Ilustrasi: Illustruth
KONDISI lingkungan tak dapat dilepaskan dari dinamika modus produksi yang dominan di masyarakat. Saat ini modus produksi tersebut tidak lain adalah kapitalisme. Karena satu-satunya tujuan adalah mengakumulasi modal, kapitalisme telah menyebabkan dua krisis: kehancuran ekologis dan eksploitasi terhadap kelas pekerja. Di level global, krisis ini terjadi secara tidak seimbang. Populasi di negara dunia ketiga di satu sisi merasakan kondisi kerja buruk dan lingkungan rusak; tapi di sisi lain populasi di negara-negara kaya lebih baik persis karena eksploitasi terhadap negara-negara dunia ketiga (Moore, 2016). Di level nasional dan lokal, populasi yang terpinggirkan secara ekonomi-politik hanya mampu mengakses pekerjaan informal penuh kerentanan sembari tinggal di daerah yang mudah terdampak kehancuran ekologis (Bryant, 1998).
Koeksistensi dua krisis ini terlihat dari temuan International Labour Organization (ILO) pada 2019 lalu. Mereka memproyeksikan bahwa kenaikan suhu 1,5°C dapat mengurangi 2,2% jam kerja dunia pada 2030—setara dengan hilangnya 80 juta pekerjaan penuh waktu. Tahun lalu Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) juga memprediksi suhu harian di atas 40°C akan meningkatkan risiko kecelakaan kerja hingga 10%. Krisis iklim dan degradasi lingkungan juga mengubah komposisi pasar tenaga kerja. Sekitar 20% pekerja di negara OECD telah beralih ke green jobs, yang cenderung masuk ke dalam kategori pekerjaan dengan kemampuan dan upah tinggi. Selain itu mereka juga lebih kecil kemungkinannya untuk berserikat.
Krisis lingkungan dan ekonomi yang menekan kelas pekerja telah lama menjadi perhatian Rudolf Bahro, seorang marxis sekaligus aktivis lingkungan yang terlibat dalam pembentukan Green Party di Jerman Barat sekaligus Democratic Socialist Party di Jerman Timur. Dalam From Red to Green (1984) dan The Alternative in Eastern Europe (1977), Bahro mengkritik kapitalisme Barat dan industrialisasi Soviet yang sama-sama mengeksploitasi pekerja dan merusak lingkungan. Dia kemudian menawarkan ide alternatif non-capitalist industrialization, model industrialisasi yang fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Canfield, 1980). Bahro juga mempromosikan eco-communal ecosocialism, peningkatan kekuatan produktif melalui skema industrialisasi skala kecil yang ramah lingkungan (Mosley, 1978).
Meskipun kontroversial di kalangan marxis dan pemikir ekologi, gagasan Bahro menjadi pelopor integrasi antara gerakan pekerja dan lingkungan. Teori yang lebih matang tentang integrasi antara dua gerakan tersebut lalu dilanjutkan pemikir ekososialis lain, misalnya Saral Sarkar (1999) dan David Pepper (1993).
Ekososialisme kemudian menjadi landasan integrasi gerakan pekerja dan lingkungan di berbagai negara. New York State Nurses Association, misalnya, turut mendorong legislasi iklim di Amerika Serikat pada 7 April 2021. Ada juga Los Angeles Alliance for a New Economy yang fokus mengadvokasi kondisi kerja yang baik dan ramah lingkungan. International Trade Union Confederation (ITUC) juga mengerahkan 200 ribu pekerja mendukung gerakan Strike4Climate yang dipimpin Greta Thunberg. Serikat penyadap karet di Amazon, The National Confederation of Agricultural Workers, menjadi contoh lain integrasi gerakan lingkungan dan pekerja dalam melawan korporasi (Mendes, 1989).
Di Indonesia, negara dengan angkatan kerja terbesar ke-4 dan penyumbang emisi terbanyak ke-6, persinggungan antara gerakan lingkungan dan pekerja juga terjadi. Contohnya adalah protes pekerja di PT IMIP pada Hari Buruh 2024 atas kondisi kerja tidak manusiawi yang bersinggungan dengan kasus pencemaran lingkungan. Ada pula protes warga dan buruh di hutan sawit Kalimantan atas pelanggaran hak pekerja dan kerusakan lingkungan. Namun, karena sekadar bersinggungan, keduanya bernasib sama seperti gerakan rakyat lain: masih terfragmentasi dan belum menghadirkan perubahan signifikan.
Keharusan keduanya terintegrasi tidak perlu lagi dipertanyakan. Sasaran tembaknya pun sudah terlihat. Namun demikian, identifikasi yang lebih jelas tetap perlu dilakukan.
Mengidentifikasi Sasaran Tembak yang Sama
Integrasi gerakan pekerja dan lingkungan dapat difokuskan di sektor perkebunan/kehutanan dan ketenagalistrikan yang, menurut Hannah Ritchie, Pablo Rosado, dan Max Roser (2020) merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Pada 2021, alih fungsi lahan menyumbang 476,75 juta ton setara CO2; sementara ketenagalistrikan menyumbang 260,79 juta ton setara CO2.
Dua sektor ini juga mencatatkan statistik ketenagakerjaan dan konflik yang signifikan. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024 menunjukkan pertanian, perkebunan, dan perikanan menyerap 40,72 juta tenaga kerja atau setara 28,64% total angkatan kerja nasional—terbanyak dari semua sektor. Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun lalu menyebut penciptaan perkebunan adalah alasan utama alih fungsi lahan dan konflik agraria pada 2023. Sebanyak 82% alih fungsi adalah perkebunan sawit. Pelanggaran hak normatif seperti upah di bawah standar minimum dan penekanan buruh yang protes sering ditemukan di perkebunan sawit Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah (Widhyanto Muttaqien dkk., 2021).
Ketenagakerjaan di sektor ketenagalistrikan juga memiliki statistik yang unik. Meskipun hanya menyerap 0,36 juta tenaga kerja atau 0,25% dari total angkatan kerja, Wei, Patadia, dan Kammen (2010) berargumen bahwa transisi energi akan menghasilkan lebih banyak lapangan kerja. Energi fosil seperti batu bara dan gas alam masing-masing hanya menyediakan 0,8 pekerjaan/GWh dan 0,5 pekerjaan/GWh; sementara tenaga surya dan angin dapat menyediakan 2 pekerjaan/GWh dan 1 pekerjaan/GWh. Tanpa perbaikan kondisi kerja, praktik outsourcing, dan tingginya kecelakaan kerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN), pertambahan lapangan kerja karena transisi energi hanya akan memperbanyak pekerjaan rentan (Wei dkk., 2010).
Singkatnya, mengapa penting bagi gerakan untuk berfokus di dua sektor ini, adalah: alih fungsi lahan dan sektor ketenagalistrikan menyumbang emisi terbesar, sektor penyebab alih fungsi lahan (terutama perkebunan) adalah penyerap tenaga kerja terbesar, dan sektor ketenagalistrikan berpotensi menyerap banyak tenaga kerja di masa depan.
Integrasi gerakan dapat dilakukan melalui intervensi pada sistem ekonomi, yaitu dengan melawan alih fungsi lahan dan mendorong industrialisasi ramah lingkungan, serta melawan privatisasi ketenagalistrikan untuk mendukung transisi energi yang adil. Kita akan membahasnya satu per satu.
Melawan Alih Fungsi Lahan, Mendorong Industrialisasi Ramah Lingkungan
Alih fungsi lahan, penyumbang emisi terbesar Indonesia, berakar pada logika ekonomi ekstraktif sejak era kolonial Belanda dan deindustrialisasi Orde Baru. Berdirinya VOC pada 1602 berakibat pada terpisahnya petani dari tanah mereka lewat kebijakan pencaplokan lahan, monopoli perdagangan, dan penanaman paksa (Brown, 2003). Semua praktik ini terjadi dengan memanfaatkan struktur feodal dalam masyarakat (Peluso, 1994). Pemerintah kolonial membangun infrastruktur seperti jalan, rel, dan pelabuhan untuk memperlancar ekstraksi sumber daya. Dengan diundangkannya Agrarische Wet 1870, luas perkebunan meningkat pesat dari 1.548.595 hektare pada 1900 menjadi 2.869.726 hektare pada 1938, dengan mayoritas berada di Jawa (Nederlandsch, 1901; Tauchid, 2009). Perluasan ini menyebabkan masifnya degradasi lingkungan (Itawan, 2022), misalnya deforestasi hutan jati Jawa yang menghasilkan 22.800 batang kayu per tahun pada abad ke-18 (Boomgaard, 1992). Deforestasi ini membuat erosi menjadi peristiwa yang wajar pada waktu itu (Itawan, 2022).
Setelah merdeka, tepatnya di masa pemerintahan Soekarno, perusahaan perkebunan asing dinasionalisasi. Di periode ini juga tata kelola kehutanan didesentralisasi. Meskipun eksploitasi sumber daya alam tak semasif era kolonial, tetap saja saat itu menjadi masa awal hilangnya 1 juta hektare hutan per tahun. Pada era Orde Baru, antara 1985–1997, angka deforestasi melonjak menjadi 1,7 juta hektare per tahun. Semua akibat diberlakukannya UU 1/1967 dan UU 11/1968 yang membuka jalan bagi investasi asing (Awang, 2005). Setelah Orde Baru tumbang, pada 2003, laju deforestasi meningkat lagi menjadi 2 juta hektare per tahun (Forest Watch Indonesia, 2003). Alih fungsi lahan terus berlanjut hingga kini, sekali lagi, menjadikannya penyumbang emisi terbesar di Indonesia.
Gambar 1. Sumbangan Emisi per Sektor di Indonesia, 1990-2021
Sumber: Ritchie dkk. (2020)
Intensifikasi alih fungsi lahan dalam sejarah Indonesia disebabkan oleh ketergantungan pada sektor-sektor ekstraktif, terutama pada masa Orde Baru yang gagal memanfaatkan ledakan ekonomi minyak. Deindustrialisasi prematur pada masa tersebut membuat Indonesia sangat bergantung pada ekspor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara (Kholilurrahman, 2018). Pertumbuhan PDB Indonesia yang masif pasca-Orde Baru lebih banyak disumbang oleh ekspor kelapa sawit dan batu bara, yang dalam rantai pasoknya juga menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia (Papanek dkk., 2014).
Kemandekan manufaktur tidak hanya menyebabkan sektor-sektor yang mengintensifkan alih fungsi lahan semakin menjamur, tetapi juga menimbulkan berbagai masalah seperti meningkatnya ketimpangan ekonomi antarkelas (Grabowski, 2017), nilai tukar yang terdepresiasi (Hastiadi & Nurunnisa, 2017), dan lapangan kerja informal yang rentan (Habibi, 2016).
Dengan berbagai masalah tersebut, agenda industrialisasi menjadi kebijakan penting yang didorong oleh gerakan kelas pekerja. Pada periode 1990-an, krisis ekonomi dan kemandekan sektor manufaktur telah menjadi isu utama yang banyak dibahas oleh berbagai serikat (Silaban, 2009). Pada Hari Buruh 2017, Front Nasional Pembela Buruh Indonesia (FNPBI) pun mendorong industrialisasi nasional. Partai Buruh, yang dibentuk pada 2021, mencantumkan deindustrialisasi sebagai salah satu sumber pelemahan kelas pekerja Indonesia. Minimnya perkembangan sektor manufaktur dan peningkatan lapangan kerja informal di sektor jasa, bagi Partai Buruh, merupakan bentuk pelemahan kelas pekerja yang harus dilawan dengan mendorong agenda industrialisasi nasional.
Sementara itu, bagi gerakan lingkungan, industrialisasi menjadi isu kontroversial. Di satu sisi, industrialisasi menawarkan jalan keluar dari ekonomi ekstraktif yang memicu alih fungsi lahan. Namun, di sisi lain, dikhawatirkan memperburuk kerusakan lingkungan. Menghadapi persoalan ini, pemikir ekologi berhaluan sosialis seperti Jason Hickel (2020) dan Bellamy Foster (2023) kemudian mempromosikan degrowth, model ekonomi yang menekankan kesejahteraan tanpa produksi berlebih. Namun, Matt Huber (2019) mengkritik degrowth karena tidak menawarkan model ekonomi terencana untuk mewujudkan visinya. Pemodelan ekonomi-teknik Princeton University menemukan bahwa, untuk mencapai net zero emission pada 2050, negara-negara perlu memproduksi 120 juta pompa kalor, jaringan listrik 5 kali lebih besar, dan 250 reaktor nuklir besar. Itu semua tak bisa dicapai apabila kekuatan produktif global justru dikurangi dan dibatasi pertumbuhannya seperti proposal para promotor degrowth. Selain itu, degrowth juga gagal memberikan kebijakan redistribusi yang jelas dan berpotensi membebankan krisis kepada semua kelas (Huber, 2023).
Alih-alih mengorbankan kekuatan produktif yang tengah berkembang dan menghambat pencapaian target transisi energi dengan degrowth, gerakan kelas pekerja dan gerakan lingkungan dapat bersatu untuk memperjuangkan beberapa hal yang lebih konkret. Daniel Driscoll (2024) mengungkapkan bahwa isu krisis iklim yang harus menjadi perhatian berbagai kekuatan politik progresif di dunia adalah kontrol terhadap finansialisasi industri energi terbarukan dan kebijakan pengetatan anggaran ala neoliberal yang mencegah negara-negara berkembang dari alokasi anggaran untuk transisi energi yang berkeadilan. Karena industri finansial hanya berfokus pada profit dalam pendanaan proyek energi terbarukan, integrasi kedua gerakan ini dapat mendorong skema pendanaan publik dan kontrol ketat serta transparan terhadap lembaga finansial. Kemudian, karena mekanisme pengetatan anggaran ala neoliberal mencegah negara untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan, integrasi antara gerakan pekerja dan lingkungan dapat bersatu untuk merebut kontrol atas alokasi anggaran negara.
Melawan Privatisasi Ketenagalistrikan, Mendukung Transisi Energi yang Adil
Sumbangan emisi yang besar dari ketenagalistrikan dan masalah ketenagakerjaannya dapat diperangi dengan merombak moda produksi sektor tersebut, yang cirinya adalah dominasi energi fosil dan privatisasi.
Dominasi energi fosil bermula pada masa Hindia Belanda. Tambang batu bara pertama dibuka di Pengaron, Kalimantan Selatan, pada 1848. Awalnya energi fosil bersaing ketat dengan energi air, sebagaimana tercatat pada 1925: batu bara menyumbang 40,38% sementara energi air 36,69% dari total bauran energi listrik (Yanuardy dkk., 2022). Namun intensifikasi industrialisasi negara jajahan membuat permintaan akan listrik terus meningkat, yang dengan demikian mempercepat dominasi energi fosil (Dijk, 2007).
Pada akhir pemerintahan Soekarno dan menjelang Orde Baru, perusahaan yang mengelola listrik dan gas bumi dipisah menjadi dua: PLN dan Perusahaan Gas Negara (PGN). Orde Baru kemudian menggunakan PLN untuk membangun rezim teknopolitik—memperkuat pengaruh melalui teknologi—dengan program seperti “Listrik Masuk Desa” dan “Doktrin Pembangunan Kelistrikan Nasional” (Mohsin, 2014). Pada masa ini, PLN memonopoli sektor kelistrikan, dari mulai produksi, distribusi, hingga transmisinya (Yanuardy dkk., 2022).
Menjelang akhir Orde Baru, dominasi terhadap sektor ketenagalistrikan mulai melonggar akibat kelesuan ekonomi dan utang dari Bank Dunia. Ini memaksa Indonesia untuk meliberalisasi sektor tersebut. UU 15/1985 memperbolehkan swasta memproduksi listrik, asal dengan skema take-or-pay yang mewajibkan mereka menjualnya ke PLN. PP 23/1994 kemudian mengubah PLN dari perusahaan umum menjadi perseroan terbatas, membuatnya menjadi entitas pencari profit alih-alih pemenuhan kebutuhan listrik untuk kepentingan umum (Yanuardy dkk., 2022).
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Neoliberalisme kian menancap kuat pasca-Reformasi memicu privatisasi beragam sektor, termasuk ketenagalistrikan. Didorong oleh Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Letter of Intent (LoI), Indonesia dipaksa untuk melakukan penyesuaian struktural guna memperkuat peran swasta. Pemerintah, bersama Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), kemudian menyusun regulasi yang menjadi cikal bakal UU Ketenagalistrikan 2002. Selain mendorong swasta terlibat, peraturan ini juga mengubah status anak perusahaan PLN itu sendiri menjadi entitas privat. Meskipun dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), UU ini disahkan kembali pada 2009 dengan substansi yang kurang lebih sama (Yanuardy dkk., 2022). Liberalisasi sektor ketenagalistrikan ini kemudian membuat produksi batu bara nasional meledak setelah Reformasi.
Gambar 2. Peningkatan Jumlah Produksi dan Konsumsi Batu Bara sebelum dan setelah Jatuhnya Orde Baru
Sumber: Kurniawan dkk. (2020)
Lonjakan produksi batu bara juga dipicu oleh target elektrifikasi artifisial dari pemerintah. Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan target 10 ribu MW, yang kemudian ditingkatkan menjadi 35 ribu MW dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) era Joko Widodo (Yanuardy dkk., 2022). Target ini didasarkan pada perkiraan PLN bahwa konsumsi listrik akan meningkat 61,12 GW pada 2020. Namun, sebagaimana ditunjukkan Shalati dan Simanjuntak (2019), kalkulasi ini meleset, konsumsi listrik jauh di bawah target. Akibatnya, produksi listrik tidak efisien, tarif naik, dan subsidi dipangkas sejak 2010 (Yanuardy dkk., 2022).
Sektor ketenagalistrikan berbasis batu bara memperparah krisis iklim, menjadikannya penyumbang emisi terbesar kedua di Indonesia. Meski energi fosil tak efisien, karakteristik neoliberal pasca-Reformasi mempertahankannya, membebani rakyat dengan biaya tinggi dan dampak krisis iklim, sementara oligarki batu bara terus meraup keuntungan (Yanuardy dkk., 2022). Dominasi energi fosil menghambat transisi energi. Meski Perjanjian Paris 2015 mendorong Indonesia menekan produksi batu bara, dan RPJMN 2015–2019 menargetkan penurunan dari 421 juta ton menjadi 400 juta ton, laju produksinya tetap tinggi (Shalati & Simanjuntak, 2019).
Tabel 1. Proyeksi Produksi Batu Bara dalam RPJMN vs Produksi Aktual dalam Juta Ton
Sumber: Shalati dan Simanjuntak (2019) dalam Yanuardy dkk. (2022)
Dominasi energi fosil dalam perencanaan energi Indonesia terlihat dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Meski menetapkan target energi terbarukan, bauran energi tetap didominasi fosil. Proyeksi energi terbarukan hanya 23% pada 2025. Target transisi energi pun tampak kontradiktif dengan realitas. Pada 2023, energi terbarukan hanya mencapai 13,09%, jauh dari target 23% pada 2025. Rencana transisi energi juga kontradiktif dengan perencanaan energi lain. Di sektor ketenagalistrikan, RUEN menargetkan batu bara menempati 30% dari total bauran energi nasional pada 2025, tetapi RUPTL PLN 2021–2030 memproyeksikan batu bara menempati 62,08% pada 2025 dan 63,95% pada 2030.
Tabel 2. Sasaran Bauran Energi Nasional Indonesia 2025—2050 dalam RUEN
Sumber: RUEN
Gambar 3. Proyeksi Bauran Energi Nasional 2021—2030 dalam RUPTL PLN (GWh)
Sumber: RUPTL PLN 2021—2030
Dominasi energi fosil, yang semakin intensif akibat privatisasi sektor ketenagalistrikan, mengancam keberlanjutan agenda transisi energi. Namun perlawanan terhadap privatisasi justru datang dari gerakan kelas pekerja, misalnya Serikat Pekerja PLN yang memprotes UU 20/2002 dan UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Meskipun undang-undang yang pertama dibatalkan, MK tidak membuat keputusan serupa pada peraturan kedua–membuatnya masih berlaku. Serikat Pekerja PLN hingga kini terus menyerukan penolakan terhadap privatisasi sektor ketenagalistrikan, meskipun alasan utama mereka tidak terkait dengan isu ekologis.
Persatuan gerakan lingkungan dan kelas pekerja semakin penting menghadapi upaya spatial fix, strategi neoliberalisme untuk menyelamatkan kapitalisme dari krisis dengan cara terus memperluas ruang demi kelancaran akumulasi modal. Saat ini yang terlihat jelas adalah upaya menggencarkan kendaraan listrik. Dalam hal ini, seperti dicatat Trissia Wijaya dan Lian Sinclair (2024), aktor energi fosil di bawah BUMN seperti PT PLN, PT Pertamina, PT Aneka Tambang, dan PT Mineral Industri Indonesia berinvestasi besar di industri kendaraan listrik. Proyek besar ini juga disebut dalam rangka mengatasi persoalan lingkungan. Namun, masalah ketenagakerjaan dan dampak ekologis yang nyata menunjukkan bahwa ini hanyalah solusi palsu untuk krisis iklim. Singkatnya, karena upaya spatial fix tidak hanya di area industri PLN, upaya perlawanan terhadapnya memerlukan kekuatan kolektif yang lebih luas.
Penutup
Integrasi antara gerakan lingkungan dan pekerja merupakan jalan strategis untuk menghadapi tantangan ganda: krisis iklim yang semakin parah dan ketidakadilan struktural yang kian eksploitatif. Integrasi ini dapat menjadi kekuatan politik transformatif. Melalui perjuangan kolektif untuk transisi energi berkeadilan dan industrialisasi ramah lingkungan, integrasi kedua gerakan ini tidak hanya berpotensi mengurangi kerusakan ekologis tetapi juga memperjuangkan masa depan yang lebih baik bagi kelas pekerja. Aliansi ini, jika terwujud, dapat menjadi fondasi bagi model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan inklusif di masa depan.
Bangkit Adhi Wiguna adalah buruh akademik di Yogyakarta