Althusser, Rytmann, dan Penafsiran Marxisme

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: djvapadcr


LOUIS Althusser dan Hélène Rytmann merupakan pasangan filsuf dan sosiolog Prancis yang cukup berpengaruh dalam arus politik Prancis di abad ke-20. Keduanya memperjuangkan ideologi politik dengan orientasi komunisme-marxisme pada Partai Komunis Prancis (PCF). Namun mereka tidak selalu seragam dalam pemikiran, bahkan cukup berlawanan, dan akan dibahas dalam artikel ini. 

Sebelum itu perlu diketahui bahwa Althusser mencekik Rytmann sampai mati pada tahun 1980 (Althusser, 2010 :vii). Meski karier akademiknya berakhir, kasus ini tidak pernah membuat Althusser berakhir di penjara. Dia dianggap tidak waras (legal insanity) (Althusser, 2010: vii). Hakim penyidik menunjukkan bukti dari tiga ahli psikiarti yang menegaskan Althusser dalam “keadaan demensia” saat pembunuhan terjadi. Hasilnya adalah keputusan harfiah “non-lieu” atau penghentian proses hukum karena pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawaban (Dupuis-Deri, 2023: 11).

Argumentasi yang digunakan untuk membela Althusser adalah pendekatan psikologis yang menghilangkan analisis sosiologis atau politik, termasuk pendekatan feminis. Dengan menekankan aspek psikologis, pembunuhan tersebut didepolitisasi dan wacana publik yang berkembang di media lebih banyak berfokus pada kondisi mental Althusser daripada pada aspek kekerasan terhadap perempuan atau dimensi sosial-politiknya (Dupuis-Deri, 2023: 11-12).


Perdebatan Orientasi Partai

Tahun 1960-an merupakan era penting bagi Partai Komunis Prancis yang sejak awal berdiri, tahun 1920, condong stalinis. Setelah naiknya Nikita Khruschev di Uni Soviet, muncul arus destalinisasi di mana-mana termasuk di Prancis. Sebagian pihak, termasuk dari dalam, menghendaki partai mengikuti arus tersebut.

Sebagai filsuf politik, Althusser menolak segala upaya destalinisasi yang memaksa semua partai menyusupkan pandangan humanisme sebagai interpretasi ulang atas ideologi komunisme-marxisme. Althusser mengkritik keras upaya menumbuhkan pemikiran humanisme sebagai landasan ideologi politik, bahkan menganggap kehadirannya dalam komunisme-marxisme sebagai sesuatu yang haram dan salah kaprah. Althusser menolaknya sebab menganggap humanisme itu menyimpang dari prinsip harfiah dari komunisme-marxisme. “Marxisme itu bukan humanisme,” katanya. “Itu adalah teori dari sejarah.”  Menurutnya pandangan humanisme juga mengancam semangat revolusioner dan malah berakhir pada liberalisme.

Althusser memaknai komunisme-marxisme sebagai aspek teoretis dan konseptual dalam tradisi pemikiran marxisme. Selain itu, Althusser juga menolak komunisme-marxisme diinterpretasikan ke arah marxisme ortodoks. Perubahan interpretasi ini akan membuat ideologi politik komunisme-marxisme mengarah pada pengaburan haluan ideologis moderat dan tertinggalnya sifat militan (Romadona,2020:200-202). 

Posisi ini berbanding terbalik dengan Rytmann. Dia menilai komunisme-marxisme sebagai ideologi justru harus pragmatis, dengan menjadikannya sebagai dasar dalam pengorganisasian dan perlawanan praktis dalam kerangka Partai Komunis Prancis (Lewis, 2009). Menurutnya apa yang dikatakan Althusser terlalu abstrak, tidak menapak kenyataan perjuangan. 

Pandangan ini selaras dengan pengalaman hidupnya. Pandangan pragmatis diperoleh Rytmann selama momen Perang Dunia II. Ketika itu ideologi ini digunakan untuk menghimpun kekuatan dalam menyuarakan perlawanan. Dengan kata lain, alat mengorganisiasi massa. Berangkat dari pengalaman itu, Rytmann menganggap komunisme-marxisme bakal lebih berdampak pada publik jika digunakan untuk memengaruhi lingkaran sastra yang radikal (Lewis, 2022).  

Sementara Althusser mulai mengenal komunisme saat dipenjara di masa Perang Dunia II. Ia ditangkap Nazi dan dibuang ke kamp konsentrasi di Schleswig, Stalag XA, Jerman. Hidupnya menderita meski bisa merasakan solidaritas yang berkesan. Dia menulis pengalaman di Stalag XA selama 1940-1945 dan kemudian dikumpulkan dalam sebuah jurnal berjudul de Captivité  (Althusser, 2010: vi).

Rytmann selalu menegaskan pentingnya meningkatkan kesadaran kelas dalam dinamika politik melalui aktivitas konkret berupa mobilisasi massa. Dalam hal ini dia lebih memberikan porsi besar bagi agensi dalam proses perubahan sosial. Sementara Althusser sebaliknya, menganggap bahwa struktur lebih besar sehingga kebebasan agensi sangat terbatas. Dari keyakinan ini Rytmann yakin semestinya partai lebih aktif jadi moda dari transformasi sosial dengan perjumpaan teori kritis dan praktik politik.

Rytmann menyatakan partai akan hancur jika terlalu ideologis (Elliot, 1994: 188-189). Maksudnya, mempertahankan tradisi lama seperti terlalu sentralistik dan anti terhadap kritik internal. 

Pernyataan-pernyataan Rytmann jadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dia dianggap sebagai agen ganda oleh beberapa pihak yang tidak sepakat dengannya. Argumentasi Rytmann selalu dicurigai ekstrem dan radikal. Walaupun tak sepenuhnya terbukti, tuduhan ini membuat Rytmann perlahan kehilangan pengaruh di partai. Tuduhan yang dilontarkan orang sesama kader partai menjadikan senjata ampuh dalam mematikan karier politiknya. Lebih dari itu, selain dikerdilkan di Partai Komunis Prancis, perbedaan pandangan membuat hubungannya dengan Althusser memburuk dan tidak harmonis. Althusser merasa mengalami konflik kepentingan (Elliot, 1994: 188-189).

Perdebatan panjang interpretasi komunisme-marxisme di Partai Komunis Prancis pun berakhir dengan kemenangan golongan ideologis. Dengan kata lain, masih cenderung stalinis meski bermunculan retorika khas humanisme. Partai menganggap interpretasi komunisme-marxisme yang pragmatis tidak cocok karena dapat mengaburkan orientasi revolusioner.

Tentu Althusser berkontribusi besar terhadap kemenangan ini. Althusser memanfaatkan keadaan ini untuk menulis magnum opus-nya, For Marx (1965). Di dalamnya ia salah satunya bicara tentang marxisme sebagai sains, bukan sekadar ideologi. Althusser menganggap marxisme sebagai sains merupakan pandangan positivistik yang mendahului ideologi. Perdebatan yang terjadi di Partai Komunis Prancis merupakan perdebatan pemaknaan yang tidak bisa memisahkan sains dan ideologi, katanya. Kalangan intelektual dan kader partai sepakat dengan ide yang ditawarkan Althusser.

Dengan didukung oleh golongan ideologis, Althusser mendapatkan pengaruh di partai. Selain itu, tesisnya tentang aparatus negara (represif dan ideologis) pun membuka wawasan baru bagi Partai Komunis Prancis dalam mengelola kesadaran massa dan perjuangan struktural. Tesis ini juga berkontribusi pada strategi dalam menghadapi dinamika politik. Bagi Althusser, Partai Komunis Prancis layak mempertahankan kerangka kerjanya secara teoretis demi melawan ideologi yang melenceng ke arah liberal. Dari tesis tersebut, pendekatan konstruktif menjadi daya tawar untuk membentuk identitas ideologis di tengah tekanan politik dan sosial Prancis pada masa itu.

Bermodal orientasi ideologis, Partai Komunis Prancis mendapat pengaruh masyarakat dan citranya semakin dihormati oleh publik.


Ketegangan dalam Politik dan Akademis

Naiknya citra Partai Komunis Prancis menjadi kebanggaan tersendiri bagi Althusser. Dari sana, ia berusaha memperbaiki hubungan dengan Rytmann dan mencoba menariknya kembali ke partai. Kepada partai, dia bicara bahwa Rytmann juga membantu dalam hal membentuk pemikirannya tentang militansi. Althusser juga beralasan demi memajukan dinamika dan tujuan Partai Komunis Prancis, Rytmann perlu dipulihkan.

Namun niat tersebut justru membuat Althusser dicurigai golongan ideologis. Demi mengatasi kecurigaan tersebut, Althusser membentuk kelompok studi marxis di ENS (École Normale Supérieure, salah satu sekolah tinggi paling elite di Prancis) (Lewis, 2022) dengan harapan pernyataan akademis dari mereka membersihkan nama baik Rytmann. Namun, karena tidak mempersiapkannya secara matang, pernyataan Althusser justru membuat situasi internal partai memburuk. Althusser pun dicurigai sebagai agen ganda sebagaimana Rytmann.

Pembelaan Althusser mengindikasikan kekhawatiran kolektif sebagai ancaman internal ketimbang argumentasi rasional  (Elliot,1994:194-193). Pandangan ideologis pun turut mendapatkan kritik karena terlalu kaku dan dianggap tidak manusiawi. Namun pada akhirnya golongan ideologis menang, reputasi Rytmann tidak dapat dikembalikan (Lewis, 2022).

Selain gagal mengembalikan Rytmann, Althusser pun mendapatkan pengawasan ketat di ENS, tempatnya belajar dan mengajarENS meragukan independensi intelektual Althusser karena terlampau dekat dengan partai. Saat itu ENS memang lebih condong pada kekuasaan di luar partai. Kemandirian tokoh intelektualnya dipersulit, khususnya yang terlibat langsung dalam politik (Balibar, 2015: 4).

Althusser kemudian mengkritik balik ENS, menyebut mereka sebagai aparatus negara, bagian dari reproduksi ideologis untuk menanamkan nilai sosial yang selaras dengan kelas penguasa. Dalam The Future Last Foverer (1995: 45), Althusser menjelaskan bahwa ENS memiliki struktur intelektual yang terkesan kaku tapi halus dalam pemaksaan ideologis. Althusser merasa ENS sebagai lembaga pendidikan negara berperan tidak netral secara ideologis. ENS juga menanamkan nilai-nilai konservatif dan nasionalisme. Dari kritik ini, Althusser merasa keikutsertaannya dalam Partai Komunis Prancis adalah perisai pertahanan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Konflik internal di Partai Komunis Prancis dan ketegangan intelektual dalam ENS membuat Althusser bimbang (Althusser, 1995: 102) dan berdampak pada kondisi psikologisnya, sebab keduanya merupakan dua faktor penting yang menunjang namanya. Hal ini membuat komitmen akademis dan politiknya tidak bisa berjalan bersama. Situasi ini membuat Althusser seperti menjadi dua tokoh yang berbeda di mata publik.

Althusser tidak aktif di politik praktis tetapi memainkan peran sebagai akademisi politik. Sebagai seorang akademisi di ENS, ia mencoba memasukkan diskursus komunisme ke kampus dan merekrut mahasiswa masuk partai (Lewis, 2022). Di ruang akademis, dia mengajarkan filsafat marxis tapi memberi jarak pada politik komunisme. Pada proses perkuliahan, dia menuntut mahasiswa belajar berkelompok untuk mengenal teks-teks filsafat klasik dan kontemporer. Althusser bersama mahasiswa cenderung fokus mengkaji filsafat politik pada abad ke-18. Pembacaannya terkait dengan filsafat politik ini melahirkan karya berjudul Montesquieu la politique et l’histoire (Lewis, 2022).

Setelah sekian lama diawasi cukup ketat, Althusser akhirnya mampu menunjukkan ke publik bahwa dia mampu berkarier secara profesional di ENS. Pada tahun 1954, Althusser dipromosikan menjadi secrétaire de l’école littéraire (sekretaris universitas). Jabatan ini membuat pengaruh politiknya kian berkembang. Bersama dengan mahasiswa yang dia bimbing, Althusser menginisiasi kajian tentang filsafat politik dan turut memberikan warna baru bagi perkembangan filsafat Prancis. Althusser juga aktif mengisi seminar yang dihadiri oleh tokoh-tokoh akademisi ternama dan seminar politik di Partai Komunis Prancis (Lewis, 2022).  

Pada tahun 1961, Althusser menyeminarkan esai berjudul “Sur le jeune Marx” (“Tentang Marx Muda”). Esai tersebut memantik perdebatan sengit yang berkaitan dengan interpretasi atas marxisme, terutama dalam hal Marx muda yang kerap jadi ilham para penganut humanisme. 

Dalam hal aktivisme politik, Althusser masih membantu partai dalam hal tidak terjebak pada humanisme, juga mengarahkan program seperti mendukung industrialisasi. 

Keadaan Partai Komunis Prancis yang membaik memberi peluang bagi Althusser untuk kembali melakukan penelitian terkait dengan filsafat marxisme. Di kampus, dia mengubah gaya mengajar, berinovasi dengan menawarkan seminar-seminar kolaboratif. Bersama dengan mahasiswanya, Althusser menggelar seminar-seminar dengan tajuk seperti kembali ke Marx; ke karya-karya asli Marx.

Pada 1965, dia menerbitkan karya berjudul Reading Capital, kemudian kumpulan esai tentang teori marxis dalam For Max. Dua karya tersebut berdampak melampaui diskursus intra-partai. Di titik ini dia sudah menjadi intelektual penting dalam tradisi marxisme terutama dalam pembentukan arus pemikiran marxisme strukturalis dan pemikiran kiri secara umum. 


Daftar Pustaka

Althusser, L. (1970). Reading Capital. Verso.

Althusser, L. (1995). The Future Last Forever. New Press.

Althusser, L. (2010). Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Jalasutra.

Balibar, E. (2015). Althusser’s Dramaturgy and The Critique of Ideology. A Journal of Feminist Cultural Studies Differences, Vol 26 (3), 1–22.

Elliot, G. (1994). Analysis Terminated, Analysis Interminable: The Case of Louis Althusser. In Althusser A Critical Reader (pp. 177–202). Blackwell Publisher.

Dupuis-Déri, F. (2023). Althusser assassin: La banalité du mâle. Montréal,  Les Éditions du remue-ménage.

Lewis, W. (2022). Louis Althusser. Stanford Encyclopedia of Philosophy Archive. https://plato.stanford.edu/archives/fall2022/entries/althusser/

Romadona, M. T. (2020). Louis Althusser dan Filsafat Sebagai Yang Politis. JAQFI: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam, Vol. 5, No. 2, 197–236.


Tedy Aprilianto adalah mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Kabid PA HMI Cabang Bulaksumur Sleman, yang memiliki minat fokus studi pada filsafat sosial dan politik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.