Jokowi dan Proyek Kekuasaan Pro Rakyat

Print Friendly, PDF & Email

Reportase dari Seminar di UKSW, Salatiga

 

Pemerintahan Konstitusional

JOKO WIDODO (akrab disapa Jokowi), tak pelak lagi merupakan walikota paling fenomenal di Indonesia sekarang ini. Gebrakannya dalam membuat kebijakan yang pro-rakyat dan bersikap kritis atas modal asing, memberikan angin baru pada kekuasaan yang terus membusuk di negeri ini. Kekuasaan yang selama ini dipersonifikasikan dengan pro modal, korup, elitis dan oligarkis, dengan hadirnya Jokowi, kini dapat personifikasi sebagai aspiratif dan pro rakyat.

Menariknya, pemerintahan Jokowi tidak mengambil inspirasi dari kota Porto Alegre di Brazil, atau Venezuela, tapi justru dari konstitusi yang dibuat oleh pendiri bangsa pada tahun 1945. Pegangan Jokowi dalam memerintah adalah amanat yang diberikan oleh pembukaan UUD 1945. Sebuah pemerintahan harus berpijak pada konstitusi negara. Menurutnya, amanat dari pemerintahan sudah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi negara.

Ketika menjadi walikota Solo, Jokowi mengambil pondasi tujuan sebuah pemerintahan dari Pembukaan UUD 1945. Menurut Jokowi, dalam UUD 1945 sudah jelas dinyatakan tentang fungsi dari pemerintahan yaitu; (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Untuk memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tujuan dalam pembukaan UUD 45 tersebut menjadi pegangan Jokowi untuk memajukan kebijakan dan membangun sistem pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan masyrakat dengan melibatkan partisipasi publik secara luas.

Dengan berpegang pada prinsip ini, Jokowi hendak memberikan pernyataan bahwa sebuah pemerintahan yang menjalankan amanat konstitusional seharusnya berfungsi untuk mensejahterakan rakyat. Bila pemerintahan gagal atau tidak bertujuan mensejahterakan rakyat maka bisa dikatakan dia sudah tidak konstitusional.

Bila analogi konsitusional ala Jokowi ini kita terapkan dalam pemerintahan pusat dan lokal di Indonesia, maka dapat dipastikan bahwa mayoritas pemerintahan di Indonesia tidak konstitusional, karena tidak menjalankan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat.

 

Pro Ekonomi Rakyat

Sejak Orde Baru berkuasa hingga sekarang, investasi asing dan modal besar selalu menjadi primadona penguasa, baik di pusat maupun di daerah. Ideologi pembangunan ala orde baru menganggap modal dan investasi besar sebagai berhala. Karena itu di fasilitasi dengan berbagai regulasi dan insentif agar datang dan berakumulasi. Namun, di Solo, logika kekuasan yang pro modal besar dan modal asing justru seperti pepesan kosong.

Dengan lantang, Joko Widodo sebagai walikota Solo, menyatakan bahwa para pemimpin pusat kurang berpihak kepada rakyat dan cenderung mementingkan kapital asing. Hal ini ditunjukan dengan penguasaan 52 persen bank dan 76 persen pertambangan oleh pihak asing. Bila pemerintah pusat memihak rakyat, seharusnya perizinan kepemilikan usaha asing dipersulit. ‘Saya sangat sedih melihat perkembangan ini,’ ujarnya.

Bersikap kritis atas kepentingan modal adalah salah satu strategi dari Jokowi untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan yang mandiri. Secara ekonomis, walikota ini bahkan berani mengatakan bahwa ekonomi kerakyatan menyumbang lebih besar bagi roda perekonomian daerah daripada modal besar. Setelah Jokowi menjadi walikota, pendapatan daerah dari pasar tradisionil meningkat dari Rp. 7,8 miliar menjadi Rp. 19,2 miliar. Hasil Rp. 19,2 miliar itu didapat hanya dari retribusi harian Rp 2.600. Sementara bila dari mall atau hypermart, justru Pemda hanya dapat pemasukan dari IMB. Di Solo, jumlah minimarket juga dibatasi jumlahnya. Dari sekitar 80 yang mengajukan ijin hanya belasan yang dia loloskan beroperasi. ‘Biar saya tidak diberi kesan anti investasi,’ ujar Jokowi sambil tertawa. Sikap kritisnya atas ‘modal besar’ telah membawanya berpolemik dengan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, yang hendak membongkar bangunan bersejarah pabrik gula dan menjadikannya sebuah mall.

 

Pemenuhan Hak Dasar Kesehatan dan Pendidikan

Salah satu formula dari neoliberalisme adalah melakukan privatisasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kesehatan dan pendidikan. Subsidi diangap mahluk haram dan dikeluarkan dari kebijakan anggaran. Formula ini mengakibatkan rakyat miskin kehilangan haknya untuk mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang layak dan berkualitas. Tanggungjawab sosial negara kepada rakyat diamputasi oleh kepentingan pasar bebas. Jokowi justru melawan arus besar ini. Negara tetap harus berfungsi sosial untuk rakyat yang miskin. Ia yakin prinsip ini sejalan dengan jiwa UUD 45, yang menjadi landasan filosofis pemerintahannya.

Di Solo, Jokowi mengubah politik anggaran, dengan memajukan subsidi kesehatan dan pendidikan untuk rakyat miskin. Sang walikota lalu melahirkan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Surakarta (BPMKS). Dari kurang lebih 530 ribu warga Solo,hanya sekitar 109 ribu di antaranya mendapat pelayanan Jaminan Kesehatan Masyarakat dari pemerintah pusat. Program PKMS itu bertujuan menjaring sisanya. Sejauh ini, sekitar 213 ribu orang terlindungi PKMS, dengan kebutuhan anggaran mencapai sekitar Rp. 19 milyar.

Agar rakyat miskin tidak ribet mengurus birokrasi, seperti di kota lain ketika mengurus hak untuk mendapatkan kesehatan dan pendidikan, pihak walikota Solo mengeluarkan kartu eksklusif untuk rakyat miskin agar mendapatkan pelayanan prioritas. Kartu itu diberi kode ‘kartu platinum, gold dan silver.’

‘Kalau kartu platinum, gold dan silver, biasanya adalah kartu milik orang kaya, maka di Solo justru milik orang miskin,’ kata Jokowi berkelakar.

Untuk pendidikan, pemegang kartu platinum gratis semuanya, mulai dari uang pangkal sampai kebutuhan sekolah dan juga biaya operasional. Kemudian, yang gold itu mendapat fasilitas, tapi tak sebanyak platinum. Begitu juga yang silver, hanya dibayari pemerintah kota untuk kebutuhan tertentu. Untu kesehatan juga sama. Semua pemeganga kartu gratis, tidak hanya untuk penyakit ringan, tapi juga untuk perawatan rawat inap, bahkan cuci darah juga gratis.

‘Karena kebijakan kesehatan dan pendidikan yang pro rakyat, saya dipilih kembali menjadi walikota Solo,’ ujar Jokowi.

 

Reformasi Birokrasi

Persoalan penting dari pejabat baru yang hendak melakukan perubahan adalah sistem birokrasi warisan rejim lama yang korup, tidak transparan, tidak akuntabel dan tidak efektif. Tantangan ini dihadapi oleh Jokowi dengan kreatif dan ketegasan.

Tantangan pertama yang harus ia benahi adalah birokrasi dan korupsi dipengurusan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Dengan melakukan konsultasi dari para ahli IT, Jokowi mendapatkan kesimpulan bahwa KTP dapat diurus dalam waktu satu jam. Sang walikota lalu mengadopsi kebijakan ini dengan membuat infrastruktur yang modern, transparan, akuntibel dan cepat. Tempat pengurusan KTP dia ubah seperti sistem pelayanan di Bank.

Untuk menyesuaikan sistem baru yang modern dan transparan ini, Jokowi harus menghadapi birokrasi sistem lama yang melakukan resistensi atas sistem baru yang ia ajukan. Tiga lurah dan satu camat yang ragu-ragu dengan sistem ini ia copot. ‘Saya ganti saja dengan yang baru dan memahami sistem yang saya buat. Begitu saja kok repot,’ katanya. Menggantikan birokrasi dengan sistem baru, terbukti membuat birokrasi pengurusan KTP terpangkas dan pos-pos korupsi dihilangkan. Dengan biaya sebesar Rp. 5.000, warga Solo dapat mengurus KTP hanya dalam waktu satu jam.

Proses reformasi aparat pemerintahan yang juga ia lakukan secara revolusiner, adalah ditujukan kepada Satpol Polisi Pamongpraja (Satpol PP) di Solo. Jokowi merasa marah melihat proses penggusuran di berbagai kota yang menggunakan Satpol PP untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat kecil. ‘Ketika saya menjadi walikota, maka saya sudah memutuskan tidak ada lagi satpol PP di kota Solo.’

Satpol PP menjadi sasaran pertama untuk di revolusi. Jokowi memerintahkan ketua Satpol PP kota Solo untuk mengumpulkan seluruh pentungan, tameng dan seragam Satpol PP. ‘Saya kumpulkan, saya masukkan gudang dan kemudian saya kunci.’ Ketua satpol lama yang kekar dan berkumis tebal, ia gantikan dengan seorang perempuan ayu berseragam kebaya. Seragam satpol PP juga ia ganti dengan seragam ala abdi dalem keraton, sehinga wajah sangar anggota Satpol PP yang dulu seram, sekarang menjadi kemayu dan manis.

Jokowi menunjukkan bahwa ketegasan atas birokrasi warisan rejim lama sangat dibutuhkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Birokrat yang tak sejalan dengan sistem yang ia bangun, ia pecat dan ganti dengan yang baru. Dengan ketegasan ini, ia berhasil menjinakkan birokrasi rejim lama untuk tunduk dan menjalankan sistem yang ia bangun. Jokowi bukanlah tipe ’pemimpin peragu’ yang mencla-mencle atas birokrasi dalam pemerintahanya.

 

Demokrasi Langsung

Kekuasaan yang didapatkan dari hasil demokrasi perwakilan/formal, seringkali mendatangi rakyat menjelang pemilihan umum (Pemilu), tapi menjadi pelupa setelah berkuasa. Setelah Pemilu, kekuasaan mengabdi untuk kepentingan pribadi, kelompok atau partainya. Karena itu demokrasi yang hanya bergantung pada proses elektoral, seringkali membeku menjadi kekuasaan oligarkis yang korup dan tidak aspiratif.

Di Solo, Jokowi melakukan terobosan luar biasa dengan mengembangkan demokrasi langsung, yang menghubungkan antara dirinya dengan rakyat tanpa perantaraan birokrasi, LSM atau partai.

Dalam periode pertama pemerintahannya, sang walikota memerintahkan agar pintu gerbang kantor walikota tidak boleh ditutup untuk para demonstran. Kepada para stafnya ia perintahkan untuk melayani para demonstran dengan baik, diberi tempat yang teduh, diberi minum dan makan dan ditemani oleh para staf yang ramah dan cantik-cantik. Bila ada di kantor, Jokowi bertemu langsung dengan para demonstran. Kebiasaan Jokowi ini sangat berbeda dengan banyak pejabat yang justru menutup kantornya dari demonstran, bersembunyi bahkan kerap membubarkan demonstrasi dengan memanggil polisi dan Satpol PP.

Dari para demonstran ia mendapatkan masukan tentang problem yang dialami rakyat dan solusi yang mereka tawarkan. Segala macam cacian dan protes ia terima dengan kalem. Setelah dua periode memerintah, Jokowi sedih karena para demonstran sudah berkurang jauh. ‘Kadang-kadang saya malah jadi kangen ingin di demo,’ ujarnya.

Strategi jitu yang juga ia lakukan adalah dengan melakukan turun ke bawah (turba), untuk mengetahui langsung persoalan di tengah rakyat. ‘Saya itu paling lama cuma satu jam di kantor, selebihnya saya keliling keluar masuk kampung dan pasar,’ ujar sang walikota. Dengan terjun langsung ‘saya mengetahui aspirasi dari masyarakat tanpa dikurangi dan dilebihkan.’

Dengan metode demokrasi langsung, Jokowi berhasil merelokasi puluhan pedagang kaki lima (PKL) di Solo dengan cara demokratis, tidak merugikan para pedagang kecil, sebaliknya malah menguntungkan mereka. Ratusan para pedagang malah pernah ia undang makan malam hingga 54 kali agar mereka bisa mencapai kesepakatan untuk melakukan relokasi yang menguntungkan pedagang. Di tempat relokasi yang baru, omset para pedagang PKL rata-rata meningkat 4 sampa 10 kali lipat.

Cara lain untuk menjaring aspirasi dan mencari solusi dari rakyat adalah dengan melakukan ’konsultasi publik’ secara reguler setiap bulan, dengan mengundang RT/RW dan masyarakat luas di halaman balaikota. Dengan cara ini Jokowi melakukan kontrol atas pemerintahannya secara langsung. Fungsi pengawasan yang paling penting atas pemerintahanya bukan dilakukan oleh DPRD TK II, tapi dari konsultasi publik. Dengan cara ini, ia juga dapat meminimalisir laporan ABS (Asal Bapak Senang) yang menjadi tradisi dalam birokrasi rejim lama. Berbagai kritik dan masukan dari rakyat langsung ia dengarkan. ‘Telinga saya sudah biasa di marahi oleh rakyat.’

Apa yang dilakukan Jokowi adalah mengembangkan demokrasi langsung, dimana rakyat berpartisipasi dalam mengawasi, mencari solusi, dan menjalankan program-program pemerintahannya. Rakyat tidak menjadi pasif atas kekuasaan, tapi dimobilisasi dan dilembagakan untuk mengawal pemerintahanya secara langsung. Model seperti ini adalah terobosan di tengah pembusukkan sistem politik dominan yang dikuasai oleh partai politik. Jokowi menunjukkan, bahkan di tengah situasi partai yang korup dan elitis, demokrasi langsung adalah suatu cara yang paling efektif untuk mengajak rakyat terlibat dalam politik pemerintahan.

 

Pembelajaran

Fakta adanya pemerintahan dapat berpihak kepada rakyat, merupakan angin sejuk di tengah kekuasaan yang korup dan elitis. Jokowi sudah meredefinisi kekuasaan menjadi pelayan dan mengabdi kepada kepentingan publik. Dengan gaya sederhananya ia membangun fungsi pengawasan, konsultatif dan kontrol atas pemerintahanya berdasarkan demokrasi langsung yang ia kembangkan melalui turba dan konsultasi publik.

Jokowi membangunkan raksasa bisu yang bernama rakyat, dari pelaku pasif atas kekuasaan politik menjadi pemain aktif dalam proses penentuan kebijakan sebuah pemerintahan. Dengan cara ini, Jokowi menghancurkan sekat depolitisasi yang diciptakan orde baru, dan yang paling penting lagi, rakyat diberi harapan dan kapasitas untuk mengubah nasibnya dengan terlibat aktif dan langsung untuk mengawasi pemerintahan.

Apa yang dilakukan Jokowi di Solo, menunjukkan bahwa kita tak perlu studi banding ke Porto Alegre di Brasil untuk melihat partisipasi publik dalam kebijakan pemerintahan. Jokowi memberikan pondasi awal bagi rakyat untuk menyadari kekuatannya untuk mempengaruhi dan mengontrol kekuasaan, suatu tradisi yang dihilangkan sejak tahun 1965 oleh orde baru, yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan pusat di Jakarta hingga sekarang.

Kita butuh menciptakan Jokowi-Jokowi baru di seluruh Indonesia.***

 

Catatan: Artikel ini merupakan reportase dari Seminar ‘Menegakkan Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat.’ Seminar diadakan oleh Praxis, FBB Prakarsa Rakyat bekerja sama dengan Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, 29 November 2011. Versi sedikit berbeda dari tulisan ini dapat ditemui di dalam buku Bergerak untuk Daulat (Praxis, Desember 2011). Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

*Wilson, sejarawan-cum aktivis

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.