Wilson

Marulloh, Aktivis HAM Tanjung Priok

Marulloh ingin anaknya punya usaha kecil sendiri. Dengan begitu sang anak bisa mandiri dan bantu keluarga. ‘Tapi cari modal susah. Harusnya pemerintah kasih kompensasi pada korban, supaya bisa jadi modal dagang,’ ujarnya dalam suatu kesempatan. Namun, Marulloh ingin kompensasi bukan sebagai sogokan. Karena itu, ketika para jendral yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984, mengajukan tawaran berdamai dengan bahasa Islah, Marulloh dan sebagian korban Tanjung Priok lainnya menolak. Ia bersikukuh menuntut keadilan dan tanggung jawab negara. Ia, bersama dengan IKOHI, Kontras, dan para korban lainnya selama bertahun-tahun menuntut keadilan bagi korban. Keadilan bagi korban dan kompensasi memang satu paket yang tak boleh dipisahkan. Sayangnya, negara yang berdasarkan Pancasila ini, justru ingin memberikan kompensasi untuk meniadakan keadilan.

Wilson : Organisasi Rakyat Harus Menuliskan Sendiri Sejarahnya!

SIAPA yang kini mengenal Marsinah? Ia tak ada dalam buku-buku pelajaran di sekolah, termasuk dalam buku-buku motivasi yang berjejer rapih di toko-toko buku. Tapi, apa yang dilakukannya telah membangkitkan keberanian kaum buruh hingga saat ini. Marsinah adalah buruh perempuan yang dibunuh rezim Orde Baru Soeharto ketika sedang memperjuangkan hak-hak buruh PT. Catur Putra Suryo pada tahun 1993. Marsinah ditemukan tak bernyawa pada tanggal 8 Mei 1993. Hingga kini, kasusnya tak pernah diusut hingga tuntas. Sejarah memang ditentukan penguasa. Orang-orang pemberani yang melawan ketidakadilan seperti Marsinah disembunyikan dari sejarah. Sebaliknya, orang-orang macam Soeharto malah mau diangkat sebagai pahlawan.

Melawan Adalah Munir!

DALAM setiap aksi Kamisan di depan istana negara, Jakarta, Suciwati, istri almarhum Munir, selalu meneriakan slogan ‘Jangan diam!’ Teriakan Suciwati ini spontan disambut peserta aksi

Jokowi dan Proyek Kekuasaan Pro Rakyat

Reportase dari Seminar di UKSW, Salatiga   Pemerintahan Konstitusional JOKO WIDODO (akrab disapa Jokowi), tak pelak lagi merupakan walikota paling fenomenal di Indonesia sekarang ini.

Ateis, Siapa Takut!

Saya memperoleh kesan bahwa perbincangan seputar hubungan antara sekularisme dan negara, hanya terbatas di kalangan orang beragama saja, dengan orientasi politik kenegaraan yang berbeda. Yakni antara mereka yang percaya bahwa “negara harus terpisah dari agama” versus mereka yang menyakini bahwa “negara harus mengadopsi ajaran-ajaran agama ke dalam sistem hukum dan politik kenegaraan.”
Demikian pula percakapan soal pluralisme, toleransi, dan demokrasi, hanya berkutat di lingkaran orang-orang beragama saja. Tidak pernah terdengar bagamana mereka mendiskusikan hubungan antara orang beragama dan tidak beragama: adakah toleransi kepada mereka yang tidak beragama? Adakah hak hidup buat mereka?

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.