Bagaimana Kapitalisme Bisa Muncul di Hidup Manusia?

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: illustruth


Judul buku: Asal-usul Kapitalisme; Kajian secara Menyeluruh [judul asli: The Origin of Capitalism: A Longer View

Penulis: Ellen Meiksins Wood

Penerjemah: Joko Susilo

Penerbit: Penerbit Independen (PIN)

Halaman: xiv +244

Tahun terbit: 2021

 

 

 

 

 

 

 

 


KAPITALISME tak akan mati! Barangkali kalimat pendek inilah yang sering diucapkan oleh para pengagumnya. Mereka membanggakan apa yang sudah dihasilkan kapitalisme sejauh ini, menganggap bahwa sistem tersebut telah menghasilkan kemajuan besar bagi manusia. Singkatnya, menurut mereka, peradaban modern dihasilkan karena pengaruh besar kapitalisme dan menganggap kapitalisme terbentuk secara alamiah.

Lantas, jika demikian, mengapa kemajuan besar ini di saat bersamaan menghasilkan persoalan bagi manusia itu sendiri? Jika kapitalisme adalah puncak dari kemajuan manusia, mengapa, misalnya, orang-orang di Asia, Afrika, Amerika Latin, Australia, dan sebagian Eropa, mengalami kemiskinan, kekerasan, dan krisis ekologi? Mengapa kapitalisme justru menuntut adanya ketimpangan di masyarakat? 

Di sinilah letak relevansi buku Asal-usul Kapitalisme: Kajian secara Menyeluruh yang ditulis oleh Ellen Meiksins Wood, profesor ilmu politik di Universitas York, Toronto, Kanada, dan diterjemahkan oleh Joko Susilo. Dalam buku ini, Wood mengajak kita untuk tidak memandang kapitalisme sebagai keniscayaan sejarah alias “produk alamiah”. Sebaliknya, kata Wood, kapitalisme pada dasarnya memerlukan penjelasan yang dengannya kita mengetahui mengapa sistem itu menjadi demikian adanya seperti sekarang. 

Wood mengkritik keras perspektif yang memahami kemunculan kapitalisme sebagai suatu yang alamiah sejak bagian awal buku. Menurutnya, pandangan yang melihat bahwa kapitalisme tak memiliki asal-usul dan sudah ada dari sananya merupakan “penjelasan muter-muter” (question-begging). Menurut Wood, penjelasan seperti ini “berakar dari konsep ekonomi politik klasik dan pemikiran zaman pencerahan (enlightenment) mengenai kemajuan itu sendiri. Secara keseluruhan, mereka memberikan narasi mengenai perkembangan sejarah di mana kemunculan dan perkembangan kapitalisme menuju tahap dewasa telah terkandung dalam manifestasi paling awal dari rasionalitas manusia [……]” [hlm. vii-viii]. 

Menurut konsepsi ekonomi politik klasik, yang perlu dipertanyakan seharusnya ialah “hambatan dan rintangan” bagi kebangkitan kapitalisme. Menurut mereka, sebagaimana ditulis Wood, hambatan dan rintangan seperti pada sistem feodalisme telah menyebabkan kapitalisme tak dapat mengalami kemajuan. 

Kata Wood sendiri, “niat saya yang pertama adalah untuk menentang pengalamiahan (naturalization) dari kapitalisme dan untuk menekankan beberapa aspek yang menunjukkan bahwa ia merupakan suatu bentuk sosial yang historis dan spesifik serta merupakan penjungkirbalikan sejarah dari bentuk-bentuk sebelumnya.” [hlm. xiii]. Pada titik ini, menurut Wood, kita harus berani menyangkal “pengalamiahan kapitalisme” […..] “yang telah membatasi pemahaman kita pada masa lalu.” “Di saat bersamaan, ia juga mempersempit pemahaman kita bagi masa depan,” sebab “jika kapitalisme merupakan puncak tertinggi dari proses alamiah dalam sejarah, maka tidak dapat dibayangkan untuk dapat melampauinya” [hlm. xiii]. 

Artikel ini tidak hanya akan mengulas buku Wood, tapi juga coba mengaitkannya dengan konteks perkembangan kapitalisme di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perkembangan kapitalisme di Flores perlu dilihat lebih kritis terutama dalam hal pencaplokan tanah yang dialami para petani karena ekspansi pembangunan termasuk menjamurnya industri pariwisata.


Kritik Wood atas Asal-usul Kapitalisme

Konsep pertama yang dikritik Wood terkait asal-usul kapitalisme ialah “model komersialisasi”. Ia adalah perubahan alamiah dari semakin luasnya sistem perdagangan. Perdagangan adalah sama dengan kapitalisme. Menurut model ini, kemunculan kapitalisme diperantarai oleh individu-individu yang terlibat dalam kegiatan “tukar-menukar”. Kegiatan ini pada gilirannya berkembang menjadi “terspesialisasi” yang mendorong pengembangan teknis dari alat-alat produksi. 

Kegiatan tukar-menukar, kita tahu, adalah relasi purba manusia. Itu sudah ada sejak dulu kala. Karena itu, menurut Wood, model ini menganggap “perkembangan kapitalisme merupakan hasil alamiah dari kebiasaan manusia yang hampir sama tuanya dengan spesies manusia itu sendiri” [hlm. 3]. Maka dari itu, menurut konsepsi ini, “[……] kapitalisme telah hadir sepanjang sejarah, setidaknya dalam bentuk embrionya, atau bahkan merupakan inti dari sifat dan rasionalitas manusia” [hlm. 9]. 

Menurut Wood, model komersialisasi tidak bisa disebut sebagai penjelasan asal-usul pembentukan kapitalisme. Hal tersebut lebih merupakan penjelasan terkait peningkatan produktivitas dan pembagian kerja. Model komersialisasi tak memadai untuk menjelaskan asal-usul kapitalisme, malah justru mengaburkan dan cenderung mempersempit pemahaman kita tentang kapitalisme hanya perkara produktivitas dan pembagian kerja semata. 

Wood juga mengkritik pandangan “model demografis”. Model ini menjelaskan kemunculan kapitalisme dengan “[….] mengaitkan perkembangan ekonomi Eropa dengan siklus otonom dari pertumbuhan dan penurunan populasi yang bergerak dengan sendirinya” [hlm. 11]. Jadi sementara model komersialisasi mengaitkan perubahan dengan pertumbuhan perdagangan, model demografi menekan bahwa perubahan sistem ekonomi sebab adanya perubahan populasi. Di kota besar seperti London, terjadi peningkatan pesat penduduk, hampir 100 persen hanya dalam waktu kurang dari dua abad. Mereka pada akhirnya menjadi tenaga kerja “bebas”. Model ini menjelaskan bahwa transisi ke kapitalisme diperantarai oleh “hukum penawaran dan permintaan” [hlm. 11].

Karena bicara soal populasi sebagai faktor determinan, model ini menganggap kapitalisme lahir di kota-kota besar di Eropa barat seperti Paris dan Amsterdam. Kota, sebagai ruang di mana terdapat perdagangannya, dengan sendirinya melahirkan kapitalisme. 

Menurut Wood, berbagai penjelasan itu tak dapat diterima. Penjelasan-penjelasan tersebut lebih banyak berkutat pada “hambatan dan rintangan” yang dihadapi kapitalisme, yakni feodalisme, sehingga pada akhirnya membuat kapitalisme tampak alamiah.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Asal-usul Kapitalisme menurut Wood

Menurut Wood, penjelasan yang menempatkan kota sebagai ruang pembentukan kapitalisme merupakan kekeliruan. Kapitalisme tidak lahir di kota, katanya. Sebaliknya, ia muncul dari perdesaan. Wood mengonsentrasikan perhatiannya pada perdesaan Inggris. Mengapa Inggris? Sebab “tanah di Inggris secara tidak biasa dan sejak waktu lama telah terkonsentrasi, dengan proporsi luar biasa luas dimiliki oleh kaum tuan tanah besar […..]” [hlm. 112]. 

Di sana terjadi pemisahan besar-besaran produsen dari sarana produksinya. Ini berarti terjadi perubahan pada kepemilikan properti: pemusatan pada segelintir orang dan pada sisi lain terjadi ketimpangan dalam masyarakat. Tentu dalam keadaan semacam ini relasi dikendalikan oleh para pemilik, sementara mereka yang kehilangan properti harus “[…..] menjual tenaga kerja demi upah” [hlm. 109]. Inilah alasan mengapa penduduk London meningkat signifikan dalam waktu relatif singkat: karena menjadi tenaga kerja “bebas”, sementara pada saat yang sama penduduk kota di belahan Eropa lain cenderung stabil. 

Menurut Wood, “relasi unik antara produsen dan pengambil alih ini, tentu saja, diperantarai oleh pasar” [hlm. 109]. Tekanan-tekanan pasar telah mendorong adanya semacam tindakan untuk mengakumulasi, kompetisi, dan maksimalisasi. Semua menjadi tergantung pada pasar, yang prinsip utamanya adalah persaingan. 

Pasar membuka ruang baru bagi terkonsolidasinya kepemilikan properti pada segelintir orang lewat diperkenalkannya konsep “perbaikan” (improvement). Kata “improver” bahkan telah menancap dengan kuat dalam tata bahasa pada abad ke-17. Ia merujuk kepada seseorang yang membuat tanah menjadi produktif dan menguntungkan, terutama dengan cara memagari atau menguasai kembali tanah yang tidak produktif” [hlm. 120-121]. Bahkan, pada abad ke-18, “di zaman keemasan kapitalisme agraria, ‘perbaikan’ dalam kata sekaligus perbuatan telah mencapai kematangannya sendiri” [hlm. 121]. 

Dari sinilah praktik perampasan dan pemusatan properti pada segelintir orang seolah mendapat legitimasi. Konsepsi perbaikan menjadi dasar bagi para tuan tanah dan petani kapitalis untuk menghancurkan hak-hak komunal yang dapat menghambat kepemilikan properti dan penggunaannya. Pada momen inilah, sebagaimana ditulis Wood, “antara abad ke-16 dan ke-18, ada desakan yang terus meningkat untuk melenyapkan hak-hak adat yang dianggap mengganggu akumulasi kapitalis. Ini bisa berarti beberapa hal: mempersoalkan hak komunal atas tanah bersama dengan mengklaim kepemilikan pribadi secara eksklusif; menghapus berbagai hak guna di tanah pribadi; atau menentang hak ulayat atau kepemilikan adat (customary tenures) yang memberikan hak kepemilikan kepada banyak ‘petani’ kecil tanpa status kepemilikan hukum yang jelas” [hlm. 123]. 

Proses-proses ini melegitimasi berbagai praktik enclosure yang memicu berbagai tindakan perampasan tanah setelahnya. Ini dimulai ketika “[….] gelombang besar pertama dari pemagaran tanah yang mengacaukan tatanan masyarakat terjadi pada abad ke-16, ketika pemilik tanah besar berusaha mengusir rakyat jelata dari tanah yang dapat dimanfaatkan secara menguntungkan sebagai padang rumput untuk peternakan domba” [hlm. 124]. Pemagaran tanah, sebagaimana ditulis Wood, terus menjadi sumber utama konflik di Inggris pada masa awal modern “[….] dan pemagaran tampil sebagai keluhan ketika terjadi Perang Saudara di Inggris” [hlm. 124]. 

Awalnya praktik pemagaran tanah ditentang oleh monarki karena dapat mengancam ketertiban umum. Namun, seperti ditulis Wood, “begitu kelas-kelas pemilik tanah berhasil membentuk negara demi kepentingan mereka–sebuah keberhasilan yang akhirnya dikonsolidasikan pada tahun 1688, dalam apa yang disebut ‘Revolusi Agung’–sehingga tidak ada lagi campur tangan negara, dan muncul sebuah jenis baru gerakan pemagaran tanah pada abad ke-18, yang disebut sebagai ‘pemagaran oleh parlemen’ (parliamentary enclosures)” [hlm. 124 – 125]. “Dalam pemagaran semacam ini, pemberangusan hak kepemilikan properti yang dianggap bermasalah dan mengganggu kekuatan akumulasi para pemilik tanah dilakukan melalui keputusan-keputusan parlemen” [hlm. 125].  Tidak ada kekuatan hukum bagi petani kecil untuk membuktikan kepemilikannya secara legal; mereka tanpa status hukum yang jelas. 

Praktik pengambilalihan ini dipakai Wood sekaligus untuk mengkritik teori properti kerja (labour theory of property) John Locke yang menekankan bahwa “[….] hak alami atas properti didirikan ketika seseorang ‘mencampuradukkan tenaga kerjanya’ (mixes his labour) dengan sesuatu dan, dengan begitu, melalui tenaga kerjanya mereka mengubah sesuatu dari kondisi alaminya” [hlm. 126]. Lebih lanjut, menurut Locke, “[….] nilai yang melekat dalam tanah bukan berasal dari alam tetapi dari tenaga kerja dan ‘perbaikan’ yang sudah dilakukan. Maka dari itu, tenaga kerja memang yang menentukan perbedaan sebuah nilai dari segalanya” [dalam Wood, hlm. 126]. Dalam hal ini, menurut Wood “[….] tidak ada hubungan secara langsung antara kerja dan properti, karena satu orang dapat mengambil tenaga kerja yang lain. Dia dapat memperoleh hak atas properti dalam sesuatu hal dengan ‘mencampurnya’ dengan bukan kerja yang berasal dari dirinya sendiri, tetapi kerja orang lain yang dia pekerjakan” [hlm. 127]. 

Wood juga menolak pandangan Locke yang tak mempertimbangkan bahwa tanah tidak produktif bukan karena tidak dikelola masyarakat. Itu karena tanah semata-mata memang untuk mencukupi kebutuhan, bukan mengakumulasi demi keuntungan yang besar. 

Dalam perkembangannya, kapitalisme berhasil mengonsolidasi dirinya dalam hidup manusia lewat beragam mekanisme penundukan. Militer yang sebelumnya memainkan peran penting dalam melakukan penundukan, dalam ekonomi global saat ini, sebagaimana ditulis Wood, “telah digantikan oleh pemaksaan dari paksaan ekonomi, desakan-desakan pasar kapitalis yang dimanipulasi untuk kepentingan segelintir kekuatan imperialis” [hlm. 181]. 

Namun desakan pasar kapitalis tetap memerlukan dukungan “ekstra ekonomi” agar sirkuit kapital berjalan lancar. Sebagaimana ditulis Wood, “desakan ekonomi kapitalisme selalu membutuhkan dukungan kekuatan ekstra-ekonomi dari regulasi dan paksaan demi menciptakan dan mempertahankan kondisi akumulasi dan mempertahankan sistem properti kapitalis [hlm. 209]. Dukungan politik amat penting bagi perkembangan kapitalisme di suatu wilayah karena, “faktanya, kapitalisme dalam beberapa hal, lebih dari bentuk sosial lainnya, membutuhkan stabilitas, keteraturan, dan kepastian yang didefinisikan secara hukum dan terorganisir secara politik” [hlm. 209].


Kapitalisme di Flores dan Penyingkiran Warga

Meskipun lebih banyak menjelaskan kemunculan kapitalisme, tetapi menurut saya buku ini membantu memahami logika dasar kapitalisme itu sendiri, yakni produksi untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya. Logika ini akhirnya bertentangan dengan prinsip hidup bersama dalam masyarakat. Bagaimana mungkin, misalnya, dalam suatu masyarakat, A mempunyai tanah luas, B hanya mempunyai secuil, C tak memiliki sama sekali, dan D memilih migrasi ke kota sebagai buruh demi bisa bertahan hidup? Buku ini menegaskan bahwa kondisi itu tak terbentuk secara alamiah. Itu adalah gambaran dari ketimpangan kelas yang dibentuk oleh sistem kapitalisme. 

Di bagian akhir ini saya ingin membahas sedikit tentang situasi Flores, yang juga masuk ke dalam logika kapitalisme sehingga menyingkirkan warga dari tanah mereka. Kapitalisme di Flores bekerja dalam beragam cara. Tolo (2017) mengatakan, akumulasi melalui perampasan di Flores dilakukan lewat praktik land grabbing dan kolonialisme asing. Melalui akumulasi ini, kapitalisme merangsek dalam hidup masyarakat. Pola hidup yang sebelumnya diwarnai gotong royong, guyub, dan solid, akhirnya tergantikan oleh cara hidup yang mengarah pada tindakan akumulatif, kompetitif, dan maksimalisasi keuntungan. Tanah pertanian akhirnya dengan mudah dipindahtangankan. 

Pasar sebagaimana menurut Wood dalam buku ini memfasilitasi proses-proses yang mengondisikan akumulasi, persis seperti kajiannya soal kapitalisme agraria di Inggris. Fenomena pengambilalihan tanah warga lokal dengan cara memisahkan mereka dari properti dan akhirnya harus bergantung pada kerja upahan juga perlahan terjadi. 

Penyingkiran ini makin kuat belakangan, ketika pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM No. 2268K/30/MEM/2017 menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi (soal ini silakan baca artikel “Mitos Panas Bumi”). Proyek ini akan membuat banyak sekali tindakan penyingkiran warga lokal dari tanah dan ruang hidup mereka oleh negara dengan dalil “kepentingan umum”. Ini sudah terlihat di beberapa tempat, salah satunya di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, yang kini tengah menjadi sasaran perluasan proyek geotermal. Warga setempat terus melakukan penolakan, tapi pemerintah dan PLN terus memaksa agar proyek diterima. 

Singkatnya, kapitalisme di Flores hadir lewat banyak cara. Melalui pasar, kapitalisme mendorong akumulasi tanah pada segelintir pihak, sementara di pihak lain mengalami ketimpangan lahan. Kapitalisme juga bekerja lewat pembangunan yang difasilitasi oleh negara dengan mengorbankan masyarakat kecil. Maka kita harus menggugat dan terus mengkritisi keburukan-keburukannya, agar hidup dapat lebih adil.


Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila, alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.