Tentara ke Kampus untuk Memberangus

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Bruno Ferreira/eltecolote.org


REVISI atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) membuka jalan baru dan lebar bagi militer untuk terlibat dalam kehidupan sipil, tidak terkecuali di lingkungan akademik. Tidak butuh waktu lama sampai indikasinya terlihat nyata. Hanya beberapa waktu setelah revisi disahkan, kita sudah melihat banyak contoh infiltrasi tentara di kampus kita

Pada 26 Maret, misalnya, muncul kabar tentang kerja sama antara TNI dan Universitas Udayana. Perjanjian tersebut mewajibkan mahasiswa mengikuti pendidikan bela negara (dengan baris-berbaris), sementara prajurit aktif dapat menempuh pendidikan di kampus tersebut.

Di Purwokerto, rektorat Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) memanggil fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) setelah mereka menyelenggarakan aksi menolak RUU TNI pada 21 Maret. Rektorat meminta BEM berdialog dengan Kodim Banyumas. BEM awalnya menolak karena tidak ada surat resmi dari TNI, namun toh pertemuan tetap terlaksana. Menurut BEM Unsoed, pertemuan itu ternyata dipakai militer untuk menekan mahasiswa memberikan klarifikasi dan permintaan maaf atas aksi yang terjadi.

Di Merauke, muncul surat dari Kodim 1707 yang meminta data mahasiswa. Para mahasiswa curiga itu bertujuan untuk memantau dan membungkam suara-suara kritis terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN). Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua terlibat membantu mahasiswa yang merasa terancam.


Dari Penyeragaman Isi Kepala hingga Represi Sipil

Sejumlah pengamat telah mengungkapkan kekhawatiran soal infiltrasi militer di kampus-kampus.  Kritik terhadap infiltrasi militer ini mencerminkan kekhawatiran akan hilangnya ruang bebas berpikir di kampus-kampus.

Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, menyatakan bahwa ini adalah upaya militer mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh diajarkan kepada mahasiswa. Sementara Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menegaskan bahwa pendekatan militer sangat bertentangan dengan nilai-nilai akademik yang mutlak membutuhkan ruang berpikir bebas dan kritis. 

Kampus seharusnya memang menjadi ruang kebebasan berpikir, tempat pertukaran ide yang egaliter dan kritis. Atmosfer akademik yang bebas dan dialogis sangat penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagaimana dikatakan Paulo Freire, “pendidikan sejati adalah praktik kebebasan, bukan tindakan penjinakan.” Militerisasi kampus bukanlah upaya mendidikmelainkan strategi untuk membentuk kepatuhan dan menghapus keberanian untuk menggugat—seperti kasus Unsoed.  

Lebih jauh dari itu, keterlibatan militer dalam institusi pendidikan tinggi juga dianggap sebagai langkah mundur menuju otoritarianisme. Menurut Dhia Al Uyun, Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK), infiltrasi ini dapat menyeret dunia akademik ke dalam kontrol yang ketat. Hal ini menciptakan atmosfer yang tidak kondusif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas, yang merupakan inti dari pendidikan tinggi. 

Salah satu alasan yang sering muncul untuk mendukung infiltrasi militer adalah kebutuhan akan bela negara. Hal ini misalnya muncul saat figur militer datang berceramah di masa penerimaan mahasiswa baru di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2019 lalu. Pertanyaan “mengapa harus tentara?” jelas muncul ke permukaan, seakan tidak ada sosok yang bisa dijadikan teladan. Keputusan mendatangkan loreng juga seakan mereduksi kemampuan kampus. Intelektualitas pun gagal unjuk gigi di rumah sendiri. 

Selain itu, toh yang bisa membela negara bukan cuma militer. Prestasi akademik, olahraga, dan riset juga merupakan bentuk kontribusi terhadap negara yang bahkan lebih relevan dan sesuai dengan fungsi pendidikan.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigjen Wahyu Yudhayana, beralasan bahwa TNI dapat masuk kampus karena mereka punya fungsi “pembinaan teritorial”. Pernyataan ini tidak lain mengingatkan pada konsep dwifungsi ABRI pada era Orde Baru. 

Pernyataan ini juga mempertebal keyakinan bahwa tentara masuk kampus itu keliru. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa keterlibatan militer dalam dunia pendidikan sering kali berujung pada pengendalian pemikiran dan pembatasan kebebasan berekspresi. 

Coba kita ingat-ingat lagi bagaimana rezim Orba berkuasa selama 32 tahun. Presiden Soeharto menjalankan roda pemerintahan dengan corak militer. Sejumlah alat propaganda dirancang guna membuat sikap rakyat sesuai kehendak penguasa. Rendro Dhani, Terence Lee, dan Kate Fitch menulis dalam Political Public Relations in Indonesia: A History of Propaganda and Democracy bahwa selama itu rezim Soeharto menggunakan “ketakutan” dalam menjalankan roda pemerintahan. Manipulasi kenyataan juga dilakukan agar rezim militer dipandang sebagai pahlawan. 

Sementara itu, kebebasan berekspresi dibungkam. Buktinya banyak surat kabar diberedel tanpa ampun. Sikap itu sama saja merampas hak masyarakat terhadap informasi yang mereka butuhkan. Belum lagi masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Timor Timur dan Irian Barat merupakan salah dua wilayah yang menjadi saksi bisu betapa kejamnya rezim militer saat itu. Tragedi pun semakin panjang dengan kasus penghilangan paksa para aktivis prodemokrasi menjelang tumbangnya Orde Baru.

Bertahun-tahun setelah Reformasi, militer jelas berupaya membangun kembali reputasi mereka di hadapan publik. Hal ini mudah saja terlihat. Hadirnya figur tentara sebagai pembicara atau di kesempatan lain di ruang publik merupakan salah satu cara merekonstruksi citra yang terlanjur buruk di masa lalu. Tentara diberi tempat strategis untuk menyampaikan narasi positif, seolah-olah hanya merekalah yang mampu memperbaiki segala permasalahan bangsa ini. Hal ini juga didukung oleh semakin banyaknya mantan petinggi tentara yang kini menduduki posisi penting di pemerintahan pusat.

Tampaknya upaya tersebut sejauh ini berhasil. Buktinya, survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan bahwa TNI ada di peringkat pertama daftar institusi yang dipercaya publik. TNI meraup 90 persen suara dari total 1.183 responden. Angka tersebut sukses melampaui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang duduk di peringkat kedua dengan 80,8% suara. Sementara presiden dan wakil presiden secara beruntun duduk di peringkat ketiga dan keempat.

Dominasi yang terus diberikan tempat akan menjadi hegemoni. Sekarang mungkin masih banyak yang menganggap aneh jika ada tentara masuk kampus, menceramahi mahasiswa yang semestinya berpikir bebas. Namun lama-kelamaan itu akan menjadi kenormalan. Masyarakat akan menganggap bahwa tentara di ruang publik adalah hal biasa; menganggap bahwa tentara bisa semuanya juga hal biasa; dan seterusnya. 

Mungkin, untuk saat ini, rezim militer belum sepenuhnya kembali. Tapi kita tahu bahwa sejarah akan selalu menjadi pelajaran berharga buat kehidupan di masa mendatang. Kita tidak mau kembali hidup di masa lalu. Hal itulah yang menjadi pekerjaan rumah kita sebagai bagian dari sivitas akademika. Dominasi harus dilawan dengan wacana tandingan yang tidak kalah kuat. 

Upaya kita untuk bertanding dan meningkatkan posisi tawar di hadapan masyarakat tampaknya memang akan melalui jalan terjal. Sudah bertahun-tahun militer dengan entengnya menyampaikan narasi versi mereka di lingkungan akademik.  Jika hal ini dibiarkan terus, boleh jadi wibawa universitas akan tergusur. Kebebasan dan kemerdekaan berpikir kita seolah tidak ada gunanya. Lebih memalukan lagi jika kita memilih diam ketika militer merebut peran universitas sebagai tonggak pembangunan.


Penutup

Infiltrasi militer dalam kampus adalah hal serius yang perlu dicermati dengan saksama. Meskipun ada argumen tentang perlunya bela negara, kenyataannya adalah bahwa kehadiran militer dapat mengancam kebebasan akademik dan demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat sipil dan komunitas akademik untuk bersuara menolak langkah-langkah yang dapat merugikan integritas pendidikan tinggi. Kampus harus tetap menjadi ruang bebas untuk berpikir dan berdiskusi tanpa adanya tekanan dari luar, termasuk militer.

Masuknya militer ke kampus bukan sekadar intervensi—ini adalah bentuk nyata infiltrasi sistematis untuk membungkam kebebasan akademik dan menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Ini adalah langkah mundur yang mengancam demokrasi, membunuh kebebasan berpikir, dan menyeret dunia akademik ke dalam jurang otoritarianisme. Kampus adalah ruang intelektual, bukan barak. Di sini, argumen bertemu argumen. Tidak ada tempat bagi moncong senjata. Kebebasan akademik hanya tumbuh dalam atmosfer egaliter dan dialogis—bukan di bawah bayang-bayang feodalisme kronis dan kultur hierarkis.

Sejarah telah membuktikan: setiap kali militer masuk ke kampus, yang terjadi adalah represi, pembungkaman, dan kehancuran nalar kritis. Kita tidak boleh diam. Kampus harus menjadi ruang tanding, bukan ladang indoktrinasi. Perlu ada perlawanan intelektual—baik dari mahasiswa, dosen, maupun sivitas akademika lain—untuk menjaga muruah universitas. Wacana tanding harus dibangun, bukan hanya menolak kehadiran militer secara fisik tetapi juga menggugat narasi dominan yang membenarkan militerisasi sipil.

Dalam situasi seperti ini, demokrasi dan akal sehat memang sedang berada di titik kritis. Apakah kita akan menyerah pada romantisme nasionalisme yang dikendarai oleh militer, atau tetap mempertahankan kampus sebagai ruang bebas, kritis, dan merdeka dari bayang-bayang kuasa? Saya kira kita semua tahu jawaban yang benar.


Iqbal Alaik adalah penulis lepas yang tengah menekuni kajian seputar kampus, kebebasan akademik, dan demokrasi. Tinggal di Kota Semarang dan kuliah jurusan ekonomi di UIN Walisongo Semarang.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.