4 Dekade Tambang Semen Cirebon Menggerogoti Hak Warga atas Air

Print Friendly, PDF & Email
Foto: Aktivitas tambang kapur di Pegunungan Kromong. Sebuah dump truck sedang berjalan membawa batuan kapur menuju pabrik Indocement (27 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)

AIR merupakan elemen esensial untuk manusia. Kita hanya bisa bertahan hidup tanpa air sampai tiga hari, padahal mampu tanpa makanan hingga tujuh hari. Fakta bahwa bumi ini diliputi oleh 70% air juga menjadi penanda nyata bahwa kita tidak bisa terpisahkan dari air dan tidak akan pernah bisa. Kita butuh air untuk diminum, mandi-cuci-kakus (MCK), juga memasak. Produksi pertanian juga bergantung pada irigasi. 

Lalu, bagaimana jadinya jika sumber air yang juga sumber kehidupan tidak ada lagi? Bagaimana jika alih-alih menjaga sumber air, industri justru merusaknya, bahkan menghilangkannya? Sudah pasti itu akan membunuh orang di sekitarnya secara tidak langsung. 

Ini terjadi di Desa Cikeusal. Warga di sana menghadapi krisis air akibat dari industri tambang kapur, bukan baru-baru ini saja melainkan sudah berjalan selama empat dekade. Gemercik air sungai yang mengalir di tengah terik musim kemarau sekarang hanya menjadi memori masa lalu yang sepertinya sulit diwujudkan kembali. Ketika saya tinggal selama satu pekan di sana, air hanya mengucur tiga jam setiap hari dan itu sudah pasti tak dapat mencukupi kebutuhan domestik warga yang terlampau banyak.


Tambang kapur rakyat

Desa Cikeusal terdiri dari empat dusun, yakni Desa, Karang Baru, Kedung Kijeng, dan Telar Gaga. Cikeusal adalah salah satu desa yang berdiri di tengah Pegunungan Kromong yang membentang luas di selatan Cirebon. Ini adalah pegunungan batu yang menjulang dan menyimpan cadangan karst terbesar di Indonesia. 

Awalnya warga menganggap sumber daya itu sebagai karunia. Mereka memanfaatkan kapur untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sutrisno (2007) menyebut tambang rakyat, industri skala kecil, sudah tercatat ada sejak tahun 1700-an. Batu alam dan kapur mereka angkut menggunakan gotrok ke tungku pembakaran atau pabrik batu alam yang tersebar di Kecamatan Palimanan dan Gempol.

Hisyam, 70 tahun, warga Desa, mengatakan kepada saya bahwa tambang rakyat merupakan mata pencarian dominan pada tahun 1980-an. Dia pun termasuk yang bergantung dengan kapur untuk hidup. Hisyam sudah sejak remaja menambang terutama di salah satu gunung di Pegunungan Kromong, Gunung Curi. Dia diupah Rp30 ribu per muatan pikap. Karena dalam sehari bisa memuat sebanyak tiga kali, Hisyam maksimal bisa mengumpulkan Rp90 ribu—jumlah yang sangat banyak saat itu. Meski begitu, dia dan warga Cikeusal lain menambang sekadar untuk subsisten, menyambung hidup, bukan demi akumulasi.  

Pada 1985, ketika pabrik PT Indocement Tridaya Manunggal (selanjutnya disebut Indocement saja) mulai beroperasi, tambang rakyat mulai terpinggirkan. Indocement mendapatkan konsesi lahan seluas 480 hektare. Di lahan seluas itu sebelumnya banyak terdapat tambang rakyat. Warga hanya mendapat sisa 21 hektare di luar area konsesi. Area yang tak terlampau luas tersebut juga hanya menyediakan sumber daya kapur yang terbilang sedikit, dan habis setelah beberapa tahun diambil. 

Warga pada akhirnya harus mencari pekerjaan baru. Seperti yang dikatakan Hisyam, “pas zaman itu banyak warga yang merantau akhirnya, saya aja ke Jakarta buat cari kerja.”

Tak hanya soal pemasukan, Indocement sekaligus menjadi penanda babak baru ekspansi kapital yang pada kelanjutannya meminggirkan warga. Mereka terpaksa digusur dan dijauhkan dari sumber kehidupan, mata air.


Penggusuran dusun-dusun dan hilangnya mata air

Gunung Curi yang mulai diekstraksi sedari 1985 pada akhirnya juga tak mampu memenuhi kebutuhan industri semen. Seperti yang jamak dimengerti pembaca, kapitalisme akan selalu mencari lahan baru untuk diekstraksi sampai titik nadir. Pun demikian dengan Indocement. Mereka mulai berekspansi ke lahan-lahan permukiman warga. Pada 1993, warga Dusun Pesantren yang pertama menjadi korban. Dusun Pesantren terletak tak jauh dari area tambang, bahkan hanya selemparan batu. 

Proses penggusuran bukan tak meninggalkan masalah. Ruminah, 65 tahun, adalah salah satu yang terdampak penggusuran. Dia mengatakan kepada saya bahwa warga pada saat itu tertekan sehingga mau tidak mau angkat kaki dari dusun tempat kelahiran mereka. Selain itu dia juga bilang uang yang dijanjikan Indocement tak sepenuhnya dibayarkan kepada mereka yang tergusur. 

Foto 1.2 : Daerah tambang yang sebelumnya Dusun Pesantren. Sumber mata air dulu banyak tersebar di sini dan sekarang sudah hilang tak tersisa (28 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)

Menurut Arsyadi, 76 tahun, dulu warga Dusun Pesantren memiliki tiga mata air di wilayahnya, yaitu: mata air Cidadap, Cicariu, dan Kalengronggong. Penggusuran turut menggerus mata air tersebut. Semua mata air sudah tidak memancar dan bahkan ada yang tak menyisakan bekas atau tanda. Ketika saya mencoba menelusurinya, hanya tersisa jejak lalu-lalang truk pembuangan dan ekskavator yang dipenuhi oleh debu-debu putih khas kapur. “Di sini dulu mata airnya. Kalau sekarang ya udah ilang,” kata Arsyadi sembari menunjuk ke tanah yang sudah menjadi jalur mesin tambang. “Di sana itu juga, di bawah pohon-pohon itu juga ada mata air, masih ada bekas tampungannya. Dulu banyak orang yang mandi di sana, sudah serupa sendang,” tambahnya, seakan air mengalir deras masih segar dalam ingatan. 

Mata air seharusnya merupakan hak semua warga. Sumber air tersebut seharusnya dijaga dan dimiliki secara bersama dan pada kelanjutannya didayagunakan untuk kepentingan kolektif, alih-alih diprivatisasi atau bahkan dihilangkan perlahan. Pada realitanya, Indocement hanya menganggap mata air sebagai sesuatu yang dapat dibeli, sama halnya dengan tanah-tanah warga yang ditukar dengan uang. 

Inilah cerita bagaimana kapitalisme bekerja di sebuah wilayah. Kapitalisme hanya melihat tanah sebagai komoditas. Akumulasi harus terus dilakukan agar kapital berputar dan kian besar. Tapi sumber daya akan habis pada waktunya. Imbasnya, kapitalisme harus terus mencari sumber baru untuk diekstraksi lagi, salah satunya dengan memprivatisasi yang merupakan milik umum; menghilangkan kepemilikan bersama. Dalam hal ini Harvey (2017) menyebutnya sebagai accumulation by dispossession (akumulasi dengan penjarahan). Pemberian konsesi lahan seluas 480 hektare kepada Indocement yang meminggirkan pertambangan rakyat dan penggusuran Dusun Pesantren menjadi salah satu manifestasi accumulation by dispossession. 

Ini terus dijalankan demi memutar laba. Di sini terlihat bagaimana akumulasi primitif tak hanya terjadi di awal kapitalisme berdiri saja, tetapi ketika kian berkembang.


Keretakan metabolik di tengah industri kapur

Air mempunyai tempat khusus dalam ingatan warga Cikeusal. Bagaimana tidak, mereka menyaksikan sendiri bagaimana sungai-sungai surut perlahan demi perlahan dan mata air yang merupakan sumber utama aliran sungai mengering, bahkan menghilang sepenuhnya dari permukaan tanah. 

Saat ini warga ditimpa oleh krisis air berkepanjangan. Ruminah bercerita bahwa mata air yang tersisa sekarang hanya tinggal dua—yaitu mata air Cikadoya dan Cihaneut—padahal sebelumnya ada enam. 

Ketika saya mendatangi mata air Cikadoya yang berjarak 1,5 kilometer dari permukiman, air yang memancar pun tak terlalu deras. Air dialirkan menggunakan pipa menuju tampungan besar yang terletak tak jauh dari balai desa. Lalu air didistribusikan ke delapan tampungan kecil di setiap RT. Ada total delapan pipa berukuran 1’’ yang dialirkan bergantian ke delapan tampungan kecil setiap tiga jam. Jadi, satu RT yang memiliki satu tampungan kecil mendapatkan jatah aliran air selama tiga jam saja. 

Foto 1.3 : Penampungan kecil yang terletak di RT 06. Sebelum dialirkan ke setiap rumah, air dari penampungan besar dialirkan terlebih dahulu ke tampungan kecil yang tersebar di seluruh RT (27 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)  

Foto 1.4 : Sungai Cikeusal yang mengering di musim kemarau (27 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)   

Pada kenyataannya, dua sumber air tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan air harian warga. Air yang hanya mengalir setiap tiga jam tak bisa memenuhi kebutuhan domestik orang-orang desa. Beberapa warga bahkan ada yang membeli air dari Kecamatan Palimanan dengan harga 70 ribu/kubik. Harga yang jauh dari kata terjangkau. Warga yang tak mampu membeli air dari sumber lain harus berusaha keras mencukupi kebutuhan dari aliran mata air yang tak seberapa deras itu.

Urip, 56 tahun, bercerita bagaimana krisis air yang melanda Cikeusal begitu tragis mengingat mereka dulunya mempunyai sumber mata air yang melimpah dan mudah dijangkau. Keadaan semakin parah ketika musim kemarau. Musim kemarau adalah tanda datangnya kekeringan. Air yang dari sananya sudah sedikit semakin menipis. “Kalau musim kemarau, kalau kamu keluar malam, ibu-ibu itu bawa ember, jeriken di penampungan air malem-malem pada ngantre air. Itu salah satu dampak nyata dari kerusakan lingkungan adanya Indocement,” katanya. 

Kerusakan sumber mata air yang semakin tahun semakin memprihatinkan pada akhirnya harus menjadi harga yang dibayarkan dari proses ekspansi kapital industri tambang dan kegiatan ekstraktif yang berlebih tanpa memikirkan dampak jangka panjang yang akan ditimbulkan. Fenomena ini sekaligus menandai keretakan hubungan metabolik antara alam dengan manusia yang tercipta melalui proses produksi dan konsumsi. Foster (2000) menyebut proses tersebut sebagai metabolic rift, ‘keretakan metabolik’, proses metabolik antara alam dengan manusia terganggu karena eksploitasi sumber daya alam yang tidak memperhitungkan keseimbangan ekologis.

Tak ada upaya konkret yang dilakukan oleh Indocement untuk membayar itu semua. Dalam laporan tahunan 2023, Indocement berjanji mengonservasi area-area tambang yang sudah tak mereka gunakan kembali. Tetapi semua itu hanya janji belaka, atau, seperti kata Urip, “cuma hoaks aja itu mah.” Lagi pula, krisis ekologi tak mungkin hanya diganti dengan uang.


Sebuah upaya merawat air

Krisis yang semakin mencekik memaksa warga sebisa mungkin merawat sumber mata air yang masih tersisa. Bisa jadi dua sumber tersebut akan menjadi target berikutnya dari ekspansi Indocement. Warga kemudian menunjuk satu orang untuk mengurus dan memastikan air yang tersisa mengalir ke rumah-rumah sepenuhnya. Warga menyebutnya sebagai “mayor air”. Jabatan tersebut sekarang dipegang Misnan. 

Mayor adalah orang paling bertanggung jawab dalam distribusi air di Cikeusal. Mayor di blok Desa setiap tiga jam harus memindah aliran pipa di penampungan besar ke delapan pipa yang berbeda yang dimiliki oleh delapan RT. Ia dituntut harus berlaku adil bagi masyarakat. Tak jarang terjadi konflik antarwarga karena distribusi yang timpang dan hanya menguntungkan RT tertentu.

Foto 1.5 : Misnan, mayor air yang bertanggung jawab merawat sumber-sumber air yang masih tersisa (27 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)   

Ketika terjadi masalah di hulu mata air, ia adalah orang pertama yang harus memperbaikinya, berjalan sejauh tiga kilometer termasuk mendaki Gunung Suminta. Air tersumbat atau pipa terlepas adalah masalah yang paling sering terjadi. Perjalanan menuju mata air bukanlah perjalanan yang mudah. Saya yang mencoba ke sana pun pasti akan kesulitan jika tidak ada warga lokal yang memandu. 

Mayor adalah kepingan kecil dari relasi sosial antara masyarakat Cikeusal dengan air yang begitu kompleks, terbentuk karena upaya-upaya perawatan air yang semakin tergerus dan hilang imbas dari industri ekstraktif. Alih-alih memandang sumber daya air sebagai subjek yang terus eksploitasi, warga lebih memilih untuk merawatnya. Saya melihat mayor sebagai representasi kompleks relasi yang disebut Liao dan Schmidt (2023) sebagai siklus hidro-sosial. Menurutnya, air bukalah benda mati yang tak punya ruang dalam hubungan sosial. Ia menempati tempat tersendiri yang membentuk sebuah siklus sosial dengan masyarakat.

Ratusan rumah tangga bergantung kepadanya. Ruminah, warga Desa yang rumahnya kami tinggali selama satu pekan di Cikeusal, mengatakan bagaimana tiga jam air mengalir setiap hari adalah waktu yang sangat berharga, setidaknya bagi keberlanjutan hidup satu hari ke depan.  

Mayor bukanlah status sosial, tetapi beban moral. Ketika saya bertemu langsung dengan Misnan, dia bercerita bahwa hanya digaji Rp300 ribu per bulan. Tapi ini bukan masalah. “Saya enggak pernah mengharapkan gaji besar, hanya beribadah kepada masyarakat. Biarin aja yang penting bisa ngerokok.”


Meneguhkan hak atas air warga

Air tidak boleh dimonopoli hanya sebagian pihak, apalagi dihilangkan. Sumber daya air harus selalu didayagunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam diskursus hak asasi manusia, hal tersebut selaras dengan Resolusi PBB No. 64/292 yang mengakui bahwa air merupakan bagian vital dari kehidupan manusia dan hak atasnya diakui secara universal tanpa bisa dinegosiasikan. 

Pengakuan hak atas air sebagai bagian integral dari hak asasi manusia ditemui di dalam Komentar Umum No. 15 (2002) tentang Hak atas Air yang diterbitkan oleh Committee on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)–Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Secara normatif, hak atas air sudah diakui secara universal oleh negara ini, terlebih ICESCR sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR. Konsekuensinya adalah negara harus terlibat aktif dalam pemenuhan hak atas air bagi masyarakat.

Potret yang muncul di Cikeusal memberikan gambaran bahwa banyak masyarakat perdesaan yang masih belum terpenuhi haknya. Alih-alih merekognisi hak tersebut dan terlibat aktif dalam pemenuhannya, pemerintah malah membiarkan industri tambang bergeliat selama lima dekade. Hal tersebut dapat dipahami sebagai praktik dari neoliberalisme yang untuk meminggirkan peran negara dalam memenuhi hak asasi warganya. Moyn (2014) menyebut struktur ekonomi neoliberal memang memaksa negara untuk acuh terhadap komitmen pemenuhan hak-hak asasi manusia dalam ICESCR.

Melalui Cikeusal, kita melihat bahwa hak tersebut ternyata takluk di depan kapitalisme. Semuanya dipinggirkan demi memutar sirkuit kapital untuk keuntungan segelintir pihak.


Referensi

David Harvey. “The ‘new’ imperialism: accumulation by dispossession.” Karl Marx. Routledge, 2017. 213-237.

Endang Sutrisno, Budaya Hukum Masyarakat dalam Melindungi Pencemaran Lingkungan, (Cirebon: Swagati Press, 2007).

John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature, (New York: Monthly Review Press, 2000).

Samuel Moyn, “A Powerless Companion: Human Rights in the Age of Neoliberalism,” Law and Contemporary Problems 77, no. 4 (2014): 147–69, http://www.jstor.org/stable/24244651.

United Nation Economic and Social Council, General Comment No. 15: The Right to Water (Arts. 11 and 12 of the Covenant), E/C.12/2002/11, UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR), 20 January 2003.

Yu-Kai Liao dan Jeremy J. Schmidt, “Hydrosocial Geographies: Cycles, Spaces and Spheres of Concern,” Progress in Environmental Geography 2, no. 4 (2023): 240-265, https://doi.org/10.1177/27539687231201667.


Data lapangan termasuk wawancara diambil dalam kegiatan “Sekolah Riset Ekologi” yang diadakan oleh Salam Institute pada 20-31 Juli 2024. Laporan awal yang disusun oleh penulis dengan judul “Sang Mayor dalam Kepungan Mesin-Mesin Tambang” didesiminasikan kepada publik pada 24 November 2024.

Muhamad Nabil Gunawan adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes) sekaligus pegiat Amnesty International Chapter Unnes.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.