Nenengisme dan Problemnya

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


BERANDA media sosial saya belakangan dihiasi oleh posting dari atau terkait dengan Neneng Rosdiana, seorang ibu rumah tangga yang aktif di Kelompok Wanita Tani (KWT) Mentari, Lampung. Akun ini menarik karena awalnya bernama “Marxisme Indonesia”. Akun ini juga mendapat banyak perhatian pengguna karena banyak memotret kegiatan khas perdesaan disertai sarkasme untuk aktivis perkotaan yang tidak terjun ke masyarakat. Kemudian, jika “Marxisme Indonesia” mempromosikan gagasan dari Karl Marx dan para intelektual kiri lain, Neneng melakukan sebaliknya. Karena latar belakang tersebut, warganet kemudian memopulerkan istilah “nenengisme”. 

Kendatipun tidak merujuk pada term akademik dalam tradisi keilmuan tertentu melainkan hanya pelabelan ala media massa, nenengisme tetap perlu ditanggapi secara serius. Saya ingin mengemukakan kekurangan sekaligus masalah yang dapat timbul jika gagasan ini terus-terusan berseliweran tanpa sedikit pun diselidiki secara serius. Budaya pragmatisme dalam iklim akademik dan aktivisme di Indonesia menjadi karpet merah bagi gagasan-gagasan populer macam nenengisme ini, betapa pun banyak masalah di dalamnya, baik secara konseptual maupun konsekuensi politisnya dalam gerakan massa.

Ada dua hal yang segera mengganggu saya ketika membaca unggahan-unggahan Neneng, pertama persoalan romantisasi berlebih terhadap kehidupan perdesaan serta dikotomi teori dan praktik yang tidak berimbang. Saya elaborasi lebih jauh di bagian berikut.


Romantisasi Kehidupan Perdesaan

Banyak unggahan Neneng memotret aktivitas keseharian dan pertanian warga di desanya yang terlihat guyub, tenteram, damai, serta penuh gotong royong. 

Misalnya, bersama unggahan foto warga sedang mengikuti pengajian, Neneng menulis, “Marxisme bicara soal kesetaraan, ibu-ibu pengajian sudah praktik langsung, semua bawa makanan, semua kebagian makan, nggak ada yang pulang lapar. Revolusi kecil yang nyata terjadi setiap minggu!” Di posting lain, Neneng mengunggah foto ibu-ibu yang sedang memegang hasil panen kangkung bermimik semringah dengan caption, “Sama-sama perjuangkan ketahanan pangan: Marxisme ingin distribusi merata, KWT Mentari ingin panen raya!” Satu lagi, dalam unggahan tentang buka puasa bersama, Neneng menulis, “Dalam buka puasa bersama, keadilan sosial bukan sekadar teori, yang membawa banyak berbagi, yang tak punya tetap kebagian. Mungkin Marx lupa mencantumkan ini di Das Kapital.” 

Sekilas, tak ada yang bermasalah. Kehidupan perdesaan demikian adanya. Kehidupan yang sumpek, jauh dari solidaritas sosial, dan penuh ketidakbahagiaan hanya ada di masyarakat kota. Ada banyak pula penelitian dari LSM, akademisi, serta aktivis politik yang melihat kehidupan agraris serupa nenengisme. Namun, benarkah demikian? 

Cara pandang yang melihat kehidupan perdesaan itu homogen dan warganya relatif memiliki semangat penghidupan yang sama, oleh Muchtar Habibi, disebut sebagai “mitos agraria”. Apa yang keliru dari potret arus utama itu adalah pengakuan bahwa kehidupan perdesaan penuh dengan dinamikanya sendiri, kompleks, dan masyarakatnya terbagi ke dalam kelas-kelas sosial tertentu yang pada gilirannya memengaruhi kualitas penghidupan masing-masing. Singkatnya, kehidupan yang tidak homogen. 

Analisis kelas membantu kita melihat kondisi masyarakat perdesaan dengan lebih baik. Dalam analisis ini, posisi petani sebagai kelas sosial sangat ditentukan oleh sistem yang mengondisikannya: kapitalisme. Proses komodifikasi yang khas dalam kapitalisme menyebabkan bertani bukan hanya untuk subsisten, tapi juga demi keuntungan dalam tingkat yang berbeda-beda. Karena itu dalam bahasa Inggris kita mengenal berbagai istilah seperti “peasant” dan “farmer”, Istilah pertama merujuk pada petani tradisional, skala kecil, sekadar subsisten, sementara yang disebut terakhir lebih tinggi. Di dalam situasi ini terdapat persaingan. Ada yang kalah dan ada yang menang. 

Kata Habibi: “Karena dikondisikan oleh logika pasar, sebagian petani (farmer) dapat menjadi akumulator (kapitalis) yang terlibat dalam ekspansi reproduksi. Sebagian yang lain jadi petty commodity producer untuk sekadar memproduksi secara sederhana kehidupan mereka yang dalam istilah populis disebut sebagai subsistensi. Banyak yang lain meski memiliki secuil tanah kadang gagal untuk memenuhi kebutuhan reproduksi sederhana, sehingga mengalami tekanan subsistensi dan menjadi petani semi proletariat. Sementara sebagian produsen lain yang kalah bersaing dipaksa kehilangan sarana produksinya sama sekali dan bergabung menjadi buruh upahan untuk bertahan tiap hari untuk sekadar bertahan hidup.” (Habibi : 2018) 

Mitos agraria yang dipromosikan nenengisme memiliki konsekuensi politis tidak main-main. Hal yang paling mudah untuk saya paparkan di sini adalah pengorganisiran kaum tani yang dipukul rata, padahal sejak awal sangat kontras (ada yang memiliki sarana produksi, ada yang memiliki secuil sarana produksi, bahkan ada yang tak memiliki apa pun selain tenaga untuk bekerja). Tentu sulit membayangkan, misalnya, ada kelompok tani yang menuntut reforma agraria sejati jika di dalamnya juga terdapat petani kaya yang punya lahan amat luas.


Dikotomi Teori dan Praktik yang Tidak Berimbang

Dalam salah satu unggahan, Neneng menulis, “Semakin panjang teori, semakin jauh dari kenyataan. Sementara kalian sibuk berdebat soal penindasan kapitalis di coffeeshop mahal, kami para petani sedang memastikan kalian tetap punya makanan di meja, meski kami sendiri nggak tahu bisa makan apa.” Kendatipun hanya cuitan di medsos, yang tentunya tidak punya beban pertanggungjawaban secara ilmiah, namun tetap saja itu perlu direspons secara layak sebab, mengulang pernyataan sebelumnya,  itu sangat mudah diterima dalam kultur akademik dan aktivisme. 

Cuitan Neneng memang terkesan sangat heroik dan menghujam. Namun, sedikit saja kritis, maka kita akan segera menemukan banyak problem dalam satu paragraf itu. Misal, benarkah semakin panjang teori, semakin jauh ia dari realitas? Teori adalah hasil abstraksi dari kenyataan, sehingga panjangnya teori justru menunjukkan level kompleksitas kenyataan yang sedang dihadapi. 

Dalam kalimat selanjutnya, Neneng tampak sinis pada mereka yang membicarakan penindasan di tempat yang dia anggap tidak merepresentasikan itu. Bagi saya ini lebih parah dari yang awal parah sinisme semacam ini muncul dari pendefinisian yang kurang memadai terhadap kapitalisme. Jika memahami kapitalisme sebagai corak produksi komoditas yang bekerja secara total dalam realitas yang tujuannya adalah akumulasi tanpa batas serta didasarkan pada penghisapan kelas pekerja, maka kita akan segera tahu bahwa masalahnya bukan pada produk (aneka ragam minuman) dan tempat komoditas itu dibuat (kedai), tapi pada keseluruhan relasi yang menciptakan sebuah komoditas atau secara konseptual disebut sebagai sirkuit kapital. Ini sama seperti sindiran “katanya antikapitalis, tapi kok pakai produk-produk kapitalis (laptop, ponsel pintar, dsj)?” Kritiknya perlu diarahkan pada penghapusan sistem kapitalisme itu sendiri alih-alih berfokus pada produk hasil dari kapitalisme. 

Lanjut ke respons yang lebih konseptual terkait dikotomi teori dan praktik. Secara implisit Neneng hendak mengatakan bahwa praktik (menanam) derajatnya lebih tinggi dibanding teori (berdebat). Benarkah demikian? 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita menjernihkan lebih dahulu posisi teori dan praktik serta hubungan keduanya. Rakyat Husein menulis di Indoprogress, “Kaum marxis harus mengingat bahwa teori dan praksis adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Teori memberikan arah dan kerangka bagi praksis, sementara praksis memperkaya teori dengan pengalaman nyata. Sebuah perjuangan yang berhasil hanya dapat terjadi ketika teori dan praksis saling melengkapi.” Menyitir Husein, teranglah bahwa teori dan praktik adalah satu kesatuan. Dengan kata lain, ada hubungan dialektis antara keduanya (saling merasuki). 

Kutipan singkat tentang teori dan praktik ini kiranya dapat dipakai untuk menjernihkan problem dari cuitan Neneng. Mendiskusikan kapitalisme di warkop tidak bisa hanya disebut sebagai berteori saja, sebab ia adalah praksis dari teori yang lain, yakni teori bahwa kapitalisme adalah realitas yang kompleks sehingga untuk sampai pada pengetahuan yang memadai tentangnya, yang pada gilirannya dimungkinkan untuk dilakukan perubahan, perlu untuk senantiasa dipelajari dan didiskusikan (inilah contoh teori yang menubuh dalam praktik). Sebaliknya, agar aktivitas bertani tidak kering dan punya potensi perlawanan terhadap kapitalisme, penting untuk menempatkannya pada teori tertentu. Pada akhirnya, dikotomi berlebih teori dan aksi yang tampak secara eksplisit dalam nenengisme harus segera dikubur, sebab keduanya tak pernah benar-benar berpisah, ia dialektis (saling merasuki). 

Ada ungkapan yang menarik dari inspirator utama gerakan kita, Karl Marx. Dalam Tesis-Tesis tentang Feuerbach. Marx menulis, “Para filsuf hanya telah menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting adalah mengubahnya.” Penting untuk disadari bahwa dunia (kapitalisme) belum benar-benar telah ditafsirkan atau belum final, sehingga bagaimana mungkin mengubah dunia (kapitalisme) jika kita tidak punya pemahaman memadai tentangnya. Di titik inilah, lagi-lagi penting untuk senantiasa mendiskusikan dan mengkritik kapitalisme, sambil lalu mempraktikkan gagasan-gagasan itu. Inilah praksis yang dikenal dalam tradisi panjang marxisme.


Sebuah Refleksi

Pada bagian akhir ini saya mau sedikit merefleksikan kembali realitas kapitalisme yang semakin menapak kuat dalam sendi-sendi kehidupan, di mana pun wajah kita dipalingkan, di situlah kapitalisme kita jumpai. Lalu apa yang tersisa untuk kita? Tak ada, selain seonggok tenaga untuk bekerja 8 jam sehari atau bahkan lebih di pabrik, kantor, sawah, ladang, laut atau di mana pun itu tempat sirkuit kapital berlangsung, bahkan di gawai yang sering kali kita anggap privat itu. Oleh karena demikian, setiap upaya untuk mengintervensi sistem kapitalisme ini, bagaimanapun bentuknya, penting untuk selalu dihidupkan bahkan ketika itu dilakukan di coffeshop mahal (para barista itu juga buruh, dan gajinya tidak jarang kecil). 

Pada akhirnya, tren nenengisme mengajarkan bahwa bagaimanapun populernya sesuatu, selalu penting untuk menyisakan ruang kritik untuknya. Bukan bermaksud untuk menyudutkan atau mendiskreditkan, akan tetapi begitulah ruang maya seharusnya dihidupkan dan senantiasa diarahkan pada upaya kemenangan atas sistem yang menindas hari ini.


Rizky Abadi Putra, penjaga rumah Tadarrus Buku 218 Makassar

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.