Perlawanan yang Tak Terduga di Turki

Print Friendly, PDF & Email

Foto:Mahasiswa turki memprotes penahanan Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu, 21 Maret 2025. Reuters via CNN


SESUATU yang tak terduga tengah berlangsung di Turki. Sebuah partai yang selama tiga dekade terakhir semakin bergeser ke kanan kini justru terdesak untuk berperan sebagai partai kiri-tengah (center-left). Pemimpinnya, Özgür Özel, tampil ke hadapan publik bak seorang aktivis, menyerukan boikot dan menggunakan retorika khas kelompok kiri. Bahkan, menurut laporan seorang jurnalis ternama, para elite partai sendiri terkejut dengan sikap baru mereka. Apa yang memicu perubahan mendadak ini? Dan bagaimana kemarahan rakyat mendorongnya?


Kebuntuan Sentrisme CHP sebelum 19 Maret

Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi/CHP), partai pendiri Republik Turki yang selama bertahun-tahun dikenal dengan sikap nasionalis dan anti-komunis, mulai terdorong ke arah kiri-tengah pada pertengahan 1960-an. Perubahan ini dipicu oleh gelombang gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa, komunitas Kurdi, serta kelompok petani dan buruh yang semakin aktif. Di akhir 1970-an, ketika semangat revolusioner memuncak dan sayap kanan mulai melakukan kontra-mobilisasi, CHP pun semakin condong ke kiri. Namun, perubahan ini dihentikan secara brutal oleh kudeta militer pada 1980, yang menafsirkan ulang ajaran Mustafa Kemal Atatürk dan membuka jalan bagi kebijakan ekonomi neoliberal. 

CHP dilarang setelah kudeta dan digantikan oleh Partai Sosial Demokratik Populis (Sosyaldemokrat Halkçı Parti/SHP) yang kembali membawa semangat kiri-tengah, namun mulai menerapkan kebijakan neoliberal, mengikuti arus politik pasca-kudeta dan pengaruh sosial demokrat Eropa. Pada awal 1990-an, SHP masih menjalin hubungan erat dengan komunitas Kurdi, mendukung perjuangan mereka, dan mendapat dukungan luas dari pemilih Kurdi. Mereka bahkan membawa para pemimpin gerakan Kurdi ke parlemen. Namun, meningkatnya konflik di wilayah Kurdistan memicu tekanan keras dari militer dan birokrasi, yang tak mampu dihadapi oleh partai ini. Pada intinya, meskipun sempat condong ke kiri, struktur organisasi dan ideologi CHP-SHP tetap tak jauh dari pandangan kemalis.

SHP akhirnya runtuh dan bangkit kembali di bawah kepemimpinan yang lebih konservatif. Pada 1992, CHP kembali berdiri dengan nama aslinya dan semakin bergeser ke kanan, sekaligus kehilangan sebagian besar dukungan dari komunitas Kurdi.

Perdebatan publik yang lebih luas saat itu dipenuhi oleh pertikaian tanpa henti antara faksi-faksi kemalis yang saling berseteru, serta kelompok konservatif dan nasionalis di dalam tubuh CHP. Masing-masing pihak masih saling menyalahkan atas kekalahan dari, atau kegagalan melawan, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi/AKP) yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdoğan dalam beberapa tahun terakhir. Di antara berbagai faksi tersebut, kelompok yang cenderung lebih konservatif di sekitar Ekrem İmamoğlu tampak memiliki posisi moral yang lebih kuat, terutama karena berhasil terpilih sebagai wali kota Istanbul, sikap terbuka terhadap komunitas Kurdi, dan popularitas yang terus meningkat di kalangan rakyat Turki. Namun, pada dasarnya, ketiga faksi ini memiliki kecenderungan yang serupa: mereka sama-sama enggan turun ke jalan dan lebih memilih untuk tetap bermain di arena politik formal dan institusional yang sempit.

Selama ini, CHP bertaruh pada kegagalan AKP—berharap bahwa ketidakcakapan dan otoritarianisme Erdoğan akan membuat rakyat muak, sehingga akhirnya akan memilih untuk mengembalikan kekuasaan kepada elite lama. Namun strategi negatif semacam ini berulang kali gagal. Dalam beberapa tahun terakhir, CHP mencoba melengkapinya dengan strategi positif yang tipis: meningkatkan efektivitas pemerintahan di tingkat kota. Meskipun sebelumnya sudah menguasai banyak pemerintahan kota, kinerja mereka saat itu dinilai buruk. Kemenangan dalam pemilihan kepala daerah tahun 2019 menjadi titik balik bagi CHP; mereka mulai memperbaiki layanan publik di tingkat kota dan mendapat simpati luas dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, pendekatan ini tidak jauh berbeda dari model kesejahteraan neoliberal yang dulu sempat berhasil dijalankan AKP. CHP tidak berupaya untuk mengubah arah kebijakan ekonomi makro yang merusak, yang telah ditempuh sejak kudeta militer tahun 1980. Sebaliknya, mirip seperti AKP di masa awal kejayaannya—saat tampil sebagai partai kanan-tengah—CHP hanya mencoba meredam dampak buruknya tanpa mengubah fondasi utamanya.

Strategi menahan diri dari aksi langsung ini sempat dianggap efektif. Kegagalan protes Gezi pada 2013 membuat banyak orang merasa lelah dan menerima pesan partai untuk bersabar dan menunggu pemilu. Namun, sikap pasif ini terbukti keliru. Erdogan telah lama menyiapkan langkah untuk menyingkirkan İmamoğlu, dan pada 19 Maret, ia benar-benar ditangkap. Anehnya, CHP tetap memilih bungkam. Justru para mahasiswa yang pada akhirnya memaksa partai untuk bergerak.


Mahasiswa Memecah Kebuntuan

Apa yang memicu kemarahan para mahasiswa? Kehancuran kondisi ekonomi, ketidakpastian masa depan, dan hancurnya ruang pendidikan yang sebelumnya menjadi tempat terakhir bagi mereka untuk bernapas sebelum terjun ke dunia kerja yang penuh tekanan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan Erdogan telah turut merusak ruang ini. Sejak lama, AKP memiliki proyek untuk membentuk elite baru melalui pendidikan tinggi. Mereka berupaya menggantikan kalangan liberal dan kiri di kampus dengan generasi baru yang setia pada AKP. Namun, ketika peluang bisnis dan politik di luar akademia lebih menjanjikan, banyak kader mereka memilih meninggalkan dunia pendidikan tinggi. Memasuki pertengahan 2010-an, AKP pun mulai mengambil langkah yang lebih represif.

Politisasi akademisi yang pro-Kurdi juga memicu perubahan ini, namun tujuan Erdoğan lebih besar. Selain menyingkirkan ratusan akademisi yang terlibat dalam penandatanganan petisi perdamaian, ia juga melancarkan reformasi struktural dari atas ke bawah. Melalui pejabat kontroversial yang ditunjuk langsung (dikenal sebagai kayyumlar), pemerintah mulai mengendalikan universitas-universitas secara ketat dan mengisi posisi akademik dengan tenaga yang tidak memenuhi kualifikasi. Ketika upaya untuk menguasai budaya kampus lewat persetujuan dan legitimasi (hegemoni kultural) tidak berhasil, pihak berkuasa beralih pada pendekatan koersif, yang pada akhirnya merusak kualitas dan independensi pendidikan tinggi di Turki.

Kekecewaan terhadap pengelolaan kampus oleh pihak-pihak yang ditunjuk pemerintah, ditambah dengan meningkatnya ketegangan politik di dunia kampus, mendorong para mahasiswa untuk mengabaikan seruan CHP agar tetap tenang. Mahasiswa, terutama dari Universitas Istanbul, dengan berani menembus barikade polisi pada 19 Maret, bertepatan dengan hari penangkapan İmamoğlu, dan melanjutkan aksi mereka dengan berbaris menuju kantor wali kota. Tindakan ini menjadi titik awal dari salah satu gelombang protes terbesar dalam sejarah Turki.

Dari 19 hingga 26 Maret, hampir satu juta orang setiap harinya turun ke jalan di berbagai penjuru Turki, baik di kota-kota besar maupun kecil. Pada awalnya, CHP menyatakan bahwa rangkaian aksi ini akan diakhiri, dengan pertemuan terakhir direncanakan berlangsung pada hari Rabu. Namun, tekanan dari masyarakat yang terus meningkat membuat mereka akhirnya memutuskan untuk mengadakan satu aksi tambahan pada hari Sabtu. Walaupun masih terdapat keraguan di kalangan pimpinan partai, mereka tetap berupaya menjaga semangat protes tetap menyala.

Sementara itu, para mahasiswa terus mendorong berusaha aksi protes dan partai ke arah yang lebih radikal, walaupun untuk saat ini mereka sebagian besar bergerak sendiri. Selain beberapa partai kecil dari kalangan kiri, tidak ada kekuatan terorganisir yang bergabung bersama mereka untuk mendorong CHP mengambil langkah yang lebih konfrontatif. Ada banyak alasan yang masuk akal di balik hal ini, dan itu berbeda-beda bagi setiap pihak yang berpotensi menjadi sekutu.

Salah satu ketidakhadiran paling mencolok dalam gelombang protes ini adalah gerakan Kurdi yang terorganisir. Meski banyak individu Kurdi terlibat dalam aksi-aksi di lapangan, keterlibatan resmi dari organisasi-organisasi Kurdi tidak tampak. Aksi-aksi massa lebih didominasi oleh CHP, dan sering kali disisipi pesan-pesan bernuansa nasionalis—misalnya salah satu pemimpin faksi meremehkan perayaan Newroz dan menyebut bendera Kurdi sekadar “sehelai kain”, meski kemudian ia meminta maaf. Selain itu, dalam beberapa demonstrasi, sejumlah kecil pemuda meneriakkan slogan-slogan rasis yang menyasar komunitas Kurdi, sehingga menimbulkan ketakutan dan menghambat partisipasi mereka. Proses negosiasi antara pemerintah, para pemimpin politik sipil Kurdi dan Partai Pekerja Kurdistan (Partiya Karkerên Kurdistanê/PKK ) dan afiliasinya di Suriah, turut menjadi alasan absennya gerakan Kurdi. Pada saat itu, masih ada harapan realistis bahwa perdamaian bisa dicapai, sehingga mereka memilih menghindari konflik langsung dengan Erdogan. Namun, belakangan, Partai Kesetaraan dan Demokrasi Rakyat (DEM), yang mewakili aspirasi politik Kurdi menyatakan niat untuk bergabung dalam aksi besar yang direncanakan pada hari Sabtu. Jika mereka benar-benar turun dengan kekuatan penuh, kehadiran mereka berpotensi menjadi titik balik dalam dinamika protes ini.

Wilayah-wilayah Alevi dan komunitasnya, yang secara historis menjadi basis utama kekuatan kelompok kiri di kalangan masyarakat miskin Turki dan Kurdi, juga tidak menunjukkan perlawanan seperti saat protes Gezi tahun 2013. Komunitas-komunitas ini, yang umumnya tinggal di daerah pinggiran kota atau di desa-desa terpencil di pegunungan, telah lama terpinggirkan. Sejak masa kekuasaan Ottoman, kaum Alevi secara sistematis disingkirkan dari pusat kota sebagai akibat dari penindasan yang mereka alami, dan pola ini terus berlangsung pada masa republik meskipun dengan tekanan yang tidak sekeras sebelumnya. Sikap diam komunitas Alevi saat ini dapat dimengerti. Saat protes Gezi, aparat memang sering menggunakan kekerasan, namun di wilayah sekitar Taksim mereka berusaha menghindari korban jiwa. Sebaliknya, ketika operasi dilakukan di lingkungan Alevi, kekerasan bernuansa sektarian dan anti-sosialis meningkat tajam hingga menelan korban jiwa.

Keadaan ini semakin diperburuk oleh tragedi sektarian yang baru-baru ini terjadi di Suriah, di mana lebih dari seribu warga sipil Alevi dibantai oleh kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) pada pertengahan Maret. Pemerintah Turki berusaha membingkai insiden ini sebagai operasi rutin untuk menumpas pendukung Bashar al-Assad, meskipun bahkan pemimpin HTS, Abu Mohammed al-Jolani, mengakui bahwa pasukan mereka melakukan pembunuhan massal terhadap warga sipil. Peristiwa tersebut membuat komunitas Alevi di Turki semakin terancam dan rentan. Selain itu, karena mayoritas kaum miskin Sunni di perkotaan cenderung mendukung Erdogan, absennya keterlibatan komunitas Alevi secara kolektif juga berimplikasi pada tenangnya situasi di kawasan-kawasan miskin lainnya. 

Di sisi lain, meskipun sejumlah pemimpin buruh yang radikal telah menyerukan pemogokan umum, seruan ini belum mendapat respons yang luas. Konfederasi-konfederasi buruh, baik yang berhaluan tengah maupun kiri, memilih untuk tidak mengarahkan protes menjadi perjuangan kelas, karena mempertimbangkan risiko yang dapat mengancam posisi mereka. Seperti yang terjadi di banyak negara lain, serikat pekerja di Turki telah kehilangan sebagian besar kekuatannya sejak era 1990-an akibat tekanan kebijakan neoliberal. Saat ini, serikat-serikat tersebut hanya mampu memberikan manfaat yang terbatas bagi para anggotanya dan tidak lagi menjadi motor penggerak tuntutan rakyat seperti pada dekade 1970-an. Selain itu, serikat buruh juga harus beroperasi di bawah bayang-bayang pemerintahan otoriter dan bersaing dengan serikat pekerja pro-pemerintah yang mendapat dukungan langsung dari Erdogan. Meski begitu, pada akhir 2010-an, sempat terjadi peningkatan aktivitas serikat pekerja. Namun, para pemimpin konfederasi tetap berhati-hati, menyadari bahwa mereka belum mampu mengubah momentum tersebut menjadi kekuatan besar. Tekanan dari akar rumput menjadi satu-satunya faktor yang berpotensi mendorong perubahan sikap mereka.


Kartu yang Dimiliki Erdogan

Apa yang membuat pemerintah gagal memprediksi gelombang reaksi publik ini, dan langkah apa yang mungkin mereka ambil untuk meredakan situasi?

Tindakan represif yang dilancarkan Erdogan ternyata sangat tidak tepat—dan, setidaknya untuk saat ini, justru menjadi boomerang baginya. Ia bertindak dengan penuh percaya diri, namun di balik itu tersimpan kegelisahan dan ketidakamanan. Salah satu faktor yang mendorong keyakinan berlebih tersebut adalah keberhasilan operasi militernya di Suriah, yang membuat para ideolog di lingkaran pemerintah merasa seolah mereka telah mengukir babak baru dalam sejarah.

Faktor lain yang memperkuat keyakinan pemerintahan Erdogan adalah keberlangsungan proses perdamaian dengan kelompok Kurdi. Lingkaran terdekat Erdogan meyakini, dan sebagian besar memperkirakan dengan cukup tepat, bahwa jika mereka melancarkan serangan frontal terhadap demokrasi di Turki, komunitas Kurdi tidak akan turun tangan untuk melawan. Namun, kondisi di lapangan ternyata lebih rumit. Ketegangan internal di dalam koalisi penguasa mulai menghambat bahkan mengancam kelangsungan proses negosiasi tersebut. Selain itu, perkembangan situasi di Suriah memperlihatkan bahwa dialog antara HTS dan kekuatan Kurdi tidak berjalan sesuai dengan harapan Erdogan. Akibatnya, meskipun gerakan Kurdi secara organisasi tidak terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi, sejumlah pemimpin Kurdi secara terbuka menentang tindakan represif pemerintah—sesuatu yang tidak diperhitungkan oleh Erdogan dan membuatnya terkejut.

Faktor ketiga, yang bisa dibilang paling menentukan, adalah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, yang semakin meningkatkan kepercayaan diri para pendukung Erdogan. Tidak diragukan lagi, para ideolog di lingkaran kekuasaan meyakini bahwa kemenangan Trump pada 6 November menandai perubahan besar dalam tatanan global yang menguntungkan pemimpin-pemimpin otoriter seperti Erdogan. Namun, harapan tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Para pendukung Erdogan berharap bahwa Trump akan segera mengambil langkah tegas setelah dilantik pada 20 Januari, khususnya terkait isu Kurdi, demi mendukung kepentingan Turki. Kenyataannya, kebijakan yang mereka nantikan tidak pernah benar-benar terjadi.

Seiring dengan peningkatan kepercayaan dirinya, Erdogan juga menghadapi penurunan dukungan publik, terutama akibat memburuknya krisis biaya hidup. Di tengah keberhasilan politik luar negeri dan kinerja ekonomi sebelumnya, Erdogan menyadari bahwa ia sedang menuju pemilihan umum yang penuh risiko. Tampaknya, ia memilih jalan pintas dengan melakukan kudeta, demi memastikan tidak ada pemilu yang bebas dan adil yang bisa mengakhiri kekuasaannya sekaligus menggagalkan ambisi imperialnya.

Walaupun langkah kudetanya sementara ini berbalik merugikan, Erdogan masih memiliki sejumlah keuntungan strategis. Ia mendapat keuntungan dari posisi Trump di AS, kepentingan Uni Eropa yang tidak ingin menghadapi gelombang pengungsi baru, serta sikap diam komunitas bisnis, baik internasional maupun domestik. Kebijakan ekonomi yang diambil oleh menteri keuangannya setelah Juni 2023, Mehmet Şimşek, memang memperburuk kondisi hidup rakyat dan memberi tekanan kepada blok penguasa, tetapi justru kebijakan inilah yang membuat kapitalisme global dan kalangan bisnis di Turki, termasuk TÜSİAD, yang biasanya kritis terhadap Erdogan, memilih untuk tetap diam.


Prospek

Akibat situasi ini, pihak oposisi mendapati bahwa mereka tidak dapat lagi mengandalkan dukungan tradisional yang selama ini menjadi sandaran mereka—seperti kalangan pebisnis lokal, Uni Eropa, AS, maupun pasar internasional—untuk menghadapi tekanan yang ada. Untuk keluar dari kondisi ini, mereka seharusnya mengadopsi strategi yang lebih progresif dan konfrontatif. Namun, CHP masih terjebak dalam politik sentris yang mereka anut sejak era 1990-an, sehingga alih-alih mengarahkan kemarahan rakyat menjadi kekuatan kolektif kelas pekerja yang terorganisir, mereka justru berupaya meredamnya. Satu-satunya hal yang berpotensi mengubah sikap mereka adalah meningkatnya tekanan dari bawah. Pertanyaannya kini, apakah ada peluang bagi perubahan seperti itu?

Saat ini, poros utama gerakan perlawanan berada di tangan mahasiswa, dengan kampus-kampus menjadi titik pusat mobilisasi, yang paling mencolok terlihat dalam demonstrasi yang melibatkan CHP. Mahasiswa dari sejumlah universitas terkemuka, seperti Universitas Teknik Istanbul, Universitas Istanbul, serta berbagai universitas lain di seluruh negeri, melancarkan boikot terhadap kegiatan perkuliahan. Gelombang boikot ini dipelopori oleh Universitas Teknik Timur Tengah, sebuah kampus yang sejak era 1960-an dikenal sebagai salah satu pusat gerakan aktivisme demokratis, anti-imperialis, dan sosialis. Aksi boikot ini bukan sekadar tindakan mogok kuliah; para mahasiswa juga secara aktif turun ke jalan, menggelar demonstrasi, pawai, dan menyuarakan tuntutan terkait dunia pendidikan. Mereka juga membangun jaringan di antara sesama mahasiswa di tingkat nasional, sekaligus mendiskusikan bagaimana membawa gerakan ini ke arah politik yang lebih luas. Namun, akan menjadi kesalahan besar jika gerakan perlawanan ini hanya terpusat di lingkungan kampus-kampus besar. Jika demikian, hal ini justru akan menguatkan salah satu narasi utama AKP, yang memosisikan diri sebagai partai “lokal dan nasional” berhadapan dengan CHP yang digambarkan sebagai “elitis” dan “terasing dari rakyat”.

Di Turki, aksi dan gelombang mobilisasi di lingkungan perguruan tinggi merupakan fenomena yang kerap muncul setiap beberapa tahun sekali. Sebelumnya, kampus-kampus sempat diguncang oleh protes terkait isu pendidikan, penunjukan pejabat, hingga penanganan bantuan bencana gempa bumi. Namun, berbagai aksi tersebut belum mampu menggoyahkan narasi yang dibangun oleh rezim AKP, yang menggambarkan dunia pendidikan di Turki sebagai lingkungan yang “elitis”. Hingga saat ini, masih terlalu dini untuk menilai apakah gelombang mobilisasi mahasiswa kali ini akan bertahan, meluas, melampaui batasan kampus serta basis dukungan CHP, sehingga mampu menantang wacana yang diciptakan pemerintah. Gerakan mahasiswa saat ini memang telah melahirkan bentuk perlawanan yang sebelumnya dianggap mustahil. Namun, tanpa adanya keterlibatan kekuatan yang lebih luas, gerakan ini belum cukup kuat untuk berkembang menjadi gerakan kelas pekerja yang terorganisir dengan visi dan agenda yang terarah.

Perlawanan terhadap kudeta yang dilakukan oleh Erdogan telah berkembang menjadi sebuah gerakan rakyat. Berbagai lapisan masyarakat — mulai dari kaum miskin, kelas pekerja, hingga kalangan menengah atas dengan beragam latar belakang ideologis — turun ke jalan di berbagai kota besar maupun kecil di seluruh Turki, untuk membela sistem pemilu yang kompetitif. Namun, keterlibatan masyarakat miskin dan kelas pekerja masih bersifat individual, bukan sebagai sebuah kekuatan kelas yang terorganisir. Sejumlah pemimpin serikat buruh, bersama dengan aktivis mahasiswa dan kelompok sosialis, telah berupaya mendorong konfederasi-konfederasi besar untuk memulai aksi pemogokan umum. 

Saat ini, para peserta gerakan tengah berdiskusi mengenai kekuatan dan keterbatasan mobilisasi yang ada, sebuah indikasi bahwa ada kesadaran untuk mengubah arah gerakan ke tahap berikutnya. Sudah terlihat jelas bahwa mahasiswa telah menjadi katalis bagi meledaknya protes massa. Namun demikian, sejauh ini, pertemuan-pertemuan yang diinisiasi oleh CHP belum mampu menciptakan ruang bagi terbentuknya koalisi yang lebih luas, yang dapat membuka jalan untuk mengakhiri rezim Erdogan dan membangun demokrasi yang lebih kokoh. Beberapa minggu ke depan akan menjadi penentu apakah kekuatan-kekuatan rakyat lainnya akan turut bergerak dan sehingga dapat mengubah keseimbangan politik yang ada.


Cihan Tuğal adalah profesor sosiologi di University of California, Berkeley. Buku-bukunya antara lain Passive Revolution dan The Fall of the Turkish Model.

Artikel ini sebelumnya terbit di Jacobin pada akhir Maret lalu. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.