1. Tidak mungkin kediktatoran kembali di Indonesia. Kita memiliki demokrasi yang kuat selama 16 tahun era reformasi.
Tentu kita tidak akan kembali ke masa Orde Baru yang menindas, tetapi kediktatoran dalam topeng ‘demokrasi’ akan berjalan mulus dengan penguasaan mesin-mesin ideologi seperti media, sekolah dan institusi agama.
Buktinya bisa kita lihat sekarang: sejumlah media dan kelompok yang mengatasnamakan agama yang pro-Prabowo seperti stasiun televisi TVOne, grup MNC, tabloid Obor Rakyat, dan kelompok paramiliter dan fundamentalis seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), dan Pemuda Pancasila (PP) melancarkan berbagai propaganda pro-Prabowo dan melakukan kampanye hitam.
Kepentingan segelintir elite ekonomi dan politik dibuat seolah-olah menjadi kebutuhan rakyat banyak biasanya dengan menunggangi suara ‘mayoritas’, misalnya kaum Muslim. Penindasan terhadap rakyat akan dilakukan tidak melalui aparat negara tetapi melalui konflik sesama rakyat. Inilah yang terjadi di Rusia saat ini dalam bentuk ‘demokrasi’ elektoral otoritarian’, yaitu ‘sebuah sistem saat pemilu tetap berlangsung, tetapi kebebasan sipil dan partisipasi demokratis dimanipulasi supaya elit terus-menerus berkuasa’ (lihat ‘Prabowo dan Bahaya Terhadap Demokrasi Indonesia’).
2. Kalau memang Prabowo memimpin secara otoriter, woles aja bro. Kan tinggal didemo dan diturunin kaya tahun 1998.
Demonstrasi di masa 1998 tidak terjadi dalam sekejap. Bertahun-tahun para aktivis bekerja di bawah tanah untuk menentang ‘kesadaran palsu’ bikinan pemerintah. Ribuan orang mati dalam proses tersebut: dibunuh, dibantai, diculik, dan disiksa. Gerakan seperti ini pun melemahkan stabilitas keamanan dan ekonomi sehingga konflik horizontal di dalam masyarakat pun muncul di mana-mana. Menurunkan seorang diktator dari tampuk kekuasaan tidak berarti hanya menurunkan satu orang, tetapi sistem, kroni, dan teror yang sudah dibangunnya.
3. Prabowo adalah seorang nasionalis yang mempromosikan kebangkitan Indonesia.
Jangan tertipu dengan retorika nasionalisme dan nasionalisasi Prabowo. Kenyataannya, Prabowo adalah salah satu elit kapitalis terkaya di Indonesia yang akan menggencarkan kebijakan ekonomi pro-pasar yang neoliberal dan semakin memiskinkan rakyat. Adiknya, Hashim Djojohadikusumo, adalah pebisnis yang memiliki koneksi kuat dengan Amerika Serikat (AS) (lihat ‘Membeli Peran Washington: Menelusuri Peran Hashim Djojohadikusumo’ . Calon wakilnya, Hatta Rajasa, adalah salah satu arsitek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang sangat neoliberal. Prabowo hanya akan mempromosikan kebangkitan dirinya dan para kroninya (lihat ‘Nalar Ekonomi-Politik Prabowo: Studi Kasus Kebijakan MP3EI dan Pengandaiannya’).
Nasionalisme Prabowo sebagai seorang militer pun wajib dipertanyakan, sesuai dengan pengakuannya sebagai ‘anak emas Amerika Serikat’. Semasa mudanya di militer, Prabowo pernah bekerja untuk Pentagon dan Intelijen Amerika, bertentangan dengan klaim-klaim anti-asing yang selama ini ia gembar-gemborkan. (lihat ‘Allan Nairn: Prabowo Adalah Pejabat Yang Menerima Pelatihan Paling Intensif Dari Amerika’)
4. Islam akan bangkit dengan adanya pemimpin tegas seperti Prabowo.
Prabowo sesungguhnya tidak mewakili Islam, melainkan menggunakan kelompok-kelompok Islam untuk menggapai kekuasaan dengan cara-cara yang tidak Islami, yang terbukti dengan peranannya dalam memicu kerusuhan antar-etnis di tahun 1998. Kubu Prabowo juga sering melakukan kampanye hitam, sebuah tindakan yang sama sekali tidak Islami. (lihat ‘Di Bawah Bayang-Bayang Masa Lalu: Prabowo dan Kerusuhan Anti-Tionghoa’). Kebangkitan Islam justru hanya bisa dicapai dengan menggalakkan pendidikan dan pemikiran, bukan bergantung kepada pemimpin tangan besi.
5. Prabowo adalah penjelmaan Orde Baru. Memang apa salahnya sih Orde Baru?
Orde Baru sukses karena selama 32 tahun membangun kesadaran akan ‘musuh’. Rasa aman diwujudkan dengan ‘menyelamatkan’ kita dari musuh yang dibuat tadi melalui teror dan pembantaian yang merenggut nyawa banyak orang seperti yang terjadi di tahun 1965. Di tahun 1998 kita baru menurunkan diktatornya, tapi belum mengganti kesadarannya.
Selain pembunuhan, Orde Baru memberi kesempatan bagi Suharto dan kroninya untuk mencuri dan menghisap kekayaan rakyat yang sebenarnya bisa digunakan untuk memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Anehnya, Prabowo mengulangi janji-janji palsu a la Orde Baru. Menariknya, ia juga menggunakan slogan yang persis sama seperti ‘menyelamatkan Indonesia’ dari musuh-musuh ‘asing’ atau musuh lokal seperti ‘PKI’ dan ‘kelompok-kelompok radikal’. Ini mengalihkan perhatian kita dari musuh yang sebenarnya, yaitu orang-orang kaya, koruptor, dan kelompok-kelompok preman yang berlindung di balik Prabowo. Janji hanya akan tinggal janji saja. (lihat: ‘Antara ‘Rakyat’ dan ‘Publik’: Politik Komunikasi Pemilu 2014’)
6. Jokowi berasal dari rakyat. Memang prabowo bukan berasal dari rakyat? TNI kan asalnya dari rakyat, kepada rakyat dan untuk rakyat.
Latar belakang sipil dan militer itu berbeda. Militer memiliki akses ke alat senjata yang dapat digunakan untuk kekerasan, sementara sipil tidak. Kemudian, latar belakang sipil biasanya mengutamakan dialog, sementara militer cenderung sentralistis dan hierarkhis. Dengan alasan keamanan, militer bisa melakukan terror kepada warga sipil dengan dalih ‘perintah atasan’ yang bisa dimanipulasi, seperti yang dilakukan Prabowo. Sebagai tambahan, selama jejaring kekuasaan militer masih kuat sehingga mampu mengintervensi pemerintahan sipil dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau, memilih calon presiden dengan latar belakang militer jelas bukan opsi yang baik bagi rakyat.
Sebaliknya, Jokowi betul-betul berasal dari rakyat karena dia adalah pemimpin sipil yang berprestasi dan tidak pernah menyakiti rakyat.
7. Prabowo asli; Jokowi pencitraan!
Jokowi adalah keberpihakan. Banyak cara lain untuk membuat pencitraan, tetapi Jokowi memilih untuk benar-benar turun ke lapangan untuk langsung mendengar dari masyarakat. Blusukan Jokowi adalah upaya untuk mendengar rakyat secara langsung, menciptakan ruang dialog yang kritis, terbuka, dan sehat.
Sebaliknya, pencitraan Prabowo justru sudah dikalkulasi dan direncanakan dengan matang, yang didukung oleh manipulasi fakta, kepentingan-kepentingan yang sempit, dan tentu saja uang (lihat ‘Kampanye Hitam: Hantu Lee Atwater… di Indonesia?’) . Lihat saja bagaimana semua data tentang pelanggaran HAM yang melibatkan Prabowo hanya dianggap sekadar ‘fitnah’ oleh kubu Prabowo-Hatta. Ini adalah salah satu contoh gaya kampanye Prabowo yang manipulatif dan mengandalkan pencitraan.
8. Jokowi capres boneka; Prabowo capres independen
Jokowi sudah melalui proses pemilihan kepala daerah beberapa kali. Sementara Prabowo, sebagai bekas perwira militer, belum pernah mengikuti proses yang sama. Sama halnya dengan Hatta Rajasa yang ditunjuk, bukan dipilih, sebagai menteri.
Jokowi maju sebagai capres karena dukungan masyarakat yang begitu besar kepada dirinya. Sepanjang karirnya, dia selalu memenuhi mandat rakyat, dan rakyatpun mengakuinya, sebagaimana dibuktikan dengan antusiasme warga dan relawan yang begitu besar dalam perjuangan politiknya (lihat ‘The Role of Volunteers and Political Participation in the 2012 Jakarta Gubernatorial Election’).
Dengan rekam jejak kepemimpinan yang mengakar di masyarakat, Jokowi justru dapat melawan dominasi elit partai, pengusaha, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Contoh yang paling nyata adalah ketika masih menjabat walikota, Jokowi melawan keputusan gubernur Jawa Tengah (yang adalah rekan separtainya sendiri) untuk membangun Mall di area Pabrik Es Petojo. Ini berbeda jauh dengan Prabowo, yang disokong oleh elit-elit predator, sehingga dia harus berbagi kekuasaan dengan para elit tersebut.
9. Prabowo itu pemimpin berskala nasional dan internasional, Jokowi hanya pernah menjabat sebagai kepala daerah, tidak cocok menjadi presiden
Sepanjang karirnya, Prabowo hanya pernah berkecimpung di dua dunia: militer dan bisnis. Prabowo tidak memiliki rekam jejak pemerintahan sipil, berpolitik dalam arena demokrasi, dan berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat. Sebaliknya, prestasi Jokowi sebagai pemimpin telah teruji: Jokowi terpilih secara demokratis sebagai Walikota Solo dan Gubernur Jakarta, dan selama masa kepemimpinannya mengedepankan proses dialog dengan warga dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang progresif dan pro-rakyat (lihat ‘Jokowi dan Proyek Kekuasaan Pro Rakyat’)
10. Untuk maju, Indonesia butuh pemimpin yang kuat dan tegas, maka Prabowo jawabannya, bukan Jokowi
Kuat tidak sama dengan tegas. Tegas tidak harus berlatar belakang militer. Dan tegas harus dibedakan dari tega. Untuk maju, kita memang butuh ketegasan, tapi yang tak kalah penting, kita juga butuh dialog dan partisipasi rakyat. Prabowo, yang memiliki kecenderungan militeristik dan otoriter dengan topeng ‘tegas’, justru akan membawa kita kepada kehancuran. Sebaliknya, Jokowi, yang tegas melawan dominasi elit, akan membawa kita maju sebagai sebuah bangsa karena kesediaannya untuk mendengar dan berjuang dengan dan di sisi rakyat. Prabowo adalah bagian dari masa lalu yang kelam yang akan membawa kita kepada kemunduran. Jokowi adalah sosok yang akan membawa kita ke masa depan yang demokratis dan maju.***
Rianne Subijanto adalah kandidat doktor ilmu komunikasi di University of Colorado, Boulder, AS.
Iqra Anugrah adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS yang sedang berusaha sebisa mungkin untuk sembuh dari virus #KelasMenengahNgehek. Beredar di twitterland dengan id @libloc