Wilson : Organisasi Rakyat Harus Menuliskan Sendiri Sejarahnya!

Print Friendly, PDF & Email

SIAPA yang kini mengenal Marsinah? Ia tak ada dalam buku-buku pelajaran di sekolah, termasuk dalam buku-buku motivasi yang berjejer rapih di toko-toko buku. Tapi, apa yang dilakukannya telah membangkitkan keberanian kaum buruh hingga saat ini. Marsinah adalah buruh perempuan yang dibunuh rezim Orde Baru Soeharto ketika sedang memperjuangkan hak-hak buruh PT. Catur Putra Suryo pada tahun 1993. Marsinah ditemukan tak bernyawa pada tanggal 8 Mei 1993. Hingga kini, kasusnya tak pernah diusut hingga tuntas. Sejarah memang ditentukan penguasa. Orang-orang pemberani yang melawan ketidakadilan seperti Marsinah disembunyikan dari sejarah. Sebaliknya, orang-orang macam Soeharto malah mau diangkat sebagai pahlawan.

Namun, banyak yang tidak menyerah. Banyak yang menuliskan sejarah yang berbeda dengan versi yang diajukan oleh penguasa. Salah satunya, Wilson. Dalam wawancara Left Book Review (LBR) edisi Mei ini, redaksi LBR mewawancarai sejarawan (yang tidak mau disebut sebagai sejarawan) ini. Buku-buku yang ia tulis, di antaranya A Luta Continua!; Dunia di Balik Jeruji; Catatan Perlawanan (2005). Wilson juga menjadi tim penulis buku Gerakan Massa Menghadang Imperialisme (2005); penulis naskah buku foto Jalan Panjang Menuju Demokrasi (2001); menulis dalam berbagai bunga rampai ‘LBH dan Kaum Buruh Indonesia’ dalam buku LBH Memberdayakan Rakyat Membangun Demokrasi (1995); ‘Negara Sebagai Polisi Budaya,’ dalam buku. Demokrasi Antara Represi dan Resistensi. (1993); tim penulis buku Sejarah Bioskop Indonesia (1990). Editor Negara Adalah Kita, Januari 2006; banyak menuliskan sejarah orang-orang yang disembunyikan seperti Marsinah.

Berikut petikan wawancara redaksi LBR dengan Wilson, yang pernah meraih Michele Turner Award dari East Timor Relief Association (ETRA), Australia pada Oktober 1998 untuk katagori esai terbaik:

Wilson
Wilson

 

Bisa anda ceritakan bagaimana perjalanan intelektual anda?

Saya sebenarnya merasa tidak nyaman disebut sebagai intelektual. Itu sebuah sebutan yang kelewat tinggilah buat saya. Mungkin julukan ini cocok untuk orang lain. Saya lebih suka disebut sebagai orang biasa yang suka belajar dan memandang perlawanan sebagai motor perubahan (atau sejarah). Saya cenderung menolak formalitas sekolah. Sekolah bagi saya adalah belajar dari unsur-unsur progresif dalam sebuah masyarakat. Tapi, saya menghargai kawan-kawan yang tetap punya komitmen untuk rakyat dan belajar di berbagai universitas.

Sampai sekarang saya terus belajar, meskipun tanpa duduk di sekolah formal. Saya belajar dari realitas yang saya alami, hadapi, dengar, lihat dan baca. Saya selalu punya keingintahuan yang tak pernah kering akan perubahan. Saya adalah murid abadi alam raya.

Akhir-akhir ini kita lihat bagaimana Polisi dan TNI ternyata sulit untuk bisa dikendalikan oleh kekuasaan sipil. Mengapa hal ini bisa terjadi setelah lebih dari satu dekade jatuhnya Soeharto?

Dua tahun lalu, saya bertemu Patricia Isasa, perempuan korban penculikan, penyiksaan dan pemerkosaan junta militer Argentina di tahun 1978. Puluhan tahun dia berjuang menuntut militer penculik dan pemerkosanya untuk diadili. Militer yang berkuasa kala itu sudah ada yang jadi walikota, hakim bahkan kepala polisi. Tapi, baru tahun 2009 Isasa berhasil menyeret para pelaku ke pengadilan dan menang. Kemenangan korban atas militer pelaku kejahatan kemanusiaan tak lepas dari naiknya pemerintahan sayap kiri di Argentina. Tanpa perubahan politik mendasar dalam negara, mustahil itu terjadi militer bisa diseret ke pengadilan. Impunitas akan terus berlanjut.

Yang saya hendak katakan, untuk bisa menaklukkan residu kekuasaan militer yang masih kuat dan bertransfomasi dalam berbagai partai politik, butuh perjuangan panjang dan perubahan kekuasaan politik ke arah dominasi sayap progresif di negara yang bersangkutan. Di Indonesia, kita masih butuh banyak waktu ke arah penaklukkan militer secara total di bawah otoritas sipil, karena sayap politik progresif masih terfragmentasi dan belum menjadi kekuatan politik yang menentukan dalam negara. Kemampuannya  baru sebatas memberi tekanan kecil.

Bagaimana Anda melihat merebaknya kekuatan kelompok-kelompok fasisme yang mengatasnamakan agama? Apakah ini fenomena baru pasca kediktatoran Soeharto atau sesuatu yang telah ada presedennya dalam sejarah Indonesia?

Bila dilihat kelompok militeris yang menggunakan simbol agama dalam aksi-aksinya ini, mereka terkait dengan para elit dan militer di masa lalu. Kelompok ini dulu digunakan untuk menghadang gerakan mahasiswa jelang dan selama reformasi 1998.  Kelompok ini tidak ditindak tegas, karena kekuasaan masih membutuhkannya sebagai alat politik. Tapi kelompok ini juga bisa berkembang karena tidak ada perlawanan balik dari gerakan rakyat. Mengharapkan negara bertindak, seperti teriakan menghadap tembok. Rubuhkan saja tembok itu lebih dahulu.

Anda kini terlibat dalam penyelesaian masalah tahanan politik Papua, apa yang mendorong keterlibatan Anda itu?

Di Papua proses reformasi dan demokrasi sudah berhenti. Ketika demonstrasi buruh di Indonesia dapat dilakukan dengan aman, di Freeport buruh mogok ditembak mati. Aksi mahasiswa dihadang dengan penangkapan dan kekerasan. Seluruh rakyat Papua dalam pandangan rejim yang berkuasa saat ini adalah saparatis. Dan yang paling memalukan bagi saya, dan seharusnya kaum demokrat di Indonesia adalah, di Papua orang masih bisa dipenjara karena ide dan aktivitas politiknya dalam menentang ketidakadilan dan kebijakan negara.

Sekarang ini saja, ada 40 tahanan politik (tapol) yang tersebar di berbagai penjara di Papua dengan kondisi mengenaskan. Beberapa dari mereka sakit berat, tapi tak ditangani serius oleh negara. Bahkan tahun lalu, seorang tapol wafat karena sakit. Jadi, tugas demokratis kita untuk menuntut pembebasan mereka. Bila kita diam, saya meragukan apakah anda seorang demokrat atau bukan.

Dalam penulisan Anda, mengapa Anda menempatkan rakyat kecil sebagai subjek kesejarahan anda?

Waktu kuliah tahun pertama di jurusan sejarah Universitas Indonesia. saya terpukau dengan buku sejarawan Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. Saya baru menyadari saat itu bahwa petani ternyata juga punya sejarah dan bisa membuat sejarah. Sejarah bukanlah cerita tentang elit dan pergantian kekuasaan, tapi juga perjuangan rakyat kecil untuk mempertahankan haknya akan tanah, air dan budayanya. Sejarah dari dalam istana, hanyalah fenomena.

Lalu saya membaca sejarah gerakan buruh, pemberontakan dan berbagai revolusi besar di Prancis, Rusia, Tiongkok, Kuba, dan Indonesia sendiri. Semuanya membuktikan, tanpa rakyat, tidak ada perubahan dan revolusi Tanpa revolusi, peradaban mandeg, tidak maju menuju kualitas yang lebih baik. Tapi penguasa mapan dan kalangan kapitalis-neoliberal, memutarbalikkan makna positif revolusi karena mereka tahu itu adalah senjata perubahan yang tak bisa mereka hentikan. Jadi cegah potensinya dengan berbagai cara.

Siapa yang menginspirasi cara penulisan sejarah anda?

Karya Sartono di atas dan tentu saja filsafat dialektis dan materialisme historis dari Marxisme sangat mempengaruhi saya. Marxisme menginspirasi saya karena filsafat dan teori Marxisme tidak hanya menjadi pisau bedah terbaik atas penindasan (kapitalisme), tapi menjadikan teori sebagai praktek untuk melawan penindasan dan memberi harapan masa depan bagi emansipasi umat manusia. Dengan Marxisme, sejarah bukan hanya masa lalu belaka, tapi menjadi senjata untuk emansipasi manusia.

Dalam buku A Luta Continua, Anda menceritakan kembali pengalaman dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae. Bagaimana Anda menempatkan posisi perjuangan rakyat Timor di sana dalam kaitannya dengan upaya pembentukan sejarah bangsa Indonesia?

Kemerdekaan Timor Leste menunjukkan bahwa konsep Indonesia bukanlah sesuatu yang final. Bila sebuah wilayah diikat dengan cara DISATEKAN dalam bangsa Indonesia, maka ikatannya semu, menyimpan bibit pemberontakan yang tak mungkin bisa dihentikan. Apalagi bila perlawanan dihadapi dengan represi, kekerasan, pemenjaraan, penangkapan dan eksploitasi atas masyarakat tersebut, saya jamin itu bukan Indonesia yang dicita-citakan. Indonesia harus diikat dengan nilai kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, saling respek dan menghargai perbedaan serta demokrasi. Saya lihat nasionalisme yang mengemuka sekarang dan dipropagandakan negara adalah nasionalisme teritorial yang militeristik, yang termaktub dalam slogan fasistik,  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati. Bagi saya kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraanlah yang merupakan harga mati, siapapun penguasanya, apapun suku dan bangsanya. Bila itu tak dipenuhi, saya akan terus menuntutnya pada para penguasa.

Perlawanan rakyat sekarang semakin dinamis, bagaimana Anda melihat perlawanan rakyat sekarang dalam hubungannya dengan pembentukan identitas kebangsaan Indonesia?

Saya merasa identitas bangsa Indonesia sudah dikangkangi oleh neoliberalisme, sebagai ladang jarahan sumber daya alam, buruh murah dan pasar berbagai komoditi. Nasionalisme Indonesia sekarang sudah  kehilangan watak revolusioner, anti imperialisme dan anti neokolonialisme seperti yang diutarakan Soekarno.

Gerakan rakyat harus mempunyai identitas ke-Indonesia-an yang progresif, yang menolak neoliberalisme (kapitalisme dan imperialisme), menolak negara, partai, elit, serta kebijakan yang mengabdi kepada kepentingan modal dan oligarki politiknya, dari pusat hingga daerah. Indonesia di bawah kekuasaan rakyat adalah Indonesia yang akan memberi harapan bagi emansipasi manusia Indonesia. Tanpa itu, identitas ke-Indonesia-an adalah abstraksi yang tak jelas maknanya bagi kedaulatan rakyat.

Apa yang menurut Anda harus dimunculkan dalam perlawanan rakyat sekarang untuk menciptakan kedaulatan rakyat?

Hari buruh (May Day) kemarin dan sebelumnya, saya ikut ambil bagian dan menjadi saksi bagaimana gerakan kelas pekerja adalah unsur paling massif, paling teroganisir, dan paling militan. Beberapa diantaranya dengan tuntutan progresif menghubungkan penindasan buruh dengan kapitalisme (neoliberalisme). Ketika menuntut Upah Minimum Provinsi (UMP), gerakan buruh mogok di pabrik, di kawasan industri dan mendatangi pusat kekuasaan politik legislatif serta eksekutif di pusat dan daerah.

Apa artinya semua ini? Sederhana saja, potensi gerakan yang akan menjadi pondasi bagi kepemimpinan gerakan/ perjuangan kedaulatan di masa depan akan tergantung kemajuannya dari konsolidasi gerakan buruh dan pendidikan/kesadaran politik di gerakan buruh itu sendiri. Bila saatnya tiba, gerakan buruh harus segera memberikan kepemimpinan politik pada gerakan sosial-politik progresif lainnya. Jangan sampai dicuri dengan oposisi palsu seperti partai Gerindra dan Prabowo.

Gerakan buruh harus menyadari potensi gerakan dan organisasinya untuk menciptakan alat perjuangan bersama sebagai senjata untuk menghadapi negara dan politisi pro neoliberal yang menguasai arena politik kepartaian dan negara. Gerakan buruh harus dapat menyatukan berbagai unsur progresif di antara gerakan buruh itu sendiri untuk bersatu memberikan kepemimpinan perlawanan (dan politik) atas neoliberalisme serta kebijakan negara yang anti rakyat (dan anti buruh pastinya). Saya yakin gerakan sosial lainnya akan dengan sukarela dipimpin oleh gerakan buruh, bila menolaknya, kita patut mempertanyakan kenapa? Atau mungkin kita harus legowo, memang baru seperti inilah kualitas gerakan di sini.

Bagaimana posisi intelektual, khususnya sejarawan, dalam proses perlawanan rakyat sekarang?

Tahun lalu, saya ikut diskusi dengan Tariq Ali, intelektual-cum-aktivis kiri asal Pakistan yang kini tinggal di London, Inggris. Dalam diskusi itu, Ali mengatakan, intelektual progresif semakin sedikit jumlahnya. Di negara-negara dimana proyek sosialisme di jalankan seperti Venezuela, Bolivia, dll,, mayoritas intelektual justru menentangnya dan berdiri di pihak oposisi.

Jadi intelektual itu menjadi progresif atau konservatif, sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas kekuatan gerakan rakyat itu sendiri. Jangan berilusi mayoritas intelektual akan berada di pihak rakyat. Justru  intelektual yang berpihak dan terlibat hanyalah bagian yang kecil sekali, sehingga mungkin suatu hari nanti, kita butuh mikroskop untuk menemukannya.

Penulisan sejarah tidak pernah netral kuasa, bagaimana agar rakyat kecil dapat menuliskan sejarah mereka sendiri?

Organisasi rakyat harus menuliskan sendiri sejarahnya. Saya mencobanya di Praxis dengan menerbitkan empat buku tebal, yang isinya sejarah perlawanan rakyat di berbagai wilayah dan sektor. Yang dirangkum dalam buku itu, bahkan tak sampai 0.01 persen dari perlawanan rakyat yang terjadi setiap tahun.

Sekarang ini saya melihat ada www.perspektifnews.com yang dikelola kawan-kawan Partai Rakyat Pekerja (PRP) yang mencatat dan menyebarkan perlawanan rakyat setiap hari. Menurut saya ini bagian dari mencatat dan mendokumentasikan sejarah dari perspektif kerakyatan.

Dulu di zaman Orde Baru Soeharto, kita pernah menerbitkan majalan Progress yang mencatat berbagai perlawanan dan mengonsolidasikan gerakan sekaligus. Mungkin gagasan seperti ini belum usang di zaman media konvensional dan sosial yang membanjir sekarang ini. Di zaman media sosial ini, rakyat atau gerakan juga bisa mendokumentasikan dan menuliskan sejarahnya via blog, situs, facebook, twitter, youtube, dan jejaring sosial lainya di dunia maya. Tidak harus dalam format cetak seperti zaman dulu,  kini medianya lebih murah, mudah dan cepat disebarkan dalam format digital dan menggunakan internet, seperti situs IndoPROGRESS ini misalnya.

Apa proyek penulisan Anda di masa depan?

Dalam beberapa tahun terakhir ini, saya sedang merapikan naskah buku bertema ‘Gerakan Progresif Indonesia Di Masa Orba Dan Reformasi.’ Draftnya sudah 70 persen selesai, tetapi karena kesibukan kesana-kemari, proyek ini sudah tiga tahun terakhir terbengkalai. Saya ingin ada orang kiri yang menuliskan sejarah kaum kiri sendiri, mendokumentasikan gerakan dan paling penting untuk belajar dari sejarah gerakan kaum progresif itu sendiri. Entah kapan bisa dirampungkan, saya tidak tahu.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.