Perfilman Indonesia sebagai Indikator Demokrasi  

Print Friendly, PDF & Email

KADAR demokrasi suatu negara sesungguhnya bisa dilihat dari pilihan film yang tersedia bagi masyarakatnya. Logikanya: semakin beragam film yang beredar di publik, semakin terbuka pula masyarakatnya terhadap segala bentuk perbedaan dan kebaruan. Tentunya dalam kerangka ini kita tidak saja berbicara film sebagai hasil kriya dari berbagai lini produksi, tapi juga sebagai medium pertukaran gagasan, nilai, dan pengalaman. Mengingat masyarakat kita teramat majemuk dalam segi budaya, sosial, ekonomi, kepercayaan, hingga ideologi, keragaman jelas menjadi agenda yang perlu disasar perfilman kita.

Keragaman film sendiri bergantung pada beberapa faktor. Dua di antaranya yang cukup signifikan adalah tata edar dan regulasi perfilman. Tata edar menghadirkan jaringan infrastruktur yang memungkinkan akses publik ke film, dari bioskop komersial, bioskop alternatif (arthouse), gerai VCD dan DVD, kanal online, festival film, hingga arsip film. Masing-masing akses film ini membentuk ruang apresiasi yang khas, baik dari jenis film yang bisa diedarkan, penonton yang bisa dilayani, maupun interaksi yang terjadi antara penonton dan film.

Sekarang ini akses masyarakat ke film terlampau bertumpu pada jaringan bioskop komersial, dengan sedikit sekali alternatif dari festival, ruang pemutaran independen, dan inisiatif pemutaran gerilya. Ruang apresiasi yang dihadirkan bioskop bukannya buruk, tapi tidak cukup luas untuk mengakomodir keragaman gagasan, nilai, dan pengalaman yang para pembuat film bisa tawarkan. Terlebih lagi bioskop lebih banyak tersedia di kota-kota besar, khususnya mal dan pusat perbelanjaan menengah-ke-atas, yang menjadikan ruang-ruang ini terikat dengan kebutuhan mencari laba dan keharusan tayang dengan surat lolos sensor.[1] Konsekuensinya: semakin sedikit pembuat film yang bisa diakomodir dalam ruang bioskop ini, semakin terbatas pilihan film yang penonton dapati, semakin sempit kalangan penonton yang bisa dilayani.

Tata edar sendiri diatur oleh regulasi perfilman, yakni Undang-undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Secara umum, undang-undang tersebut mendefinisikan dan mengkondisikan koridor bagi tumbuh-kembang budaya film di Indonesia. Secara spesifik, ia menentukan film macam apa yang boleh beredar di ranah publik (pasal 6); memetakan infrastruktur apa saja yang perlu ada dalam perfilman nasional (pasal 8 dan 9); mengawasi perkembangan kompetisi pasar film domestik (pasal 10 sampai 15); menyusun aturan main tata edar film (pasal 25 sampai 28); menjamin kuota jam tayang film nasional (pasal 32); menjamin dukungan pemerintah bagi kegiatan-kegiatan apresiasi film (pasal 37); mengatur jumlah dan jenis film impor (pasal 41); menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam bidang perfilman (pasal 45 dan 46); menggariskan peran dan kewajiban pemerintah dalam bidang perfilman (pasal 51 sampai 56); dan sebagainya.[2]

Dari regulasi ke aksi

Regulasi pada dasarnya abstrak. Ia tak lebih dari konsep yang mengawang-awang. Ia baru punya dampak konkret apabila negara membentuk perangkat dan program untuk melaksanakan poin-poin yang tercantum dalam regulasi. Sayangnya, apa yang negara sediakan selama ini belum cukup ekspansif untuk menyokong terbentuknya keragaman film di Indonesia.

Mari kita telaah satu per satu. Perkara apresiasi film, pemerintah masih memprioritaskan acara penghargaan bentukan mereka sendiri, yaitu Festival Film Indonesia dan Apresiasi Film Indonesia, ketimbang memberdayakan inisiatif-inisiatif apresiasi film yang sudah diusahakan masyarakat. FFI ditangani oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sementara AFI oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara pertama secara tradisi lebih akrab dengan film-film bioskop, sementara acara kedua belakangan ini berpikir sedikit lebih progresif dengan memberi piala bagi film-film nonbioskop dan elemen-elemen pendukung perfilman macam komunitas, lembaga pendidikan, festival film, dan media. Tapi keduanya sesungguhnya sama saja: hura-hura yang sekadar meramaikan laman berita di media-media. Fokusnya masih pada karpet merah dan pawai artis, pada selebrasi sekelompok elite, belum pada pembukaan ruang apresiasi yang meluas bagi publik.

cover VCD Usia dalam Gejolak (1984)

Perkara perluasan akses film, pemerintah punya program bioskop keliling. Pemerintah menyewa hak tayang dua puluh film nasional, lalu memutarkannya melalui suatu armada mobil layar tancap selama setahun.[3] Sayangnya, karena pengawasan yang lemah di lapangan, mobil-mobil ini lebih banyak diam untuk parkir ketimbang pemutaran.

Ada pula program bantuan untuk pertumbuhan kegiatan perfilman. Lewat Kemendikbud, pemerintah menyalurkan dana dukungan untuk produksi film pendek dan dokumenter, penyelenggaraan festival atau kegiatan apresiasi film, pengiriman film pendek ke festival luar negeri, dan pengiriman insan perfilman ke festival luar negeri. Dua program pertama punya dampak langsung dengan terhadap keragaman dan akses film ke publik. Sayangnya, selama penyelenggaraannya dalam tiga tahun terakhir, program-program ini hanya berlangsung selama dua bulan: antara Oktober-November atau Juli-Oktober. Selebihnya tidak ada, padahal kegiatan perfilman kita tidak pernah libur sepanjang tahun, baik di tingkat industri maupun komunitas.

Bisa dibilang negara kita titip absen, sebagaimana yang ia kerap lakukan di banyak sektor kehidupan bernegara lainnya. Perfilman kita selama ini dibiarkan bertumbuh dan berkembang tanpa visi dan desain yang jelas, yang sebenarnya cukup mengesankan. Semenjak perfilman kita bangkit dari mati suri sepanjang dekade 90-an, tidak sedikit film kita yang sukses meraup jutaan penonton domestik, tidak sedikit juga film kita yang masuk seleksi bahkan menang di festival dan kompetisi film internasional.

Berikut ini yang sungguh belum mendapat perhatian selayaknya: terobosan-terobosan di tingkat akar rumput. Sekarang ini kegiatan perfilman lazim ditemukan di kampus-kampus, komunitas-komunitas, desa-desa, kecamatan-kecamatan. Lebih penting lagi, geliat ini juga tumbuh di daerah-daerah yang jauh dari industri film maupun bioskop, macam Purbalingga, Palu, Aceh, dan Papua. Masing-masing hidup dan bernapas dengan caranya sendiri, baik lewat produksi film, pemutaran untuk publik, penyelenggaraan festival, pembukaan ruang diskusi, lokakarya, laboratorium film independen, hingga kritik dan kajian.[4] Inisiatif-inisiatif ini cakupannya memang masih teramat lokal dan seringkali bubar tiba-tiba, tapi berkat kenekatan para pelakunya, budaya film kita terus menyebar ke berbagai pelosok nusantara. Bersyukurlah perfilman kita masih punya individu-individu dan kelompok-kelompok yang tak lelah bersiasat: dari menyiasati kompetisi pasar, ketimpangan tata edar, kelangkaan layar, siklus modal yang belum mapan, absennya dukungan pemerintah, hingga gunting sensor.

Sensor yang tak kunjung mati

Perkara sensor ini menarik untuk ditilik lebih lanjut. Pasalnya, selain pajak tontonan, sensor adalah satu-satunya perangkat negara yang tak pernah absen dalam perfilman kita. Ketika Belanda berkuasa, ia hadir dengan nama Komisi Sensor Film.[5] Ketika Suharto dan kroni-kroninya berkuasa, ia hadir dengan nama Badan Sensor Film sejak pertengahan 1960-an hingga berganti menjadi Lembaga Sensor Film pada 1994 sampai sekarang. Nama boleh beda-beda, tapi logika kerjanya satu jua: berasumsi bahwa rakyat adalah khalayak yang pilon, lemah pikir, mudah terpengaruh, dan gampang tersulut. Atas asumsi itu, negara merasa perlu menuntun rakyatnya dalam berakhlak dan berbudaya.

Lembaga sensor merupakan komponen yang lazim ditemukan dalam rezim yang menempatkan sinema sebagai bagian dari pertahanan bangsa; tepatnya, pertahanan budaya dan moral bangsa demi kepentingan penguasa. Pada Indonesia zaman kolonial Belanda, pemerintahan kolonial memberlakukan sensor untuk melindungi citra orang Belanda di mata penduduk pribumi.[6] Pasalnya, dalam film-film Barat yang tayang di bioskop nusantara kala itu, ada saja yang menonjolkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah atau secara terang-terangan menampilkan kegiatan seks di luar nikah. Demi terjaganya wibawa dan kuasa, pemerintahan kolonial menyeleksi film-film yang masuk dan beredar di wilayah Hindia-Belanda, lalu mengenakan denda 100 gulden atau hukuman kurung sekurang-kurangnya delapan hari terhadap pemilik atau pengedar film yang melanggar ketentuan.

Skema serupa kembali terjadi saat Soeharto berkuasa. Rezim Orde Baru memperlakukan sensor sebagai perangkat untuk membakukan seperangkat makna dalam film-film yang beredar di nusantara, terutama film produksi negeri sendiri, dengan harapan dapat membentuk narasi tunggal tentang kebangsaan dan memasung kemungkinan pemaknaan lain oleh masyarakat. Hal ini sempat dipertegas oleh Sutopo Juwono, mantan kepala Badan Koordinasi Intelejen Nasional, yang menyebutkan bahwa salah satu contoh konflik yang tak boleh muncul dalam film nasional adalah konflik “antara kelompok masyarakat ekonomi atas dan bawah”. Selain itu, sensor juga diterapkan bagi film-film yang berpotensi memantik “konflik dengan kebijakan pemerintah” dan “politik dalam maupun luar negeri Indonesia”.[7]

Dalam berbagai dokumen negara tentang sensor, dari Pedoman Sensor tahun 1977 hingga Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, ada empat kriteria yang terus jadi perhatian: keagamaan, ideologi dan politik, sosial-budaya, dan ketertiban umum. Kriteria keagamaan berfokus pada isu-isu anti-agama, anti-ketuhanan, dan perpecahan antara umat beragama. Kriteria ideologi dan politik melarang pembahasan ideologi yang berlawanan dengan nilai Pancasila dan rezim penguasa; spesifiknya, “komunisme, Marxisme/Leninisme, Maoisme, kolonialisme, imperialisme, dan fasisme”. Kriteria sosial-budaya dan ketertiban umum menyaring gambaran perilaku atau peristiwa yang dianggap bisa berpengaruh negatif terhadap kestabilan tatatan sosial, seperti pembunuhan yang terlampau sadis, kegiatan seksual, kesenjangan sosial, citra buruk terhadap aparat negara, dan sebagainya.

Ada beberapa kasus sensor film yang bisa dijadikan contoh. Si Mamad misalnya. Sebelum akhirnya beredar pada 1973, film karya Sjuman Djaya itu berkali-kali diminta BSF agar diubah judul filmnya. Kisah filmnya sendiri tentang seorang pegawai yang jujur pada suatu arsip negara; ia merasa berdosa setelah melakukan korupsi karena kepepet secara finansial. Awalnya judul film itu Matinya Seorang Pegawai Negeri, lalu Ilalang, kemudian Renungkanlah Si Mamad, hingga akhirnya kedua belah pihak sepakat pada judul Si Mamad. Kekhawatiran BSF: mereka takut judul asli Si Mamad memberi gambaran keliru tentang pegawai negeri.

Atau, kasus Bung Kecil. Film garapan Sophan Sophiaan ini tertahan lima tahun di BSF dan baru bisa beredar pada 1983. Ceritanya tentang anak muda idealis yang menginginkan pembaharuan, melawan feodalisme, dan membela kaum buruh. BSF minta beberapa pengguntingan, dengan alasan film itu mempertentangkan kesenjangan sosial dan membangun citra yang buruk terhadap pembangunan bangsa. Atau, kasus Kanan Kiri OK yang sepele namun kocak. Semula film yang beredar pada 1989 ini berjudul Kiri Kanan OK. Tapi, supaya dapat surat lulus sensor, BSF meminta pembuat film untuk ganti judul jadi Kanan Kiri OK. Kata “kiri” pada waktu itu identik dengan Partai Komunis Indonesia.

Gunting sensor juga berlaku untuk festival film. Kasus yang paling tersohor adalah pelarangan pemutaran Black Road di Jakarta International Film Festival 2006.[8] Dokumenter garapan William Nessen itu merekam sejumlah peristiwa di Aceh pada awal 2000-an, salah satunya perjuangan warga setempat untuk merdeka. LSF menanggap karya Nessen “salah representasi” dan memperburuk citra aparat keamanan Indonesia, karena banyak wawancara dan gambar yang menampilkan kekejaman tentara Indonesia di Aceh. Pada tahun yang sama, LSF menolak pemutaran Tales of Crocodile, Timor Loro Sae, dan Passabe di JIFFest, karena ketiga film itu dianggap dapat memicu sentimen antar Indonesia dan Timor Leste yang sedang mengusahakan rekonsiliasi.[9]

Kasus serupa terjadi pada Prison and Paradise. LSF menganggap dokumenter Daniel Rudi Haryanto tentang para pelaku bom Bali itu “sarat dengan dialog-dialog propaganda yang menyesatkan” dan berpotensi “memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda Islam Indonesia”.[10] Prison and Paradise sempat terpilih sebagai salah satu nomine film dokumenter terbaik di Festival Film Indonesia 2011. Namun, karena persyaratan FFI mengharuskan film pesertanya sudah lulus sensor, panitia menurunkan Prison and Paradise dari daftar nomine dan meminta dewan juri untuk menggantinya dengan film lain—yang terjadi setelah daftar nomine diumumkan ke publik. Pembuat film sendiri mengaku bahwa pihak kepolisian kerap mendatanginya saat pemutaran keliling Prison and Paradise, menanyakan surat lolos sensor film tersebut.[11]

Semakin ke sini keberadaan lembaga sensor semakin menggurita. Usai diresmikannya Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, kerja LSF tidak lagi terbatas di pusat pemerintahan. Sekarang ia punya wewenang untuk buka cabang di ibukota provinsi.[12] Padahal, pada era reformasi ini, keberadaan lembaga sensor semakin sulit untuk dilegitimasi. Peristiwa 98 menyadarkan umat senusantara bahwa demokrasi sesungguhnya bertumpu pada keragaman, bahwa buruh dan petani punya hak bersuara yang sama dengan bangsawan dan cendekiawan. Lantas, kenapa pemaknaan dan keberkaryaan film masih juga harus disentralisir? Kalau memang berpatokan pada demokrasi, kenapa perspektif masyarakat terhadap karya film harus ditentukan segelintir orang saja?

Tantangan masa depan

Jadi, apabila kita sederhanakan duduk perkaranya: dukungan negara paruh waktu, kungkungan negara purna waktu. Ini jelas tidak kondusif bagi tumbuh-kembang budaya film kita ke depannya. Pembuat, pegiat, dan penonton film kita tidak saja kurang diperhatikan negara, tapi juga dihalangi untuk bernalar mandiri. Apabila kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin berbagai siasat yang rakyat sekarang upayakan di tingkat industri dan komunitas tumbang satu per satu pada masa mendatang.

Gejalanya sudah terasa di kalangan penyelenggara festival. Sensor tak lagi menjadi suatu tantangan untuk disiasati, tapi sudah menjelma menjadi pola pikir yang membatasi potensi festival. Sila tengok acara atau kompetisi film yang ada di nusantara ini, baik di tingkat pelajar, mahasiswa, maupun umum. Hampir semuanya mencantumkan klausul “dilarang mengirimkan karya bermuatan SARA” dalam persyaratan pendaftaran. Nah, pertanyaannya, apa lagi isi Indonesia kalau bukan perkara suku, ras, agama, dan antargolongan? Bukankah festival film seharusnya menjadi ruang yang menawarkan tontonan, pengalaman, dan gagasan alternatif untuk topik-topik itu? Dan dengan belum terwujudnya akses publik dan ruang apresiasi film yang merata di seantero nusantara, ke mana lagi kita bisa berharap selain pada kawan-kawan penyelenggara festival dan pemutaran film tersebut?

Bisa dikatakan kondisi perfilman kita sekarang merupakan imbas dari belum tuntasnya perwujudan demokrasi di Indonesia. Satu dekade lebih pasca-Reformasi, keragaman masihlah diperlakukan sebagai hal yang perlu diwaspadai, opini publik sebagai hal yang perlu dibatasi, dan kedaulatan rakyat sebagai hal yang perlu ditanggulangi. Ironis rasanya saat membaca salah satu tujuan perfilman nasional menurut UU Perfilman yakni untuk “terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa”, atau saat mendengar retorika program-program film Kemendikbud dan Kemenparekraf perihal kearifan lokal dan jati diri bangsa. Sebab, itu artinya negara kita mengakui bahwa masyarakatnya merupakan sekumpulan pribadi yang tidak bernalar mandiri, kurang mampu beropini kritis, dan susah legowo terhadap perbedaan yang nyata-nyata ada di depan mata.

Kesempatan berbenah ada di pemerintah baru, yang selama kampanye rajin menyuarakan Revolusi Mental. Bagi perfilman, hal ini sepatutnya terwujud dalam upaya-upaya pemberdayaan unsur-unsur manusia yang sedang dan akan membangun budaya film nusantara. Tantangan pertama adalah penguatan masyarakat dengan menempatkan mereka sebagai partisipan aktif dalam pembangunan budaya nusantara. Langkah yang bisa diambil adalah dengan memutakhirkan sensor menjadi klasifikasi film. Wacana klasifikasi film sebenarnya sudah pernah diperjuangkan oleh sejumlah pelaku perfilman pada 2007 dan 2008. Sayangnya upaya itu berujung pada penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap pembubaran Lembaga Sensor Film, karena keberadaan sensor dianggap masih konstitusional sepanjang “pelaksanaannya dimaknai dengan semangat menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia”.[13] Tapi apa tolok ukurnya? Nyatanya, dengan embel-embel semangat demokrasi dan hak asasi manusia sekalipun, keberadaan sensor justru memberangus keragaman ekspresi yang membentuk realitas demokratis dan penghargaan atas hak asasi.

Maka, apabila pemerintah menetapkan klasifikasi sebagai sistem saringan tontonan di ranah publik, artinya pemerintah mengembalikan otonomi kepada masyarakat, percaya bahwa masyarakat bisa memilih tontonan sesuai dengan kapasitas mental dan pengetahuannya. Lewat klasifikasi juga, pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berekspresi dan berkomunikasi lewat medium film, baik lewat tindak produksi maupun apresiasi.

Sensor barulah satu perkara. Tantangan lainnya adalah mendorong terciptanya akses dan ruang apresiasi yang lebih beragam bagi penonton dan pembuat film di Indonesia. Perkara ini tidak sesederhana menambah jumlah bioskop, terlebih lagi bioskop komersial, sebagaimana yang pernah dicanangkan Jero Wacik tiga tahun silam.[14] Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata itu ingin meningkatkan jumlah layar di Indonesia dari 600 pada 2011 jadi 1000 pada 2014. Caranya dengan menyusun regulasi yang memudahkan (calon) pengusaha bioskop untuk mendapat pinjaman dari perbankan dengan besaran bunga khusus. “Sehingga nantinya industri film bisa terdorong ke atas,” harapnya waktu itu. Nyatanya, masyarakat kita tidak terdiri atas kalangan pengunjung bioskop komersial saja, baik karena alasan ekonomi maupun kultural. Pembuat film kita juga tidak berkarya untuk pengunjung bioskop komersial saja.

Sebelum berangan-angan akan kemajuan industri film, pemerintah perlu membangun budaya menonton di Indonesia terlebih dulu, karena apa gunanya bioskop banyak kalau yang bisa mengakses hanya sedikit? Keragaman akses film dan ruang apresiasi jelas lebih perlu diutamakan. Banyak warga kita yang sudah mengupayakan hal tersebut lewat penyelenggaraan festival, layar tancap, bioskop komunitas, dan ruang-ruang putar independen lainnya. Di sinilah pemerintah kita bisa berinvestasi jangka panjang, supaya inisiatif serupa bisa meluas ke seantero nusantara dan inisiatif yang sudah ada bisa berlangsung secara berkelanjutan.

Lembaga-lembaga pemerintah macam Kemendikbud dan Kemenparekraf sering mengklaim bahwa tersedia dana publik untuk kegiatan kebudayaan di nusantara, termasuk kegiatan pemutaran dan apresiasi film di tingkat akar rumput. Sayangnya, mereka selalu abai dalam menyediakan informasi yang cukup bagi publik perihal cara mengakses dana tersebut. Tidak ada kanal komunikasi yang jelas, tidak ada pula strategi sosialisasi yang tepat guna. Program Fasilitasi Pembinaan Film Pendek untuk Pembangunan Karakter Bangsa bikinan Kemendikbud, misalnya, situsnya berganti setiap tahun: tahun lalu dukungfilmpendek.web.id, tahun ini dukungfilmpendek.info.[15] Sosialisasinya sendiri baru berlangsung satu-dua minggu jelang masa pendaftaran dan lebih mengutamakan media-media online ketimbang forum-forum warga. Program ini praktis hanya mencapai beberapa kalangan dan tidak menyediakan cukup waktu bagi masyarakat umum untuk bersiap. Sialnya lagi, program-program ini tidak bekerja sepanjang tahun, padahal apresiasi adalah salah satu lini kunci dalam siklus perfilman. Ruang apresiasi yang beragam akan berimbas pada produksi dan peredaran film yang beragam pula.

Koordinasi dan undang-undang

Sudah cukup rasanya pemerintah kita memberi dukungan lewat penghargaan-penghargaan simbolik dan program-program paruh waktu. Kini saatnya pemerintah berpikir dan bertindak melalui strategi kebudayaan yang meluas dan mendalam. Kuncinya bisa jadi ada pada kinerja Badan Perfilman Indonesia, lembaga independen yang berdiri pada Januari 2014 silam. Mengacu pada pasal 67 sampai 70 UU Perfilman tahun 2009, BPI diagendakan sebagai wadah organisasi dan asosiasi profesi perfilman di seantero nusantara, fasilitator peran serta masyarakat dalam bidang film, serta pemberi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan regulasi perfilman.[16] Singkat kata, fondasi bagi perkara perfilman di nusantara.

Sejauh ini, kerja BPI baru sebatas pemantapan internal serta rekan penyelenggaraan program-program film milik Kemendikbud dan Kemenparekraf. Di masa depan, BPI perlu berperan sebagai badan koordinasi bagi lembaga-lembaga pemerintah yang berkaitan dengan ragam kegiatan perfilman nasional, tidak hanya bersama Kemendikbud dan Kemenparekraf seperti yang sudah-sudah selama ini, tapi juga Badan Koordinasi Penanaman Modal, Arsip Nasional, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, Badan Pusat Statistik, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. Apabila koordinasi BPI dengan lembaga-lembaga pemerintah sudah terjalin, barulah kita bisa berharap pada pengadaan program dan penyaluran dukungan pemerintah yang lebih tepat guna dan tepat sasaran bagi pelaku perfilman.

Tentunya, agar semua angan-angan ini bisa terjadi, perlu ada penyesuaian atau bahkan perumusan ulang UU Perfilman. Undang-undang yang berlaku sekarang disusun pada tahun-tahun sebelum BPI terbentuk. Pasal-pasal yang menyebutkan BPI (pasal 52 dan 68 sampai 70) masih merujuk pada rencana pembentukan dan tugas-tugas dasar badan terkait, belum pada penguatan posisi BPI dalam semesta perfilman nasional. Lebih dari itu, pemerintah kita perlu sadar bahwa zaman sudah banyak berubah selama lima tahun setelah peresmian UU Perfilman. Para pelaku perfilman sekarang sudah punya posisi hukum yang lebih jelas dengan membentuk berbagai asosiasi profesi—hal ini belum terfasilitasi dalam undang-undang.[17] Pertimbangkan juga perkembangan teknologi (seluloid ke digital) dan ragam kegiatan (komunitas dan inisiatif warga) yang berlangsung dalam perfilman nasional sekarang—ini juga masih luput dalam undang-undang.

Masyarakat sudah memperjuangkan tumbuh-kembang budaya sinema nusantara dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Sekarang giliran pemerintah untuk menghargainya dengan keberpihakan politik yang tegas pada masyarakat. Hanya dengan sinergi yang sistematis dan inklusif itulah, pemerintah bisa mengakomodir keragaman masyarakatnya lewat kegiatan perfilman.

 

* Adrian Jonatan Pasaribu adalah editor cinemapoetica.com

______________________________________

[1] Penulis menggunakan esai Deden Ramadani di situs Film Indonesia, Jumlah Bioskop dan Film Bertambah, Jumlah Penonton Turun, sebagai acuan tentang kondisi perbioskopan nasional pada tahun 2014.

[2] Naskah Undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman dapat diakses di situs Kejaksaan Republik Indonesia.

[3] Rizal. Kemendikbud Sewa Hak Tayang Film Nasional. Selasa, 9 Oktober 2012. Pos Kota (diakses pada 24 September 2014).

[4] Gambaran lebih mendetail tentang kiprah komunitas dalam perfilman Indonesia bisa dibaca pada artikel Sejarah Alternatif Film Indonesia? di situs Cinema Poetica.

[5] Budi Irawanto. Menguak Peta Perfilman Indonesia. 2004. Jakarta: Kementerian Budaya dan Pariwisata, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Halaman 33-34.

[6] Ibid, halaman 35.

[7] Krishna Sen. Indonesian Cinema: Framing the New Order. 1994. London: Zed Books. Halaman 70.

[8] Reporters Without Borders. Four Films on Aceh and East Timor censored. Kamis, 30 November 2006. IFEX (diakses pada 25 September 2014).

[9] Veronica Kusumaryati mengumpulkan kasus-kasus sensor film di Indonesia dari 1970 sampai 2007. Informasi ini bisa diakses dalam buku Ketika Sensor Tak Mati-mati terbitan Yayasan Kalam pada 2007, halaman 117-129.

[10] Daniel Rudi Haryanto mengunggah surat penolakan Lembaga Sensor Film terhadap Prison and Paradise pada laman Facebook-nya.

[11] Cerita selengkapnya tentang pelarangan Prison and Paradise oleh Lembaga Sensor Film dapat disimak di blog pribadi Eric Sasono.

[12] Naskah Peraturan Presiden nomor 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film dapat diunduh di sini.

[13] Sutarto. Mahkamah Konstitusi Tolak Pembubaran Lembaga Sensor Film. Rabu, 30 April 2008. Tempo Interaktif (diakses pada 24 September 2014).

[14] Rachmadin Ismail. RI Targetkan 1000 Layar Bioskop di 2014. Jumat, 24 Juni 2011. Detik Finance (diakses pada 30 September 2014).

[15] Program Fasilitasi Pembinaan Film Pendek untuk Pembangunan Karakter Bangsa terdiri dari tiga sub-program: Pengiriman Film Pendek ke Luar Negeri, Pengiriman Insan Film Pendek ke Festival Luar Negeri, dan Fasilitasi Pembinaan Festival Film Pendek dalam Negeri.

[16] Sekilas tentang Badan Perfilman Indonesia bisa disimak pada laman berita situs Film Indonesia berikut ini: Badan Perfilman Indonesia Resmi Berdiri.

[17] Aisha. Sembilan Asosiasi Film Indonesia Bersatu di IMPAS. Senin, 2 September 2013. Tempo Interaktif (diakses pada 30 September 2014).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.