikanya: semakin beragam film yang beredar di publik, semakin terbuka pula masyarakatnya

Politik Hal Ihwal dan Film Dokumenter

DALAM akhir pekan mendatang, sebuah film dokumenter seputar pemilihan presiden yang baru lalu akan diputar di bioskop. Judulnya Yang Ketu7uh, karya sutradara Dandhy Dwi Laksono

Menolak Diam, Menolak Dusta

SETELAH menghentak dunia dua tahun lalu dengan karya gemilang The Act of Killing (atau Jagal, dalam terjemahan resminya), akhir Agustus yang baru lalu sutradara film

Cornel Simandjuntak Cahaya, Datanglah!

dengan tertunduk di depan angan pusaramu kuserahkan bagi kepeloporanmu Tidak mudah menuliskan riwayat pemuda Siantar, anak terkemuka dari rakyat dan zamannya ini. Kesukarannya karena, pertama-tama, tidak seorang

Maju Kena, Mundur Kena

Ada baiknya tulisan ini dimulai dengan sedikit curhat. Ada beberapa hal yang meresahkan benak saya belakangan ini. Saya bisa menyebutkan beberapa—pengaturan waktu antar pekerjaan paruh waktu yang makin rumit, tuntutan keluarga yang makin menjepit, musibah yang menimpa kawan-kawan yang membuat pusing tujuh keliling, dompet busung lapar, kuliah yang terbengkalai, kura-kura peliharaan yang jatuh sakit, sampai romansa yang jejumpalitan lalu menenggak Baygon sambil terjun dari pucuk Monumen Nasional. Barangkali masalah yang paling relevan buat perbincangan kita kali ini adalah sebuah pertanyaan yang cukup memeras waktu dan pikiran saya belakangan.

Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 2)

DALAM tulisan sebelumnya kita sudah membahas karya-karya Oscar Wilde secara cukup detail. Kali ini, saya akan membahas era Victoria, yakni konteks waktu di mana Wilde tumbuh, berkarya dan merumuskan kritiknya. Wilde adalah anak zaman sekaligus salah seorang kritik terdepan atas Victorianisme, suatu periode yang memungkinkan Wilde berkembang, yang dia kritik secara keras namun jenaka, namun secara ironis akhirnya menjebloskan dirinya ke dalam penjara—satu dari sedikit contoh turbulensi sejarah yang dialami oleh masyarakat Inggris dalam perkembangannya di masa tersebut.

D. N. Aidit, Sastra dan Geliat Zamannya [i]

Dalam produksi sejarah resmi (official history), Dipa Nusantara Aidit atau D. N. Aidit (1923—1965) lebih dikenal dan dikenang sebagai seorang “penjahat” dan “pengkhianat bangsa” yang mendalangi peristiwa di malam jahanam Gerakan 30 September (G30S). Melalui film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C. Noer (1984), sosok Aidit benar-benar buram, “lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok” (Zulkifli, 2010: 2). Bayangan orang tentang D.N. Aidit banyak dipengaruhi oleh film yang sangat populer di Indonesia tahun 1984—1998 itu. Dalam film ini, digambarkan sosok Aidit sebagai orang yang paling jahat, penuh daya tipu muslihat, yang terus-menerus merokok, dan merupakan orang yang memerintahkan pembunuhan terhadap tujuh jenderal pada operasi G30S.

Penulisan Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Cirebon

Bagi masyarakat pesisir Cirebon, khususnya para nelayan, ritual Nadran adalah bagian dari siklus hidup mereka yang kehidupannya bergantung pada lautan. Ritual ini merupakan kesatuan dari suatu rangkaian kegiatan: melarung sesajen ke tengah laut, pementasan wayang purwa disertai ruwatan, dan makan-makan bersama. Selain ritual, kegiatan lainnya berupa pertunjukan berbagai kesenian siang dan malam. Namun, dalam konteks ritual komunitas nelayan tersebut, perhatian kami tertuju pada pementasan wayang purwa dengan lakon Budug Basu.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.