Kekalahan Arsitektur Kemanusiaan Internasional di Muka Genosida Palestina

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Stop the War Coalition


KETIKA ribuan bom jatuh di Gaza, dunia tidak sekadar menyaksikan tindakan genosida terhadap rakyat Palestina. Lebih dari itu, dunia seperti sedang menyaksikan kekalahan arsitektur kemanusiaan global, sebuah sistem yang saat ini jelas terlihat mulai kehilangan legitimasi moralnya. Saat kejahatan kemanusiaan zionis terhadap rakyat Palestina semakin mencuat, dampaknya tidak hanya terasa di lapangan perang, tetapi juga dalam struktur fundamental institusi internasional yang dirancang untuk menjaga perdamaian dan keamanan global.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang didirikan pasca-Perang Dunia II dengan tujuan utama mencegah terulangnya konflik besar dan melindungi HAM, tampak tidak mampu menjalankan fungsinya secara efektif. Kegagalan PBB dalam merespons dengan cepat dan tegas terhadap genosida di Gaza mencerminkan krisis legitimasi yang lebih luas. Kritik terhadap PBB semakin mengemuka, menyoroti bagaimana kepentingan nasional negara-negara besar sering kali mendominasi agenda internasional, sehingga mengabaikan kebutuhan dan hak-hak dasar penduduk sipil di wilayah konflik. Metafora “saksi bisu” menggambarkan bagaimana PBB, yang seharusnya menjadi pelindung kemanusiaan, justru terjebak dalam birokrasi dan politik kekuasaan yang menghalangi tindakan nyata untuk menghentikan pembantaian.


Hegemoni Global dan Legitimasi Kekerasan

Genosida Palestina ini lebih dari sekadar akibat dari pertarungan geopolitik Timur Tengah. Peristiwa ini adalah potret kompleks bagaimana kekuasaan global direproduksi, di mana kekerasan tidak lagi sekadar diukur dari jumlah korban, melainkan dari kemampuan untuk mendefinisikan narasi legitimasi. Setiap bom yang dijatuhkan, setiap korban yang jatuh, serta setiap resolusi yang di-veto, adalah praktik hegemonik yang menciptakan realitas di mana kemanusiaan menjadi komoditas yang dapat dinegosiasikan.

Di balik permukaan kejahatan HAM yang dilakukan Israel di Palestina, terdapat dinamika kekuasaan global yang lebih kompleks. Hegemoni global, yang mencakup dominasi politik, ekonomi, dan budaya oleh negara-negara kuat, terus direproduksi melalui berbagai mekanisme, termasuk kontrol atas narasi dan legitimasi. Dalam konteks ini, kekerasan bukan hanya dilihat dari jumlah korban yang jatuh, tetapi juga dari kemampuan pihak-pihak yang berkuasa untuk menentukan apa yang dianggap sah atau tidak sah dalam peristiwa kekerasan tersebut.

Kejahatan HAM di Palestina membuat Israel semakin mempertahankan kebijakan militernya tanpa hambatan internasional. Dengan demikian, setiap tindakan militer dan setiap keputusan diplomatik bukan hanya sekadar respons terhadap situasi di lapangan, tetapi juga bagian dari permainan kekuasaan yang lebih besar di mana realitas kemanusiaan diubah menjadi alat politik yang bisa dinegosiasikan sesuai dengan agenda hegemonik tertentu.


Pemimpin Global dan Moralitas Imperial

Para pemimpin global—dengan senyum diplomatik dan retorika kemanusiaan—telah mengubah ruang multilateral menjadi panggung pertunjukan di mana kepentingan imperial mendefinisikan batas-batas moralitas. Dewan Keamanan PBB tidak lagi menjadi ruang dialog, melainkan arena di mana kekuatan besar bermain sulap dengan nyawa manusia. Setiap veto adalah pembunuhan yang dilakukan dengan pena, setiap resolusi adalah luka yang dibalut dengan retorika palsu.

Para pemimpin negara besar sering kali menggunakan retorika kemanusiaan dan diplomatik sebagai alat untuk menyamarkan kepentingan imperial mereka yang lebih mendalam. Dalam praktiknya, ruang multilateral seperti Dewan Keamanan PBB yang seharusnya menjadi tempat dialog dan resolusi konflik, telah berubah menjadi arena politik di mana negara-negara besar menggunakan kekuatan veto mereka untuk melindungi kepentingan nasional, sering kali mengorbankan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Contohnya, Amerika Serikat telah menggunakan hak veto-nya secara semena-mena untuk menangguhkan resolusi PBB yang menyerukan gencaran senjata di Palestina atau yang meminta pembukaan koridor bantuan kemanusiaan.

Selain itu, keputusan ICC yang meminta penahanan terhadap pemimpin Israel sering kali diabaikan oleh negara-negara besar yang mendukung Israel, menunjukkan bagaimana keadilan internasional dihambat oleh kepentingan politik. Frasa “pembunuhan yang dilakukan dengan pena” menggambarkan bagaimana keputusan yang diambil di meja diplomatik memiliki konsekuensi nyata yang fatal, meskipun dibungkus dalam kata-kata resmi dan retorika yang tampak meyakinkan.


Simpang Sejarah Global South

Global South, yang mencakup negara-negara berkembang di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Oseania, selama ini terperangkap dalam relasi internasional yang lebih banyak menguntungkan negara-negara kuat. Namun, mereka kini berpotensi menjadi arsitek perubahan fundamental, menggugat dominasi epistemik serta narasi kolonial yang selama ini mendasari teori dan praktik diplomasi global. Perubahan ini menuntut pemikiran ulang yang lebih radikal, bukan sekadar menempuh jalur diplomatik konvensional, melainkan membangun kerangka analisis dan kebijakan baru yang lebih adil, inklusif, serta mampu melampaui bias struktural yang selama ini menjadi ciri tatanan internasional.

Kegagalan PBB mencegah pelanggaran HAM di berbagai kawasan, termasuk Palestina, menjadi momentum bagi negara-negara Global South untuk merumuskan sistem alternatif. Mereka dapat mengembangkan mekanisme investigasi independen, sanksi kolektif yang tak lagi dibatasi hak veto, serta jaringan solidaritas transnasional yang genuine. Meski perbedaan kepentingan internal dapat menjadi hambatan, kekecewaan bersama terhadap ketimpangan global dapat menciptakan forum strategis lintas kawasan yang menyatukan sumber daya, keterampilan diplomasi, dan kapasitas ekonomi.

Melalui solidaritas seperti ini, Global South tidak hanya menyodorkan kritik, tetapi juga menghadirkan alternatif yang menjanjikan keadilan bagi semua pihak, bebas dari kendali eksklusif segelintir negara adidaya.


Mendekonstruksi Mitos Netralitas Diplomatik

Anggapan bahwa diplomasi dapat berdiri di atas kepentingan pribadi, orientasi ideologis, atau hegemoni ekonomi tertentu adalah mitos yang menutupi kenyataan struktural. Setiap resolusi atau pernyataan resmi dari lembaga internasional tidak lahir di ruang hampa; ia selalu dibentuk oleh relasi kekuasaan yang bergeser dan kepentingan aktor-aktor dominan.

Dalam situasi ini, “netralitas” bukanlah penanda objektivitas, melainkan alat retoris yang digunakan untuk melegitimasi tatanan yang melanggengkan ketimpangan. Dengan demikian, penegasan kembali klaim-klaim netralitas tersebut bukan sekadar kekeliruan analitis, tetapi juga tindakan politis yang mengaburkan mekanisme subordinasi terhadap negara-negara berkembang dan komunitas yang tertindas.

Menanggapi hal ini, negara-negara Global South harus mampu melampaui permintaan akan akses ke “meja perundingan” yang sudah dirancang oleh kekuatan besar. Mereka harus merombak perangkat negosiasi itu sendiri dengan menawarkan arsitektur diplomasi yang lebih inklusif dan reflektif terhadap kondisi historis serta realitas struktural yang membentuk ketidaksetaraan global. Ini dapat diwujudkan melalui pembentukan platform baru atau reformasi aturan dalam lembaga multilateral yang mampu menyeimbangkan kepentingan, memperkuat mekanisme akuntabilitas, dan memberi bobot yang setara bagi suara yang selama ini termarjinalkan.

Pada akhirnya, dengan membongkar mitos netralitas diplomatik dan memaksa proses negosiasi internasional untuk mencerminkan keragaman perspektif serta tuntutan keadilan, Global South dapat menjadi katalis utama dalam menciptakan tata kelola global yang lebih autentik, responsif, dan transformatif.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Rekonstruksi Solidaritas Internasional

Solidaritas internasional tidak dapat sekadar berdiri pada fondasi keprihatinan dan retorika simbolis. Dibutuhkan rekonstruksi total cara membaca gerak sejarah, yang mengharuskan pemahaman mendalam atas dialektika kekuasaan yang membentuk hubungan antarnegara. Pada titik ini, peran intelektual serta pemimpin dari negara-negara berkembang menjadi krusial: mereka bukan sekadar saksi yang merekam penderitaan atau mencatat ketidakadilan, melainkan analis aktif yang mampu menyingkap mekanisme tersembunyi dalam kebijakan global, aliansi politik, serta institusi internasional yang sering kali secara halus melanggengkan ketimpangan.

Dengan membongkar proses dialektis di balik konfigurasi kekuasaan dan mengidentifikasi aktor yang diuntungkan maupun dirugikan oleh arsitektur global saat ini, para pemikir dan pemimpin tersebut dapat mengarahkan strategi kolektif untuk merespons ketidakadilan secara lebih sistematis. Mereka dapat mengubah arah narasi dan menggeser struktur hubungan internasional menuju suatu tatanan yang lebih adil serta inklusif.

Dengan demikian, solidaritas internasional tidak lagi menjadi sekadar panggilan moral yang hampa, tetapi metamorfosis menjadi kekuatan transformatif yang mampu mendobrak pola-pola dominasi dan menciptakan konfigurasi kekuasaan baru yang berpihak pada kemanusiaan.


Momentum Sejarah dan Redefinisi Kemanusiaan

Momentum sejarah ada di depan mata. Pertarungan tidak lagi wilayah atau sumber daya, melainkan tentang kemampuan untuk mendefinisikan ulang batas-batas kemanusiaan. Sejarah tidak bergerak linear, melainkan melalui dialektika konflik dan resolusi yang tak terduga. Saat ini, dunia berada di ambang perubahan besar yang dipicu oleh berbagai krisis global, termasuk konflik Israel-Palestina, perubahan iklim, dan pergeseran ekonomi global.

Pertarungan kekuasaan tidak lagi terbatas pada perebutan wilayah fisik atau sumber daya alam, tetapi lebih kepada upaya untuk mendefinisikan ulang konsep dan batasan kemanusiaan itu sendiri. Ini mencakup bagaimana HAM dipahami, bagaimana keadilan sosial diimplementasikan, dan bagaimana solidaritas global diartikulasikan. Sejarah sebagai proses yang tidak linier menunjukkan bahwa perubahan sering kali terjadi melalui konflik dan resolusi yang kompleks dan tidak terduga, di mana kemenangan dan kekalahan bisa datang dari arah yang tidak diantisipasi.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat global untuk memahami dinamika ini dan mempersiapkan diri untuk beradaptasi dengan perubahan yang terus-menerus, sambil terus memperjuangkan definisi kemanusiaan yang lebih inklusif dan adil.


Membutuhkan Imajinasi Radikal

Kita berada di simpang yang membutuhkan imajinasi radikal. Bukan sekadar pergantian pemimpin atau modifikasi prosedur, melainkan transformasi fundamental cara kita memahami solidaritas, kedaulatan, dan kemanusiaan itu sendiri. Pada titik kritis ini, perubahan yang diperlukan jauh melampaui pergantian kepemimpinan atau sekadar penyesuaian dalam prosedur diplomatik. Apa yang dibutuhkan adalah revolusi dalam cara kita memandang dan memahami konsep-konsep dasar seperti solidaritas, kedaulatan, dan kemanusiaan.

Solidaritas harus dipahami tidak hanya sebagai dukungan politik atau ekonomi antara negara-negara, tetapi sebagai komitmen mendalam terhadap kesejahteraan bersama dan keadilan global.

Kedaulatan perlu diredefinisi dalam konteks interdependensi global, di mana kedaulatan nasional tidak lagi menjadi penghalang untuk kolaborasi internasional yang efektif dalam mengatasi tantangan global. Sementara itu, kemanusiaan harus diartikulasikan ulang untuk mencakup perspektif yang lebih luas dan inklusif, yang menghargai keberagaman dan mempromosikan hak-hak dasar bagi semua individu tanpa memandang latar belakang geografis atau politik. Transformasi fundamental ini memerlukan imajinasi radikal dan keberanian untuk melampaui batas-batas konvensional dalam memahami dan membentuk hubungan internasional.


Simpulan: Menuju Tatanan Dunia yang Lebih Adil

Dengan memperdalam setiap aspek di atas, kita dapat melihat betapa pentingnya memahami dinamika kekuasaan global yang lebih luas dan bagaimana konflik tertentu, seperti yang terjadi di Gaza, mencerminkan dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Ini juga menyoroti kebutuhan mendesak untuk perubahan paradigma dalam hubungan internasional agar dapat menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Reformasi yang dibutuhkan tidak hanya bersifat kosmetik atau prosedural, tetapi harus melibatkan transformasi fundamental dalam cara kita memahami dan mengimplementasikan solidaritas, kedaulatan, dan kemanusiaan.

Hanya dengan demikian, kita dapat berharap untuk membangun sistem internasional yang benar-benar adil, inklusif, dan berkelanjutan, yang mampu melindungi HAM dan menciptakan perdamaian yang sejati.


Arif Darmawan adalah dosen senior di Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Ia saat ini menjabat sebagai Koordinator Pusat Riset Kebijakan Strategis Kawasan Asia Tenggara (Pusris Kestra) LPPM UNSOED.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.