Foto: Salah satu bangunan yang tenggelam karena kenaikan air laut. Dokumentasi pribadi.
RASANYA sudah menjadi rahasia umum bahwa Jakarta seperti koin yang memiliki dua sisi. Di satu sisi ia adalah kota metropolitan dengan segala gemerlap kemewahan, tapi di sisi lain juga terkenal dengan ketimpangan. Slum area menjadi momok yang tidak bisa lepas dari kota ini. Sudah tidak terhitung berapa banyak karya yang mengabadikan situasi ini, namun rasanya kurang bila tidak melihatnya secara langsung.
Maka, siang itu, kami bertolak ke Kampung Muara, salah satu daerah terujung Jakarta. Daerah ini cukup terkenal sebab terdapat Wal Adhuna, masjid yang tenggelam dimakan air laut. Awalnya kami ke sana sekadar untuk menyelesaikan tugas kuliah, meneliti dampak pembangunan kota, tetapi ternyata berakhir dengan mendapatkan cerita baru yang tidak terlupakan.
Di depan pintu masuk permukiman, kami disambut oleh ramainya aktivitas industri dan masyarakat yang bergantian menggunakan jalan selebar satu mobil. “Misi bu” dan “misi pak” terus terucap seiring kami melanjutkan langkah ke jalan yang kian mengecil. Tatapan bingung serta sinis cukup terasa dari warga yang sedang berkumpul di pinggir jalan, seakan memvonis bahwa kami tidak seharusnya di sini.
Sesekali kami melihat layar ponsel untuk memastikan lokasi kediaman Ibu Enny, seorang warga yang akan kami wawancara. Kami sampai setelah melewati gang yang tidak lebih dari sehasta orang dewasa. Di depan rumah tergeletak berbagai perabotan rumah tangga, dari piring hingga mesin cuci. Di sampingnya menjulang tinggi pagar besi pembatas permukiman dan area industri. Salah satu dari kami langsung teringat tulisan yang baru dibaca beberapa waktu lalu. “Oh ini yang dimaksud, ya.”
Wajah melongo pecah setelah terdengar suara “sebentar kak!” dari dalam rumah. Tak berselang lama, Ibu Enny keluar dengan raut wajah yang cukup lelah tetapi ditutupi dengan senyum. “Maaf ya jadi nunggu. Ibu tadi lagi beresin rumah sisa kebakaran kami,” katanya. Ibu Enny sudah menyampaikan hal itu saat kami hubungi melalui Whatsapp, namun mendengarnya secara langsung membawa perasaan pilu tersendiri.
Hanya untuk Bertahan Hidup
Sebelum studi perkotaan dipenuhi oleh para pemikir marxis, fenomena ruang kota hanya berfokus pada estetika fisik saja. Seiring berjalannya waktu, studi perkotaan berkembang menjadi studi multidisipliner yang juga melihat aspek individu yang menempatinya. Henri Lefebvre (1967) menjadi tokoh awal yang mengenalkan “hak atas kota” setelah melihat perebutan ruang hidup. Senada dengan Lefebvre, Manuel Castell (1978) dan David Harvey (1971) melihat kota sebagai ruang akumulasi kapital dipusatkan. Dalam hal ini, semua pihak akan bersaing mendapatkan bagian.
Penjelasan lebih menyeluruh disampaikan oleh sosiolog asal Amerika Serikat, Harvey Molotch, lewat Urban Growth Machine (UGM) Theory. Teori ini menyatakan bahwa proses terbentuknya sebuah kota sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi. Teori UGM juga menggambarkan koalisi yang dibentuk untuk meningkatkan nilai tukar ruang kota, mencakup pengusaha, politisi, serta perusahaan publik dan swasta. Pembangunan yang berfokus pada nilai tukar lahan ini menyebabkan marginalisasi atau penggusuran masyarakat yang lebih mengutamakan nilai guna lahan untuk kehidupan sehari-hari atau komunitas. Nilai guna bagi mereka mencakup tempat tinggal yang aman serta rasa kebersamaan dan keterikatan pada komunitas.
Penggambaran ini terasa nyata bahkan saat wawancara baru dimulai. Meski awalnya kami berfokus meneliti masalah penurunan air tanah, rasanya pembahasan Ibu Enny lebih besar dari itu. Dia menjelaskan bagaimana kehidupannya berubah sangat cepat. “Ibu itu tinggal di sini sudah dari ‘89. Dulu jalan belum setinggi ini. Ini rumah-rumah kelihatan tenggelam karena jalan sudah puluhan kali diuruk,” katanya saat kami tanya soal perubahan terbesar.
Sebagai ground zero penurunan muka tanah, Muara Baru sering kali terdampak banjir rob. Masalah ini memang berhenti setelah giant sea wall dibangun di zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), namun proyek itu memiliki konsekuensi besar lain pada masyarakat. Mereka yang sebelumnya hidup sebagai nelayan mulai berganti profesi sebab melaut tidak lagi menguntungkan. Semenjak ada tembok setinggi tiga meter ini, nelayan harus mencari rute baru sehingga membutuhkan ongkos lebih besar. Belum lagi proyek reklamasi yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana sudah mencemari perairan di pesisir.
Reklamasi itu sendiri bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi juga simbol pembangunan kapitalistik. Proyek ini melibatkan aliansi antara pemerintah, pengembang properti, dan investor besar. Mereka membangun kawasan elite yang terdiri dari apartemen mewah, pusat bisnis, dan area hiburan yang hanya dapat diakses oleh golongan menengah ke atas. Dalam narasi pembangunan ini, masyarakat pesisir dipandang sebagai “penghalang” pembangunan, bukan sebagai pihak yang perlu diberdayakan.
Kerusakan lingkungan menjadi konsekuensi utama dari proyek reklamasi. Pasir laut yang diambil untuk menimbun area reklamasi menyebabkan abrasi di wilayah lain, sementara aktivitas konstruksi mengganggu habitat ikan. Hal ini membuat nelayan kehilangan area tangkapan tradisional mereka. Selain itu, polusi yang dihasilkan dari pembangunan memperburuk kualitas air laut, memengaruhi kesehatan ikan dan hasil tangkapan lainnya.
“Kalau sekarang, mau melaut harus lebih jauh lagi karena di pinggiran sudah enggak ada ikan. Tapi, nelayan kita juga enggak punya perlengkapan untuk melaut di tengah yang punya arus lebih kencang,” ujar Pak Iwan, warga yang tinggal di dekat giant sea wall.
Setelah mendengar cerita itu, kami memutuskan untuk melihat langsung giant sea wall. Bangunan ini tidak lagi terbuka untuk umum karena berada di tanah milik PT Pelindo, sebuah BUMN bidang transportasi laut. Untungnya saat itu tidak ada satu pun petugas yang berjaga. Kami langsung masuk tanpa berpikir panjang. Di balik tembok tinggi itulah berdiri masjid Wal Adhuna, monumen yang menjadi bukti tenggelamnya Jakarta.
Baru saja berjalan beberapa langkah, kami terhenti sebab melihat pemandang lain dari Jakarta. Terlihat laut membentang sampai ujung cakrawala, dipenuhi kapal kargo lalu lalang. Di sisi kiri terdapat bangunan yang seperti gudang penyimpanan berdampingan dengan lahan kosong dipenuhi puing-puing. Tak jauh dari situ apartemen berdiri megah di tepi laut. Di dekatnya ada permukiman yang berbeda 180 derajat, berdiri di atas tumpukan sampah, dikenal sebagai Kampung Bengek. Kehidupan masyarakat Kampung Bengek jauh dari kata layak. Hunian terbuat dari tripleks, belum ada jalan cor, dan tanpa sistem sanitasi yang memadai. Kondisi nyata dari masyarakat yang terpinggirkan karena pembangunan
“Jadi ini yang dimaksud Lefebvre, ya?” tebersit dalam pikiran.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Antara Hak, Perjuangan, dan Kehidupan
Ibu Enny mengatakan bahwa masyarakat Kampung Muara cenderung tidak paham dengan hak mereka sebagai warga, apalagi sampai tahap berserikat. “Masyarakat di sini betah sama kondisi mereka sendiri. Mereka selalu merasa itu bukan urusan mereka. Baru nanti resah pas mau ada penggusuran.” Bagi masyarakat, yang rumit-rumit itu urusan pemerintah dan mereka hanya mengikuti keputusan. Raut wajah Ibu Enny terlihat cukup jengkel saat membicarakan topik ini.
Kami mencoba melihat masalah ini lebih mendalam. Rasanya tidak tepat mengatakan masyarakat salah 100 persen karena tidak berpartisipasi untuk mengupayakan hidup lebih baik secara kolektif. Ini lebih kepada ketidaktahuan mereka atas adanya pilihan lain selain berserah diri. Masyarakat kurang atau bahkan mungkin tidak mengetahui bahwa mereka berhak terjamin kesejahteraannya, untuk didengar suaranya, dan untuk dilibatkan dalam pembangunan. Dapat dikatakan ini adalah konsekuensi dari lingkungan kota yang menjadi tempat akumulasi kapital seperti yang dikatakan Molotch.
Pemerintah belum benar-benar hadir di sini. Hal ini diperkuat dengan hasil perbincangan dengan warga yang mengatakan peran komunitas dan NGO lebih besar. Pemerintah hampir tidak pernah terlibat, membiarkan konsekuensi cepatnya pembangunan tanpa mengambil sikap.
Bahkan pengabaian terjadi di lingkup terbawah pemerintahan. RW, misalnya, lebih tepat disebut jabatan untuk “raja-raja kecil” untuk mengakumulasi kapital. Dan sebagaimana proses akumulasi, untuk mendapatkan jabatan itu mereka perlu modal. Angkanya setidaknya Rp200 juta. Jumlah ini terhitung kecil mengingat keuntungan yang didapatkan bisa menjadi Rp5-10 miliar per tahun. Ini bukan hal mengagetkan mengingat Muara Baru adalah daerah “basah”, tempat industri-industri besar beroperasi.
Tidak terasa sudah 5 sore. Matahari berada di ujung cakrawala. Kami kembali ke kediaman masing-masing. Meski sebentar, pengalaman ini memberikan gambaran nyata bagaimana sistem kota bekerja. Kami merasa banyak mendapatkan pengetahuan baru namun juga tidak tahu cara menyelesaikan masalah struktural ini. Di seluruh ruang kota, termasuk di wilayah ujungnya ini, kami melihat semua pihak bertarung merebut dan mengamankan sumber daya masing-masing. Tapi pertarungan itu tidak pernah setara. Perjuangan dalam mesin pertumbuhan kota lebih sering membuat warga biasa kalah.
Referensi
Castells, M. (1978). City, Class, and Power. Macmillan.
Geddes, M. (2009). Marxism and Urban Politics. In J. S. Davies & D. L. Imbroscio (Eds.), Theories of Urban Politics (pp. 55-72). SAGE Publications.
Harvey, D. (1973). Social Justice and the City. University of Georgia Press.
Harvey, D. (2001). Spaces of Capital: Towards a Critical Geography. Routledge.
King, Loren. (2018). Henri Lefebvre and the Right to the City. 10.4324/9781315681597-7.
Syahzmil Mohazidan Gosarli dan Daniel Pareaktua Putra adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia