Foto: Marjin Kiri
Judul Buku: Serikat Buruh 1945-1948: Menduduki Stasiun, Menguasai Perkebunan, Menjalankan Pabrik [judul asli: Organising under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945–1948]
Penulis: Jafar Suryomenggolo
Penerjemah: Keenan Nasution
Penerbit: Marjin Kiri
Halaman: xii + 278 hlm
Tahun Terbit: 2024
BURUH merupakan subjek studi yang tetap menarik diteliti hingga kini, baik dari segi ekonomi, politik, hingga sejarah. Salah satunya adalah buku Jafar Suryomenggolo ini, sebelumnya terbit dengan judul Organising Under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945–48 oleh National University of Singapore Press pada 2013 silam.
Salah satu poin penting dari buku ini adalah ia membongkar mitos bahwa saat itu hubungan negara dan buruh baik-baik saja. Pemerintahan Sukarno berada di spektrum kiri, dan saat bicara politik alternatif, maka buruh adalah kekuatan utamanya. Lewat buku ini kita tahu bahwa di era itu beragam intrik politik mengemuka. Serikat buruh, meskipun memiliki sejarah panjang dalam aktivisme, saat itu harus berhadapan dengan realitas yang sama sekali baru. Demikian pula pemerintah Republik Indonesia yang masih belia. Mereka juga belum mampu membina hubungan baik dengan buruh.
Meski meneliti Indonesia beberapa tahun setelah kemerdekaan, buku ini juga membahas tentang depolitisasi buruh era Orde Ba(r)u yang baru berdiri tahun 1965-1966. Kata “buruh” sangat jarang digunakan, bahkan dihindari, di era otoriter itu. Alih-alih buruh, kata “karyawan/karyawati” diperkenalkan sebagai pilihan utama. Alasannya jelas: buruh mengandung konotasi kiri, marxis, komunis, dan lain-lain. Pengaruh dari masa ini sangat signifikan sampai sekarang. Maka tidak mengherankan jika penelitian tentang buruh kerap berbarengan dengan pembahasan soal depolitisasi Orde Ba(r)u.
Mengolok Historiografi Orde Ba(r)u
Jafar memulai pendahuluan dengan protes terhadap historiografi Indonesia yang menurutnya penuh dengan narasi militer. Ini katanya mengemuka di tiap pembahasan. Historiografi sarat kepentingan negara dengan nuansa militeristik tidak lain ditancapkan kuat berdekade lamanya oleh Orde Ba(r)u. Perspektif sejarah dari sisi lain, termasuk sudut pandang kaum buruh, hanya dilihat sekilas saja.
Salah satu caranya memprotes bahkan cukup spesifik: dengan menulis “Orde Baru” sebagai “Orde Ba(r)u”. Orde Baru itu Orde Bau. Baunya bahkan tercium sampai sekarang. Selain Jafar, sejarawan Joss Wibisono juga melakukan hal serupa, misalnya saat dia membahas bagaimana pemikiran Ben Anderson terhadap bahasa sangat jitu untuk membongkar tipu muslihat Soeharto.
Menghindari buruh bahkan di level kosakata, Soeharto mengganti seluruh ejaan demi menghindari pembacaan ulang atas karya-karya kritis di era Sukarno. Edjaan Suwandi era Sukarno dihilangkan sebab dianggap kuno, lalu Ejaan yang Disempurnakan ala Soeharto menjadi pakem dalam berbahasa pada 1972.
Jafar bukan cuma menyerang historiografi negara yang bias. Ia juga menunjam ke masalah betapa tidak pandainya mahasiswa ilmu sejarah era kini dalam menguasai bahasa asing. Kurangnya penguasaan “bahasa sumber sejarah” mengakibatkan kurangnya kritisisme dalam diskursus-diskursus sejarah.
Hubungan Kaku Buruh dan Negara Baru
Berbagai historiografi buruh masa revolusi mendapat perhatian Jafar, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar, termasuk studi komparasi gerakan buruh di Indonesia dengan negara Asia Tenggara lainnya pascakolonial.
Dengan sumber-sumber itu dia menyusun bab pertama berjudul Buruh Terorganisir dan Negara Pascakolonial. Di sini Jafar menjelaskan kondisi umum kaum buruh setelah Indonesia merdeka. Saat itu buruh-buruh tergerak masuk ke dalam laskar-laskar. Dia menulis bahwa tren itu adalah hal wajar sebab menjadi cara turut serta membela negara yang baru merdeka. Ancaman yang muncul terhadap negara yang baru berdiri dihadapi dengan sikap “revolusioner” pemuda di banyak tempat kerja.
Serikat-serikat buruh didominasi oleh para pemuda yang pada masa Jepang mendapat banyak pelatihan kerja. Ben Anderson melihat pemuda dalam revolusi menempati posisi penting dalam berbagai gerakan. Jafar kemudian mengamini pendapat Ben dalam konteks gerakan buruh.
Para buruh memandang kemerdekaan sebagai tirai emas menuju keberkahan. Maka tidak boleh lagi ada sisa apa pun dari zaman sebelumnya. Dengan sikap dan tanpa banyak persiapan berlarut-larut, buruh lantas mengambil alih tempat kerja dari atasan-atasan Jepang. Buruh-buruh yang sadar akan posisinya dalam dunia revolusi dengan segera menduduki stasiun, menguasai perkebunan, dan menjalankan pabrik. Pengambilalihan kantor-kantor pusat eksploitasi dan stasiun-stasiun berlangsung secara bertahap namun cepat
Buruh kereta api yang menjadi aktor utama yang dengan cekatan menerapkan swakelola pekerja. Tak sampai sebulan setelah proklamasi, banyak stasiun dan kantor eksploitasi direbut dari Jepang (Jafar membahas lebih lanjut soal buruh kereta api dan aksi sepihak mereka dalam bab tiga dan empat).
Aksi para buruh ini justru melahirkan rasa curiga dan negara pascakolonial yang usianya masih amat muda. Mereka khawatir dengan kekuatan buruh yang mampu mengontrol alat produksi. Pandangan itu didasari atas kewaspadaan pemerintah terhadap gerakan sindikalisme. Namun sebenarnya aksi sepihak buruh tidak disetir oleh anasir-anasir anarkis, melainkan murni gerakan spontan untuk mengamankan aset dan modal ekonomi agar terus berputar.
Menyatukan Kekuatan Buruh
Dalam bab kedua, Kontrol Pekerja dan Aktivisme “Politik” Buruh, Jafar menunjukkan betapa pemerintah hendak mengontrol gerakan buruh agar sesuai jalur yang dikehendaki dan bukannya membahayakan negara. Taktik pemerintah berpusat pada pembentukan aturan dan pembatasan gerak serikat. Serikat-serikat muncul berdasarkan bidang kerja masing-masing, setidaknya sejak caturwulan pertama 1946 hingga pertengahan 1947.
Apa yang dilakukan pemerintah lebih lanjut dibahas di bab ketiga, Politik Pembentukan Serikat Buruh. Pemerintah yang khawatir terhadap munculnya sindikalisme berusaha mengikat serikat buruh baru agar dekat dengan mereka. Contoh yang diberikan adalah serikat di kereta api. Dikeluarkan maklumat yang membuat pemerintah menduduki posisi teratas pada jawatan. Mereka juga membentuk Serikat Sekerdja Kereta Api (SSKA). Langkah pemungkas ini mengakhiri kekhawatiran pemerintah akan sindikalisme dan swakelola pekerja.
Buruh rendah melawan dengan membentuk Serikat Boeroeh Kereta Api (SBKA) pada 13 Maret 1946 dan langsung menuntut pembatalan maklumat. Meski berkelit bahwa hanya aturan sementara, banyak pihak telah mengendus bahwa intensinya bukan demikian. SBKA tidak lain menjadi antitesis SSKA yang lebih merupakan representasi “pegawai menengah” yang dekat dengan pemerintah. Dampak lain, karena pemerintah hendak mengontrol pekerja kereta api, maka massa buruh terpecah ke dalam lebih dari satu serikat.
SBKA mempertahankan sifat independensinya dari gerakan buruh lain. Anggotanya diperbolehkan bergabung dalam SOBSI, tetapi harus mengatasnamakan pribadi.
Meski ditekan maklumat dari pemerintah, SBKA mampu mempertahankan sifat nasionalismenya. Ini menurut Jafar karena buruh kereta mewarisi nilai dan militansi dari pendahulu mereka di era kolonial Hindia-Belanda. SBKA bahkan mengidentifikasi diri sama seperti VSTP, serikat buruh kiri di zaman itu.
Dalam bab keempat, Membangun Kekuatan Organisasional: SBKA Beraksi, Jafar menyoroti lebih lanjut kiprah organisasi ini. Misalnya, bagaimana SBKA pernah mengajukan tuntutan rasio upah 1:5 antara buruh rendah dan tinggi. Mereka juga menuntut upah dalam bentuk natura (barang) mengingat kondisi saat itu serba sulit. Harga bahan pokok saat itu bahkan melambung hingga 17 kali lipat.
Mayoritas anggota SBKA, seperti telah disinggung, merupakan buruh rendahan dengan gaji pas-pasan. Kas organisasi sering macet karena gaji para buruh terkadang tak menentu karena masa yang masih bergejolak. Meskipun didera kondisi tak menyenangkan, SBKA masih dapat mengorganisasi gerakan solidaritas sesama buruh dengan memberikan derma dalam bentuk uang atau natura, salah satunya kepada serikat di Delanggu.
Dipiting Belanda, Dihardik Republik
Sejak kemerdekaan hingga Agresi Militer (bagi Republik; Belanda menyebutnya aksi polisionil), keadaan rakyat kecil sering kali terjepit di antara dua pihak yang bertikai. Situasi ini telah digambarkan dengan apik oleh film De Oost yang menceritakan anak buah Raymond Westerling. Pada salah satu adegan, ada rakyat miskin biasa yang harus berada di “dua kaki” agar dapat mengamankan nyawanya.
Demikian pula buruh! Jafar membahas hal ini dalam subbab Melawan Kekerasan Militer di Bab 4. Meski bukan subbab yang banyak, pembahasan yang disajikan sangat menarik. Tidak banyak sejarawan yang awas tentang posisi rentan buruh saat revolusi terjadi. Jafar mampu meneropong masalah itu. Dikatakan bahwa buruh yang bekerja di sektor perkeretaapian telah mengalami 14 kasus kekerasan yang melibatkan personel militer. Itu baru yang dilaporkan kepada pihak berwenang. Jumlahnya bisa lebih dari itu mengingat kuasa militer lebih tinggi dibanding buruh kereta.
Bab terakhir, Buruh dan Hukum: Undang-Undang Kerdja 1948, menyoroti aktivisme buruh dalam menekan pengerjaan undang-undang perburuhan yang baru. Mereka memperjuangkan ini agar mendapat kepastian hukum dalam situasi yang tidak menentu.
Hukum baru yang dibuat oleh negara baru menjadi oase dan angin segar bagi buruh yang sempat merasakan buruknya masa kolonial. Hukum perburuhan sangatlah buruk di era sebelumnya. Aturannya sangatlah rasis dan diskriminatif. Ambil satu contoh sektor pekerjaan, yakni industri gula. Di sana buruh digaji berdasarkan perbedaan ras dan jenis kelamin.
Fungsi legislatif ketika itu berada di tangan Badan Pekerdja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Menurut Jafar, dalam proses pembentukan peraturan baru di lembaga ini, terlihat jelas jarak antara pemerintah dan buruh, misalnya ketiadakan redaksi “hak” dalam undang-undang. Perumusan dan penetapan oleh BP-KNIP juga diwarnai intrik politik terutama pertarungan internal antara kubu sayap kiri dan kanan. Pada sisi lain, serangan militer Belanda pada 1947 juga menghambat kemajuan.
Pada akhirnya, undang-undang ketenagakerjaan yang baru ditetapkan selepas melewati lobi politik dan debat sana-sini. Menteri Oeroesan Sosial Maria Ullfah dinilai memiliki visi menjadikan peraturan ini sebagai pemandu merancang masjarakat sosialistis, namun bagi Jafar tak dapat dikatakan sebagai hukum penjamin hak pekerja, malah menjadi batu sandungan bagi gerakan buruh selanjutnya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Jafar menutup buku dengan dua bagian: epilog dan simpulan. Epilog membingkai keadaan Indonesia sebelum undang-undang perburuhan disahkan pada Mei 1948. Pada periode April–Juni 1948, pemogokan telah terjadi sebanyak 11 kali, dilakukan oleh berbagai serikat buruh. SBKA mogok kerja empat kali, dengan masing-masing pemogokan hanya berjalan paling lama sekitar dua jam.
Sementara dalam kesimpulan, Jafar memberikan pemahaman bahwa buku ini bertujuan untuk mengungkapkan apa yang disebut sebagai “celah kosong” historiografi buruh pada periode Revolusi. Ia melihat bahwa hubungan negara-buruh sebagai dialektis, bukan monologis. Ini adalah masa-masa awal ketika negara dan buruh berkembang secara terpisah dalam proses pelembagaan diri. Ini juga berarti pandangan bahwa gerakan buruh selalu disetir pemerintah tidaklah sepenuhnya benar, sebab Republik sendiri tak punya kendali mutlak atas setiap gerakan yang ada.
Dalam lampiran, terdapat dua tulisan pendek tentang buruh Tionghoa dan hari raya buruh. Tulisan itu menjadi pemantik awal untuk melebarkan sayap pembahasan sejarah perburuhan ke buruh Tionghoa masa revolusi.
Buku ini memang bukan yang pertama membahas pergerakan buruh di Indonesia pascakemerdekaan. Jan Elliot telah menulis disertasi berjudul Bersatoe Kita Berdiri Bertjerai Kita Djatoeh: Workers and Union in Indonesia, 1945–1965. Namun buku itu melihat serikat buruh dalam generalisasi, sebagai satu kesatuan padu, yang telah dibantah lewat buku Jafar.
Muhammad Rizky Pradana adalah sejarawan (muda) partikelir, dengan minat kajian seputar sejarah umum, pergerakan buruh dan pers kolonial, etnoastronomi, dan sejarah astronomi. Ia saat ini sedang membangun Insulinde Sejarah; sila kunjungi di @insulindesejarah.