Bagaimana memandang rakyat biasa Papua dibunuh pelan-pelan di bawah pemerintahan Indonesia?
SEHARI sebelum ia meninggal, teman sekampusnya yang berumur lebih muda menjenguk dan melihat kondisinya yang mengenaskan. Perutnya membesar akibat luka dalam membengkak, kepala, tangan, dan kaki terlihat kecil. Ia tidur telentang di atas tikar dengan kaki terlipat, seakan-akan kita melihat bentuk tubuhnya serupa katak.
Saat si teman melongokkan kepala di muka pintu kamar, ia segera menyahut dengan nada lugas sebagaimana orang-orang telah mengenalnya, ‘Ko anak Mappi yang kepala batu! Ko masih saja tengok Kakak!’
‘Ini Kakak mo habis, kenapa Ko datang lihat Kakak?’
‘Ko bisa ikut Kakak kah tidak? Karena kau orang Papua dan bangsa sendiri, sama dengan Kakak.’
‘Kakak, sa tra tahu, sa cuma datang mo lihat Kakak,’ jawab temannya.
Bahkan dalam kondisi setengah mati itu, ia sadar risiko atas seseorang yang menjalin kontak dengannya. Sesungguhnya ia sudah kenyang pengucilan dan penganiayaan.
Keluarganya mencemaskan bayang-bayang pengawasan sejak ia kembali ke Merauke dalam kondisi tubuh mengeram sakit. Ia mesti dirawat di rumah sakit Katolik Bunda Pengharapan di perkampungan Kelapa Lima, sebuah daerah kelas menengah yang rimbun dan tenang, di dalam kota Merauke.
Seseorang saat membesuknya melihat keningnya berdarah, bibir pecah, hidung, telinga, dan kaki hancur. Badannya lebam. Muka bengap. Ia sulit berjalan, dipapah dengan tongkat, dan pelan-pelan lumpuh.
Sembunyi-sembunyi, keluarganya memindahkan ia dari rumah kakak tertua ke adik terdekat—masih dalam lingkungan Kelapa Lima. Jarak rumah itu sekira lima menit dengan sepeda motor, melintasi jalan berbelok dibatasi lahan rumput dan di atasnya berdiri bangunan tembok beratap seng, menghadap muka jalan, berdempet balai kelurahan. Di situlah sekretariat Satuan Tugas Papua Barat di Merauke tempat ia pernah menyandang komandan harian Satgas tatkala ‘Musim Semi Papua’ berhembus sesudah kediktatoran Soeharto tumbang.
Bangunan terbengkalai itu, setelah lebih dari sewindu, mewakili kisah senyap mengenai jejaknya, bersama rakyat Papua lain. Di dalam bangunan itu, ekspresi politik rakyat Papua di Merauke menemukan ruang terbuka sebelum kemudian ditutup paksa oleh aparat keamanan Indonesia, seiring tren serupa di seluruh Papua, yang mencurigai dan membungkan suara kritis penduduk di bumi Cendrawasih itu. Pembungkaman paksa itu telah melesakkan kembali kawasan paling timur dari negara kepuluan ini ke dalam era gelap kebebasan berpendapat.
Tokoh kita mengalami penyiksaan, meringkuk di penjara dan diadili. Ia didakwa makar kendati tuduhan itu tak terbukti. Ia pun dibebaskan meski riwayat penyiksaan itu terus bersemayam dalam tubuhnya.
Ia kembali disiksa, atas persoalan kampung yang remeh, dan kali ini diusir dari tempatnya menopang kehidupan keluarga.
Ia meninggal pada Kamis, 27 November 2008. Tercetak pada batang kayu salib yang tertancap di pusara: Nicolaus Yeem. Usia 37 tahun.
NICO YEEM, pada sebuah foto yang disimpan koleganya, mengenakan baju putih bergaris, celana katun krem dengan lipatan kecil di pinggang, tengah menyerahkan sebuah senjata rakitan di ruang sekretariat Satgas Papua, Merauke, kepada anggota militer Kodim 1707/Merauke. Mereka berdiri dihela meja kerja, di atasnya ada sebuah mesin tik, dan foto itu sendiri menandakan suatu seremoni yang tampaknya berlangsung hangat.
Pada foto lain, Yeem yang dagunya ditumbuhi cambang, sedang menandatangani surat penyerahan senjata itu kepada personil militer, duduk berhadapan di bangku kayu panjang.
Persis sesudah Presiden Soeharto undur diri pada Mei 1998, dokumentasi macam ini menjelaskan sebagian yang hilang kini di seantero Papua Barat, tujuh jam perjalanan dengan pesawat dari Jakarta, yakni angin segar kebebasan yang disebut beberapa pengamat sebagai ‘Musim Semi Papua,’ dari pertengahan 1998 hingga November 2000. Kedatangannya secepat kegelapan yang mengurungnya.
Sebagian besar rakyat Papua menyambut kejatuhan Soeharto, simbol rezim represif selama lebih dari tiga dekade, dengan sukacita. Mereka merayakannya lewat pengibaran bendera Bintang Kejora—bintang putih tunggal berlatar merah dengan tujuh garis biru dan enam garis putih horisontal di sisinya, melambangkan jumlah distrik di Papua. Ada optimisme bahwa peluang-peluang kemerdekaan bisa dinegosiasikan dengan pemerintah Jakarta.
Harapan serupa menyebar di Timor-Leste, medan kekejaman 25 tahun pendudukan Indonesia,[1] dan Aceh di ujung barat Indonesia, yang memiliki sejarah perlawanan sengit sejak era Hindia Belanda. Timor-Leste memilih merdeka dalam proses jajak pendapat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1999. Elit Indonesia tak ingin Aceh dan Papua mengikuti jejak Timor-Leste. Pada tahun-tahun berikutnya, kedua wilayah itu tersuruk dalam operasi militer, betapa pun mereka berbeda nasib secara politik, terutama setelah tsunami mengoyak Aceh pada 2004.
Cerita Papua menunjukkan satu kawasan terasing dan tertutup dari imajinasi politik mayoritas rakyat Indonesia. Hingga 15 tahun sejak Soeharto turun, isu ‘Papua merdeka’ ditanggapi kian sensitif oleh pemerintah Jakarta. Korban kekerasan terus berjatuhan, kadang seminggu satu, kadang dua, kadang lima; pokoknya sporadis. Polisi dan tentara Indonesia makin menambah pasukan, mengetatkan pengawasan. Jumlah tahanan politik tak pernah berkurang, bila tak terus bertambah.
Apa yang terjadi di Papua menunjukkan pendekatan Jakarta yang terus-menerus mengedepankan keamanan sebagai jalan menyelesaikan masalah.
Separuh bagian barat dari pulau New Guinea itu diklaim bagian dari negara baru Indonesia ketika pemerintahan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada 1949.[2] Para nasionalis Indonesia menyebut rencana Belanda, yang membantu otonomi lebih besar dan luas terhadap Papua, sebagai aksi pendirian ‘negara boneka.’ Pada 1 Desember 1961—dianggap pijakan legitimasi kemerdekaan Papua—saat dikenalkan secara resmi nama Papua Barat dan lagu ‘Hai Tanahku Papua’ diperdengarkan serta bendera Bintang Kejora dikibarkan, segera sesudahnya presiden Sukarno menyerukan ‘mobilisasi’ untuk infiltrasi ‘Irian Barat.’ Dua tahun kemudian, Organisasi Papua Merdeka terbentuk di Manokwari. Aksi-aksi pengibaran bendera mulai ditanggapi dengan kekerasan, termasuk lewat Operasi Sadar, operasi kontra-pemberontakan militer Indonesia perdana di Papua setahun kemudian.
Di tengah perang dingin, isu Papua menjadi masalah internasional, terutama karena Amerika Serikat (AS), merasa khawatir atas langkah Sukarno yang kian dekat dengan Partai Komunis Indonesia. AS lalu menawarkan Belanda menyerahkan Papua ke dalam skema transisi, mula-mula dari PBB lantas ke Indonesia, untuk kemudian diatur suatu plebisit untuk rakyat Papua: memilih memisahkan diri atau bergabung ke Indonesia. Namun skema ini tak melibatkan seorang pun wakil Papua.
Sukarno digantikan Mayjen Soeharto dalam suatu kudeta merangkak pada akhir 1965. Ratusan ribu orang terkait PKI dibunuh dan dipenjara, terutama di Jawa dan Bali.[3] Setelahnya, praktis pemerintahan negara kepulauan ini dikelola secara sentralistik, dengan birokrasi terpusat dan ditopang represi militer. Pada 1967, Soeharto mengizinkan Freeport McMoRan Copper & Gold, perusahaan tambang dari New Orleans, Amerika Serikat, mengeruk kandungan emas dan tembaga raksasa di Ertsberg, Papua Barat.
Pada pertengahan Juli 1969, Act of Free Choice diadakan, namun bukan lewat satu-orang satu-suara melainkan sistem perwakilan. Sekitar 1.022 orang dari distrik Merauke, Wamena, Nabire, Fak Fak, Sorong, Manokwari, Biak, dan terakhir Jayapura, memilih bergabung ke Indonesia. Ini pilihan terpaksa, karena mereka berada di bawah pengawasan militer Indonesia disertai intimidasi dan kekerasan. Tak seorang pun yang memilih memisahkan diri.
Hasil itu, sering disebut ‘Act of No Choice,’ pada akhirnya disahkan Majelis Umum PBB pada 19 November 1969, dengan 84 suara mendukung dan 30 abstain. Sebulan berikutnya, Irian Barat resmi menjadi provinsi ke-26. Pada 1973 ia ganti nama Irian Jaya.
Sejak itu, seruan menggugat status politik Papua makin mengemuka, terutama setelah Soeharto mundur diri. Hingga kini, para nasionalis Papua menuntut pemerintah Indonesia mengakui kecurangan historis tersebut.
SAYA BERTEMU FILEP KARMA di penjara Abepura, Jayapura, pada awal April 2012. Bila Anda ingin memahami ekspresi politik di Papua, dari 1961 hingga periode di mana orang sering menyebutnya ‘reformasi’ sejak Soeharto turun, termasuk peralihan menuju ‘era demokrasi,’ Anda perlu mendengarkan tuntutan dan penuturan para ‘tahanan politik,’ atau dalam istilah lain dikenal ‘tahanan hati nurani,’ yang diterapkan pemerintah Indonesia.
Pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak menganggap orang seperti Filep Karma sebagai ‘tapol,’ tapi murni ‘kriminal biasa.’ Faktanya ia dipenjara karena dituduh ‘makar’—suatu pidana yang mengandung motif politik.[4]
Karma dihukum penjara 15 tahun sejak 2005 karena mengadakan demonstrasi damai menolak otonomi khusus pada 1 Desember 2004. Ini kali kedua ia masuk bui setelah pada 6 Juli 1998, dalam aksi pengibaran bendera Bintang Kejora yang berakhir kekerasan di Biak, sebuah pulau dengan lanskap yang indah, ia didakwa tuduhan serupa. Kala itu ia dihukum 6,5 tahun, tapi kemudian bebas dalam sidang banding pada 1999. Sejumlah rujukan atas riwayat kekerasan di Papua menyebut peristiwa itu sebagai ‘Biak Berdarah.’[5] Itu juga salah satu kekerasan paling mencolok di Papua pasca-Orde Baru.
Di Jakarta, di mana B.J Habibie diserahkan jabatan presiden sementara, suatu delegasi dari pemuka sipil Papua, yang menamakan diri Tim 100, diterima pada 26 Februari 1999 untuk membahas masa depan Papua, termasuk opsi kemerdekaan.[6] Kendati terkejut, Habibie lebih memilih opsi pemisahan administratif provinsi guna mencegah pemisahan diri. Habibie berkata, ‘Aspirasi yang kalian bawa itu penting, tapi mendirikan sebuah negara tidaklah mudah…’ Ia minta mereka memikirkan ulang dan pulang ke Papua untuk mengatur apa yang disebut ‘dialog nasional.’
Habibie digantikan Abdurrahman Wahid, tokoh muslim dari Nahdlatul Ulama, pada Oktober 1999, sesudah Indonesia menggelar pemilihan umum pertama pasca-Orde Baru. Wahid segera mengambil posisi yang mengedepankan dialog terhadap Papua. Pada akhir tahun, ia mengunjungi Jayapura sebagai lawatan simbolik menyongsong fajar baru abad ke-21, sekaligus mengusulkan nama ‘Papua’ untuk provinsi yang selayaknya disebut demikian.
‘Nama inilah yang hendaknya dipergunakan seterusnya…,’ ujar Wahid yang disambut hangat rakyat Papua pada malam menjelang pergantian tahun.[7]
Pada 23-26 Februari 2000, ratusan pemuka Papua menggelar ‘Musyawarah Besar’ di Sentani, Jayapura, dan memutuskan pembentukan lembaga eksekutif mandiri, dikenal Presidium Dewan Papua, yang diberi mandat menggelar Kongres Rakyat Papua II. Kongres pertama dianggap telah diadakan saat era pemerintahan Belanda pada 1961. Hasil kongres kedua, digelar 29 Mei–4 Juni, menyatakan rakyat Papua telah siap sebagai bangsa berdaulat dan negara-negara yang terlibat dalam ‘Act of Free Choice’—AS, Belanda, dan Indonesia—harus mengakui hak politik bangsa Papua. Ia juga memilih Theys Hiyo Eluay (kepala adat suku Sentani) sebagai ketua Presidium dan Tom Beanal (kepala adat suku Amungme, lokasi tambang Freeport di Timika) sebagai wakilnya—bisa dibilang mereka merepresentasikan daerah pantai dan pegunungan Papua.
Presidium bertugas menuntut referendum, atau upaya-upaya dialog secara damai dengan pemerintah Jakarta, yang bertujuan meraih kemerdekaan. Ia beranggotakan 24 orang, mewakili apa yang disebut ‘sembilan pilar,’ meliputi pilar agama, adat, profesi, mahasiswa, perempuan, pemuda, tahanan politik, pelaku sejarah, dan jaringan internasional,[8] yang membentuk ‘dewan panel’ di tiap-tiap distrik.
Wahid menyetujui dilangsungkannya Kongres dan mengizinkan pengibaran Bintang Kejora, asalkan berdampingan dan ditempatkan lebih rendah dari bendera Indonesia. Ia juga memberi bantuan dana dari anggaran pemerintah sebesar Rp 1 milyar untuk acara Kongres tersebut. Dukungannya, dalam derajat tertentu, untuk mengedepankan kebijakan kemanusiaan terhadap Papua, yang disambut hangat rakyat Papua, justru ditentang para elit politik di Jakarta. Gambaran buruknya, menjelang akhir tahun 2000, Jakarta mengirimkan lebih dari 3.000 pasukan Brigade Mobil dan prajurit Kostrad ke Papua.
Para birokrat dari rezim lama memiliki pandangan berbeda atas Papua. Segera setelah Kongres, sebuah pertemuan tertutup yang terungkap ke publik antara Bakin, Bais, Kostrad, dan Kopassus tengah merancang suatu operasi pemberangusan terhadap para pendukung kemerdekaan, termasuk pemimpin sipil, pegawai pemerintah, akademisi, dan politisi. Pertemuan itu juga menyusun operasi militer, termasuk merekrut, melatih, dan mendanai milisi-milisi pro-Indonesia. Dalihnya meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi di masing-masing distrik guna mendukung rencana otonomi khusus.
Satgas Papua, sebagian besar dari kalangan anak muda, segera bertugas mengamankan pertemuan-pertemuan politik sepulang Tim 100 dari Jakarta. Mereka menjaga rumah Theys Eluay, di mana ketua Satgas sendiri adalah anaknya. Dengan seragam hitam dan lencana Bintang Kejora, anak-anak muda ini berjaga-jaga dalam acara Musyawarah Besar dan Kongres Rakyat Papua II, yang segera diakui sebagai salah satu pilar Presidium. Satgas lalu berubah jadi jejaring sayap pemuda dari semula perkumpulan cair di tengah orientasi perjuangan rakyat Papua. Mereka mendirikan posko-posko di nyaris seluruh distrik.
Lawannya, milisi Merah Putih bentukan militer Indonesia.[9] Milisi ini sengaja dibikin untuk menggalang dukungan pro-Indonesia, diduga pula untuk menciptkan kondisi Papua agar terus tegang hingga memberi dalih tindakan keras oleh aparat keamanan Indonesia. Tujuannya membendung arus pro-kemerdekaan.
Pada Maret 2000, bersama pasukan Kostrad dan regu Brimob, milisi Merah Putih melakukan kekerasan di sebuah kampung di Fak Fak, sebuah distrik yang didominasi penduduk Muslim.[10] Pada April, Kodim1702/Jayawijaya membentuk milisi serupa di Wamena, dengan merekrut 80 warga sipil.[11] Para aktivis hak asasi manusia di Papua khawatir situasinya akan seperti Timor-Leste pasca-referendum 1999.[12]
Di sisi lain, sejak Satgas Papua terbentuk (ada yang menyebut 7.000 hingga 10.000 anggotanya hingga medio 2000), muncul kecemasan di antara kalangan intelektual Papua bahwa organisasi ini justru akan jadi duri dalam daging di tengah gerakan pro-kemerdekaan. Belakangan terungkap kabar, sayap pemuda Golkar, Pemuda Pancasila, diduga memiliki hubungan dengan Satgas Papua lewat wakil ketua Yorrys Raweyai,[13] yang dekat dengan Theys Eluay. Eluay adalah politisi parlemen daerah dari Partai Golkar selama limabelas tahun yang berbalik mendukung kemerdekaan Papua sesudah 1998. Raweyai, yang juga ikut dalam Tim 100, dikenal dekat dengan keluarga Soeharto lewat sayap paramiliter Pemuda Pancasila.[14] Dalam beberapa peristiwa, di sisi lain, anggota-anggota Satgas mulai lakukan pemerasan terhadap pedagang non-Papua.
Sesudah Kongres, Letjen Agus Wirahadikusumah—salah satu dari sedikit perwira yang dianggap reformis—saat itu menjabat panglima Kostrad,[15] menyerukan Satgas dibubarkan dan menangkap anggota-anggota yang melakukan pemalakan. Namun perintahnya tak dituruti.
Seruan dari kalangan internal Papua bahwa Satgas perlu direstrukturisasi tampaknya jadi perkara waktu, karena, bahkan sebelum harapan-harapan dan tuntutan-tuntutan rakyat Papua membesar, gelembung itu pecah di Wamena pada 6 Oktober 2000.
Beberapa jam berikutnya kekerasan menyebar ke Wouma, sebelah selatan Wamena, di mana kerumunan orang Papua membakar dan menjarah pertokoan. Aparat Indonesia dikerahkan dan mulai menembakkan peluru dari kampung transmigran. Itu dibalas serangan terhadap rumah-rumah penduduk transmigran, membunuh 24 orang non-Papua dan sedikitnya tujuh orang Papua tewas tertembak. Sesudah kejadian, 22 orang Papua ditangkap.[16]
Itu adalah titik balik. Polisi menyerukan penduduk transmigran untuk mempersenjatai diri dan melakukan patroli kampung. Seorang perempuan non-Papua diperkosa dan kepalanya dipancung. Narasi keji yang menempatkan nasionalis Papua sebagai pelaku ini sengaja diciptakan guna memberi kesan bahwa mereka kejam dan biadab. Sesungguhnya, aksi sadis macam itu justru paling sering dipakai tentara Indonesia demi membentuk opini buruk dan memobilisasi kemarahan. Di Jayapura, polisi mewanti-wanti jika kekerasan berlanjut, mereka takkan dapat mencegah Laskar Jihad memasuki ibukota Papua.[17]
Lima hari kemudian, di Jakarta, Wakil Presiden Megawati dan Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, merancang kebijakan untuk membungkam gerakan kemerdekaan, termasuk melarang pengibaran bendera Bintang Kejora. Mereka juga mendesak penyelidikan terhadap peranan Presidium dan Satuan Tugas Papua atas peristiwa itu. Menjelang akhir tahun, Theys Eluay dan empat pemimpin Presidium lain ditahan dengan tuduhan makar.[18]
Antara 1998 hingga 2000, menurut sebuah laporan, sekurang-kurangnya terjadi 80 kasus bergaya eksekusi dan 500 kasus penanahan dan penyiksaan sewenang-wenang terhadap individu Papua oleh pemerintah maupun militer dan polisi Indonesia.
Musim semi Papua segera berganti musim penyiksaan.
PADA 4 November 2000, bulan di mana presiden Abdurrahman Wahid menghadapi perangkap parlemen di Jakarta, di kota Merauke, terletak di pantai selatan Papua, dua warga tewas tertembak oleh regu Brimob. Kejadian pertama di pintu air Natuna, dekat pelabuhan, korbannya Adam Baits. Yang kedua Robertus Waimu, anak muda yang baru lulus SMA, di jalan Ampera.
Nicolaus Yeem, berusia 27 tahun saat pulang ke Merauke pada 1998, menurut kakak sulungnya, adalah pemuda yang mulai sadar politik setahun kemudian. Ia sempat bekerja sebagai navigator pelayaran di pantai Etna, Fak Fak, selama enam bulan sewaktu Indonesia dihajar krisis ekonomi. Krisis itu kian memicu protes rakyat menuntut Soeharto mundur, dan pada gilirannya membuka angin kebebasan sipil, termasuk menjatuhkan moral operasi militer Indonesia yang bertahun-tahun menghadang resonansi ekspresi pemisahan-diri seperti terjadi di Papua. Ketika Yeem pulang, mayoritas rakyat Papua menyambut jatuhnya Soeharto, yang nyaris menarik seluruh pemuda Papua bersuka-cita dan turut terlibat dalam diskusi-diskusi terbuka mengenai masa depan ‘bangsa Papua.’
Waktu kecil, Yeem ikut pamannya dari pihak papa di kampung Kweel, dekat perbatasan Papua New Guinea, dan ikut bibinya dari pihak mama di Mindiptana, Boven Digoel. Ia lantas kembali ke Merauke untuk sekolah teknik mesin. Pada 1995, ia pergi ke Yogyakarta untuk kuliah pastur. Merasa tak cocok, Yeem pindah sekolah tinggi ilmu pelayaran untuk mendalami navigasi mesin dan radio kapal.
Orang tua Yeem dari suku Muyu, salah satu dari 17 suku di Merauke yang banyak dijumpai di sepanjang perbatasan. Di distrik Merauke sendiri, di mana suku tradisionalnya adalah Malind Anim, berkat migrasi pekerjaan dan pendidikan missionaris Belanda, kelompok itu terkonsentrasi di kampung Kelapa Lima.
Suku Muyu seringkali dicap sebagai pemberontak, hingga tak heran jadi salah satu kelompok paling menderita selama operasi militer di seantero Papua pada 1980-an. Operasi itu bertujuan membongkar seluruh jaringan simpatisan Organisasi Papua Merdeka di lingkungan kampus hingga instansi pemerintah, termasuk melakukan pembunuhan terhadap antropolog Arnold Ap dari Universitas Cenderawasih, Jayapura.[19] Imbasnya, pada 1984-1986, puluhan ribu orang Papua terpaksa menyeberangi perbatasan PNG, termasuk orang Muyu dari sebagian besar 9.435 pengungsi di selatan Papua. Tahun-tahun itu juga pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan transmigrasi ke Papua.[20] Stigma pemberontak terhadap orang Muyu acapkali dijadikan dalih penangkapan, satu hal yang akan dialami Nico Yeem.
Demikianlah. Saat Nicolaus Yeem menyandang komandan harian Satgas di Merauke, sesudah ada penembakan pada awal November, ia meminta anggota-anggota Satgas menuruti permintaan otoritas kepolisian Indonesia di Merauke agar tak mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2000.
Kakak iparnya (mengenang Yeem sebagai ‘orang yang pertama menyatakan kepadanya Indonesia sebagai penjajah’ pada 1999 di Polres Merauke) mengingat perintah Yeem bahwa ‘kita tra usah upacara.’
Kata Yeem, ‘Jangan sampai konflik. Biar sudah. Tidak untuk kalah. Mengalah untuk baik.’
‘Kita boleh lawan, tapi kita trada bawa barang itu (senapan). Kita tenang untuk baik,’ kata Yeem.
Sebagaimana terdokumentasikan lewat foto, para anggota Satgas meyakini tentara dari Kodim 1707/Merauke, memasok senjata rakitan ke tangan penduduk transmigran di distrik Kurik. Senjata itu ditemukan anggota Satgas yang kemudian diserahkan ke personil Kodim. Ini taktik militer Indonesia untuk menyulut kerusuhan antara warga non-Papua dan Satgas Papua.
Yeem bilang, jika enggan dengar perintahnya, ia lebih suka pulang untuk cari makan, ‘Perjuangan kita harus ada uang!’
Pada 28 November, Yeem memutuskan pergi ke kampung Kweel di distrik Elikobel, sekira 172 kilometer dari distrik Merauke. Akhir tahun itu dikenal musim ikan kaloso atau arwana, biasa dibeli Yeem seharga Rp 15.000 per ekor lantas dijual kembali ke Kota Merauke dengan ambil keuntungan Rp 5.000.
Pada Jumat, 1 Desember, memang tak ada perayaan upacara, tapi justru terjadi esoknya, yang berbuntut kekerasan.
PADA Jumat malam, saat kumpul di Kuda Mati, kakak ipar Yeem memberi saran pada anggota Satgas agar mereka mengurungkan perayaan itu. Teorinya, Papua cuma mengenal 1 Desember sebagai hari bersejarah, bukan hari yang lain. ‘Kalau ada kegiatan tanggal 2 (Desember), siapa yang bermain?!’
Sulit menduga siapa yang mengatur peringatan itu. Namun pada pagi hari Sabtu, 2 Desember, sebagaimana bertahun-tahun kemudian diceritakan saksimata, rombongan orang Papua telah berkumpul di bundaran simpang empat di dekat masjid raya. Itu sebuah titik yang menghubungkan jalan Brawijaya, jalan Parakomando, jalan Trikora, dan sebuah jalan menuju kampung Kelapa Lima. Di tengah bundaran itu terpacak sebuah tugu ‘Maroka Eke’.
Rombongan menyusuri jalan Trikora, melewati pasar induk Ampera, kini pasar lama, menyanyi ‘Hai Tanahku Papua’ dari sebuah tape besar dan seorang demonstran menenteng sebuah megaphone. Dari sekelompok kecil menjadi besar, mereka putar kota ke arah pelabuhan, melintasi regu marinir dilengkapi senapan yang tengah berjejer di depan pangkalan Angkatan Laut Indonesia. Mereka berseru seraya mengangkat tangan: ‘Adil dan merdeka!’
Mereka lantas berbelok ke jalan raya Mandala, sebuah jalan utama yang menghubungkan bandara dan pelabuhan. Tiba di polres, kini pos polantas, mereka dihalangi kawat duri sepanjang 2 meter, yang lantas mereka terjang, membuka pintu sel, membebaskan para tahanan kriminal. Suara tembakan menggema di tengah kekacauan. Seorang demonstran kena tembak pada lambung kanan. Rombongan membiarkannya dan terus bergerak menuju kota. Sasarannya kantor bupati.
Di tengah jalan, mereka menurunkan bendera Merah-Putih di dua kantor pemerintah. Setiba di kantor bupati, mereka menaikkan bendera Bintang Kejora. Itu sekitar pukul 09:00, terjadi negosiasi, bendera diturunkan tigapuluh menit kemudian. Di sana polisi dan tentara telah berjaga-jaga. Ada dua truk kompi. Pecah kekerasan.
Sebagian rombongan, yang mempersenjatai diri dengan panah, lantas baku lempar dengan aparat Indonesia. Sebagian lagi memaksa masuk ke kantor parlemen daerah, di depan kantor bupati, merusak jendela dan atap seng. Mereka menyingkir ke puskesmas, mengatur jalan selanjutnya. Sebuah mobil pick-up polisi terlihat didorong hingga terbalik.
Rombongan berlari kembali ke bundaran. Polisi terus menyerang. Sebagian orang memasuki toko, mengambil benda-benda yang ada di sekitarnya, melemparnya ke arah sumber tembakan. Demonstran membubarkan diri setiba di pasar Ampera. Sebagian besar pulang ke Kelapa Lima. Pawai itu berakhir sekira jam 4 sore.
Sekurangnya sepuluh orang tewas, termasuk seorang transmigran yang terjebak di tengah pawai. Sebuah laporan menyebutkan lusinan lain terluka.[21]
Hinga tiga hari berikutnya, aparat gabungan menyisiri perkampungan, terutama di Kelapa Lima, membongkar posko-posko Satgas di jalan, menyebabkan banyak anak muda dan para suami menyelamatkan diri ke daerah berawa di Tanjung Bupul, Matanding.
Sebagian besar tinggal di sana selama seminggu, hingga ada negosiasi lewat perantara perwakilan pendeta Katolik. Dalam negosiasi itu, para anggota Satgas minta jaminan tak ditangkap sekembali mereka ke rumah. Kapolres Merauke, Yohanes Agus Mulyono, yang melakukan negosiasi itu bersama bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze, berjanji tidak akan menangkap mereka.
NAMUN, pada 11 Januari 2001, Nicolaus Yeem dijemput dari Kampung Kweel dan disiksa.
Sebuah unit gabungan dari polisi brigade mobil dan personil TNI dari Komando Pasukan Khusus, Kodim 1707/Merauke, dan Yonif Linud 431/SSP,[22] menangkap Yeem di sungai Palda, kampung Kweel, sekira jam 6 sore. Mereka menggunakan delapan kendaraan hardtop dan enam sepeda mator Yamaha RX-King. Sepanjang jalan, mereka menyiksa Yeem.
Di pos polisi sektor (polsek) Erambu, distrik Sota, sekira 150 km dari distrik Merauke, iring-iringan itu berhenti.
Yeem dipukul dengan popor senjata, badannya disundut puntung rokok dan diludahi. Dengan tubuh telungkup, ia diinjak ke dalam genangan lumpur, ditindis dengan kayu balok di atas tulang belakang, sampai-sampai nafasnya sesak lumpur.
Sebuah pistol tanpa peluru dimasukkan ke dalam mulutnya dan dikutik hingga tiga kali.
Sembari menyiksa, mereka mencelanya: ‘Kau mau mau merdeka? Papua mau merdeka? Kau lawan orang Indonesia seluruhnya! Kau minum pasukan punya air kencing dulu…’
Esoknya, pukul 08:00, mereka tiba di distrik Merauke, dan segera menjebloskan Yeem ke sel polisi resort (polres) Merauke. Ia meringkuk di sana hingga empat bulan, sementara hukum di Indonesia hanya boleh menahan warga negara selama 21 hari plus perpanjangan 6 hari. Otoritas Indonesia di Merauke menuduh Yeem melakukan ‘makar.’
Kakak sulung Yeem, pada saat kejadian berada di Kweel untuk merayakan Natal dan tahun baru, segera mendengar dari ibu angkatnya, yang turun ke Merauke untuk cari kepastian, akhirnya mengetahui dari kabar Mama Yeem, ‘Adik su di sel Polres, Mama diusir oleh polisi di Polres.’
Mama Yeem, bagaimanapun, sesudah dibohongi (dibilang ‘ko pu anak lari ke hutan,’ ‘punya anak bikin kacau’) akhirnya diterima untuk melihat keadaan Nico.
Kakak Yeem rutin membesuknya tiga kali dalam seminggu. Ia melihat jari kelingking kanan Yeem remuk.
Yeem tak menerima perlakuan terhadap dirinya, yang sempat dilarang bertemu keluarga, ‘Saya bukan pengacau, saya bukan perusak.’
‘Kamu yang datang yang bikin kacau. Ko pu tempat di mana? Ko pu leluhur di mana?’
‘Dia mengamuk sekali,’ kata kakaknya kepada saya.
Jumat Agung pada bulan April 2001, kakaknya mencari jalan untuk membebaskan Yeem. Ia mendatangi rumah ketua pengadilan.
‘Ibu ada perlu kah?’
‘Saya perlu. Saya warga negara Indonesia yang tidak mengerti aturan hukum negara Indonesia.’
‘Maksud Ibu bagaimana?’
‘Adik saya masuk sel, sudah lewat 21 hari, itu bagaimana?’
‘Itu ada aturan, itu nanti ada tahanan jaksa, masuk ke LP.’
‘Ibu pu adik masalah apa?’
‘Saya pu adik tuntut hak sebagai orang Papua. Dia ditangkap dan ditahan di sel dengan tuduhan makar.’
‘Apakah Ibu pu adik menurut Ibu benar?’
‘Ya, benar.’
Pada bulan Mei, Yeem berada di bawah kewenangan Jaksa, dimasukkan ke lapas Merauke di bilangan Ermasu.
Dua bulan berikutnya, bulan di mana Abdurrahman Wahid menghadapi tekanan besar dari parlemen nun sejauh 3.732 kilometer di Jakarta, Yeem dibawa ke pengadilan. Tanpa saksi yang dibawa ke persidangan, selama sebulan setiap hari Rabu, Yeem diusut perkaranya. Pengadilan memutuskannya bebas pada 25 Juli, satu hal yang mengandung kecurigaan bahwa dakwaan yang dibebankan kepadanya hanyalah upaya meretas penyiksaan. Dua hari sebelumnya, di Jakarta, jabatan Wahid dicopot dan digantikan Megawati.
PERKEMBANGAN resolusi politik untuk Papua mulai jelas tapi dramatis. Megawati menyetujui otonomi khusus untuk Papua segera setelah ia menjabat presiden. Dua tahun berikutnya, Januari 2003, ia mengeluarkan keputusan presiden yang mengesahkan pembagian provinsi baru, bernama Papua Barat dengan ibukota Manokwari, dan tiga kabupaten (Paniai, Mimika, dan Puncak Jaya), serta sebuah kotamadya (Sorong).
Elit politik Papua begitu terpecah, terutama dari semula tuntutan ‘merdeka’ di tengah euforia dalam era yang disebut reformasi, belakangan jadi sekadar ‘otonomi khusus’— dinilai pengamat sebagai satu perubahan yang terlalu kompromis.[23] Otonomi juga mengatur pembentukan majelis tinggi mandiri, bernama Majelis Rakyat Papua, yang mengakomodasi orang Papua untuk menduduki jabatan itu. Dalam perkembangannya, perannya sebatas simbolis saja. Pada 2002, Dewan Adat Papua terbentuk. Tujuannya, melindungi masyarakt asli Papua, yang idenya mengacu pada struktur tujuh pemerintahan adat era pemerintahan Belanda. Ada sejumlah faksi, dan di dalamnya muncul konflik dan persatuan, di tengah gerakan kemerdekaan Papua dalam tahun-tahun berikutnya.[24]
Pada September 2001, dua bulan setelah Yeem dibebaskan pengadilan, Willem Onde—dianggap pimpinan Organisasi Papua Merdeka di Merauke—ditemukan tewas; jasadnya mengapung di Kali Maro.[25] Pada 11 November, dalam apa yang diyakini banyak kalangan sebagai operasi terencana, Theys Hiyo Eluay dibunuh prajurit Kopassus.
Apa yang terjadi pada Yeem?
Ia kembali ke kampung Kweel. Menjalani rutinitasnya sebagai penjual ikan arwana. Seakan-akan ia menolak tunduk pada penyiksaan yang dialaminya, atau sesungguhnya kehidupan terlalu besar untuk dikendalikan oleh penderitaan.
Namun, bagaimanapun, pada November, ia sekali lagi menerima penyiksaan.
Perkara penyebabnya remeh. Tapi stigma terhadap dirinya sebagai orang Muyu telah mengurungnya sebagai objek kekerasan. Stigma ini juga disemai provokasi oleh personil Yonif 733/ Pattimura, kesatuan dari Kostrad yang diterjunkan untuk menjaga pos-pos perbatasan, yang menuduhnya telah menjual harga ikan Arwana terlalu mahal: Rp 25.000 di distrik Merauke dari harga yang dibeli Rp 10.000 di Kweel.
Seorang warga mencela Yeem sebagai ‘pengacau, separatis, OPM.’
‘Orang Muyu tipu-tipu,’ katanya.
Tak terima tuduhan itu, Yeem lalu membalas dengan memukulnya.
Warga setempat berbondong-bondong menghajarnya—dengan kapak, parang, kayu, senter, radio—sambil menggelandangnya menuju kantor pos tentara terdekat sejauh 9 km, dari jam 11 malam hingga 3 pagi. Di sana, dua tentara Yonif 733 menyambutnya dengan popor senjata yang menukik tulang belakang, dan menendang lambung kirinya berkali-kali. Yeem diikat di bawah tiang bendera Merah Putih, dari pagi hingga siang. Ia juga diminta bayar ganti rugi Rp 1 juta; setengah untuk warga setempat yang dipukulnya, setengah lagi untuk tentara. Yeem melunasinya.
Namun, dalam tahun-tahun berikutnya, kehidupan Yeem tampaknya berjalan tenang.
Ia menikah lagi dengan perempuan dari suku Yeinan, sub-suku Marind, yang bermukim di hulu Kali Maro pada 2002. Dalam dua tahun kemudian, mereka memiliki dua anak, seorang lak-laki dan seorang perempuan. Pada Mei 2007, anak ketiganya yang perempuan lahir. Namun, pada bulan berikutnya, Mama-nya meninggal. Usia Yeem saat itu 36 tahun.
SEBAGIAN besar warga Indonesia mengenal ‘Merauke’ dari sebuah lagu ‘Dari Sabang sampai Merauke.’ Lagu ini sudah diperkenalkan saat sekolah dasar, sebagai kontak pertama usia anak Indonesia dengan negara, sebagai apa yang disebut ‘lagu nasional.’ Liriknya, Indonesia terdiri pulau-pulau, dari Sabang sampai Merauke, tapi merupakan satu kesatuan.
Di Merauke, hamparan dataran rawa berisi pohon kayu putih dan gambir, dengan jalan berlubang yang menghubungkan satu distrik dengan distrik lain, bisa jadi membosankan buat Anda. Namun di sini lah, di ujung timur Indonesia, proyek-proyek dari Jakarta terhubung dalam bentuknya yang pelik, dan seringkali lewat jalan kekerasan. Proyek-proyek ini telah membelah masyarakatnya menjadi penduduk transmigran dan penduduk Papua dengan pemandangan yang kontras.
Sebuah studi pada 2011 memproyeksikan, bila populasi Papua sebesar 1.760.557 terus meningkat dengan tingkat rata-rata tahunan 1,84 persen, maka orang Papua akan berjumlah 2.112.681 pada 2020. Sebaliknya, jika penduduk non-Papua selalu bertambah pada rata-rata stabil 10,82 persen, maka akan berjumlah 5.174.782. Jika kondisinya tetap, maka pada 2020 diperkirakan populasi orang Papua menjadi sebesar 28,99 persen, jauh lebih kecil dari populasi non-Papua yang sebesar 71,01 persen.. Gambaran demografi yang sangat timpang sebagai hasil dari program transmigrasi ini memunculkan istilah yang disebut ‘slow-motion genocide.’[26]
April 2012, saya bertemu dengan mama-mama penjual kepiting dan kangkung di sepanjang jalan Ermasu. Saya mengikuti kegiatan seorang mama dari suku Auyu. Keponakannya ditembak mati di bagian bahu oleh regu brigade mobil (Brimob) pada 4 November 2000. Itulah Robertus Waimu.
Mama cerita, saat mendengar kejadian itu, ia segera mencari Waimu, yang telah dibawa ke sebuah rumah pamannya. Di sanalah, pada jam 6 sore, ia mendekap jasad Waimu yang bersimbah darah, memangku kepalanya.
Ia menuntun saya ke titik jalan di mana 12 tahun lalu darah Waimu tergenang.
‘Mengapa ditembak?’ tanya saya.
‘Mama tak tahu. Dia anak muda yang pintar bahasa Inggris. Bila ada tamu wartawan yang datang ke Merauke, dia yang antar wartawan itu, bicara dengan penduduk Papua.’
‘Mungkin karena itu…’ ujar Mama.
Papa Waimu, yang tinggal di Boven Digoel, datang sebentar ke makam anaknya pada 2003. ‘Dong sakit hati kenapa trada yang tangggungjawab anaknya ditembak? Pelaku tra ditangkap?’ ujar Mama. ‘Dia berjanji tra akan turun ke Merauke.’
Setiap tahun saat Jumat Agung, Mama tabur bunga dan bakar lilin di tempat tubuh ponakannya ditembak.
Di Merauke, daerah yang tak pernah dikunjungi sebagian besar masyarakat Indonesia, menjadi mungkin dilihat karena paksaan oleh politik integrasi. Di daerah Tanah Miring, suatu kampung transmigran, terdapat Monumen Benny Moerdani. Monumen itu adalah suatu peringatan, atau situs pengagungan atas apa yang dijalankan Kapten Moerdani pada Juni 1962, saat memimpin pasukan payung untuk menggagalkan rencana pendirian negara Papua. Kenyataan lain, bila Anda berjalan menuju pelabuhan di pusat kota Merauke, di situlah Anda tengah melewati jalan Sabang, seakan-akan ‘Sabang’ di ujung barat Indonesia dekat dengan Merauke di ujung timur Indonesia.
Saya bertemu dengan keluarga Yeem di kampung Kelapa Lima dan bicara dengan kakaknya. Saat menyinggung aktivitas politik Yeem sebagai komandan Satgas, ia segera menyahut, ‘Satgas bukan milisi. Dia pu satuan tugas yang mempertahankan bendera Bintang Kejora, tuntut hak untuk pengembalian kedaulatan politik bangsa Papua. Bukan pegacau, bukan teroris, bukan milisi.’
Bagaimanapun, dalam banyak kejadian kekerasan, tentara-tentara Indonesia acapkali tak mengenal peduli apakah Anda penggiat politik atau warga Papua biasa. Pada Juni 2009, muncul laporan yang menguraikan para personil Kopassus di Merauke melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak muda Papua, sebagian besar karena persoalan kriminal biasa, atau dalam kamus hukum Indonesia dianggap ‘mengganggu ketertiban umum’—yang definisinya terlalu samar dan seturut otoritas setempat. Di Kelapa Lima, warga mengenal Kopassus dari sebuah rumah sewa di jalan Doom bertuliskan ‘Mess Kopassus.’ Mereka muncul sejak 2006.[27]
Jumlah aparat keamanan Indonesia di seluruh Papua, menurut sebuah studi, meningkat pada dekade terakhir. Taksirannya, seorang polisi atau tentara mengawasi 97 warga sipil—sebuah perbandingan yang jauh melampaui seluruh kawasan lain di Indonesia, di mana 296 warga sipil diawasi seorang tentara atau polisi. Sebagaimana Indonesia mengesahkan pemekaran di sebagian besar kawasan Papua, dari kabupaten hingga provinsi, jumlah satuan teritorial militer dan pos polisi juga ikut tersebar dan bertambah. Militer Indonesia, terutama Angkatan Darat, mengukur Papua dengan garis mistar keamanan sebagai operasi perbatasan dan pemberontakan, serta ‘aset vital nasional.’ Polisi bertugas memantau dan meringkus ekspresi politik orang Papua. Di sisi lain, elit politik Papua juga terus-menerus melobi Jakarta untuk membentuk provinsi baru di sebelah selatan Papua.[28]
Pada 2007, Presiden Yudhoyono mengenalkan megaproyek pembangunan pertanian dan perkebunan, dikenal ‘Merauke Integrated Food Energy Estate ‘ (MIFEE).[29] Megaproyek ini memetakan dataran Merauke sebagai lumbung pangan yang akan ‘memberi makan rakyat Indonesia, kemudian dunia.’
Lahan yang dikenalkan pada 2010 dibuka seluas 1,28 juta hektar, dua kali luas pulau Bali, 90 persen masih hutan alami yang belum pernah ditebang. Proyek itu didukung 32 investor, sebagian besar dari pengusaha Jakarta. Dalam perkembangannya, peta luas lahan itu selalu mengalami revisi.[30] Para aktivis adat dan lingkungan mengkhawatirkan megaproyek itu akan merampas tanah adat, mendatangkan puluhan ribu buruh non-Papua, yang gilirannya mengusir masyarakat adat di sana.
Sekurang-kurangnya, tim peneliti pemerintah Indonesia membahas persoalan di Papua. Ada empat soal, tulisnya, ‘marjinalisasi dan diskriminasi; status sejarah dan politik; kegagalan pembangunan; dan kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia.’ Mereka menjelaskan empat soal itu ke dalam diagram yang mereka sebut ‘Papua Road Map.’ Titik magnetnya, soal-soal itu diselesaikan untuk meraih ‘Papua Baru.’[31]
Namun, yang lebih terlihat adalah bentuk kekerasan baru.
Pada akhir 2011, Kongres Rakyat Papua III di Abepura dibubarkan aparat keamanan Indonesia setelah Kongres berjalan tiga hari. Lebih dari 300 orang ditangkap, tiga orang Papua tewas, dan 90 lain luka. Enam aktivis Papua diadili dengan dakwaan ‘makar.’[32] Ini menambah daftar panjang tahanan politik Papua di bawah pemerintahan Yudhoyono.[33]
Saya bertemu Edison Waromi[34] di Lapas Abepura, sebulan setelah vonis tiga tahun penjara terkait kongres itu, April 2012. Menurut istrinya, jika dihitung-hitung, ‘Bapak menghabiskan waktu di tahanan selama 19 tahun.’ Waromi menjalani kehidupan pertama di balik jeruji selama 10 tahun di Kalisosok, Surabaya, pada dasawarsa terakhir rezim Soeharto. Putri mereka pernah diculik dan disiksa pada 2007 di Jayapura, terkait kegiatan politik papanya.
‘Apa yang dipilih Papua, dong pilih maut satu keluarga,’ ujar istri Waromi. ‘Dong’ maksudnya otoritas Indonesia, militer maupun polisi, yang sering melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil Papua.
Bagaimana meretas upaya jalan ‘Papua Baru’ bila kekerasan-kekerasan tetap terjadi, bila postur keamanan terus bertambah?
Pemerintahan Yudhoyono, sebagaimana yang ia lakukan saat menjabat presiden 2004 dengan menegaskan penerapan otonomi khusus, memilih opsi ‘pembangunan’ untuk persoalan Papua, dan pada 2011, ia membentuk sebuah unit kerja yang ‘mempercepat’ pembangunan tersebut, bernama Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.[35] Ia memilih kepala tim tersebut dari seorang perwira yang punya sejarah buruk dalam kekerasan militer di Aceh.
Yudhoyono enggan mendengarkan daftar rekomendasi, yang dibuat setahun sebelumnya oleh anggota-anggota Majelis Rakyat Papua di Jayapura. Salah satu butir rekomendasi itu adalah menolak otonomi khusus dan menyuarakan referendum untuk Papua, satu peristiwa terbuka yang mengingatkan pada euforia 1998 saat rakyat Papua berani bicara ‘merdeka’ sebelum mereka dirangkum dalam riwayat penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, dan pembunuhan pada tahun-tahun sesudahnya.
Pada 14 Februari 2012, saat tim kerja baru itu melakukan ‘sosialisasi’ di lokasi transmigrasi di Distrik Semangga di Merauke, kakak Yeem—seorang aktivis perempuan yang bicara lantang—langsung menolaknya.
‘Kita tidak bicara otonomi khusus,’ katanya. ‘Kembali ke sejarah. Kami bangsa lain. Setiap bangsa yang ada di muka bumi ini, dia pu hak merdeka.’
Namun, di kalangan gerakan kemerdekaan Papua sendiri sering sekali terjadi konflik, sesama generasi dan antar-generasi dari 1963 hingga kini, yang menunjukkan lemahnya persatuan internal. Seorang pemimpin kharismatik seperti Theys Eluay dianggap kolaborator, kendati pembunuhan terhadap dirinya mengikis kesan buruk itu dan tak diragukan lagi menjadikannya pahlawan rakyat Papua. Di sisi lain, sebagian individu yang dulunya menyuarakan kemerdekaan malah berbalik mendukung Indonesia, memberi peluang kampanye negatif bahwa perjuangan Papua mudah ‘dibeli.’ Sebagian lain juga menolak bekerjasama dengan individu dan masyarakat sipil Indonesia, yang dengan tulus bekerja untuk hak asasi manusia di Papua. Peran perempuan dalam perjuangan ini juga sering diabaikan.[36]
Di tengah arus pemekaran, elit politik Papua mendapatkan keuntungan istimewa berkat otonomi khusus, yang lebih memilih administrator dari satu suku, satu faam, yang gilirannya menyuburkan praktik korupsi. Papua juga menghadapi isu kesehatan HIV/AIDS tertinggi di Indonesia, di mana sekitar 30.000 orang, menurut laporan 2012, diperkirakan hidup dengan HIV.[37]
Saya mendatangi ‘mama-mama pasar’ di kota Jayapura, 1,5 jam dengan pesawat dari Merauke, untuk melihat inisiatif sekelompok orang yang mendirikan ‘koperasi mama-mama pedagang asli Papua.’ Sebuah tenda putih besar memayungi para pedagang di suatu areal lapang, menjual macam-macam sayuran dan ikan, dijajakan di atas meja papan atau di atas tikar karung.
Seorang penggiat di sana mengeluhkan soal lemahnya ‘kemandirian ekonomi’ dan tingginya ‘diskriminasi ekonomi’ terhadap mama-mama Papua. Cukup banyak juga cerita kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan Papua.
‘Bagaimana mau merdeka kalau ekonominya saja lemah?!’ tutur seorang penggiat di sana.
NICOLAUS YEEM menjalani aktivitas pulang-pergi dari distrik Merauke ke kampung Kweel di perbatasan. Perjalanan itu, di atas jalan becek, berlumpur, bergelombang, ia lintasi dengan sepeda motor RX-King. Ia memutuskan kuliah lagi pada 2007, kali ini mengambil studi politik di Yaleka Maro, di jalan TMP Folder. Seminggu di Merauke, seminggu berikutnya di kampung Kweel. Itulah sebagian rutinitasnya menjelang ia meninggal.
Ia berkenalan dengan seorang kolega mahasiswa, yang beda kelas, usianya terpaut 15 tahun, dari suku Wiachar asal Mappi, yang mengenalinya dari nama faam. Ayah anak itu pernah satu aktivitas dalam Satgas.
‘Ko pu bapak sekarang di mana? Su meninggal belum?
‘Masih hidup,’ katanya, ‘Ada di kampung.’
Begitulah polah Yeem. Orang mengenali cara bicaranya yang lugas. Orang mengingat jalannya yang tegap.
Kakaknya mengingat Yeem sebagai orang yang tegas, ‘Kalau tidak sesuai dengan dia, dia tidak ikut. Orangnya pu prinsip.’ Bekas koleganya di Satgas pernah satu kali dipukul, ‘Pukul itu kalau kita kerja di luar komando, di luar instruksi Satgas.’
Pada tahun terakhirnya ia berambut tipis, dagunya bersih dari cambang, kumis dibiarkan tumbuh. Ia biasa ke kampus berpakaian batik, celana kain hitam, kaki beralas sepatu. Ia juga perokok.
Ia mengumpulkan teman-teman di kampus, ‘Jangan ikuti arus. Bedakan mana yang benar.’
Pada akhirnya, Yeem menceritakan masa di mana ia pernah menjadi komandan Satgas, ‘Kita harus ingat pu sejarah.’ Namun ia tak pernah cerita pengalaman dirinya disiksa. Ia juga menyembunyikan cerita bahwa sebetulnya, dalam masa tenang hidupnya yang singkat, ia kerap dimata-matai Kopassus.
‘Kita harus tahu jati diri. Ko pu jati diri, martabat, identitas bangsa Papua,’ satu kali Yeem berkata. ‘Kita bangsa Papua beda dengan Indonesia. Kita pu ras Melanesia.’
Pada satu kali, Yeem cerita pada temannya asal Mappi, kalau ia pukul orang Marind yang bakar hutan di Kweel.
‘Kenapa ko bakar? Jangan sembarang bakar, kena pohon kayu putih,’ ujar Yeem, bertahun-tahun kemudian diceritakan ulang temannya.
Orang Marind itu malah menjawab dengan berusaha pukul Yeem pakai penokok sagu. Yeem menangkis dengan tangan. Orang Marind itu lari ke bevaak dan ambil busur. Yeem lebih dulu memukulnya. Seminggu kemudian, setelah Yeem kembali ke Kweel dari Merauke, orang Marind itu telah melaporkannya kepada Kopassus, ‘Ada bantah apa di jalan?’
‘Sa tra bikin gerakan atau apa. Sa kasih tahu ke saudara satu, jangan bakar sembarang hutan.’
Katanya, ‘Kau su pukul dan babak belur?’
Dua orang Kopassus membuka mulut Yeem. Pistol kutik tapi tak bunyi, lalu ditembakkan ke dua telinganya—juga tak bunyi. Begitu pula saat mereka tembak di dahi. Mereka lantas mengambil bambu satu meter dan menggebuk badan Yeem hingga bambu itu hancur.
‘Kejadian itu diceritakan pada saya di kampus. Badan hitam-hitam, bengkak-bengkak,’ ujar temannya.
Kali berikutnya, Yeem kembali dicap ‘separatis.’
Kepala kampung menebar isu bahwa Yeem hendak mengibarkan bendera Bintang Kejora di tempat penebangan kayu gambir. Waktu itu bulan Agustus 2007. Sebagaimana di seluruh pedalaman Papua, otoritas keamanan setempat minta masyarakat untuk memoles kampung demi menyambut perayaan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia. Yeem bersama 37 pemuda tengah membuka hutan untuk jalan raya, diminta oleh komandan militer setempat, di mana pekerjaannya mengangkut kayu gambir. Pada 9 Agustus, kepala kampung melaporkan kepada Kopassus bahwa ‘pemuda-pemuda Kweel tidak kerja di kampung’ karena ada kerja gambir.
Yeem menegur kepala kampung agar jangan suka lapor Kopassus, karena ‘pemuda kita di kampung sudah setiap kali dipukul terus sampai sudah rusak. Orang kampung ini kan orang Papua.’
Kepala kampung yang tak mau tahu teguran itu, melapork ke Kopassus. Esoknya, Yeem dipukul dan diancam akan dibunuh.
Sebulan berikutnya, pada 7 Oktober 2007, sesudah ibadah Minggu, personil TNI dan Kopassus memerintahkan kepala adat untuk mengusir Yeem. Esoknya, jam 11 siang, Yeem bersama istri dan tiga anaknya menuju kampung Simpati, kelurahan Bupul 1 di distrik Elikobel. Belakangan Yeem sakit parah dan dibawa ke Merauke.
Kakaknya cerita, dalam setiap penyiksaan yang diderita Yeem, keluarganya abai merangkum jejak rekam medis. Itu mungkin satu kesalahan kecil, kendati hal itu menjadi praktik umum di Papua.
Yeem bolak-balik berobat. Namun, pada satu hari yang menentukan, Yeem pelan-pelan kesulitan berjalan, memaksakan diri dengan memakai tongkat, sebelum akhirnya lumpuh total. Ia bilang kepada keluarganya, ‘Ya sudah, kasih tinggal saja.’
Bertahun-tahun kemudian kakak Yeem mengingat perkataannya, ‘Mati hari ini, besok, kapan pun sama saja. Kenapa harus takut mati? Yang penting kita kerja baik untuk tanah dan bangsa Papua, supaya orang Papua bisa kenang…’***
Laporan ini ditulis berdasarkan liputan ke Merauke dan Jayapura pada Maret – April 2012. Liputan didanai Yayasan Pantau, Jakarta.
* Nama-nama yang terkait narasi seputar kehidupan Nicolaus Yeem sengaja disembunyikan terutama demi alasan melindungi keamanan bagi mereka.
* Poster Nicolaus Yeem dibuat oleh Anti-Tank
Fahri Salam, Penulis Lepas
[1] Lihat laporan rinci dari Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CARV) selama invasi Indonesia terhadap Timor-Leste dari 1974 hingga 1999, http://www.cavr-timorleste.org/in/home.htm.
[2] Kronologi cukup lengkap tentang sengketa internasional Papua antara 1945 hingga 1969, lihat John F. Saltford, UNTEA and UNRWI: United Nations Involvement in West New Guinea During the 1960’s, University of Hull, http://www.papuaweb.org/dlib/s123/saltford/phd.pdf. Keterangan tambahan dari makalah Clinton Fernandes, ‘West Papua Overview’.
[3] Lihat, Dalih Pembunuhan Massal, John Roosa (2008), http://web.unair.ac.id/admin/file/f_20807_DalihPembunuhanMassal.pdf.
[4] Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang pada akhir 2011 berpendapat pemerintah Indonesia telah melanggar hukum internasional dengan memenjarakan Filep Karma, http://www.freedom-now.org/wp-content/uploads/2011/11/Karma-Press-Release-FINAL2.pdf. Untuk profil politik Karma, lihat ‘Belajar dari Filep Karma,’ Andreas Harsono, http://www.andreasharsono.net/2010/11/belajar-dari-filep-karma.html.
[5] Untuk rincian peristiwa Biak pada 6 Juli 1998, bisa lihat ‘Indonesia: Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya,’ Human Rights Watch, http://www.hrw.org/legacy/reports/reports98/biak/index.htm. Pada 6 Juli 2013, sekelompok aktivis hak asasi manusia dan akademisi menggelar ‘Citizen Tribunal’ di Universitas Sydney, Australia, sebagai memoria passionis atas peristiwa brutal tersebut, http://www.biak-tribunal.org/.
[6] Lihat, ‘Human Rights and Pro-Independence Actions in Papua, 1999-2000,’ Human Rights Watch, Mei 2000, http://www.hrw.org/reports/2000/papua/.
[7] Lihat biografi politik Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Greg Barton, (LkiS, 2002), terutama dua bab terakhir yang menguraikan peliknya persoalan negara yang dihadapi pemerintahan Wahid selama 22 bulan dari warisan rezim lama yang kemudian, lewat pertarungan politik elit didukung komentator-komentator media berpengaruh di Jakarta, mendongkelnya dari kursi presiden, digantikan wakilnya Megawati Sukarno. Lihat pula laporan jurnalisme mengenai pembingkaian media di Jakarta cenderung memojokkan Wahid, ‘Kecepatan, Ketepatan, Perdebatan,’ Andreas Harsono et.al, Majalah Pantau, September 2001.
[8] Lihat, ‘Morning Star Rising? Indonesia Raya and The New Papuan Nationalism’, Peter King, Indonesia 73 (April 2002). King menguraikan latarbelakang para pemuka Papua meliputi politisi, intelektual maupun birokrat, yang terlibat pertemuan-pertemuan politik saat ‘Musim Semi Papua’ dan konsekuensi yang dihasilkan dari resolusi pembentukan organisasi-organisasi politik Papua pada saat itu.
[9] Untuk sebagian dokumentasi mengenai milisi ‘Merah Putih,’ lihat sebuah blog yang mengumpulkan data milisi-milisi pro-pemerintah di seluruh dunia dengan kurun waktu 1981-2007, http://www.sowi.uni-mannheim.de/militias-public/data/pgag/334/evidence/.
[10] Lihat ‘New civilian militia concerns Fak Fak residents,’ The Jakarta Post, 5 Mei 2000 http://lgtv.thejakartapost.com/index.php/read/news/8560; ‘West Papua in the grip of militia terror’, The Australian, 29 April 2000, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/04/30/0003.html; ‘Letter cited as Indonesian link to Papua militias,’ The Age, 26 April 2002, http://www.theage.com.au/articles/2002/04/25/1019441282023.html. Richard Chauvel menguraikan etnisitas di Fak Fak, sebagian besar keturunan Maluku dan mayoritas Muslim, tak gampang begitu saja menggambarkan keyakinan agama tertentu berkorelasi orientasi politik di Papua. Sebagian ada yang ingin mengkonversi isu kemerdekaan jadi isu agama, tapi sebagian pemimpin Muslim di Fak Fak, termasuk Thaha Al-Hamid (sekjen Presidium Dewan Papua) adalah pendukung pro-kemerdekaan. Lihat, Richard Chauvel, ‘Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation,’ the East-West Center Washington (2005), hal 63-69.
[11] John Rumbiak dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham Papua) mencemaskan perkembangan milis-milisi ini dalam makalah yang jadi bahan presentasinya di AS pada Juni 2002, ‘Should US Resume Military Ties with Indonesia? Reflections from a Papuan Perspective’, http://www.minesandcommunities.org/article.php?a=7297
[12] Kelompok-kelompok milisi bentukan tentara Indonesia melancarkan kampanye teror yang membunuh lebih dari 1.000 penduduk, mengusir paksa 250.000 orang ke perbatasan Timor Barat, dan membumihanguskan Dili. Lihat, Clinton Fernandes dalam ‘Kolonialisme, Kemerdekaan dan Masa Depan Timor-Leste,’ Program Studi Politik dan Internasional, Jurusan Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas New South Wales, Australia, http://hass.unsw.adfa.edu.au/timor_companion/countdown_to_freedom/kolonialisme_timor-leste.php.
[13] Lihat, ‘Pemuda Pancasila Funding Papua Separatists,’ http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/06/02/0070.html (diakses 9 September 2013).
[14] Lihat Octovianus Mote dan Danilyn Rutherford, ‘From Irian Jaya to Papua: The Limits of Primordialism in Indonesia’s Troubled East,’ Indonesia 72 (Oktober 2001), hal 126-127. Untuk pembahasan Pemuda Pancasila, lihat Loren Ryter dalam ‘Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s Order?’ Indonesia 66 (Oktober 1998). Sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing (Jagal) karya Joshua Oppenheimer tentang peran Pemuda Pancasila terhadap pembantaian komunis di Medan, Sumatera Utara, telah menyegarkan kembali mengenai sejarah 1965-1966. Lihat refleksi Benedict Anderson atas film itu dalam konteks sejarah dan warisan rezim Orde Baru, ‘Kebal Hukum dan Pemeranan Kembali,’ https://indoprogress.com/kebal-hukum-dan-pemeranan-kembali/ (diakses 4 September 2013).
[15] Agus Wirahadikusumah diangkat Presiden Abdurrahman Wahid sebagai panglima Kostrad pada 29 Maret 2000. Ia membeberkan kasus korupsi di Yayasan Dharma Putera Kostrad sebesar Rp 189 milyar, yang membikin jabatannya digoyang para perwira loyalis Suharto termasuk Tysno Sudarto (terlibat pemalsuan uang untuk mendanai para milisi di Timor-Leste) hingga ia dicopot pada 1 Agustus. Lihat kehidupan Wirahadikusumah menjelang ia meninggal, ‘Wasiat Terakhir,’ Fahri Salam, http://riesalam.wordpress.com/2010/07/22/wasiat-terakhir/
[16] Lihat, ‘Indonesian Human Rights Abuses in Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control,’ Yale Law School, April 2004, hal. 45.
[17] Lihat Richard Chauvel, ‘Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation,’ the East-West Center Washington (2005), untuk pembahasan kehadiran Laskar Jihad sebagaimana Satgas Merah Putih di Fak Fak. Untuk peranan Laskar Jihad dalam kekerasan di Maluku dan relasinya dengan aparat keamanan Indonesia, lihat Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2008).
[18] Keempat anggota itu: sekjen Presidium Thaha Al-Hamid, moderator Pendeta Herman Awom dari GKI, Don Flassy, sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan mantan tapol John Mambor (meninggal Maret 2003 karena sakit).
[19] Lihat Robin Osborne, Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat, (ELSAM, 2001).
[20] Untuk pembahasan mengenai pengungsi orang Papua ke perbatasan PNG, lihat tesis Diana Glazebrook, ‘Dwelling in exile, perceiving return West Papuan refugees from Irian Jaya living at East Awin in Western Province, Papua New Guinea,’ Universitas Nasional Australia, April 2001.
[21] Lihat, ‘Irian Jaya Independence Celebration Leaves 10 Dead, Dozens Wounded,’ The Wall Street Journal, http://online.wsj.com/article/SB975749202266880272.html (diakses 6 September 2013).
[22] Yonif Linud 431 berada di bawah Brigif Linud 3/Kostrad, bermarkas di Maros, Sulawesi Selatan. Pada November 2000 hingga Desember 2001, regu ini melaksanakan ‘operasi teritorial’ di Merauke, lihat http://www.airborne431.com/site/profil (diakses 6 September 2013). Lihat pula laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengenai bisnis militer di Boven Digoel, terutama Bab III yang memaparkan profil aparat keamanan yang berjaga di perbatasan dan perilaku kekerasan mereka terhadap penduduk setempat; Februari-Maret 2004.
[23] Lihat, Richard Chauvel dan Ikrar Nusa Bhakti, ‘The Papua Conflict: Jakarta’s Perceptions and Policies,’ East-West Center Washington, 2004.
[24] Lihat tesis Camellia Webb-Gannon, ‘Birds of a Feather: Conflict and Unity within West Papua’s Independence Movement,’ tesisnya untuk jurusan ilmu politik, pusat studi konflik dan perdamaian, Universitas Sydney, 2011.
[25] Lihat, laporan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Merauke, ‘Why The Murder of Willem Onde and John Tumin Kandam Has Not Investigated Yet?’ (Juni 2002).
[26] Lihat, Jim Elmslie, ‘West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: ‘Slow Motion Genocide’ or not?’ Makalah untuk Konferensi Memahami Papua Barat, Universititas Sydney, 23-24 Februari 2011.
[27] Lihat, ‘Saya Bikin Salah Apa? Kopassus Siksa Orang Papau di Marauke,’ Human Rights Watch, Juni 2009, http://www.hrw.org/news/2009/07/06/indonesia-siksaan-kopassus-di-papua (diakses 9 September 2013).
[28] Lihat, Antonius Made Tony Supriatma, ‘TNI/Polri in West Papua: How Security Reforms Work in the Conflict Regions’ Indonesia, No. 95 (April 2013).
[29] Lihat, ‘An Agribusiness Attack in West Papua: Unravelling the Merauke Integrated Food and Energy Estate,’ http://awasmifee.potager.org, April 2012.
[30] Lihat, ‘Revisi Peta Indikatif (PIPIB) 2013 di Merauke Hanya Berdasarkan Izin Perusahaan,’ 4 Agustus 2013, http://pusaka.or.id/revisi-peta-indikatif-pipib-2013-di-merauke-hanya-berdasarkan-izin-perusahaan/, (diakses 9 September 2013).
[31] Lihat, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future, Muridan Widjojo (ed), (LIPI, 2009).
[32] Lihat, ‘Indonesia: Independent Investigation Needed Into Papua Violence Ensure Proper Treatment of Detainees,’ Human Rights Watch, 28 Oktober 2011, http://www.hrw.org/news/2011/10/28/indonesia-independent-investigation-needed-papua-violence (diakses 9 September 2013).
[33] Lihat, ‘Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners,’ Human Rights Watch, 23 Juni 2010, http://www.hrw.org/reports/2010/06/23/prosecuting-political-aspiration-0 (diakses 9 September 2013). Lihat pula situsweb yang memantau para tahanan politik Papua, ‘Orang Papua di Balik Jeruji,’ http://www.papuansbehindbars.org/?p=1419&lang=id (diakses 9 September 2013).
[34] Lihat profil Edison Waromi dalam ‘Orang Papua di Balik Jeruji,’ http://www.papuansbehindbars.org/?prisoner_profiles=edison-waromi&lang=id (diakses 16 September).
[35] Lihat, profil UP4B, http://www.up4b.go.id/index.php/component/content/article/15-halaman/37-tentang?showall=1&limitstart= (diakses 9 September 2013).
[36] Lihat Camellia Webb-Gannon pada ‘Bab VII—Flocking Together: Conclusion’ dalam ‘Birds of a Feather: Conflict and Unity within West Papua’s Independence Movement,’ tesisnya untuk jurusan ilmu politik, pusat studi konflik dan perdamaian, Universititas Sydney, 2011.
[37] Lihat, ‘Growing HIV/AIDS awareness in Indonesia’s Papua region,’ Irin News, 18 Juni 2013, http://www.irinnews.org/report/98245/growing-hiv-aids-awareness-in-indonesia-s-papua-region (diakses 16 September 2013).